INGIN mengesankan sebagai tokoh berkesantunan dalam berpolitik, SBY (5/3/2010) menyampaikan penampakan paradoksal, yakni menolak hasil keputusan DPR mengenai Kasus Bank Century. Mengutip kata-katanya, terutama ketika merasa dirinya menjadi korban yang menderita, ketika satu jari telunjuk ditudingkan ke orang lain, sesungguhnya empat jari menunjuk pada dirinya.
Presiden, dengan bahasa yang halus dan muter-muter, mengatakan bahwa keputusan DPR adalah merupakan pandangan politik yang berbeda dengan hukum. Dan dengan bahasa yang lugas, Presiden melakukan pembelaan dengan berbagai alibinya. Bahasa penolakan, jauh lebih kentara, daripada aksesoris bahasa yang mengapresiasi itu dalam konteks politik. Apalagi, dalam hal politik, presiden menisbikan dengan menyatakan bahwa hal itu berbeda dengan persoalan hukum, dan itu pun harus dilakukan dengan cara yang beretika dan memenuhi rule of reason.
Sementara, pada pandangan yang menguntungkan posisinya, Presiden mengapresiasi keputusan DPR, dan memakainya sebagai legitimasi. Misalnya, mengenai tidak terbuktinya aliran dana Century ke parpol dan tokoh tertentu (maksudnya, Partai Demokrat dan pendukung-pendukung SBY selaku calon presiden 2009).
Pidato Presiden, sebagai eksekutif dalam trias politica kita, adalah sebuah gangguan yang menjebak dirinya. Perilaku etis dalam berpolitik, yang diinginkannya, seolah adalah klaim dari SBY dan Partai Demokrat yang paling etis, padahal dalam persoalan itu pula mereka juga berperilaku sama-sama tidak etisnya.
Negasi politik Presiden, adalah sinyal directing yang berujung pada negasi hukum. Terlalu naif dalam kasus Century itu, memisahkan antara logika politik dan logika hukum. Jika politik bisa penuh dusta, hukum juga bisa penuh tipu. Apalagi, jika yang kita perbincangkan adalah kekuasaan yang sibuk dengan persoalan citra diri dan wacana.
Konstruksi logika yang hendak dibangun oleh SBY dengan pidatonya itu, adalah konstruksi pencitraan. Dan disitu, kita akan melihat betapa pemerintahan SBY akan boros dalam soal logika-logika politik yang hendak dibangunnya. Pemerintahan yang selalu dalam tegangan citra ini, tidak akan pernah efektif untuk memikirkan tentang bangsa dan negara, setidaknya sampai 2014. Artinya, memilih SBY-Boediono sebagai Presiden RI 2009-2014, bukan pilihan yang sepenuhnya tepat.
Agenda terpenting untuk masa depan Indonesia, tetap saja bagaimana membebaskan kepemimpinan dan kekuasaan dari persoalan personalisasi. Itu artinya, kita membutuhkan waktu untuk mendapatkan generasi baru, yang bisa membebaskan diri dari belenggu formalisme dan pragmatisme politik warisan kebudayaan Soeharto. Yakni, generasi baru yang lebih mengedepankan logika, daripada pandangan-pandangan moralistik dan normatif yang palsu.
Selama ini, kita hanya akan disodori kata-kata yang normatif, namun penuh paradoks dan ambigu.
Sunardian Wirodono
Yogyakarta, 7 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar