Seberapa waras
negeri ini, akan ditentukan oleh pemimpinnya. Apakah itu pemimpin
politik, pemimpin sosial, pemimpin ekonomi, pemimpin budaya, pemimpin
agama. Siapakah pemimpin itu? Ialah mereka yang dipercaya memimpin.
Sifat dari percaya ialah menyerahkan diri dalam totalitas dan tanpa
reserve. Haqul yakin kepemimpinan lahir atas pengakuan dan kepasrahan
yang parah atas kedaulatannya. Ia lahir dari cinta yang parah.
Namun ketika kepercayaan itu tumbuh atas keraguan, terjadi proses
tawar-menawar, bahkan negasi atau penolakan, dalam berbagai ekspresinya,
kita mengetahui bahwa kepemimpinan itu diragukan nilai dan
keberadaannya. Kenapa bisa demikian? Tentu harus dilihat proses-proses
yang menyertainya. Di jaman pseudo-realitas ini, segala sesuatunya tidak
berjalan sebagaimana hukum sebab-akibat.
Pemimpin pada akhirnya
hanya sebuah sebutan, yang jauh dari makna ke-pemimpin-an. Hubungan
patron-client kemudian menjadi hubungan dagang, hubungan kepentingan
yang lebih bersifat praktis, dan meniadakan dialog yang menumbuhkan.
Bahkan, kemudian kita tahu, bagaimana patron kemudian membungkus dirinya
dengan benteng-benteng peneguhan diri begitu rupa, dalam citra, dalam
ritual, dalam legenda dan mitos, dan perlahan kita dijauhkan dari proses
membersama.
Jika pers (atau sebutlah media massa) disebut sebagai
pilar ke-empat dari demokrasi, perlahan kita juga tidak meyakininya,
ketika informasi adalah juga bagian dari segala siasat untuk itu. Dan
tanpa undang-undang yang berpihak pada akal sehat (UU media yang
pro-kapital), yang kita temui adalah kepemimpinan yang buruk, karena
kekuasaan lebih mengabdi pada pasar (kapital) daripada rakyat (society).
Beruntung sekarang ada social-media, seperti twitter, facebook, atau
blog, yang langsung bisa mengambil alih kuasa media itu, dan membebaskan
media dari kepentingan-kepentingan lamis dari apa yang disebut logika
kebebasan mengembangkan bisnis.
Hukum keseimbangan alam akan selalu
menjadi hakim yang agung. Sapa sing salah seleh, kata pepatah Jawa.
Siapa yang bersalah akan lengser, sekali pun rakyat belum bergerak (dan
memang cenderung diam). Kesadaran akan demokratisasi, adalah sesuatu
yang tumbuh tanpa bisa dibendung, dengan jalan apa pun. Ini adalah
keniscayaan yang membuat kita tidak perlu pesimis akan masa depan
bangsa, sekali pun ia berjalan begitu lamban.
Karenanya, ketika
pemimpin telah kehilangan roh ke-pemimpin-an, perlahan kita akan
percaya, bahwa yang kita perlukan adalah sistem, mekanisme,
aturan-aturan kemuliaan yang operasional, yang nyata. Bukan seseorang
yang tubuhnya gagah, wajahnya ganteng, dadanya berbulu, harus militer,
harus lelaki macho, bertampang teduh religius, harus sukses 30 tahun
memimpin grup dangdhut, dan sejenisnya itu.
Dengan segala maaf,
kita tidak membutuhkan satrio pinilih, kinunjara, kesisih atau apalagi
satrio bergitar. Yang kita butuhkan adalah orang yang kita percaya bisa
menjalankan amanat dan kepentingan kita rakyat. Jika ketika kita pilih
kemudian ia berkhianat, maka mekanisme penghukuman adalah karena daulat
rakyat dalam hukum yang operasional.
Setelah Sukarno, kita tidak
melihat pemimpin yang ke-pemimpin-annya menumbuhkan dan membersama.
Soeharto dengan kemutlakan-kemutlakannya mengajari kita formalisme dalam
berfikir (juga beragama), pragmatisme dalam bertindak, dan vandalisme
ketika berkuasa. Dan ibarat tanah yang selama ini tak pernah diberi
makan (karena ditabur intensifikasi pupuk un-organik, untuk tujuan
swa-sembada beras), kita berada dalam tanah cengkar, kerontang, dan
butuh puluhan tahun untuk memulihkannya. Dengan presiden sebaik Habibie,
Gus Dur, Megawati, SBY, pemulihan untuk menyambung benang putus paska
Sukarno, bukan sesuatu yang mudah, apalagi jika presiden-presiden
setelah Soeharto itu bukan lebih bagus, tapi malah lebih bodoh dan tak
jelas.
