Sabtu, Februari 26, 2011
Revolusi Belum Selesai. Revolusi 'Cem Mana?
Jika kita mengutip kata-kata heroik Bung Karno, "revolusi belum selesai", mungkin kita mengatakan betapa benarnya kata-kata itu, melihat apa yang terjadi di Tunisia, Mesir, Libya, dan beberapa negara Timur Tengah serta Afrika Utara. Tetapi di Indonesia, benarkah revolusi belum selesai? Belum, kata yang anti Nurdin Halid, dan mereka kemudian meneriakkan Revolusi PSSI.
Dengan segenap permohonan maaf, membandingkan yang terjadi di beberapa negara Timur Tengah dengan "PSSI", tentu agak menggelikan, karena kata revolusi di situ terasa gagah dan kegedean, untuk sesuatu yang sederhana, yakni menegakkan hukum atau aturannya.
Revolusi yang dimaksud Bung Karno, ialah mengenai sesuatu yang bersifat paradigmatik, bukan kasuistik. Ialah perubahan drastis, mendasar dan besar-besaran dari satu cara pandang ke cara pandang yang memperbaruinya. Sesuatu yang bersifat basic, elementer, berkaitan dengan ideologi, mindset, cara pandang, mentalitas, cara berfikir, sikap hidup, sebagai buah dari aksi-reaksi keseharian yang dianggap monotone dan involutif, mandeg, kering, menipu.
Jika kita melihat perjalanan bangsa dan negara sejak 1957 (Demokrasi Terpimpin), 1963 (Sekber Golkar), 1966 (Orde Baru), 2009 (Indonesia Bersatu II), revolusi bukan saja sudah selesai, tapi sudah mati. Kita telah sampai pada zona aman bernama rakyat a-politis, apatisme, patron-klien, elitisme politik, dan tidak adanya korelasi lagi antara rakyat dan negara, karena negara dan aparatusnya berselingkuh dengan pasar (dengan berbagai dalih dan bentuk).
Indonesia sudah frozhen, masuk dalam kotak beku formalisme dalam berfikir, pragmatisme dalam bersikap, dan vandalisme dalam bertindak.
Jika demikian, teriakan Bung Karno menjadi relevan, bahwa revolusi belum selesai, karena itulah yang mesti dibongkar. Revolusi berfikir, revolusi bersikap, dan revolusi bertindak. Keluar dari titik beku bernama zona aman, out of the box. Karena revolusi macam "Revolusi PSSI" pun, tampak sebagai manifestasi dari kebuntuan kita berfikir. Itu hanyalah buah dari elitisme politik dan mekanisme patron-klien. Kasuistik dan bukan substansi. Kalau hukum ditegakkan dan kita punya pemimpin yang jelas, persoalan PSSI itu soal gampang. Betapa menderitanya untuk menurunkan Nurdin Halid saja harus seperti itu. Sangat infotainment!
Yang kita butuhkan revolusi berfikir-bersikap-bertindak. Jika dulu berfikir formal beragama itu ya rajin menjalankan ibadah, harus diubah menjadi beragama itu secara subtansial mampu menggerakkan seluruh tubuh dan jiwa kita untuk berbuat operasional pada manusia juga (bukan hanya pada Tuhan). Jika dulu bersikap pragmatis (segala sesuatu diukur berdasar azas manfaat), otoriter tidak mau mendengar orang lain, sekarang bagaimana bersinergi dengan berbagai kemungkinan. Jika dulu politik barter bagaimana sekarang politik partner. Jika dulu bertindak vandalis, merusak, menang-menangan, goblog-goblogan, bagaimana sekarang menjadi manusiawi, berdialog, menyentuh dan bukan menghajar dengan Allahu Akbar.
Revolusi belum selesai? Revolusi cem mana? Cem PSSI, itu bukan revolusi, tapi itu contoh kecil involusi Indonesia.
Rabu, Februari 23, 2011
Indonesia Bagian Atas dan Bawah
Apa yang dikatakan oleh Dipo Alam, selaku menseskab, semakin menunjukkan, Indonesia pada akhir-akhir ini, memang menuju ke arah negara gagal. Dalam periode SBY kedua ini, persoalannya hanyalah kesibukan berwacana dan, aksi-reaksi di antaranya. Selebihnya tak ada.
