Kamis, November 27, 2008
Televisi sebagai Anak Kandung Kebudayaan
Oleh Sunardian Wirodono
TELEVISI adalah anak kandung kebudayaan. Sebagai sebuah media, televisi adalah manifestasi dari proses peradaban atau kebudayaan manusia. Pada sisi itu, tidak ada yang salah di dalamnya. Sebagai media, ia netral.
Namun justeru karena netralitasnya itulah, ia mudah dimasuki berbagai kepentingan. Di tangan manusia yang bertanggugjawab, ia menjadi media yang berguna bagi media pembelajaran, untuk meninggikan harkat dan martabat kita sebagai manusia. Namun ditangan yang tidak bertanggungjawab, televisi bisa mendatangkan kontroversi, kemudharatan, dan kecelakaan.
Hal itu terjadi, karena media televisi berada di ranah kepentingan antara pasar dan rakyat. Antara pasar dan rakyat, memiliki tingkat relasi yang bersifat ulang-alik dan tumpang tindih. Keduanya bisa mengklaim paling penting.
Bagaimana mengukur tingkat tanggungjawab itu? Di negara-negara yang menjunjung tinggi peradaban, ukuran itu dimanifestasikan dalam berbagai bentuk aturan, regulasi, undang-undang. Negara, berdiri untuk memoderasi kepentingan antara rakyat dan pasar agar kepentingan masing-masing pihak, tidak saling menisbikan, merugikan, atau meniadakan.
Peran negara, dalam hal ini menjadi penting, karena tidak ada satu otoritas pun antara rakyat dan pasar, untuk mendamaikan tingkat-tingkat kepentingannya satu sama lain.
Pada tingkat posisi ini, sejarah pertelevisian di Indonesia, tidak cukup sederhana untuk meletakkan rakyat dan pasar dalam posisi yang sejajar. Ketika negara melahirkan TVRI pada 1962, kepentingan negara begitu dominan, dan masih dalam konteks atau korelasi kepentingan rakyat. Sekali pun, dominasi negara juga bukan sesuatu yang tanpa bahaya, karena di tangan kekuasaan yang korup, kepentingan rakyat bisa dimanipulasi. Muncul acara-acara propaganda dan mereduksi peranan rakyat.
Namun ketika muncul beberapa stasiun televisi swasta, 1980-an, muncul persoalan baru, karena televisi swasta dijerat oleh kepentingan-kepentingan ekonomis (lebih tepatnya ekonomi yang kapitalistik), dengan kepentingan pasar sebagai panglimanya.
Kepentingan pasar kemudian terlihat sangat dominan, dan negara terlambat untuk memoderasi hubungan antara pasar dan rakyat ini. Ketika televisi swasta sudah semakin terjerat dengan nilai-nilai kepentingannya, negara baru memetakan masalahnya pada tahun 2002 dengan disyahkannya UU 32/2002 tentang penyiaran.
Itu pun, dengan tingkat kedewasaan proses demokratisasi politik kita, kehadiran UU ini tidak berjalan dengan mulus. Disamping pemerintah sendiri tidak serius untuk menegaskan dengan PP dari UU, juga terlihat negara tidak memiliki agenda yang konseptual mengenai masalah ini. Berbagai aturan yang berkait mengenai televisi, masih tetap berada dalam proses tawar-menawar yang tidak pernah selesai. Lebih mengkhawatirkan persoalannya, ketika pemerintah yang mestinya bertindak moderat cenderung berpihak pada pasar, dan menisbikan rakyat.
Televisi swasta tampak dalam posisi yang dominan, dengan pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah, dan memberikan keleluasaan televisi swasta itu untuk menjadikan keragaman budaya menjadi homogen atau tunggal. Indonesia yang beraneka-ragam dari Sabang sampai Merauke, direduksi kepentingan modal menjadi seragam dan Jakarta Sentris, dengan segala implikasinya.
Di luar persoalan kepentingan ekonomi, penetrasi media televisi pada kebudayaan, telah membonsai masyarakat menjadi sebuah entitas yang tidak tumbuh, stagnan, mandeg, dan konsumtif (tidak produktif).
UU Penyiaran yang menyarankan tumbuhnya keanekaragaman rakyat, tidak bisa berjalan, karena memang moderasi negara tidak berjalan semestinya. Pemihakan negara pada pasar, adalah penyebab semuanya. Artinya, dalam hal ini, bingkai televisi di Indonesia, berada dalam bingkai budaya kekerasan itu sendiri.