Perjalanan tentu masih panjang. Tapi, sekarang hampir semua
orang bisa melakukan penetrasi, baik perseorangan maupun
sendiri-sendiri, lewat berbagai jaringan sosial-media yang mereka
kuasai. Itu artinya, pemimpin yang ke-pemimpin-annya lamis, politikus
yang ke-politik-annya lamis, jurnalis yang ke-jurnalistik-annya lamis,
ulama yang ke-ulama-annya lamis, presiden yang ke-presiden-annya lamis,
akan mendapatkan perlawanannya.
Seberapa waras negeri ini, akan berpulang pada kewarasan kita mampu melihat berbagai kelamisan itu.
Senin, Desember 24, 2012
Kamis, Desember 06, 2012
Menjadi Presiden dan Popularitas
Apakah demokrasi yang mengajarkan kesetaraan itu berbeda di Papua? |
Itu terserah kalkulasi Cak Imin saja deh. Mau ngomong apa saja bebas, asal jangan melarang orang berkomentar cem-macem. Karena mereka bikin ribuan statemen di ruang publik dan berkait dengan kepentingan hajat hidup serta masa depan publik, maka adil kiranya kalau publik memberikan feedbacknya.
Kalau Cak Imin demen ama Rhoma Irama, dan hanya dipendam dalam hati, itu urusan dia tentu. Tapi ketika disampaikan ke publik, ia sedang membeli imbal-balik. Dan dalam jual-beli kepentingan, adalah wajar jika tidak terjadi transaksi kepentingan pula. Karena kerja belum apa-apa, sudah ribut soal kursi, bagaimana publik mengapresiasi? Apalagi jika ternyata ukurannya berbeda. Bukankah hinaan atau pujaan adalah bentuk lain dari transaksi itu?
Jadi, soal hina-menghina, haruslah dilihat dalam konteks apa, sebelum membawa dalil-dalil yang serem seperti dosa dan neraka. Lagi pula, belum pernah ada pembakuan kata "popular" berarti baik, benar, dipercaya, apalagi dipilih. Tetangga saya dulu pernah "popular" karena ia maling ayam plus maling jemuran plus maling tempe goreng. Apakah dia layak jadi capres juga? Cak Imin juga popular jadi Menteri Tenaga Kerja yang tidak jelas konsep dan visi ketenagakerjaannya, apakah Cak Imin dengan demikian juga pantas jadi Capres, atau mau jadi Cawapresnya Rhoma Irama, rebutan posisi dengan Aceng, yang didunia maya sudah dipajang sebagai cawapres Rhoma? Atau Cak Imin mau belajar menyanyi atau mencipta lagu dangdhut?
Itu mah semua terserah dia sajalah. Popularitas bukan jaminan orang itu baik atau tidak, sekali pun orang yang tidak baik juga bisa jadi presiden. Karena pemilu memang bukan untuk mengukur kemuliaan hati seseorang, apalagi kepantasannya untuk memimpin. Berapa kali kita mengadakan pemilu, dan kita terus saja merasa tertipu? Dan itu bukan ciri-khas Indonesia, karena juga terjadi di beberapa negeri lainnya.
Karena yang lebih penting dari semua itu, bukanlah sosok presiden, melainkan sistem kepresidenan yang terkontrol terukur, terawasi, dan operasional. Artinya, lebih penting adalah munculnya rakyat yang berdaya. Rakyat yang tidak mudah menjadi sinis ketika ada pendapat rakyat lainnya yang kritis, dan si rakyat yang satu tidak memojokkannya rakyat lainnya (apalagi dengan dalil agama dan etnis) hanya karena berbeda cara pandang. Karena daya kritis adalah juga akumulasi cinta untuk saling mengingatkan.
Kita merindukan, pada masanya kelak, yang bernama presiden adalah sesuatu yang biasa-biasa saja, tidak perlu dilumuri dengan mantra-mantra macam satrio piningit atau atau satrio kinunjara, atau apalagi satrio aris munandar. Kita hanya ingin melihat entah itu pada JK, MMD, ABS, DI, JW, atau siapapun nama yang memiliki kepantasan dari pandangan rakyat, ia haruslah sosok yang jelas jejak-rekamnya. Presiden dan sebangsatnya itu, semestinya orang yang bekerja atas nama daulat rakyat.