Capaian-capaian angka, dalam berbagai hal dan bentuk, tidak secara nyata bisa dimengerti dan dirasa. Tidak ada warta berita mengenai pembangunan, karena senyatanya yang ada kemudian ialah; Kehidupan elite politik dalam berbagai bentuk dan dimensinya, dan di sisi lain rakyat sebagai akibat atau entitas yang paria.
Negara dan rakyat pada sisi akhirnya, ialah sesuatu yang sama sekali tidak bersentuhan dalam artikulasinya. Bahwa mekanisme antara Negara dan rakyat tetap terjadi, namun itu ialah mekanisme dari suatu sistem yang sudah dengan sendirinya.
Namun makna sebagai satu kausalitas, telah kehilangan makna dan fungsi. Karena pada dasarnya, negara dalam konteks aparatus dan para elitenya, sibuk dengan wacana dan agendanya sendiri dengan berbagai dialektikanya, sementara rakyat pada sisi lain, mau tak mau, berjalan sendiri-sendiri, dan karena tuntutan survivalitas, maka mau-tak mau harus mempertahankan kehidupannya itu sendiri, tanpa siapa-siapa. Maka hukum yang tercipta dari dua dunia itu, diciptakan oleh realitas politik dan realitas kehidupan yang bernama "dunia antara", sebuah hukum alam yang menciptaka pasar.
Pasar di Indonesia, dalam berbagai dimensinya, justeru menjadi realitas politik dan sosial kita, karena dialah kemudian yang memegang kendali. Teori Huntington bahwa antara pasar (capital) dengan rakyat (civil society) semestinya berdiri negara yang memoderasi keduanya, tidak berlaku. Yang ada ialah, antara negara dan rakyat sama sekali tidak berhubungan dalam konteks simbiose mutualisme, maka mekanisme alamiah yang mengisi, yakni mekanisme pasar, yang dalam bahasa lain sesungguhnya identik dengan absen atau tak adanya kehadiran negara. Yang muncul ialah hukum rimba. Dalam berbagai level dan macamnya, dalil yang ada ialah siapa kuat, siapa cepat, siapa kaya, siapa pandai, siapa kuat, siapa tega, siapa kuasa yang akan menjadi penentunya. Tidak ada kata-kata moderat yang bisa mengendalikannya, sebagaimana mestinya ada hikmat kebijaksanaan, ukuran, nilai, sebagaimana mekanisme demokrasi yang paling dasar sekali pun.
Para politisi, petinggi dan pejabat negara kemudian sibuk dengan agendanya sendiri, yakni berada dalam lingkaran to be or not to be bagi diri dan kelompoknya. Lingkaran periferalnya, entah bernama pengamat, aktifis, dan sebagainya itu, tak pernah beranjak dari ide-ide to be or not to be. Tidak berkaitan dengan rakyat sebagai satu entitas, kecuali hanya disebut sebagai wacana. Artinya, bahkan para pengamatpun ketika ngomong soal rakyat, juga kehilangan gregetnya, selain hanya sebagai penguat konstatasi dari teori-teori yang dibangunnya. Rakyat hanyalah wacana, bukan alamat yang jelas dengan jarak kedekatan dan arahnya.
Puncaknya, ketika presiden mengritik jajaran di bawahnya, hanyalah akumulasi dari mekanisme yang diciptakannya. Kenapa? Karena presiden hanyalah sebuah status, kedudukan. Namun tidak mempunyai dimensi operasional. Tak lain, demikianlah akibatnya, leadership berubah menjadi dealership. Partnership menjadi bartership.
Dasar dari semua itu, kita tidak pernah serius, atau tahu, bahwa problem kita berada dalam kotak beku orbaisme dengan trianglenya bernama formalisme, pragmatisme, dan vandalisme Indonesia, dari sejak 1957 dari sejak Soekarno merasa partisipasi membutuhkan kepemimpinan, namun Soeharto menegaskan kepemimpinan ialah absolutisme. Kudeta kepemimpinan itulah yang jauh lebih berbahaya dan kita diamkan, baik karena ketidaktahuan ataupun keputusasaan.
