“Jadi kamu anti-Kopassus, dan
pro-Preman?” bertanya seorang teman kepada saya.
“Saya tidak ingin menghina Kopassus,” jawab saya, “kamu
tahu, Kopassus itu pasukan elite nomor empat yang disegani dunia? Apanya yang
saya perlu bela? Mau menggarami laut atau menghinanya? Saya gemetaran dengan
ancaman Mayjend Agus Sutomo, siapa yang berani menghinanya?”
“Tapi kenapa kamu membela preman?”
“Kenapa begitu kesimpulannya? Preman itu makhluk lemah, di
mana-mana. Ia pantas dibela,” kata saya, “saking lemahnya, banyak preman selalu
mempunyai pelindung dan pembela, dari organisasi agama, militer, polisi,
politik, etnik. Tak ada preman berani berdiri sendiri.’
“Tapi mereka meresahkan masyarakat?”
“Memangnya para pembela dan pelindungnya tidak? Kalau para
preman berbuat jahat, ya dibetulin dong, biar jadi baik. Kalau preman dimusuhi,
lantas apa jasamu? Sedang Jesus dan Muhammad sendiri pernah menyilakan, siapa
yang lebih suci dari preman itu, jadilah pelempar batu yang pertama. Kalau
preman makin marak, itu tanda kalian semua yang jadi pelindung, ternyata hanya
memakai mereka sebagai bak sampah atau kambing hitam. Sementara kalian sendiri
tak mampu membina mereka. Fungsi social-enginering kalian mampat. Meski kalian
memakai kata agama, politik, etnik, nilai-nilai kemiliteran, yang konon menurut
kalian penuh keluhuran dan kemuliaan, dsb, dsb itu, tak berjalan. Masyarakat
involusi. Sekian kutbah saya,...”
Saya tak peduli teman saya bengong, saya lagi asyik mentions
Ikang Fawzie ke akun twitter @SBYudhoyono, request lagi hit satu-satunya;
“Pap-para-pap, preman-preman,...!”