PENGANTAR | Pidato ini disampaikan di depan Angkatan Baru Pusat Kebudayaan, sebuah lembaga kebudayaan yang dibentuk oleh Sukarno pada jaman penjajahan Jepang 1942-1945, di Jakarta pada 7 Juli 1943, kemudian teks pidato itu dimuat di majalah Zenit, Th. I, No. 2, Februari 1951, dua tahun setelah Chairil meninggal. Sesuatu yang sangat khas Chairil Anwar, dan masih patut direnungkan, ketika kita sudi mengenang keberadaannya. Ialah tentang bagaimana semestinya seorang seniman berkarya, dengan segala totalitasnya, yang antara lain juga keberanian untuk memilih dan memilah, mana karya yang bertenaga dan mana yang ecek-ecek.
Motto :
Kita guyah lemah
Sekali tetak tentu rebah
Segala erang dan jeritan
Kita pendam dalam keseharian
Mari berdiri merentak
Diri-sekeliling kita bentak
Ini malam bulan akan menembus awan
Sengaja tidak kuberi bentuk pidato pada pembicaraan ini, karena pidato melepas-renggangkan dari pembicara rasanya.
Jadi kucari bentuk lain. Ada teringat akan menerang-jelaskan saja, sambil menganjurkan, sekali-sekali menyatakan pengharapan.
Tapi takkan memuaskan ini! Ah, mengapa kupakai perkataan “puas”? Kan dalamnya berpengaruh besar arti-arti tercapai dan berhasil? Inikah maksudku? Barangkali ia… Memang ia! Memang! Memang! Sungguhpun berhasilnya kubatasi hingga : supaya tiap-tiap kata yang kuucapkan dipikirkan dan direnungkan dengan tenang!!
Kesudahan kata : Kuberikan sebagian dari jiwa kalbuku, diriku… beberapa lembar dari buku harianku…
Di rumah, II/2603, malam
Ida! Idaku-sayang,
Aku bantah Idaku ini kali! Karena Ida katakn tenagaku mencipta sedikit sekali. Bukan! Jangan kira semata-mata akan mempertahankan diri maksudku, tetapi satu pikiran dan pendapatan (mungkin maksudnya: pendapat, sw). Tentang mencipta sendiri.
Dalam gaya-lagumu berbicara dan pemakaian kata-katamu tadi sore, aku memperoleh kesan, Ida dipengaruhi amat oleh teman-teman Ida yang masih muda umur serta jiwa. Mari kunamakan oleh “hokum-wahyu” mereka. Seperti S. dan A. (maksud C.A., ialah Sam Amir dan Azhar, sw).
Berapa kali kalau kita sedang berkumpul, percakapan dengan tak disedarkan mengelok kea rah seni, mereka berkata : Dorongan mencipta datang tiba-tiba, mendadak! Wahyu! Benar hingga kini! Aku setuju juga. Tapi disambung mereka lagi. Maka di waktu ini
pulalah harus terus mempercayakan, menyerahkan pada kertas. Dalam bentuk prosa atau puisi. Dan… sampun ‘ndoro! ‘Kan tak kena ini Ida-adik. Renungkanlah sendiri, agak ia-ia sebentar!
Kalau diturut mereka, maka pikiran dan dasar seni atau pilsapat itu datangnya sebagai cahaya surya dari langit, memanaskan kita dan jenak itu juga matang!!! Akibatnya : Ange’ ange’ ciri’ ayam!! Tidakkah hasil begini yang selalu jadi pokok
keluh-kesah Ida juga? Seni kita sampai kini masih dangkal-picik benar. Tak lebih dari angin lalu saja. Menyejukkan kening dan dahipun tidak!
Aku sebagai seniman Ida, harus mempunyai ketajaman dan ketegasan dalam menimbang serta memutus.
Dengarkan!!
Sepeninggal Beethoven didapat buku-buku penuh catatan.
Persediaan dan persiapan untuk lagu-lagunya yang merdu-murni serta sempurna.
Simponinya yang ke-5 dan ke-9 bukan begitu saja lahir, Idaku. Bertahun-tahun ahli musik besar ini bersiap-sedia, baru satu buah masak luar-dalam dapat dipetik. Missa solemnis-nya hasil kerja lima tahun lebih.
Ida tentu pernah mendengarkan Mozart. Musik berjalan kesahajaan-kesederhanaan yang indah permai. Tapi meminta waktu juga sebelum ia bisa mengatakan ciptaannya siap. Ini seniman-seniman dalam arti sebenarnya lagi, yang menerima segala terus dari Tuhan…!!!
Ida! Rangkaian jiwa, lihat!
Wahyu dan wahyu ada dua. Tidak tiap yang menggetarkan kalbu, wahyu yang sebenarnya.
Kita mesti bisa menimbang, memilih, mengupas dan kadang-kadang sama sekali membuang. Sudah itu baru mengumpul-satukan.
Jika kerja setengah-setengah saja, mungkin satu waktu nanti kita jadi impropisator. Sungguhpun impropisator besar!
Tapi hasil seni impropisasi tetap jauh di bawah dan rendah dari hasil seni cipta.
Soal hidup dan matilah yang ia! Jangan, jangan Ida picingkan mata sipit Ida –danau kaca jernih tempatku tenggelam—curiga aku melebih-lebihi. Percayalah adikku, tidak ada yang lebih benar dari ini…
Satu hal pula Ida salah tangkap. Apa yang kubentang-beberkan bukan untuk menghalangi ciptaan kita bertingkat-tingkat juga.
Maksudnya : Ada yang jelek, sedang, bagus. Ini suatu yang tak bisa diceraikan memang, kalau mencipta.
Tergantung pada kita jadinya. Hanya sebagai seniman sejati kita member sebanyak-banyaknya, sebisa-bisa semuanya!!!
Sedang membaca seni kesusasteraan asli, bertenang mendengarkan Beethoven akan terasa oleh kita kesadaran jasmani dan gelora rohani sama berat berada dalamnya. Hingga jadi padu-satu. Sekaligus kukatakan : Pikiran berpengaruh besar dalam hasil seni yang tingkatnya tinggi. Berpikir yang mengandung menimbang serta memutus dengan sehat-cermat….
Aku Ida, Ratu-Hatiku, jangan samakan dengan pengebeng (maksudnya “pengibing”, sw) ronggeng yang mendendangkan pantun-pantun didapatnya sedang menari berlenggak-lenggak oleh – ah, kata apalah kupakai, aku tak mau mencemar-nodai pengertian wahyu?!!! – melihat kepenuh-montokan bentuk perempuan lawannya menari…!!!
Di rumah, / 2603, malam.
Ida! Ida! Ida!
Baru kubayang-biaskan dengan sepintas lalu pada adik ada kupikirkan bentuk dan garis baru untuk kesusasteraan kita. Sedang kita naik sepeda bersama, digumul-gulat kenikmatan berdua-sendiri rahsia kubuka. Sebagai sambilan saja. Tapi Ida… aduh,
bahgia jiwa ada sangkut-kaitan!!! – terus penuh perhatian. Ida cengkam lenganku, mata Ida bersinar-sinar. Ida hujani aku dengan pertanyaan : Aku sendiri jadi terkejut…erhatian Ia terhadap tiap gerak-gerikku kiranya pancaran hati sanubari. Dan Ida pulalah, dupa-kepercayaanku, yang tahu minatku pada seni tidak sedikit.
Segala Ida ma uterus tahu, bertubi-tubi tanya datang. Sehingga aku tak bisa bilang apa-apa jadinya. Sedang malu tak menentu barangkali. Entah karena belum mendarah daging kepastian. Tapi terlepas juga tarian-coretan kasar dari kandungan, conteng-moreng dari maksud. Pujangga muda akan datang musti, pemeriksa yang cermat, pengupas-pengikis sampai ke saripati sesuatu. Segalanya, segalanya sampai ke tangannya dan merasai gores-bedahan pisaunya yang berkilat-kilat. Segalanya! Juga pohon-pohon beringin keramat yang hingga kini tidak boleh didekati!!!