Dalam cengkeraman Orde Baru, Soeharto secara sistematis menanamkan formalisme dalam berbagai manifestasinya. Itu tampak pada berbagai sistem dan definisi yang dibangun, hingga tampak dalam praksis keseharian kita. Pendidikan, hukum, dan religiusitas kita pun, direduksi dengan formalisme, dan kini kita memetik hasilnya di segala bidang. Akibat lebih jauh dari itu semua, ialah menguatnya pragmatisme, bahkan pun pada sektor-sektor yang membutuhkan kedewasaan tertentu. Menguatnya pragmatisme dalam pendidikan, hukum, agama, telah merontokkan seluruh sendi kehidupan kita, hingga nilai-nilai kemuliaan tidak lagi pernah menjadi ukuran. Karena ukurannya kemudian menjadi sangat individual atau bahkan personal.
Sampai pada akhirnya, praktik lebih jauh dari formalisme dan pragmatisme, ialah vandalisme. Hukum pasar, ialah istilah lain yang lebih lembut dari hukum rimba. Dan di mana hikmat kebijaksanaan tak ada lagi di sana, kecuali hikmat kepenguasaan.
SBY, apalagi 2014, tidak akan mampu menyelesaikan Indonesia menjadi lebih baik, karena bukan hanya tidak memiliki konsep, melainkan juga ketiadaan nilai-nilai leadership atau kepemimpinannya. Para penggantinya pun kelak, juga belum tentu mampu mengubah menjadi lebih baik.
Kenapa? Karena kita tidak pernah bersatu untuk sejenak berhenti merenung, mengakui kenyataan, menentukan sikap dan prioritas, dan bersatu-padu menjalankannya. Selama yang bernama grand-design menjadi hide-design, negara gagal itu semakin nyata. Dan bayangan ketakutan Sukarno dan kawan-kawan bangsa Indonesia akan menjadi kuli bagi negara lain, perlahan justeru diujudkan oleh para aparatus negara dan para akademisi dengan dalil-dalil teori makronya.
Tak pernah ada bayangan masa depan negara, kecuali masa depan masing-masing pribadi. Dan bangsa yang sibuk dengan persoalan-persoalan diri-pribadi itu, ialah bangsa yang sulit untuk keluar dari kotak keterpurukannya. Mau mengadakan revolusi? Bangsa seperti ini tidak bisa dipercaya untuk ber-revolusi, karena hanya melahirkan tetironnya. Bahkan mungkin lebih buruk, sebagaimana Soeharto yang buruk menghasilan kepemimpinan yang lebih buruk lagi, sekarang ini.
Berbagai problem yang muncul dalam berbagai bentuknya sekarang ini, karena memang kita tidak mempunyai pemimpin sama sekali. Pemimpin yang mengatur "semua pemimpin" yang ada. Dan itu masalah terbesar kita.
Dan Indonesia menjadi terbelah pada bagian atas dan bawah. Antara keduanya, sama sekali tidak bersinggungan. Karenanya, jangan heran, jika masalah yang sederhana jadi tampak sulit. Dari soal film Hollywood hingga menurunkan Nurdin Halid pun, bisa bertele-tele. | Sunardian Wirodono
Capaian-capaian angka, dalam berbagai hal dan bentuk, tidak secara nyata bisa dimengerti dan dirasa. Tidak ada warta berita mengenai pembangunan, karena senyatanya yang ada kemudian ialah; Kehidupan elite politik dalam berbagai bentuk dan dimensinya, dan di sisi lain rakyat sebagai akibat atau entitas yang paria.
Negara dan rakyat pada sisi akhirnya, ialah sesuatu yang sama sekali tidak bersentuhan dalam artikulasinya. Bahwa mekanisme antara Negara dan rakyat tetap terjadi, namun itu ialah mekanisme dari suatu sistem yang sudah dengan sendirinya.
Namun makna sebagai satu kausalitas, telah kehilangan makna dan fungsi. Karena pada dasarnya, negara dalam konteks aparatus dan para elitenya, sibuk dengan wacana dan agendanya sendiri dengan berbagai dialektikanya, sementara rakyat pada sisi lain, mau tak mau, berjalan sendiri-sendiri, dan karena tuntutan survivalitas, maka mau-tak mau harus mempertahankan kehidupannya itu sendiri, tanpa siapa-siapa. Maka hukum yang tercipta dari dua dunia itu, diciptakan oleh realitas politik dan realitas kehidupan yang bernama "dunia antara", sebuah hukum alam yang menciptaka pasar.
