Perhimpunan Indonesia, yang beranggotakan mahasiswa Indonesia di Belanda, merupakan salah satu organisasi pemuda yang banyak menyumbang gagasan mengenai Indonesia merdeka, terutama terkait terselenggaranya Kongres Pemuda dan lahirnya Sumpah Pemuda.
Para pemuda-pemuda itu, sekembali mereka ke tanah air, telah menjadi kemudi dari berbagai partai politik pergerakan di tanah air: Partai Nasional Indonesia (PNI) sebelum dibubarkan, Partindo, PNI-Baru, PKI, dan Partai Syarekat Islam.
Merekalah, yang masih dalam usia dua-puluhan, menulis panjang lebar mengenai gagasan-gagasan Indonesia Merdeka: Sukarno, Hatta, Sjahrir, Semaun, Tan Malaka, dan lain sebagainya. Gagasan-gagasan itu tidak hanya diuraikan dalam coretan tinta di atas kertas, tetapi diperjuangkan habis-habisan dan menjadi pegangan politik di sepanjang hidupnya. Mereka rata-rata sudah mencapai posisi politik yang menentukan pada usia-usia di bawah 30 tahun, bahkan beberapa di bawah 20 tahun.
Sekarang, yang disebut generasi muda adalah mereka yang kadang sudah berumur 40-an tahun. Fakta ini jelas menunjuk dua hal, jika tidak terjadi kemunduran, bisa jadi memang involusi, yang keduanya ditengarai sebagai gagalnya regenerasi pada bangsa ini.
Sementara itu, jika menurut para jadulers "pemuda adalah harapan bangsa", maka menurut para pembokis "pemuda adalah harapan pemudi".
Meski Sukarno pernah megintrodusir sebutan macam "seniman-seniwati", "karyawan-karyawati", "pemuda-pemudi", maka sebutan yang kedua jarang muncul. Buktinya, seniman dianggap lebih merupakan penerjemahan dari "artist" karena tak kita kenal lagi penyebutan seniwati.
Kita kemudian juga lebih mengenal generasi muda, anak muda, dan tak pernah ada generasi mudi, anak mudi. Begitu juga adanya Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928), yang sesungguhnya memang dilakukan para pemuda. Dan sejarah tak pernah mencatat adanya peristiwa "Sumpah Pemudi", kecuali "Konges Perempuan".
Kenapa begitu? Bertanyalah pada sejarah kita yang sexis dan bias gender itu. Menyebut "pemuda adalah harapan pemudi" juga menunjukkan penyakit itu, karena memposisikan sang pemuda lebih mulia, meski faktanya bisa sebaliknya.
Lantas, jika hari ini kita mengenang 28 Oktober 1928 sebagai Hari Sumpah Pemuda, apa yang bisa kita renungkan, ketika sumpah (atau janji) itu menjadi sumpah serapah? Niatan untuk bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa persatuan bahasa Indonesia, sama sekali tak menemukan bentuk dan arahnya.
Partai politik yang kita yakini sebagai alat menuju demokrasi, telah menjebak anak-anak muda dalam pragmatisme kekuasaan, dan bahkan menjebloskan mereka menjadi maling-maling uang Negara.
Teriakan-teriakan revolusi, tak pernah meyakinkan kita, karena lebih banyak muncul sebagai idiom kemarahan, namun kita tak mampu diyakinkan karena tiadanya konsepsi. Jangankan revolusi Indonesia, revolusi PSSI yang pernah popular diteriakkan beberapa waktu lalu pun, sampai sekarang juga tak jelas, jika tak boleh dibilang lebih buruk.
Ini memang bangsa yang sibuk dengan kata-kata. Dan akhirnya, Sumpah Pemuda itu pun lebih sering menjadi Sumpah Serapah Pemuda. Bukan sebuah janji akan masa depan, namun kemarahan karena ketidakmampuannya menerjemahkan hari-hari kita saat ini. Selamat bersumpah serapah!
Merekalah, yang masih dalam usia dua-puluhan, menulis panjang lebar mengenai gagasan-gagasan Indonesia Merdeka: Sukarno, Hatta, Sjahrir, Semaun, Tan Malaka, dan lain sebagainya. Gagasan-gagasan itu tidak hanya diuraikan dalam coretan tinta di atas kertas, tetapi diperjuangkan habis-habisan dan menjadi pegangan politik di sepanjang hidupnya. Mereka rata-rata sudah mencapai posisi politik yang menentukan pada usia-usia di bawah 30 tahun, bahkan beberapa di bawah 20 tahun.
Sekarang, yang disebut generasi muda adalah mereka yang kadang sudah berumur 40-an tahun. Fakta ini jelas menunjuk dua hal, jika tidak terjadi kemunduran, bisa jadi memang involusi, yang keduanya ditengarai sebagai gagalnya regenerasi pada bangsa ini.
Sementara itu, jika menurut para jadulers "pemuda adalah harapan bangsa", maka menurut para pembokis "pemuda adalah harapan pemudi".
Meski Sukarno pernah megintrodusir sebutan macam "seniman-seniwati", "karyawan-karyawati", "pemuda-pemudi", maka sebutan yang kedua jarang muncul. Buktinya, seniman dianggap lebih merupakan penerjemahan dari "artist" karena tak kita kenal lagi penyebutan seniwati.
Kita kemudian juga lebih mengenal generasi muda, anak muda, dan tak pernah ada generasi mudi, anak mudi. Begitu juga adanya Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928), yang sesungguhnya memang dilakukan para pemuda. Dan sejarah tak pernah mencatat adanya peristiwa "Sumpah Pemudi", kecuali "Konges Perempuan".
Kenapa begitu? Bertanyalah pada sejarah kita yang sexis dan bias gender itu. Menyebut "pemuda adalah harapan pemudi" juga menunjukkan penyakit itu, karena memposisikan sang pemuda lebih mulia, meski faktanya bisa sebaliknya.
Lantas, jika hari ini kita mengenang 28 Oktober 1928 sebagai Hari Sumpah Pemuda, apa yang bisa kita renungkan, ketika sumpah (atau janji) itu menjadi sumpah serapah? Niatan untuk bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa persatuan bahasa Indonesia, sama sekali tak menemukan bentuk dan arahnya.
Partai politik yang kita yakini sebagai alat menuju demokrasi, telah menjebak anak-anak muda dalam pragmatisme kekuasaan, dan bahkan menjebloskan mereka menjadi maling-maling uang Negara.
Teriakan-teriakan revolusi, tak pernah meyakinkan kita, karena lebih banyak muncul sebagai idiom kemarahan, namun kita tak mampu diyakinkan karena tiadanya konsepsi. Jangankan revolusi Indonesia, revolusi PSSI yang pernah popular diteriakkan beberapa waktu lalu pun, sampai sekarang juga tak jelas, jika tak boleh dibilang lebih buruk.
Ini memang bangsa yang sibuk dengan kata-kata. Dan akhirnya, Sumpah Pemuda itu pun lebih sering menjadi Sumpah Serapah Pemuda. Bukan sebuah janji akan masa depan, namun kemarahan karena ketidakmampuannya menerjemahkan hari-hari kita saat ini. Selamat bersumpah serapah!