Tapi pujangga di masa akan datang –pujangga sejati!—memanjatnya, dan memotong cabang-cabang yang merindang-merimbun tak perlu,...
Sudah berdesing-desing di kuping dahsat-hebat suara meneriakkan: Berhenti! Berhenti! Hai, Perusak, Peruntuh!!!
Aku berani memasuki rumah suci hingga ruang tengah! Tidak tinggal di pekarangan saja.
Aku terus Ida : aku terus, mengerti?!!!
Sungguhpun perlawanan-pertentangan menggunung. Sebentar-sebentar sangsi juga, tapi keberanian sebenarnya, ialah yang digenggam teguh melalui-menembus dinding sangsi.
Kembali lagi!
Adakah insap mereka, tujuanku: intan yang dicanai kilatnya menyilaukan, mengedip-ngedipkan mata si penglihat.
Dan – bukan untuk melepaskan diri dengan begitu saja, kan Ida kenal padaku – orang jangan kacau. Aku pengupas, bukan pendeta atau kyai tentang sesuatu. Sungguhpun mereka pengupas juga mustinya.
Salahnya di sini Ida, mereka terlalu banyak menyebar-membentang, sedikit sekali mengupas.
Ah! Penuh bahaya jalan untuk ditebas-rambah, Ida. Tapi hanya untuk menetapkan, aku pasti! Ini lagi! Adakah adikku pernah mendengar, tiang dan lantai penghidupan ialah… bahaya?!!
Di rumah,... /2603, malam.
Sayangku mesra,
Dari yang satu ke yang lain, adik, selangkah demi selangkah.
Jika di perjamuan, sekarang kepala hidangan!
Tapi selembar dari buku harian tidak akan member kelengkapan, Ida tentu mengerti! Jadi tertegun-tegun juga aku sebentar memikirkan tarikan-tarikan tepat jitu supaya dapat adik kesan yang penuh pasti. Dapatkah Idaku menerka apa yang terbayang dengan terang-menyilau di mataku, ketika menuliskan baris-baris ini? Dapat? Kolonel Yamasaki, Ida! Perwira-perwira dari Attu!
Aduh, terus bersatu jiwa dengan beliau ini. Penjelmaan citaku memang!
Chairil Anwar.
|Diketik ulang dengan ejaan baru, dari "Chairil Anwar, Pelopor Angkatan 45", HB Jassin, Gunung Agung, Jakarta, cetakan ke IV, 1978, h. 132-137
Catatan:
*Tahun 2603 yang dipakai C.A sebagai penanda tanggal, adalah tahun Showa dalam kalender Jepang, yakni bertepatan dengan tahun Masehi 1943.
**Kolonel Yamasaki ialah salah satu penasehat organisasi yang bernama Poesat Tenaga Ra’jat yang disingkat dengan nama Poetra. Organisasi ini dipimpin oleh Ir. Sukarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K. H. Mas Mansyur. Tapi karena dianggap lebih menguntungkan Indonesia, Jepang membubarkan dan membentuk Keimin Bunka Sidhosho (Pusat Kebudayaan) yang antara lain dibidani oleh Kolonel Yamasaki. Bisa jadi, ada gagasan Yamasaki yang cocok dengan idealisme C.A.
Sabtu, April 28, 2012
Jumat, April 27, 2012
Indonesia 2014: Politik Sampah dan Perjalanan Bangsa
Oleh Sunardian Wirodono
Cara berfikir dalam faham formalisme, cara bertindak dan bersikap dalam faham pragmatisme, dan cara menggunakan kekuasaan dengan faham vandalisme; yang ditabalkan oleh sistem politik Orde Baru, melahirkan situasi kepolitikan Indonesia yang jauh lebih buruk, dari apa yang dipraktikkan dalam tahun-tahun antara 1945 - 1955.
Ketika Soeharto longsor 1998, yang terjadi bukan situasi kepolitikan yang lebih baik, melainkan jauh lebih buruk, karena satu hal yang tampak pasti, kepolitikan kita berjalan tanpa karakter. Politik hanya dipahami sebagai sistem demokrasi sebagai antitese dari sistem yang dinilai otoritarian, diktatorial, feodal, monarkhiS, atau pun anarkis.
Padahal, sejak Demokrasi Terpimpin 1957 hingga praktik kekuasaan politik Orde Baru Soeharto, kita tak pernah melihat proses pembelajaran berpolitik dalam praksis kenegaraan kita. Akibat yang paling pasti, ada dua kemungkinan yang sama buruknya. Yakni, munculnya euforia demokrasi (dari orang yang tertindas dan tidak terdidik secara politik) yang melahirkan kebebasan tanpa batas dan mendekati anarkisme, serta kegagapan berdemokrasi karena politik hanya diketahui sisi kulit atau dasarnya, yakni berkait dengan kepentingan kekuasaan.
Tiadanya proses pembelajaran politik, melahirkan vacum generation, generasi kosong yang pada akhirnya generasi yang tidak bisa mengapresiasi proses, karena semua bertumpu pada kepentingan hasil. Generasi tanpa proses ini tampak dari ketidakmampuan mereka melakukan organisasi, negosiasi, diskusi, sehingga transaksi politik sering terjadi dengan cara-cara yang jauh dari proses nalar.
Politik pencitraan, kemudian dikomodifikasi dengan kemasan-kemasan teoritik-akademik, sebagai resep-resep yang diperjualbelikan dalam jasa konsultasi, baik oleh pihak-pihak berkepentingan dari negara asing (Amerika terutama) dan para akademisi yang melihat peluang untuk berbisnis ilmu pengetahuan. Muncullah jasa-jasa konsultan politik, lembaga riset atau survey dengan metode (yang paling menggelikan, yakni) sampling dan polling. Politik bisa disimulasikan dulu di atas kertas atau bahkan dalam software-software program yang canggih.
Sejak Pemilu 2004, kita makin melihat, bagaimana hasil kepolitikan seperti itu, melahirkan tokoh-tokoh yang sibuk dengan citra, pernyataan normatif soal demokrasi, namun kehilangan esensi dan otentisitasnya. Keributan politik kita, adalah keributan pada peristilahan, namun kehilangan substansi masalah. Semua sibuk pada text, namun tiada context. Dan masyarakat yang a-politis karena ketidakterdidikannya, menjadi mudah diombang-ambingkan dan diadu-domba.
Dari yang bernama Presiden, Mentri, maupun anggota Parlemen, bahkan para akademisi sekali pun, yang lebih mencuat adalah para penganut pragmatisme, yakni faham yang lebih mendasarkan pada aspek kepentingan atau kemanfaatan. Sesuatu dianggap bernilai atau penting, lebih karena sisi apa yang bisa dimanfaatkan secara langsung. Disitu output menjadi lebih penting dari proses. Dan karena itu, proses pembelajaran tidak terjadi, karena yang terjadi bukan negosiasi dan diskusi, melainkan transaksi-transaksi, atau jika pun tidak politik saling sandera.
Dalam kasus penanganan masalah strategis seperti energi nasional, eksekutif dan legislatif dengan menyedihkan mempraktikkan patrap atau perilaku kepolitikan itu. Kedua lembaga tinggi negara, sama-sama kehilangan perannya untuk memutuskan persoalan yang bukan hanya strategis, melainkan fundamental untuk bangsa dan negara ini. Mereka lebih banyak ngomong dalam kepentingan dan agenda masing-masing, namun menyandera rakyat dalam ketidakpastian. Itu semua produk kepolitikan yang lebih mengedepankan kepentingan kelompok dan diri sendiri, daripada politik sebagai jalan pengabdian pada kesejahteraan bangsa dan negara.