Pasar di Indonesia, dalam berbagai dimensinya, justeru menjadi realitas politik dan sosial kita, karena dialah kemudian yang memegang kendali. Teori Huntington bahwa antara pasar (capital) dengan rakyat (civil society) semestinya berdiri negara yang memoderasi keduanya, tidak berlaku. Yang ada ialah, antara negara dan rakyat sama sekali tidak berhubungan dalam konteks simbiose mutualisme, maka mekanisme alamiah yang mengisi, yakni mekanisme pasar, yang dalam bahasa lain sesungguhnya identik dengan absen atau tak adanya kehadiran negara. Yang muncul ialah hukum rimba. Dalam berbagai level dan macamnya, dalil yang ada ialah siapa kuat, siapa cepat, siapa kaya, siapa pandai, siapa kuat, siapa tega, siapa kuasa yang akan menjadi penentunya. Tidak ada kata-kata moderat yang bisa mengendalikannya, sebagaimana mestinya ada hikmat kebijaksanaan, ukuran, nilai, sebagaimana mekanisme demokrasi yang paling dasar sekali pun.
Para politisi, petinggi dan pejabat negara kemudian sibuk dengan agendanya sendiri, yakni berada dalam lingkaran to be or not to be bagi diri dan kelompoknya. Lingkaran periferalnya, entah bernama pengamat, aktifis, dan sebagainya itu, tak pernah beranjak dari ide-ide to be or not to be. Tidak berkaitan dengan rakyat sebagai satu entitas, kecuali hanya disebut sebagai wacana. Artinya, bahkan para pengamatpun ketika ngomong soal rakyat, juga kehilangan gregetnya, selain hanya sebagai penguat konstatasi dari teori-teori yang dibangunnya. Rakyat hanyalah wacana, bukan alamat yang jelas dengan jarak kedekatan dan arahnya.
Puncaknya, ketika presiden mengritik jajaran di bawahnya, hanyalah akumulasi dari mekanisme yang diciptakannya. Kenapa? Karena presiden hanyalah sebuah status, kedudukan. Namun tidak mempunyai dimensi operasional. Tak lain, demikianlah akibatnya, leadership berubah menjadi dealership. Partnership menjadi bartership.
Dasar dari semua itu, kita tidak pernah serius, atau tahu, bahwa problem kita berada dalam kotak beku orbaisme dengan trianglenya bernama formalisme, pragmatisme, dan vandalisme Indonesia, dari sejak 1957 dari sejak Soekarno merasa partisipasi membutuhkan kepemimpinan, namun Soeharto menegaskan kepemimpinan ialah absolutisme. Kudeta kepemimpinan itulah yang jauh lebih berbahaya dan kita diamkan, baik karena ketidaktahuan ataupun keputusasaan.
Dalam cengkeraman Orde Baru, Soeharto secara sistematis menanamkan formalisme dalam berbagai manifestasinya. Itu tampak pada berbagai sistem dan definisi yang dibangun, hingga tampak dalam praksis keseharian kita. Pendidikan, hukum, dan religiusitas kita pun, direduksi dengan formalisme, dan kini kita memetik hasilnya di segala bidang. Akibat lebih jauh dari itu semua, ialah menguatnya pragmatisme, bahkan pun pada sektor-sektor yang membutuhkan kedewasaan tertentu. Menguatnya pragmatisme dalam pendidikan, hukum, agama, telah merontokkan seluruh sendi kehidupan kita, hingga nilai-nilai kemuliaan tidak lagi pernah menjadi ukuran. Karena ukurannya kemudian menjadi sangat individual atau bahkan personal.
Sampai pada akhirnya, praktik lebih jauh dari formalisme dan pragmatisme, ialah vandalisme. Hukum pasar, ialah istilah lain yang lebih lembut dari hukum rimba. Dan di mana hikmat kebijaksanaan tak ada lagi di sana, kecuali hikmat kepenguasaan.
SBY, apalagi 2014, tidak akan mampu menyelesaikan Indonesia menjadi lebih baik, karena bukan hanya tidak memiliki konsep, melainkan juga ketiadaan nilai-nilai leadership atau kepemimpinannya. Para penggantinya pun kelak, juga belum tentu mampu mengubah menjadi lebih baik.