Berbagai program acara televisi, pada akhirnya, hanyalah reproduksi dari bingkai budaya kekerasan itu sendiri.
Lebih jauh lagi, bingkai budaya kekerasan ini, terlahir dari situasi-situasi jamannya, yang tidak memberi ruang terjadi dialog, negosiasi, peran serta, diskusi, dan lain sejenisnya.
Proses perjalanan bangsa Indonesia, dari 1908, 1928, 1945, yang on the track mengajarkan kita tentang proses perdaban yang elegant dan mulus, perlahan berubah menjadi praktik-praktik dominasi negara yang mengambil alih peran atau prakarsa masyarakat ke pinggiran. Dan itu berproses sejak 1957, ketika Sukarno memilih Demokrasi Terpimpin, kemudian dikuatkan melalui hegemoni Soeharto melalui Orde Baru, hingga kemudian ketika ambrol pada 1998, rakyat tidak terdidik dan terlatih untuk melakukan negosiasi kepentingan.
Kita semua pada akhirnya, mempraktikkan perilaku kekerasan pada hampir semua sendi kehidupan.
Maka, semestinya sekarang, kita kembali pada prakarsa-prakarsa bersama, bagaimana mendudukkan kepentingan pasar dan rakyat tidak tumpang tindih dan saling meniadakan. Persoalan sosial dan budaya dalam televisi kita, lebih terletak pada komponen negara dalam memandang media, yang celakanya, seolah menjadi referensi tunggal masyarakat Indonesia.
Kekerasan demi kekerasan, yang dipraktikkan oleh media televisi kita, adalah karena kita juga terlalu toleran, atau tidak cukup gigih memperjuangkan kepentingan bersama. Sebagai anak kandung kebudayaan, televisi akan sangat tergantung ke arah mana kebudayaan kita tegakkan.
Pada posisi ini, yang selalu harus digugat pertama, bagaimana media sebagai media of change memposisikan dirinya. Apakah dia mau menjadi pengubah kekeadaan lebih baik, atau agen perubahan yang tidak memiliki agenda setting, sehingga tampak seperti keledai bodoh yang hanya bisa menari dalam gendangan orang lain.
* disampaikan untuk diskusi intern KPID, 27 Nopember 2008
** Direktur Equality Communications (Equacom) Yogyakarta. Pengamat media komunikasi dan politik.
Angin Puting “Politik” Beliung di Indonesia
Oleh Sunardian Wirodono
KETIKA ditanya wartawan tentang strategi politik Sri Sultan HB X, usai Pisowanan Ageng 28 Oktober 2008, Sukardi Rinakit tidak mempunyai jawaban yang formulatif. Salah satu tim sukses Ngarsa Dalem untuk capres itu, hanya menjawab strategi politik yang dinamakan “strategi angin puting beliung”. Dalam bahasa yang juga sama-sama multi-tafsir, Sri Sultan HB X jika ditanya hal serupa, juga akan mengatakan yang tak jauh beda, yakni “kristalisasi” dilihat dari “dinamika politik”, dan “dialektika” partai-partai politik. Belum lagi soal “konsolidasi kekuatan”, “dan sebagainya”. Kata-kata yang berada dalam tanda kutip tersebut, secara logika bisa dimengerti maknanya, tetapi hanya secara semantik. Tidak operasional untuk dipahami pihak lain. Ada dua penyebab untuk hal itu, pertama bisa jadi memang tidak cukup tersedia jawaban, karena belum ada formulasi baku (artinya masih dalam proses kristalisasi), atau memang sengaja menutup diri. Namun pada umumnya, para politisi atau siapa pun yang terjun dalam kancah politik di Indonesia, tidak bisa secara lugas melakukan komunikasi yang biasa-biasa saja, apalagi komunikasi politik. Jika boleh disebut, Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, dalam banyak hal relatif lebih lugas dan verbal dalam menjalin komunikasi dengan siapa pun. Dan banyak akibat yang harus ditanggung. Seperti yang terakhir, hendak dituntut (disomasi) oleh Wiranto, dan kemudian MJK pun menyatakan minta maaf. Yang mengherankan, kenapa pejabat publik (pedagang dan politisi) se-terus-terang MJK, justeru dalam berbagai polling selalu mendapat perolehan suara rendah? Kenapa, tokoh-tokoh yang tidak spontan, tokoh-tokoh