Dari yang bernama Presiden, Mentri, maupun anggota Parlemen, bahkan para akademisi sekali pun, yang lebih mencuat adalah para penganut pragmatisme, yakni faham yang lebih mendasarkan pada aspek kepentingan atau kemanfaatan. Sesuatu dianggap bernilai
atau penting, lebih karena sisi apa yang bisa dimanfaatkan secara langsung. Disitu output menjadi lebih penting dari proses.
Dan karena itu, proses pembelajaran tidak terjadi, karena yang terjadi bukan negosiasi dan diskusi, melainkan transaksi-transaksi.
Lihatlah terutama pada para anggota Parlemen kita. Barangkali, hanya di Indonesia saja para wakil rakyat selalu merasa penting dengan yang bernama studi banding, kunjungan kerja, dan berbagai istilah yang seolah menunjukkan keseriusan kerja dari yang bernama wakil rakyat. Bahkan, Eva Kusuma Sundari, yang konton pinter dan bisa menunjukkan bahwa ia memang serius dalam melakukan studi banding (hingga perlu sampai ke Perancis), dengan mengatakan "jika tidak begini, bagaimana kami bisa belajar?" Alasan yang sesungguhnya sama aneh dan sampahnya, dengan apa yang dikatakan para wakil rakyat lainnya ketika menyanggah tudingan, bahwa studi banding itu hanya kamuflase untuk plesiran menghamburkan uang negara.
Masalahnya, tentu terletak pada persoalan urgensi. Mau membuat undang-undang seperti apa, sih, Indonesia ini, dengan berbagai kunjungan keluar negeri itu? Jika berfikir dari sudut prioritas, esensi, dan urgensi, mereka akan mengerti, bahwa berbagai studi banding itu hanya menunjukkan (1) ketidaktahuan mereka mengenali masalah dasar dan prioritas bagi bangsa dan negara ini, dan (2) karakter 'kere munggah bale', okb, aji mumpung, atau orang yang suka memanfaatkan kesempatan (demi kepentingan dan kesenangan pribadi) sebelum kesempatan itu hilang.
Sistem kepolitikan kita yang oligarkis, memberikan kemungkinan elite partai adalah makhluk baru yang terpisah dari asal-muasalnya. Rakyat hanya untuk legitimasi demokrasi. Tapi setelah suara rakyat dihitung, partai politik kemudian merampasnya, dengan membentuk fraksi sebagai kepanjangan tangan partai, sekaligus memotong hubungan para anggota legislatif dengan konstituensnya. Karena itu, rakyat (yang merupakan 70% penyumbang pendapatan negara dari pajak), tidak mempunyai kedaulatan atas negara ini, karena ditelikung dalam tikungan atau lipatan aturan politik yang belibet.
Dan karena itu, anggota dewan, para wakil rakyat, tidak akan pernah lebih takut dengan sanksi rakyat lebih dari ketakutannya pada partai politik yang mencanangkan kakinya melalui apa yang dinamakan fraksi.
Sistem kepolitikan kita yang buruk dan busuk ini, tentu sulit untuk menghasilkan presiden, menteri, wakil rakyat, yang baik. Masih butuh waktu untuk hilangnya generasi busuk ini, dengan mengharap generasi korban situasi dalam masa transisi ini, akan bisa menemukan jalan sejarahnya, yakni hukum alam, sama seperti proses longsornya Soeharto.
Kebusukan pada akhirnya akan memakan dirinya sendiri. Dan lahirnya generasi baru, yang lelah dengan berbagai kebusukan, pada akhirnya akan tahu, bahwa kepolitikan yang tidak menyertakan rakyat untuk tumbuh bersama, akan tumbang dengan sendirinya.
Korupsi berjamaah dan sistemik yang melanda berbagai institusi negara, dalam eksekutif, legislatif, dan bahkan yudikatif, adalah hukum pembusukan itu sendiri. Bahkan, jika terbukti generasi Anas Urbaningrum pun terlibat dalam kasus-kasus korupsi ini, maka potong generasi bisa diharapkan dari sini. Lingkaran setan itu, semoga bisa diharapkan dituai oleh generasi Indonesia mendatang, mulai 2019 dan seterusnya, karena pada 2014 kita masih melihat sisa-sisa sampah dari situasi transisi politik 1998 itu.
Barangkali, demikian jalan sejarah bagi Indonesia, jika kita melihat perjalanan bangsa ini dari sejak kejayaan Majapahit dan Sriwijaya, 1908, 1928, 1945, 1966, 1998,... Post factum, semua berjalan di atas kewajaran. Wajar munculnya Soeharto, wajar pula munculnya generasi politik yang lebih buruk dari Soeharto, dan wajar pula akhirnya jika kelak terjadi recycling, sebagaimana bangsa ini dulu tertatih menapaki 1908, 1928, hingga puncaknya pada pesta demokrasi 1955.
Dengan analogi itu, tidak mesti kita menunggu tahun 2025-an kita akan mengalami kejayaan, kecuali bangsa ini memang terlalu bodoh untuk mau menunggu begitu lama.
Cara berfikir dalam faham formalisme, cara bertindak dan bersikap dalam faham pragmatisme, dan cara menggunakan kekuasaan dengan faham vandalisme; yang ditabalkan oleh sistem politik Orde Baru, melahirkan situasi kepolitikan Indonesia yang jauh lebih buruk, dari apa yang dipraktikkan dalam tahun-tahun antara 1945 - 1955.
Ketika Soeharto longsor 1998, yang terjadi bukan situasi kepolitikan yang lebih baik, melainkan jauh lebih buruk, karena satu hal yang tampak pasti, kepolitikan kita berjalan tanpa karakter. Politik hanya dipahami sebagai sistem demokrasi sebagai antitese dari sistem yang dinilai otoritarian, diktatorial, feodal, monarkhiS, atau pun anarkis.
Padahal, sejak Demokrasi Terpimpin 1957 hingga praktik kekuasaan politik Orde Baru Soeharto, kita tak pernah melihat proses pembelajaran berpolitik dalam praksis kenegaraan kita. Akibat yang paling pasti, ada dua kemungkinan yang sama buruknya. Yakni, munculnya euforia demokrasi (dari orang yang tertindas dan tidak terdidik secara politik) yang melahirkan kebebasan tanpa batas dan mendekati anarkisme, serta kegagapan berdemokrasi karena politik hanya diketahui sisi kulit atau dasarnya, yakni berkait dengan kepentingan kekuasaan.
Tiadanya proses pembelajaran politik, melahirkan vacum generation, generasi kosong yang pada akhirnya generasi yang tidak bisa mengapresiasi proses, karena semua bertumpu pada kepentingan hasil. Generasi tanpa proses ini tampak dari ketidakmampuan mereka melakukan organisasi, negosiasi, diskusi, sehingga transaksi politik sering terjadi dengan cara-cara yang jauh dari proses nalar.
Politik pencitraan, kemudian dikomodifikasi dengan kemasan-kemasan teoritik-akademik, sebagai resep-resep yang diperjualbelikan dalam jasa konsultasi, baik oleh pihak-pihak berkepentingan dari negara asing (Amerika terutama) dan para akademisi yang melihat peluang untuk berbisnis ilmu pengetahuan. Muncullah jasa-jasa konsultan politik, lembaga riset atau survey dengan metode (yang paling menggelikan, yakni) sampling dan polling. Politik bisa disimulasikan dulu di atas kertas atau bahkan dalam software-software program yang canggih.
Sejak Pemilu 2004, kita makin melihat, bagaimana hasil kepolitikan seperti itu, melahirkan tokoh-tokoh yang sibuk dengan citra, pernyataan normatif soal demokrasi, namun kehilangan esensi dan otentisitasnya. Keributan politik kita, adalah keributan pada peristilahan, namun kehilangan substansi masalah. Semua sibuk pada text, namun tiada context. Dan masyarakat yang a-politis karena ketidakterdidikannya, menjadi mudah diombang-ambingkan dan diadu-domba.
Dari yang bernama Presiden, Mentri, maupun anggota Parlemen, bahkan para akademisi sekali pun, yang lebih mencuat adalah para penganut pragmatisme, yakni faham yang lebih mendasarkan pada aspek kepentingan atau kemanfaatan. Sesuatu dianggap bernilai atau penting, lebih karena sisi apa yang bisa dimanfaatkan secara langsung. Disitu output menjadi lebih penting dari proses. Dan karena itu, proses pembelajaran tidak terjadi, karena yang terjadi bukan negosiasi dan diskusi, melainkan transaksi-transaksi, atau jika pun tidak politik saling sandera.
Dalam kasus penanganan masalah strategis seperti energi nasional, eksekutif dan legislatif dengan menyedihkan mempraktikkan patrap atau perilaku kepolitikan itu. Kedua lembaga tinggi negara, sama-sama kehilangan perannya untuk memutuskan persoalan yang bukan hanya strategis, melainkan fundamental untuk bangsa dan negara ini. Mereka lebih banyak ngomong dalam kepentingan dan agenda masing-masing, namun menyandera rakyat dalam ketidakpastian. Itu semua produk kepolitikan yang lebih mengedepankan kepentingan kelompok dan diri sendiri, daripada politik sebagai jalan pengabdian pada kesejahteraan bangsa dan negara.
Dari yang bernama Presiden, Mentri, maupun anggota Parlemen, bahkan para akademisi sekali pun, yang lebih mencuat adalah para penganut pragmatisme, yakni faham yang lebih mendasarkan pada aspek kepentingan atau kemanfaatan. Sesuatu dianggap bernilai
atau penting, lebih karena sisi apa yang bisa dimanfaatkan secara langsung. Disitu output menjadi lebih penting dari proses.
Dan karena itu, proses pembelajaran tidak terjadi, karena yang terjadi bukan negosiasi dan diskusi, melainkan transaksi-transaksi.
Lihatlah terutama pada para anggota Parlemen kita. Barangkali, hanya di Indonesia saja para wakil rakyat selalu merasa penting dengan yang bernama studi banding, kunjungan kerja, dan berbagai istilah yang seolah menunjukkan keseriusan kerja dari yang bernama wakil rakyat. Bahkan, Eva Kusuma Sundari, yang konton pinter dan bisa menunjukkan bahwa ia memang serius dalam melakukan studi banding (hingga perlu sampai ke Perancis), dengan mengatakan "jika tidak begini, bagaimana kami bisa belajar?" Alasan yang sesungguhnya sama aneh dan sampahnya, dengan apa yang dikatakan para wakil rakyat lainnya ketika menyanggah tudingan, bahwa studi banding itu hanya kamuflase untuk plesiran menghamburkan uang negara.
Masalahnya, tentu terletak pada persoalan urgensi. Mau membuat undang-undang seperti apa, sih, Indonesia ini, dengan berbagai kunjungan keluar negeri itu? Jika berfikir dari sudut prioritas, esensi, dan urgensi, mereka akan mengerti, bahwa berbagai studi banding itu hanya menunjukkan (1) ketidaktahuan mereka mengenali masalah dasar dan prioritas bagi bangsa dan negara ini, dan (2) karakter 'kere munggah bale', okb, aji mumpung, atau orang yang suka memanfaatkan kesempatan (demi kepentingan dan kesenangan pribadi) sebelum kesempatan itu hilang.
Sistem kepolitikan kita yang oligarkis, memberikan kemungkinan elite partai adalah makhluk baru yang terpisah dari asal-muasalnya. Rakyat hanya untuk legitimasi demokrasi. Tapi setelah suara rakyat dihitung, partai politik kemudian merampasnya, dengan membentuk fraksi sebagai kepanjangan tangan partai, sekaligus memotong hubungan para anggota legislatif dengan konstituensnya. Karena itu, rakyat (yang merupakan 70% penyumbang pendapatan negara dari pajak), tidak mempunyai kedaulatan atas negara ini, karena ditelikung dalam tikungan atau lipatan aturan politik yang belibet.
Dan karena itu, anggota dewan, para wakil rakyat, tidak akan pernah lebih takut dengan sanksi rakyat lebih dari ketakutannya pada partai politik yang mencanangkan kakinya melalui apa yang dinamakan fraksi.
Sistem kepolitikan kita yang buruk dan busuk ini, tentu sulit untuk menghasilkan presiden, menteri, wakil rakyat, yang baik. Masih butuh waktu untuk hilangnya generasi busuk ini, dengan mengharap generasi korban situasi dalam masa transisi ini, akan bisa menemukan jalan sejarahnya, yakni hukum alam, sama seperti proses longsornya Soeharto.
Kebusukan pada akhirnya akan memakan dirinya sendiri. Dan lahirnya generasi baru, yang lelah dengan berbagai kebusukan, pada akhirnya akan tahu, bahwa kepolitikan yang tidak menyertakan rakyat untuk tumbuh bersama, akan tumbang dengan sendirinya.
Korupsi berjamaah dan sistemik yang melanda berbagai institusi negara, dalam eksekutif, legislatif, dan bahkan yudikatif, adalah hukum pembusukan itu sendiri. Bahkan, jika terbukti generasi Anas Urbaningrum pun terlibat dalam kasus-kasus korupsi ini, maka potong generasi bisa diharapkan dari sini. Lingkaran setan itu, semoga bisa diharapkan dituai oleh generasi Indonesia mendatang, mulai 2019 dan seterusnya, karena pada 2014 kita masih melihat sisa-sisa sampah dari situasi transisi politik 1998 itu.
Barangkali, demikian jalan sejarah bagi Indonesia, jika kita melihat perjalanan bangsa ini dari sejak kejayaan Majapahit dan Sriwijaya, 1908, 1928, 1945, 1966, 1998,... Post factum, semua berjalan di atas kewajaran. Wajar munculnya Soeharto, wajar pula munculnya generasi politik yang lebih buruk dari Soeharto, dan wajar pula akhirnya jika kelak terjadi recycling, sebagaimana bangsa ini dulu tertatih menapaki 1908, 1928, hingga puncaknya pada pesta demokrasi 1955.
Dengan analogi itu, tidak mesti kita menunggu tahun 2025-an kita akan mengalami kejayaan, kecuali bangsa ini memang terlalu bodoh untuk mau menunggu begitu lama.
Sabtu, April 21, 2012
SELAMAT HARI KARTINI, INDONESIA!
Banyak perempuan pejuang di Indonesia ini, tapi mengapa tanggal 21 April Indonesia selalu heboh dengan Kartini? Seolah Dewi Sartika, Tjut Nja' Dhien, Tjut Meutia, Malahajati, dan lain-lainnya tak ada? Tentu saja wajar dan biasa saja, karena 21 April adalah hari lahir Kartini. Sama seperti misalnya 25 Desember orang memperingati kelahiran Yesus, atau setiap bulan Maulud memperingati hari lahir Kanjeng Nabi Muhammad shallalahu alaihi wassallam, atau 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila, 4 Maret sebagai hari SW.
Bagi saya pribadi, mengenang Kartini teramat sangat asyik, karena beliau meninggalkan pemikiran secara tertulis (meski bentuknya adalah surat-surat pribadi). Dari sana, ia meninggalkan dokumen otentik, yakni pemikiran-pemikirannya (meski khas terjadi di Indonesia, ada yang mempersoalkan bahwa ia di-instal oleh Snouck Hougronje dan bahkan oleh Konspirasi Yahudi).
Kalau toh ada yang mau mencoret nama Kartini sebagai pahlawan (mestinya 'pahlawati' dalam istilah Bung Karno) Indonesia, bagi saya tidak penting. Itu tidak akan pernah bisa menghapus pikiran-pikirannya yang telah ditulis dan hingga kini tetap aktual bisa dibaca. Hasil tulisan itu disetting atau tidak, dan lepas dari berbagai sinisme, "Door Duisternis Tot Licht" pada faktanya telah menginspirasi banyak anak bangsa. Terima kasih Kartini, yang telah menulis pemikirannya!
