Minggu, Desember 21, 2008
Betapa Sangat Sulitnya Pemilu 2009
Oleh Sunardian Wirodono
PEMILIHAN Umum 2009, tinggal beberapa bulan lagi. Namun, sampai hari ini, problim-problim kepemiluan (semua hal-ihwal yang berkait dengan Pemilu), belum juga secara tuntas terselesaikan.
Jika Pemilu masih dianggap sebagai pesta demokrasi, yang melibatkan pemerintah (dalam hal ini harap dibaca Komisi Pemilihan Umum), rakyat (sebagai pemegang kedaulatan), dan partai politik (sebagai pemain atau peserta dengan caleg dan leg-nya), maka pada kesemua pihak itulah tingkat kepusingan dirasakan.
Tulisan ini, mencoba ber-empati pada masing-masing posisi yang berkait dengan Pemilu 2009 itu.
Rakyat, sebagai pemegang kedaulatan, dan artinya juga bisa dipandang dalam sisi sebagai pasar atau pembeli, tidak dalam posisi yang sangat berat. Ketika rakyat tidak setuju tinggal menyatakan ketidaksetujuannya. Namun, persoalannya, menjadi berat ketika setuju atau tidak setuju itu harus ditenggang dalam jangka waktu yang panjang. Selama lima tahun, harus menerima resiko atau implikasi politik, yang langsung tidak langsung berkait dengan hajat peri kehidupan mereka sehari-hari.
Pemerintah dan partai politik, dalam perhelatan demokrasi ini, memang yang harus bekerja ekstra keras, karena demikianlah kewajibannya sebagai pihak yang harus memuliakan rakyat.
KPU sebagai komisi negara, yang secara langsung menangani Pemilu kali ini, dihadapkan pada tantangan yang berat. Berat, karena berada dalam cap dan apatisme masyarakat, baik karena kasus korupsi lembaga ini pada Pemilu sebelumnya (2004), atau pun berkait dengan kegairahan partai politik, yang selalu mengatasnamakan semua tindakannya sebagai konsekuensi “negara demokrasi yang bebas-merdeka”.
KPU kali ini, sejak dari verifikasi parpol, verifikasi caleg, kemudian dari sisi panitia pelaksana hingga pengawasan, dipusingkan dengan anggaran yang jauh dari lancar dibanding Pemilu sebelumnya. Di lapangan, betapa banyak kendala teknis yang dihadapi, dari telat hingga ketiadaan anggaran, sampai kemudian muncul “sungguh-sungguh terjadi”, kerja Pemilu yang konon berbiaya trilyunan rupiah ini, praktik di lapangan bisa kontradiktif. Tidak sedikit pegawai negeri rendahan yang bekerja di KPU, Panwaslu, Banwas, dan sebagainya, “nombok” untuk mengoperasikan beban tanggungjawabnya, dengan uang-uang pribadi. Ada juga cerita, untuk menjalankan tugas mereka, harus berhutang ke koperasi pegawai negeri dengan jaminan pribadi!
Masalah anggaran yang tidak lancar, turun pada saat tutup anggaran, membuat banyak petugas KPU kelimpungan berjuang, agar anggaran yang sudah sulit turunnya itu, tidak hangus, karena harus dikembalikan ke negara. Sistem dan birokrasi negara, agaknya tidak dipikirkan khusus untuk Pemilu, yang merupakan perhelatan negara per-lima tahun sekali. Maka, dengan persiapan dan penyelenggaraan Pemilu melewati transisi waktu 2008-2009, aturan baru yang konon untuk menekan angka korupsi, bisa menjebak para petugas KPU “terjatuh” pada penyalahgunaan wewenang dan manipulasi administratif.
Dalam hal ini, pihak legislatif sebagai yang menyetujui anggaran (khususnya parpol yang sudah memiliki perwakilan di legislatif), semestinya melihat persoalan ini sebagai kepentingan keseluruhan, bukan hanya kepentingan masing-masing partai. Lancar dan tidaknya anggaran, juga besar-kecilnya anggaran, sering hanya dilihat seberapa besar partai mereka diuntungkan.
Pertarungan politik 2009, memang tidak menjadi sederhana. Sekali pun para pengamat, dan juga kepercayaan diri para politisi lama, mengatakan bahwa pemain yang akan muncul tetap pada partai “itu-itu” saja, namun konfigurasi politik juga tidak sederhana. Pecahan parpol yang berkeping-keping itu, masing-masing mempunyai agenda, yang mau tidak mau harus diperhitungkan, justeru ketika aturan Pemilu menjadi lebih ketat. Misalnya, pada soal banyaknya bilangan pembagi kursi serta syarat minimal mencapai electoral threshold.
Dalam konfigurasi politik sekarang, sulit rasanya masing-masing caleg untuk bisa meraih suara terbanyak (minimal) untuk mendapatkan satu kursi. Bukan hanya karena kompetisi dengan partai lain, melainkan pertarungan internal caleg dalam satu parpol juga persoalan yang tidak mudah. Maka jika penghasilan suara masing-masing caleg tidak memadai, dan suara diakumulasikan ke perolehan suara parpol, aturan yang diberlakukan sekarang ini, sesungguhnya amat spekulatif dan manipulatif. Dengan dalih demokrasi bersifat langsung, yang biasanya didukung oleh aktivis LSM, akademisi atau pun para penganut demokrasi liberal, justeru esensi demokrasi terkendala pada persoalan teknis, dengan banyak implikasinya.
Rakyat sebagai pemilih pun, juga memiliki problem teknis yang tak kalah sederhana. Jika mayoritas masyarakat pemilih berada di pelosok dan dengan tingkat keterdidikan lebih rendah, maka sistem Pemilu 2009 dengan mencontreng dan memilih caleg langsung, bukan persoalan sederhana.
Melihat 38 partai, dan kemudian di bawah gambar partai-partai tersebut ada sederet tulisan nama caleg yang harus dipilih (hanya tulisan dan tanpa foto), problemnya tidak semudah orang kota, yang lebih terdidik dan memiliki akses media. Jika angka golput naik, bisa saja bukan karena naiknya apatisme politik rakyat, melainkan banyaknya kesalahan teknis yang akan timbul kelak.
Oleh karena itu, pada akhirnya, persoalannya kembali harus dipulangkan kepada siapa pemain sebenarnya dalam Pemilu itu. Partai politik, para caleg, tentu saja yang harus bekerja keras, agar Pemilu didukung oleh rakyat, dan rakyat tidak masuk dalam kategori golput, baik karena resistensinya maupun persoalan teknis yang tidak difahaminya nanti ketika masuk ke blik suara.
Selama ini, media kampanye yang banyak dipakai oleh para caleg, sama sekali tidak memberi informasi, bagaimana seharusnya nanti rakyat mengikuti Pemilu, atau bahkan, rakyat memilih dirinya sebagai caleg. Padahal, KPU sendiri, tidak bisa melakukan sosialisasi secara maksimal, karena hambatan turunnya anggaran bersumber dari pihak legislatif itu sendiri. Dalam politik, jika kita mengenal istilah blunder, itulah yang dilakukan oleh parpol yang hanya melihat kepentingannya sendiri.
* Sunardian Wirodono, direktur Equacom Yogyakarta, pembelajar pada masalah-masalah komunikasi dan media politik.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Berarti, golput aja yach? Hidup golput!
BalasHapus