pendiam, tokoh-tokoh yang tidak jelas dan tidak konsisten bicaranya, justeru mendapatkan suara polling dan popularitas yang lebih baik? Apakah karena sebagai manusia verbal, maka kemudian MJK berarti menjadi dan dinilai verbal pula? Dan karena itu kurang mempesona? Betapa sulitnya kita memaknai bahasa dan cara berkomunikasi politik di Indonesia. Umumnya, politisi kita jauh lebih sibuk pada persoalan pencitraan, pesona personal. Kemudian, pesona magis atau mitos-mitos cenderung ditebarkan. Kalau menyampaikan pendapat harus cermat, hati-hati. Saking hati-hatinya, sering muter-muter, justeru sebenarnya semakin tidak jelas dan tidak konsisten, alias tidak konseptual dan agak ngawur. Satu pernyataan di lain hal dan waktu, bisa bertentangan dengan pernyataan sebelum atau sesudahnya. Makanya, ada jalan selamat yang lain, daripada banyak ngomong dan takut salah, mendingan sama sekali tidak ngomong. Bukan soal “silent is golden”, tapi benar-benar karena cara amannya daripada salah ngomong. Politik pencitraan yang jauh dirasa ampuh, buat “kualitas manusia” Indonesia saat ini, justeru dieksploitasi begitu rupa. Bahkan “ketertinggalan” dalam hal literasi media, justeru dibangga-banggakan. Jangan-jangan, kebanggaan itu hanyalah dalih, agar masyarakat memang tetap bodoh, dan dengan demikian bisa ditunggangi terus-menerus oleh para elite. Ketertinggalan itu, bukannya diubah, diupayakan bersama, agar menjadi sebaliknya, yakni manusia yang melek media, cerdas, kritis, produktif, aktif. Apakah karena kalau rakyat Indonesia seperti itu, maka para elit politik akan kehilangan media? Pada elite politik yang korup dan bodoh, tentu saja iya. Tetapi para elite politik yang beradab, tentu akan memakai politik untuk jalan pencerahan, agar bangsa dan negara ini menjadi kuat dan maju di masa mendatang. Dalam posisi seperti itu, maka komunikasi politik kita selama ini, memang berada dalam bingkai pragmatisme (yakni suatu paham yang mengandalkan pada azas manfaat, kepentingan, atau kegunaan). Segala sesuatu aktivitas, diukur dari sudut pandang manfaat bagi kita, atau khususnya bagi yang melakukannya. Buat apa mencerdaskan bangsa, kalau itu merugikan saya? Buat apa berkorban, kalau saya tidak mendapat keuntungan? Buat apa dipermudah, kalau bisa dipersulit dan membuat saya mengeruk untung? Buat apa saya bagi duit, kalau tidak mengharap mereka mencoblos saya sebagai caleg? Buat apa saya mendirikan partai, kalau bukan karena kekuasaan? Buat apa saya mencapreskan diri, kalau bukan untuk kekuasaan (karena dengan kekuasaan saya bisa mengabdi kepada bangsa dan negara). Buat apa tidak korupsi, kalau yang lain juga korupsi dan aman-aman saja? Buat apa ngomong yang jelas dan terang, jika ketahuan kebodohan saya? Dan seterusnya. Salah satu ciri pragmatisme adalah menghalalkan segala cara. Sepanjang bahwa cara yang kita pakai bisa menghasilkan tujuan yang kita inginkan, semuanya menjadi boleh dilakukan. Termasuk bertindak tidak demokratis, tidak jujur, bahkan tidak terbuka dengan informasi dan orang lain. Perjalanan demokrasi di Indonesia, sesungguhnya tidak dimulai dari nol. Sejak 1908, 1928, 1945 hingga menjelang Demokrasi Terpimpin 1957, Indonesia “on the track” adalah negara yang belajar demokrasi dengan cara-cara yang sangat elegant. Sesudahnya, kita berubah haluan, sampai kemudian bangkrut pada 1997. Masa vakum politik lebih 30-an tahun (1957-1997), sesudahnya membuat kita gagap dan tidak mengerti, karena tidak pernah tahu, tidak pernah belajar, tidak pernah latihan. Semua proses demokrasi jaman reformasi yang kita ikuti, Pemilu, Pilkada, Pilgub, dan lain sebagainya, bisa memberikan gambaran itu. Politik kita masih tetap saja patrimonialisme. Bergantung pada patron-patron, person, orang-perorang, kepemimpinan