Bagi saya pribadi, mengenang Kartini teramat sangat asyik, karena beliau meninggalkan pemikiran secara tertulis (meski bentuknya adalah surat-surat pribadi). Dari sana, ia meninggalkan dokumen otentik, yakni pemikiran-pemikirannya (meski khas terjadi di Indonesia, ada yang mempersoalkan bahwa ia di-instal oleh Snouck Hougronje dan bahkan oleh Konspirasi Yahudi).
Kalau toh ada yang mau mencoret nama Kartini sebagai pahlawan (mestinya 'pahlawati' dalam istilah Bung Karno) Indonesia, bagi saya tidak penting. Itu tidak akan pernah bisa menghapus pikiran-pikirannya yang telah ditulis dan hingga kini tetap aktual bisa dibaca. Hasil tulisan itu disetting atau tidak, dan lepas dari berbagai sinisme, "Door Duisternis Tot Licht" pada faktanya telah menginspirasi banyak anak bangsa. Terima kasih Kartini, yang telah menulis pemikirannya!
Memperingati Kartini dengan Membacai Pikirannya
“Panggil aku Kartini saja,” demikian kata Kartini, sekali pun pada waktu itu, ia adalah anak seorang Adipati dan memang menyandang gelar ningrat sebagai Raden Ajeng. “Yang tidak berani, tidak menang,” demikian katanya lagi di suratnya yang lain, sekali pun ia tahu ia kalah atau dikalahkan. Tapi ia meyakini, bahwa, “Kalau orang Jawa (sekiranya konsep negara bangsa Indonesia sudah ada dan dikenalinya, mungkin istilah itu akan berubah menjadi "Indonesia") berpendidikan, ia tidak akan lagi mengiakan dan mengamini saja segala sesuatu yang ingin dikatakan atau diwajibkan kepadanya oleh atasannya.” Karena, “Betapa luas dan indah sebuah sangkar, penuh kenikmatan, bagi burung di dalamnya sangkar itu adalah kurungan.” Maka keyakinannya, “Habis malam terbitlah cahaya, habis topan datanglah reda, habis juang datanglah mulia, habis duka datanglah suka.” Sekali pun pada akhirnya, dalam taksu keimanannya, ia menulis, “Aku ingin menjadi hamba Allah.” Kutipan-kutipan dari ungkapan-ungkapan Kartini di atas, menunjukkan betapa Kartini adalah seorang manusia yang cerdas. Dalam usia yang sangat muda, ia mampu mengungkapkan, menganalisis, menyelipkan sinisme yang cerdas dalam tulisan-tulisannya. Kesan kedua adalah keberaniaannya. Sebagaimana semboyannya, “yang tidak berani tidak menang, orang pemberani menaklukkan tiga perempat dunia.” Sekali pun tragedi kehidupannya tidaklah mudah, bahkan harus dengan mengorbankan cita-citanya. Bagi kaum perempuan Indonesia, memperingati Hari Kartini (21 April) dengan memakai kebaya atau pakaian adat, tentu tak salah. Namun, memperingati Kartini dengan membaca pikiran-pikirannya (yang terdokumentasikan dengan baik dan dapat diakses hingga kini, secara lebih lengkap dan otentik dibanding, maafkan, tokoh-tokoh perempuan pejuang yang lain), adalah juga kegiatan yang mempesona, apalagi dengan mengerti makna dan mempraktikkannya. Apalagi Kartini adalah sosok pemikir lintas agama, lintas gender, dan lintas bangsa. Ia manusia universal, dan bahkan beberapa pandangannya tentang agama, sungguh sangat tajam dan liberal bagi jaman sekarang ini. Berikut beberapa pemikiran Kartini yang dikutipkan dari berbagai surat-surat Kartini pada teman-temannya di Belanda. Banyak kebijaksanaan lain yang bisa kita dapatkan dalam sosok Kartini. Berikut ini sebagian kutipan dari surat-surat dan karya-karyanya yang bisa diambil dan dibagikan kepada kawan-kawan untuk bahan pembelajaran bersama. 25 Mei 1899 | Panggil aku Kartini saja, itulah namaku. 25 Mei 1899 | Jika saja masih anak-anak ketika kata-kata "emansipasi" belum ada bunyinya, belum berarti lagi bagi pendengaran saya, karangan dan kitab-kitab tentang kebangunan kaum putri masih jauh dari angan-angan saja, tetapi di kala itu telah hidup di dalam hati sanubari saya satu keinginan yang kian lama kian kuat, ialah keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri. 18 Agustus 1899 | Bagi saya hanya dua macam kebangsawanan: bangsawan jiwa dan bangsawan budi. Pada pikiran saya tidak ada yang lebih gila, lebih bodoh daripada melihat orang-orang yang membanggakan apa yang disebut “keturunan bangsawan” itu. 6 Nopember 1899 | Duh, Tuhan, kadang aku ingin, hendaknya tiada satu agama di pun di atas dunia ini. Karena agama-agama ini, yang justru harus persatukan semua orang, sepanjang abad-abad telah lewat menjadi biang-keladi peperangan dan perpecahan, dari drama-drama pembunuhan yang paling kejam. Agustus 1900 | Betapapun indah dan bagus serta penuh kemewahan kurungan itu, bagi si burung yang terkurung di dalamnya, dia tetaplah kurungan! 7 Oktober 1900 | Saya tahu, jalan yang hendak saya tempuh itu sukar, penuh duri, onak, lubang; jalan itu berbatu-batu, berjendal-jendul, licin,... belum dirintis! Dan walaupun saya tidak beruntung sampai ke ujung jalan itu, walaupun saya sudah akan patah di tengah jalan, saya akan mati dengan bahagia. Sebab jalan itu sudah terbuka, dan saya turut membantu merentas jalan yang menuju ke kebebasan dan kemerdekaan perempuan Bumiputera. 7 Oktober 1900 | Hidup ini patut kita hayati! Bagaimana kita mau menang kalau kita tidak berjuang lebih dahulu? Dan dengan bergulat kita memperoleh kekuatan. Dan dengan tersesat-sesat kita menemukan jejak. 1900 | Tetapi apakah kecerdasan pikiran itu sudah berarti segala-galanya? Bila orang hendak sungguh-sungguh memajukan peradaban, maka kecerdasan pikiran dan pertumbuhan budi harus sama-sama dimajukan. Salah satu sifat orang Jawa yang tidak baik, yang kalau perlu dibasmi ialah sifat gila sanjungan. 21 Juni 1901 | Ada kewajiban besar yang disebut rasa terima kasih; ada kewajiban luhur, suci, namanya cinta kasih anak; dan ada kejahatan, memuakkan dan sangat menjijikkan, egoisme namanya! Aduh! Dalam beberapa hal, sukar sekali menetapkan dimana yang baik berhenti, dan dimana yang jelek dimulai. 4 September 1901 | Pergi, garap kerjamu melaksanakan cita-cita; kerja buat hari depan; kerja buat kesejahteraan ribuan, yang terbungkuk-bungkuk di bawah tindasan hukum-hukum yang tidak adil, di bawah paham palsu tentang baik dan buruk; pergi, pergi, menderitalah dan berjuanglah tapi kerjalah bagi keabadian! 11 Oktober 1901 | Dalam kawruh Jawa terdapat banyak petuah yang sangat bagus. Hanya sayangnya, tidak semua orang dapat mengerti simbolik. 31 Desember 1901 | Sudah pastilah, bahwa dunia Pribumi akan menentang aku,... Orang akan menganggap aku gila. Namun, gagasan itu indah, yaitu dengan melalui pers memperjuangkan cita-cita. 10 Juni 1902 | Bukan terhadap kaum pria kami melancarkan peperangan. Tetapi terhadap anggapan kuno, adat, yang tidak lagi mendatangkan kebajikan bagi Jawa kami di kemudian hari, dan juga dengan beberapa orang lain kami akan bersama-sama jadi pelopornya. 21 Juli 1902 | Selalu menurut paham dan pengertian kami, inti segala agama adalah Kebajikan, yang membuat setiap agama menjadi baik dan indah. Tapi, duh! Orang-orang ini apakah yang telah kalian perbuat atasnya! 15 Agustus 1902 | Tiada terang yang tiada didahului oleh gelap,... Mengendalikan diri adalah kemenangan jiwa atas tubuh; kesunyian adalah jalan ke arah pemikiran. 15 Agustus 1902 | Tuhan kami adalah nurani, neraka dan sorga kami adalah nurani kami. Dengan melakukan kejahatan, nurani kamilah yang menghukum kami; dengan melakukan kebajikan, nurani kami pulalah yang memberi karunia. 15 Agustus 1902 | Habis malam terbitlah terang. Habis badai datanglah damai. Habis juang sampailah menang. Habis duka tibalah suka. 27 Oktober 1902 | Vegetarisme itu doa tanpa kata kepada yang Mahatinggi. 12 Desember 1902 | Kami berikhtiar supaya kami teguh sungguh, sehingga kami sanggup berdiri sendiri. Menolong diri-sendiri. Menolong diri-sendiri itu kerap kali lebih sukar dari pada menolong orang lain. Dan siapa yang dapat menolong dirinya sendiri, akan dapat menolong orang lain dengan lebih sempurna pula.