Kenapa? Karena kita tidak pernah bersatu untuk sejenak berhenti merenung, mengakui kenyataan, menentukan sikap dan prioritas, dan bersatu-padu menjalankannya. Selama yang bernama grand-design menjadi hide-design, negara gagal itu semakin nyata. Dan bayangan ketakutan Sukarno dan kawan-kawan bangsa Indonesia akan menjadi kuli bagi negara lain, perlahan justeru diujudkan oleh para aparatus negara dan para akademisi dengan dalil-dalil teori makronya.
Tak pernah ada bayangan masa depan negara, kecuali masa depan masing-masing pribadi. Dan bangsa yang sibuk dengan persoalan-persoalan diri-pribadi itu, ialah bangsa yang sulit untuk keluar dari kotak keterpurukannya. Mau mengadakan revolusi? Bangsa seperti ini tidak bisa dipercaya untuk ber-revolusi, karena hanya melahirkan tetironnya. Bahkan mungkin lebih buruk, sebagaimana Soeharto yang buruk menghasilan kepemimpinan yang lebih buruk lagi, sekarang ini.
Berbagai problem yang muncul dalam berbagai bentuknya sekarang ini, karena memang kita tidak mempunyai pemimpin sama sekali. Pemimpin yang mengatur "semua pemimpin" yang ada. Dan itu masalah terbesar kita.
Dan Indonesia menjadi terbelah pada bagian atas dan bawah. Antara keduanya, sama sekali tidak bersinggungan. Karenanya, jangan heran, jika masalah yang sederhana jadi tampak sulit. Dari soal film Hollywood hingga menurunkan Nurdin Halid pun, bisa bertele-tele. | Sunardian Wirodono
Selasa, Februari 22, 2011
DIPO ALAM BUKAN DIPONEGORO
DIPO ALAM
Di masa Kabinet Indonesia Bersatu II ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi perintah kolusi.
Di depan sekali tuan menanti
Agak gentar. Iklan media kritis banyaknya seratus kali.
Boikot di kanan, nyonthong di kiri
Berselempang Menseskab yang tak bisa ngarti.
MAUUU
Ini iklan-iklan tak bergenderang-berpalu
Keniscayaan tanda perintah.
Sekali kritis
Sudah itu matikan
MAUUU
Bagimu Bossmu
Menyediakan a fee
Selagi di atas menghamba
Bosan kelamaan ditindas
Sungguh pun mental mesti tergadai
Jika hidup harus menjilati
Mauuu
Ruhut, eh, Rebut
Jilat
Tebang
| Digubah dari puisi "Diponegoro" karya Chairil Anwar (1943), yang aselinya ada di bawah ini;
DIPONEGORO
| Chairil Anwar
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sungguh pun ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
| Februari 1943. Budaya, Th III, No. 8. Agustus 1954
Di masa Kabinet Indonesia Bersatu II ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi perintah kolusi.
Di depan sekali tuan menanti
Agak gentar. Iklan media kritis banyaknya seratus kali.
Boikot di kanan, nyonthong di kiri
Berselempang Menseskab yang tak bisa ngarti.
MAUUU
Ini iklan-iklan tak bergenderang-berpalu
Keniscayaan tanda perintah.
Sekali kritis
Sudah itu matikan
MAUUU
Bagimu Bossmu
Menyediakan a fee
Selagi di atas menghamba
Bosan kelamaan ditindas
Sungguh pun mental mesti tergadai
Jika hidup harus menjilati
Mauuu
Ruhut, eh, Rebut
Jilat
Tebang
| Digubah dari puisi "Diponegoro" karya Chairil Anwar (1943), yang aselinya ada di bawah ini;
DIPONEGORO
| Chairil Anwar
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sungguh pun ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
| Februari 1943. Budaya, Th III, No. 8. Agustus 1954
Kamis, Februari 10, 2011
Kapan Pertama Kali Serat Centhini Ditulis?
Adalah putra mahkota Kesultanan Surakarta Adiningrat, bernama Kanjeng Pangeran Adipati Anom Amengkunegara III, yang meminta kepada tiga pujangga kadipaten (wilayah kekuasaannya selaku pangeran), untuk menuliskan sebuah cerita. Bentuknya berupa tembang, bermuatan ilmu dan ngelmu Jawa, yang sebagiannya diakui sebagai pengalaman dan pengetahuan pribadinya.