yang dominan. Masih bersandar pada patron-client. Atasan-bawahan. Wong pinter wong bodo (tidak selalu wong pinter di atas, karena wong bodo beja dan wong pinter cilaka, bisa lain akibatnya). Di sini kita kemudian bisa memahami, bagaimana dalam struktur masyarakat yang sudah jauh lebih mapan, sistem atau mekanisme (aturan dan jalannya) politik jauh lebih penting. Itulah kenapa Barrack Obama yang berkulit hitam, bisa menjadi presiden Amerika yang masih kuat rasialismenya. Itulah sebabnya, pencitraan diri Barrack Obama, justeru adalah berkomunikasi secara lugas, dengan menyodorkan pemikiran, konsep, arah baru, untuk diapresiasi dan didukung. Dari sana, muncul jutaan relawan, dan menjadi mesin politik yang luar biasa. Bukan membuai atau membius rakyat dengan janji-janji bahwa semuanya akan menjadi lebih baik dengan dirinya. Bagaimana caranya? Mbuh ra weruh. Indonesia ke depan, membutuhkan pemimpin yang artikulatif. Kita tidak pernah tahu angin puting beliung. Jangankan puting beliung, angin lesus yang tak terdeteksi pun, baru saja memporak-porandakan UGM dan wilayah Bulaksumur. Siapa pun presidennya, sesungguhnya tidak diperdulikan rakyat. Karena rakyat membutuhkan jawaban hari ini. Bagaimana caranya menguatkan rupiah, menggulirkan ekonomi makro dan mikro seiring, bagaimana pengangguran bisa dikikis, bagaimana korupsi bisa diberantas. Bagaimana caranya? Semua capres pasti akan menjanjikan itu semua. Tetapi, sekali lagi, bagaimana caranya? * Sunardian Wirodono, direktur Equacom Yogyakarta, pembelajar pada masalah-masalah komunikasi politik.
KETIKA ditanya wartawan tentang strategi politik Sri Sultan HB X, usai Pisowanan Ageng 28 Oktober 2008, Sukardi Rinakit tidak mempunyai jawaban yang formulatif. Salah satu tim sukses Ngarsa Dalem untuk capres itu, hanya menjawab strategi politik yang dinamakan “strategi angin puting beliung”. Dalam bahasa yang juga sama-sama multi-tafsir, Sri Sultan HB X jika ditanya hal serupa, juga akan mengatakan yang tak jauh beda, yakni “kristalisasi” dilihat dari “dinamika politik”, dan “dialektika” partai-partai politik. Belum lagi soal “konsolidasi kekuatan”, “dan sebagainya”. Kata-kata yang berada dalam tanda kutip tersebut, secara logika bisa dimengerti maknanya, tetapi hanya secara semantik. Tidak operasional untuk dipahami pihak lain. Ada dua penyebab untuk hal itu, pertama bisa jadi memang tidak cukup tersedia jawaban, karena belum ada formulasi baku (artinya masih dalam proses kristalisasi), atau memang sengaja menutup diri. Namun pada umumnya, para politisi atau siapa pun yang terjun dalam kancah politik di Indonesia, tidak bisa secara lugas melakukan komunikasi yang biasa-biasa saja, apalagi komunikasi politik. Jika boleh disebut, Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, dalam banyak hal relatif lebih lugas dan verbal dalam menjalin komunikasi dengan siapa pun. Dan banyak akibat yang harus ditanggung. Seperti yang terakhir, hendak dituntut (disomasi) oleh Wiranto, dan kemudian MJK pun menyatakan minta maaf. Yang mengherankan, kenapa pejabat publik (pedagang dan politisi) se-terus-terang MJK, justeru dalam berbagai polling selalu mendapat perolehan suara rendah? Kenapa, tokoh-tokoh yang tidak spontan, tokoh-tokoh pendiam, tokoh-tokoh yang tidak jelas dan tidak konsisten bicaranya, justeru mendapatkan suara polling dan popularitas yang lebih baik? Apakah karena sebagai manusia verbal, maka kemudian MJK berarti menjadi dan dinilai verbal pula? Dan karena itu kurang mempesona? Betapa sulitnya kita memaknai bahasa dan cara berkomunikasi politik di Indonesia. Umumnya, politisi kita jauh lebih sibuk pada persoalan pencitraan, pesona personal. Kemudian, pesona magis atau mitos-mitos cenderung