Rabu, April 04, 2012
“Politisi tidak pernah percaya akan ucapan mereka sendiri,” demikian diujarkan oleh presiden pertama Perancis, Charles de Gaulle, “karena itulah mereka sangat terkejut bila rakyat mempercayainya.” Karena itu, si pemimpin Nazi, Adolf Hitler, berkata, “Alangkah beruntungnya penguasa, bila rakyatnya tidak bisa berpikir,...”
Dongeng Bung Karno dan Mentraktir Kopi
Karena sering ditraktir teman, tak enak juga buat Sukarno untuk tak membalasnya. Meski ia tukang insinyur dan pemimpin pergerakan, tapi Sukarno di decade 20-an tetap saja tongpes. Syahdan, pada satu sore, datanglah Sutoto, hendak berunding dengan sang pemimpin pergerakan.
Sutoto ini temen kuliah Sukarno, dan selalu mentraktir secangkir kopi atau peuyeum di kedai tengah kota Bandung, saat Sukarno sedang dan lagi-lagi sedang tongpes.
Turun dari sepeda, nafas Sutoto tampak terengah. Maklum, untuk mencapai rumah Sukarno, ia harus mendayung sepeda setengah jam lamanya. Sebagai tuan rumah yang baik, Sukarno kasihan juga melihat Sutoto, tapi, apa kata Sukarno? “Maaf To, aku tidak dapat bertindak sebagai tuan rumah yang baik untukmu. Aku tidak punya uang,…”
Mangsud Sukarno, karena tak punya uang, ia tak bisa menyajikan minuman atau nyamikan makanan kecil pada tamunya yang kerap mentraktirnya, dan saat itu, sedang kehausan!
Sutoto pun mendesah, “Ah,… Bung selalu tidak punya uang!”
Keduanya pun duduk terdiam menikmati kebekuan suasana. Sutoto dengan kepayahannya. Sukarno dengan,… (mungkin mikir, mau bales nraktir, kok tongpes mulu).
Tiba-tiba melintas seorang wartawan, naik sepeda dengan tergopoh.
“Hei, mau kemana?” Sukarno berteriak pada sang wartawan.
“Cari tulisan untuk koranku,” si wartawan menjawab sambil berteriak pula.
“Aku akan buatkan untukmu,” kata Sukarno.
“Berapa?” tanya si wartawan sambil memperlambat laju sepedanya.
“Sepuluh rupiah,” Sukarno berkata sembari mengejar si wartawan.
Mendengar jawaban Sukarno, si wartawan tidak menjawab tetapi seperti hendak mempercepat kembali jalan sepedanya.
“Oke, lima rupiah!” teriak Sukarno.
Tidak juga ada jawaban.
Sukarno pun menurunkan tawarannya, “Dua rupiah bagaimana, akan kubuatkan tulisan. Setuju?”
Si wartawan pun berhenti, dan memutar arah sepedanya, mendekat ke rumah Sukarno (tepatnya rumah Ibu Inggit, isteri Sukarno waktu itu).
Sementara si wartawan ngobrol dengan Sutoto di serambi rumah, Sukarno pun menulis. Dalam waktu lima belas menit, ia sudah menyelesaikan tulisan 1.000 kata, untuk si wartawan.
Bagi Sukarno muda, tidak ada yang sulit untuk membuat satu tulisan. Terlalu banyak gagasan dan pikiran, serta persoalan politik, yang bisa ia tuliskan, dengan tanpa mencoret atau mengganti satu patah kata pun.
Dan, dengan bayaran dua rupiah itu, Sukarno pun membawa Sutoto, beserta Ibu Inggit, minum kopi serta menikmati peuyeum, di sore hari yang cerah, di tengah kota Bandung. | Sedikit digubah dari tulisan Roso Daras.
Sutoto ini temen kuliah Sukarno, dan selalu mentraktir secangkir kopi atau peuyeum di kedai tengah kota Bandung, saat Sukarno sedang dan lagi-lagi sedang tongpes.
Turun dari sepeda, nafas Sutoto tampak terengah. Maklum, untuk mencapai rumah Sukarno, ia harus mendayung sepeda setengah jam lamanya. Sebagai tuan rumah yang baik, Sukarno kasihan juga melihat Sutoto, tapi, apa kata Sukarno? “Maaf To, aku tidak dapat bertindak sebagai tuan rumah yang baik untukmu. Aku tidak punya uang,…”
Mangsud Sukarno, karena tak punya uang, ia tak bisa menyajikan minuman atau nyamikan makanan kecil pada tamunya yang kerap mentraktirnya, dan saat itu, sedang kehausan!
Sutoto pun mendesah, “Ah,… Bung selalu tidak punya uang!”
Keduanya pun duduk terdiam menikmati kebekuan suasana. Sutoto dengan kepayahannya. Sukarno dengan,… (mungkin mikir, mau bales nraktir, kok tongpes mulu).
Tiba-tiba melintas seorang wartawan, naik sepeda dengan tergopoh.
“Hei, mau kemana?” Sukarno berteriak pada sang wartawan.
“Cari tulisan untuk koranku,” si wartawan menjawab sambil berteriak pula.
“Aku akan buatkan untukmu,” kata Sukarno.
“Berapa?” tanya si wartawan sambil memperlambat laju sepedanya.
“Sepuluh rupiah,” Sukarno berkata sembari mengejar si wartawan.
Mendengar jawaban Sukarno, si wartawan tidak menjawab tetapi seperti hendak mempercepat kembali jalan sepedanya.
“Oke, lima rupiah!” teriak Sukarno.
Tidak juga ada jawaban.
Sukarno pun menurunkan tawarannya, “Dua rupiah bagaimana, akan kubuatkan tulisan. Setuju?”
Si wartawan pun berhenti, dan memutar arah sepedanya, mendekat ke rumah Sukarno (tepatnya rumah Ibu Inggit, isteri Sukarno waktu itu).
Sementara si wartawan ngobrol dengan Sutoto di serambi rumah, Sukarno pun menulis. Dalam waktu lima belas menit, ia sudah menyelesaikan tulisan 1.000 kata, untuk si wartawan.
Bagi Sukarno muda, tidak ada yang sulit untuk membuat satu tulisan. Terlalu banyak gagasan dan pikiran, serta persoalan politik, yang bisa ia tuliskan, dengan tanpa mencoret atau mengganti satu patah kata pun.
Dan, dengan bayaran dua rupiah itu, Sukarno pun membawa Sutoto, beserta Ibu Inggit, minum kopi serta menikmati peuyeum, di sore hari yang cerah, di tengah kota Bandung. | Sedikit digubah dari tulisan Roso Daras.