Tiga pujangga itu adalah para abdi dalem, atau karyawan, kliwon carik (juru tulis), di bawah kadipaten yang menjadi wewenang sang pangeran putra mahkota, bernama Sutrasna, dan kemudian disebut Ki Ngabei Raggasutrasna, dengan disertai (2) Raden Ngabei Yasadipura II (Raden Tumenggung Sastranagara), abdidalem bupati pujangga kadipaten, dan (3) Raden Ngabei Sastradipura, abdi dalem kliwon carik kadipaten, yang mendapatkan tugas khusus mempelajari agama Islam hingga ditugaskan naik haji ke Mekah, dan kemudian bergelar Kyai Haji Mohammad Ilhar.
Di luar tiga penulis pokok ini, masih terdapat beberapa kontributor, pembantu, yang memang ditunjuk oleh sang Pangeran, yakni: (1) Pangeran Jungut Mandurareja, penguasa tanah pradikan krajan Wangga, Klaten. (2) Kyai Kasan Besari, ulama di Gebangtinatar, Panaraga, menantu Pakubuwana IV), dan (3). Kyai Mohamad Minhad, ulama besar di Surakarta.
Sebelum melakukan penggubahan, ketiga pujangga istana mendapat tugas-tugas yang khusus untuk mengumpulkan bahan-bahan pembuatan kitab. Ranggasutrasna bertugas menjelajahi pulau Jawa bagian timur. Yasadipura II, bertugas menjelajahi Jawa bagian barat, serta Sastradipura bertugas menunaikan ibadah haji, dan menyempurnakan pengetahuannya tentang agama Islam. Tiga pujangga tadi dibekali selaksa ringgit emas, untuk berkelana.
Mereka menghimpun kearifan lokal, sekaligus penyimpangannya. Menghimpun ujaran dan ajaran para pertapa, peramal, empu, pande besi, pesulap, penyamun, ulama perempuan, dhalang, penafsir mimpi, hingga sampai para paria.
Setelah survey, riset, atau observasi ke lapangan, barulah kemudian mereka kembali berkumpul untuk proses penulisan secara tim. Penulisan dimulai pada Sabtu Pahing, 17 Desember 1815. (Mengenai tanggal penulisan ini, sumber data tertulis yang paling akurat adalah dalam pupuh bait 3-4, di situ tertulis (3) "Sabtu paing lek Mukaram wewarseku, Mrakeh Hyang Surenggana, Bathara Yama Dewa Ri,..." dan (4) "...windu Adi Mangsa Sapta, Paksa Suci Sabda Ji", yang semuanya itu dalam kalendering, jatuh pada, Sabtu Pahing 25 Sura 1742, Wuku Marakeh, atau 25 Muharram 1230 Hijriah, atau dalam kalender Masehi jatuh pada hari Sabtu, tanggal 7 Januari 1815).
Data sebelumnya yang selalu menyebut Serat Centhini ditulis pada 26 Muharram 1230, tahun 1742 Jawa dan 1814 Masehi, dengan demikian semestinya tidak tepat.
R. Ng. Ranggasutrasna yang menjelajah pulau Jawa bagian timur telah kembali terlebih dahulu, karenanya ia diperintahkan untuk segera memulai menulis. Dalam prakata dijelaskan tentang kehendak sang putra mahkota, bersangkala “paksa suci sabda ji” (1742 tahun Jawa atau 1815 Masehi).
Setelah Ranggasutrasna menyelesaikan jilid pertama, datanglah Yasadipura II dari Jawa bagian barat dan Sastradipura (Kyai Haji Muhammad Ilhar) dari Mekkah. Jilid dua sampai empat dikerjakan bersama-sama oleh ketiga pujangga istana. Setiap masalah yang berhubungan dengan wilayah barat Jawa, timur Jawa, atau agama Islam, dikerjakan oleh ahlinya masing-masing.
Pangeran Adipati Anom kemudian mengerjakan sendiri jilid lima sampai sepuluh. Penyebabnya diperkirakan karena kecewa, bahwa pengetahuan tentang masalah seksualitas (persenggamaan) kurang jelas ungkapannya, sehingga pengetahuan tentang masalah tersebut dianggap tidak sempurna.
Langganan:
Postingan (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...