Dan sesungguhnya hal itu gampang dilihatnya, sekiranya kita sedikit pinter membaca media kita, yang juga bukan pilar demokrasi yang kokoh karena pemilik di belakangnya.
Ketika TV-One ngomong bahwa ARB dan Golkar bagus, sama sekali sulit kita mengerti, darimana ngukurnya. Sama sebagaimana di mana bagusnya Nasdem, SP, atau HTS menurut Metro TV, MI, MNC, Sindo dan lain sebagainya itu.
Ketika politik membuat blangsak, maka sastralah yang akan membersihkan, kata sang sastrawan. Tapi ketika media busuk, kita hanya butuh masyarakat yang kritis. Baca dan dengarkan mediamu, hidupkan TV-mu, hidupkan pikiranmu, dan tetap merdeka. Tidak ada urusan dengan polling dan popularitas.
Jadi, soal hina-menghina, haruslah dilihat dalam konteks apa, sebelum membawa dalil-dalil yang serem seperti dosa dan neraka. Lagi pula, belum pernah ada pembakuan kata "popular" berarti baik, benar, dipercaya, apalagi dipilih. Tetangga saya dulu pernah "popular" karena ia maling ayam plus maling jemuran plus maling tempe goreng. Apakah dia layak jadi capres juga? Cak Imin juga popular jadi Menteri Tenaga Kerja yang tidak jelas konsep dan visi ketenagakerjaannya, apakah Cak Imin dengan demikian juga pantas jadi Capres, atau mau jadi Cawapresnya Rhoma Irama, rebutan posisi dengan Aceng, yang didunia maya sudah dipajang sebagai cawapres Rhoma? Atau Cak Imin mau belajar menyanyi atau mencipta lagu dangdhut?
Itu mah semua terserah dia sajalah. Popularitas bukan jaminan orang itu baik atau tidak, sekali pun orang yang tidak baik juga bisa jadi presiden. Karena pemilu memang bukan untuk mengukur kemuliaan hati seseorang, apalagi kepantasannya untuk memimpin. Berapa kali kita mengadakan pemilu, dan kita terus saja merasa tertipu? Dan itu bukan ciri-khas Indonesia, karena juga terjadi di beberapa negeri lainnya.
Karena yang lebih penting dari semua itu, bukanlah sosok presiden, melainkan sistem kepresidenan yang terkontrol terukur, terawasi, dan operasional. Artinya, lebih penting adalah munculnya rakyat yang berdaya. Rakyat yang tidak mudah menjadi sinis ketika ada pendapat rakyat lainnya yang kritis, dan si rakyat yang satu tidak memojokkannya rakyat lainnya (apalagi dengan dalil agama dan etnis) hanya karena berbeda cara pandang. Karena daya kritis adalah juga akumulasi cinta untuk saling mengingatkan.
Kita merindukan, pada masanya kelak, yang bernama presiden adalah sesuatu yang biasa-biasa saja, tidak perlu dilumuri dengan mantra-mantra macam satrio piningit atau atau satrio kinunjara, atau apalagi satrio aris munandar. Kita hanya ingin melihat entah itu pada JK, MMD, ABS, DI, JW, atau siapapun nama yang memiliki kepantasan dari pandangan rakyat, ia haruslah sosok yang jelas jejak-rekamnya. Presiden dan sebangsatnya itu, semestinya orang yang bekerja atas nama daulat rakyat.
Dan sesungguhnya hal itu gampang dilihatnya, sekiranya kita sedikit pinter membaca media kita, yang juga bukan pilar demokrasi yang kokoh karena pemilik di belakangnya.
Ketika TV-One ngomong bahwa ARB dan Golkar bagus, sama sekali sulit kita mengerti, darimana ngukurnya. Sama sebagaimana di mana bagusnya Nasdem, SP, atau HTS menurut Metro TV, MI, MNC, Sindo dan lain sebagainya itu.
Ketika politik membuat blangsak, maka sastralah yang akan membersihkan, kata sang sastrawan. Tapi ketika media busuk, kita hanya butuh masyarakat yang kritis. Baca dan dengarkan mediamu, hidupkan TV-mu, hidupkan pikiranmu, dan tetap merdeka. Tidak ada urusan dengan polling dan popularitas.
Langganan:
Postingan (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...