Minggu, April 01, 2012
Tanggapan atas Pidato Presiden Soal Batalnya Kenaikan Harga BBM
Saya sudah menyimak pidato Tuan Presiden, dalam menanggapi hasil sidang paripurna membahas RAPBN Perubahan 2012, dan saya berusaha untuk mengerti. Satu point yang saya ingat, Tuan Presiden berkata, bahwa menaikkan harga BBM adalah jalan paling terakhir. Kalimat itu menyiratkan, ada beberapa pilihan, sebelum menaikkan harga BBM sebagai pilihan terakhir. Saya akan bertolak dari kata-kata Tuan Presiden ini.
Yang sering digelapkan pada kita, Tuan Presiden, adalah ruang pilihan bagi pemerintah, yang seolah-olah hanya "menaikkan harga BBM". Padahal mesti dilihat filosofinya, dari UUD kita berkait pasal 33, kemudian yang paling jelas adalah keputusan Mahkamah Kontitusi berkait soal produk migas "negara tidak boleh mengikuti harga pasar". Maka pasal 7 ayat 6 dari UU APBN Perubahan 2012 dikunci dengan kalimat pemerintah tidak boleh menaikkan harga BBM.
Namun, kemarin, DPR dari Setgab Koalisi telah memutuskan dengan memberi ruang pada pemerintah, yang istilah mereka "domain pemerintah". Sekali lagi, apakah domain pemerintah hanya menaikkan harga BBM (dan tidak memikirkan dampak berantainya? Sebagaimana sekarang terlihat, harga BBM tak jadi naik, namun karena isyu kenaikan BBM, kini pasar sudah bergejolak, dan seperti biasa, pemerintah tak bisa mengendalikan).
Betapa menyedihkan. Jangankan mengendalikan pasar minyak dunia, ngendalikan pasar cabe atau brambang, bawang, beras, lenga klentik, dan para sembako lainnya di pasar lokal saja (yang sudah terlanjur naik), pemerintah kagak becus. Untuk menutupi ketidakbecusannya, calon presiden RI 2014 Hatta Rajasa ngomong: "Tidak ada gejolak pasar,..." sementara teori Menko Polhukam, "Kalau masih ada pedagang bakso yang jualan, artinya semua berjalan normal,...!" Kualitas pernyataan itu menunjuk kualitas dan kesungguhan otak para pembantu Tuan Presiden.
Tuan Presiden, ruang pemerintah saya kira masih banyak. Dan itu sangat tergantung kecanggihan Tuan sebagai Presiden. Efisiensi birokrasi, pengetatan anggaran, meminimalkan korupsi, dan bahkan tentu meninjau ulang bagaimana kita sebagai negara penghasil minyak mentah tapi menjadi pengimport minyak mateng? Belum lagi soal permainan selisih harga yang pertahun diduga memberi keuntungan Rp 97 trilyun (mohon bantahlah jika hitungan ini salah).
Masih banyak opsi bagi pemerintah untuk mengatasi hal itu. Lihat Malaysia yang dalam hal minyak belajar dari Pertamina, tapi mereka jauh lebih bagus. Kenapa? Itu tadi, karena ruang pilihan bukan hanya soal "harga minyak".
Sementara, kalau soal "wajah DPR" adalah cerminan pilihan rakyat. Tentu saja. Tapi, kalau di sana yang terjadi pengkhianatan oleh DPR pada rakyat, apakah rakyat yang dikhianati itu salah? Yang salah adalah yang berkhianat.
Tuan Presiden, bagaimana mengukur pengkhianatan DPR? Mestinya mereka mewakili rakyat, mengawasi kerja pemerintah agar efektif dan efisien, soal pengetatan anggaran dan pemberantasan korupsi, bukan hanya memberi legitimasi untuk melanggar konstitusi dengan membuat undang-undang yang penuh dengan pasal dan ayat karet. Apalagi, justeru mereka sendiri bahkan terlibat dan in-efisiensi itu dengan menghamburkan anggaran, bermewah-mewah menuntut fasilitas, dan apalagi terlibat korupsi anggaran.
Drama politik soal "harga minyak" itu sendiri, dilihat dari mekanismenya, sudah menunjukkan gejala "kenaikan harga BBM" sebagai harga mati bagi pemerintahan SBY. Bagaimana molornya sidang dengan begitu lamanya lobby tanpa batas waktu, dan tahu-tahu, pada malam harinya (setelah pendemo dipukul mundur Polisi), sidang dilanjutkan dan "kekurangan waktu".
Permainan deadlock itu, berhasil mendesakkan pilihan memasukkan ayat 6a pada pasal 7 UU APBN Perubahan 2012. Bukan pada pilihan voting soal pasal 6a perlu atau tidak, namun dilebarkan menjadi Pasal 7 ayat 6 vs Pasal 7 ayat 6 + 6a. Nah, jika sampai di situ, apakah rakyat bisa masuk untuk mengingatkan? Apakah kita tidak melihat mahasiswa di fraksi balkon digebugi pamdal DPR, dan di halaman gedung DPR demonstrans ditembaki polisi meski dengan bedil gas air mata? Halaman gedung DPR-MPR di Senayan pada Jumat malam itu, tak jauh beda dengan situasi pesta kembang api dalam perang Iran-Irak. Sebegitunyakah?
Karenanya, kesimpulan "bodohnya DPR" cerminan bodohnya rakyat, bagi saya pendapat yang menyesatkan, Tuan Presiden. Demokrasi formal dalam tahap elementer, tidak bisa dinilai dengan pandangan normatif, karena selalu bersifat kasuistik.
Persoalan yang mengkhawatirkan Tuan Presiden, berkait dengan pasal 7 ayat 6 dan 6a dalam UU APBN Perubahan 2012; Bagaimana jika keputusan itu kemudian dianulir oleh Mahkamah Kontitusi berkait gugatan masyarakat mengenai produk UU yang lemah dari sisi ideologis dan spiritnya? Bukankah Tuan Presiden akan digantung kewenangannya? Dan yang menggantung adalah partai-partai koalisi yang mendukung sampeyan? Dan kondisi ekonomi kita akan diombang-ambingkan isyu pasar yang tak jelas? Pagi-pagi Wamen ESDM yang wong pinter itu sudah berkata, tanggal 1 Mei 2012 harga BBM sudah bisa naik. Sementara perhitungan lain, 1 Juli, 1 Agustus 2012, harga BBM bisa naik karena fluktuasi pasar dunia. Apakah Tuan Presiden melihat hal itu tidak contra-productive? Apakah itu bagus akibatnya bagi rakyat dan stabilitas negara, yang selalu Tuan Presiden minta, agar iklim pertumbuhan ekonomi kita terjaga?
Maafkan, Tuan Presiden. Rakyat bisa jadi tidak suka pada politik, tetapi saya bisa ingatkan, rakyat tidaklah a-politis dan buta politik, meski mungkin tidak mengetahui apa itu praksis politik kekuasaan. Itu tentu menjadi makin buruk akibatnya bagi sampeyan, Tuan Presiden.
Cobalah Tuan Presiden berfikir jujur, untuk kemudian bertindak jujur. Apakah Tuan sudah bekerja keras, untuk membuat pemerintahan yang efektif dan efisien, bersih dan berwibawa, tidak korupsi, mengetatkan anggaran yang tak perlu, mampu memberantas ekonomi rente, dan sebagainya? Tuan Presiden selalu membanggakan diri dipilih 60% rakyat Indonesia, tapi perilaku Tuan tidak mencerminkan semua itu. Sayang sekali, jika kelak Tuan akan dikenang sebagai Presiden paling tidak jelas dalam sejarah bangsa dan negara ini. Sumber masalahnya, Tuan Presiden, di mana pun, keraguan untuk membuat kesempurnaan, selalu berakibat pada blunder. Itulah kenapa seorang pemimpin adalah juga soal keberanian mengambil tanggung jawab, bukan mencari dan menciptakan bumper-bumper. Oh, ya, ngapain juga mesti menurunkan marinir, untuk melawan massa sipil yang sama sekali tak bersenjata?
Selamat berhari Minggu bersama keluarga, Tuan Presiden!
Salam saya,
Sunardian Wirodono
Yang sering digelapkan pada kita, Tuan Presiden, adalah ruang pilihan bagi pemerintah, yang seolah-olah hanya "menaikkan harga BBM". Padahal mesti dilihat filosofinya, dari UUD kita berkait pasal 33, kemudian yang paling jelas adalah keputusan Mahkamah Kontitusi berkait soal produk migas "negara tidak boleh mengikuti harga pasar". Maka pasal 7 ayat 6 dari UU APBN Perubahan 2012 dikunci dengan kalimat pemerintah tidak boleh menaikkan harga BBM.
Namun, kemarin, DPR dari Setgab Koalisi telah memutuskan dengan memberi ruang pada pemerintah, yang istilah mereka "domain pemerintah". Sekali lagi, apakah domain pemerintah hanya menaikkan harga BBM (dan tidak memikirkan dampak berantainya? Sebagaimana sekarang terlihat, harga BBM tak jadi naik, namun karena isyu kenaikan BBM, kini pasar sudah bergejolak, dan seperti biasa, pemerintah tak bisa mengendalikan).
Betapa menyedihkan. Jangankan mengendalikan pasar minyak dunia, ngendalikan pasar cabe atau brambang, bawang, beras, lenga klentik, dan para sembako lainnya di pasar lokal saja (yang sudah terlanjur naik), pemerintah kagak becus. Untuk menutupi ketidakbecusannya, calon presiden RI 2014 Hatta Rajasa ngomong: "Tidak ada gejolak pasar,..." sementara teori Menko Polhukam, "Kalau masih ada pedagang bakso yang jualan, artinya semua berjalan normal,...!" Kualitas pernyataan itu menunjuk kualitas dan kesungguhan otak para pembantu Tuan Presiden.
Tuan Presiden, ruang pemerintah saya kira masih banyak. Dan itu sangat tergantung kecanggihan Tuan sebagai Presiden. Efisiensi birokrasi, pengetatan anggaran, meminimalkan korupsi, dan bahkan tentu meninjau ulang bagaimana kita sebagai negara penghasil minyak mentah tapi menjadi pengimport minyak mateng? Belum lagi soal permainan selisih harga yang pertahun diduga memberi keuntungan Rp 97 trilyun (mohon bantahlah jika hitungan ini salah).
Masih banyak opsi bagi pemerintah untuk mengatasi hal itu. Lihat Malaysia yang dalam hal minyak belajar dari Pertamina, tapi mereka jauh lebih bagus. Kenapa? Itu tadi, karena ruang pilihan bukan hanya soal "harga minyak".
Sementara, kalau soal "wajah DPR" adalah cerminan pilihan rakyat. Tentu saja. Tapi, kalau di sana yang terjadi pengkhianatan oleh DPR pada rakyat, apakah rakyat yang dikhianati itu salah? Yang salah adalah yang berkhianat.
Tuan Presiden, bagaimana mengukur pengkhianatan DPR? Mestinya mereka mewakili rakyat, mengawasi kerja pemerintah agar efektif dan efisien, soal pengetatan anggaran dan pemberantasan korupsi, bukan hanya memberi legitimasi untuk melanggar konstitusi dengan membuat undang-undang yang penuh dengan pasal dan ayat karet. Apalagi, justeru mereka sendiri bahkan terlibat dan in-efisiensi itu dengan menghamburkan anggaran, bermewah-mewah menuntut fasilitas, dan apalagi terlibat korupsi anggaran.
Drama politik soal "harga minyak" itu sendiri, dilihat dari mekanismenya, sudah menunjukkan gejala "kenaikan harga BBM" sebagai harga mati bagi pemerintahan SBY. Bagaimana molornya sidang dengan begitu lamanya lobby tanpa batas waktu, dan tahu-tahu, pada malam harinya (setelah pendemo dipukul mundur Polisi), sidang dilanjutkan dan "kekurangan waktu".
Permainan deadlock itu, berhasil mendesakkan pilihan memasukkan ayat 6a pada pasal 7 UU APBN Perubahan 2012. Bukan pada pilihan voting soal pasal 6a perlu atau tidak, namun dilebarkan menjadi Pasal 7 ayat 6 vs Pasal 7 ayat 6 + 6a. Nah, jika sampai di situ, apakah rakyat bisa masuk untuk mengingatkan? Apakah kita tidak melihat mahasiswa di fraksi balkon digebugi pamdal DPR, dan di halaman gedung DPR demonstrans ditembaki polisi meski dengan bedil gas air mata? Halaman gedung DPR-MPR di Senayan pada Jumat malam itu, tak jauh beda dengan situasi pesta kembang api dalam perang Iran-Irak. Sebegitunyakah?
Karenanya, kesimpulan "bodohnya DPR" cerminan bodohnya rakyat, bagi saya pendapat yang menyesatkan, Tuan Presiden. Demokrasi formal dalam tahap elementer, tidak bisa dinilai dengan pandangan normatif, karena selalu bersifat kasuistik.
Persoalan yang mengkhawatirkan Tuan Presiden, berkait dengan pasal 7 ayat 6 dan 6a dalam UU APBN Perubahan 2012; Bagaimana jika keputusan itu kemudian dianulir oleh Mahkamah Kontitusi berkait gugatan masyarakat mengenai produk UU yang lemah dari sisi ideologis dan spiritnya? Bukankah Tuan Presiden akan digantung kewenangannya? Dan yang menggantung adalah partai-partai koalisi yang mendukung sampeyan? Dan kondisi ekonomi kita akan diombang-ambingkan isyu pasar yang tak jelas? Pagi-pagi Wamen ESDM yang wong pinter itu sudah berkata, tanggal 1 Mei 2012 harga BBM sudah bisa naik. Sementara perhitungan lain, 1 Juli, 1 Agustus 2012, harga BBM bisa naik karena fluktuasi pasar dunia. Apakah Tuan Presiden melihat hal itu tidak contra-productive? Apakah itu bagus akibatnya bagi rakyat dan stabilitas negara, yang selalu Tuan Presiden minta, agar iklim pertumbuhan ekonomi kita terjaga?
Maafkan, Tuan Presiden. Rakyat bisa jadi tidak suka pada politik, tetapi saya bisa ingatkan, rakyat tidaklah a-politis dan buta politik, meski mungkin tidak mengetahui apa itu praksis politik kekuasaan. Itu tentu menjadi makin buruk akibatnya bagi sampeyan, Tuan Presiden.
Cobalah Tuan Presiden berfikir jujur, untuk kemudian bertindak jujur. Apakah Tuan sudah bekerja keras, untuk membuat pemerintahan yang efektif dan efisien, bersih dan berwibawa, tidak korupsi, mengetatkan anggaran yang tak perlu, mampu memberantas ekonomi rente, dan sebagainya? Tuan Presiden selalu membanggakan diri dipilih 60% rakyat Indonesia, tapi perilaku Tuan tidak mencerminkan semua itu. Sayang sekali, jika kelak Tuan akan dikenang sebagai Presiden paling tidak jelas dalam sejarah bangsa dan negara ini. Sumber masalahnya, Tuan Presiden, di mana pun, keraguan untuk membuat kesempurnaan, selalu berakibat pada blunder. Itulah kenapa seorang pemimpin adalah juga soal keberanian mengambil tanggung jawab, bukan mencari dan menciptakan bumper-bumper. Oh, ya, ngapain juga mesti menurunkan marinir, untuk melawan massa sipil yang sama sekali tak bersenjata?
Selamat berhari Minggu bersama keluarga, Tuan Presiden!
Salam saya,
Sunardian Wirodono
Langganan:
Postingan (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...