ditebarkan. Kalau menyampaikan pendapat harus cermat, hati-hati. Saking hati-hatinya, sering muter-muter, justeru sebenarnya semakin tidak jelas dan tidak konsisten, alias tidak konseptual dan agak ngawur. Satu pernyataan di lain hal dan waktu, bisa bertentangan dengan pernyataan sebelum atau sesudahnya. Makanya, ada jalan selamat yang lain, daripada banyak ngomong dan takut salah, mendingan sama sekali tidak ngomong. Bukan soal “silent is golden”, tapi benar-benar karena cara amannya daripada salah ngomong. Politik pencitraan yang jauh dirasa ampuh, buat “kualitas manusia” Indonesia saat ini, justeru dieksploitasi begitu rupa. Bahkan “ketertinggalan” dalam hal literasi media, justeru dibangga-banggakan. Jangan-jangan, kebanggaan itu hanyalah dalih, agar masyarakat memang tetap bodoh, dan dengan demikian bisa ditunggangi terus-menerus oleh para elite. Ketertinggalan itu, bukannya diubah, diupayakan bersama, agar menjadi sebaliknya, yakni manusia yang melek media, cerdas, kritis, produktif, aktif. Apakah karena kalau rakyat Indonesia seperti itu, maka para elit politik akan kehilangan media? Pada elite politik yang korup dan bodoh, tentu saja iya. Tetapi para elite politik yang beradab, tentu akan memakai politik untuk jalan pencerahan, agar bangsa dan negara ini menjadi kuat dan maju di masa mendatang. Dalam posisi seperti itu, maka komunikasi politik kita selama ini, memang berada dalam bingkai pragmatisme (yakni suatu paham yang mengandalkan pada azas manfaat, kepentingan, atau kegunaan). Segala sesuatu aktivitas, diukur dari sudut pandang manfaat bagi kita, atau khususnya bagi yang melakukannya. Buat apa mencerdaskan bangsa, kalau itu merugikan saya? Buat apa berkorban, kalau saya tidak mendapat keuntungan? Buat apa dipermudah, kalau bisa dipersulit dan membuat saya mengeruk untung? Buat apa saya bagi duit, kalau tidak mengharap mereka mencoblos saya sebagai caleg? Buat apa saya mendirikan partai, kalau bukan karena kekuasaan? Buat apa saya mencapreskan diri, kalau bukan untuk kekuasaan (karena dengan kekuasaan saya bisa mengabdi kepada bangsa dan negara). Buat apa tidak korupsi, kalau yang lain juga korupsi dan aman-aman saja? Buat apa ngomong yang jelas dan terang, jika ketahuan kebodohan saya? Dan seterusnya. Salah satu ciri pragmatisme adalah menghalalkan segala cara. Sepanjang bahwa cara yang kita pakai bisa menghasilkan tujuan yang kita inginkan, semuanya menjadi boleh dilakukan. Termasuk bertindak tidak demokratis, tidak jujur, bahkan tidak terbuka dengan informasi dan orang lain. Perjalanan demokrasi di Indonesia, sesungguhnya tidak dimulai dari nol. Sejak 1908, 1928, 1945 hingga menjelang Demokrasi Terpimpin 1957, Indonesia “on the track” adalah negara yang belajar demokrasi dengan cara-cara yang sangat elegant. Sesudahnya, kita berubah haluan, sampai kemudian bangkrut pada 1997. Masa vakum politik lebih 30-an tahun (1957-1997), sesudahnya membuat kita gagap dan tidak mengerti, karena tidak pernah tahu, tidak pernah belajar, tidak pernah latihan. Semua proses demokrasi jaman reformasi yang kita ikuti, Pemilu, Pilkada, Pilgub, dan lain sebagainya, bisa memberikan gambaran itu. Politik kita masih tetap saja patrimonialisme. Bergantung pada patron-patron, person, orang-perorang, kepemimpinan yang dominan. Masih bersandar pada patron-client. Atasan-bawahan. Wong pinter wong bodo (tidak selalu wong pinter di atas, karena wong bodo beja dan wong pinter cilaka, bisa lain akibatnya). Di sini kita kemudian bisa memahami, bagaimana dalam struktur masyarakat yang sudah jauh lebih mapan, sistem atau mekanisme (aturan dan jalannya) politik jauh lebih penting. Itulah kenapa Barrack Obama yang berkulit hitam, bisa menjadi presiden Amerika yang masih kuat rasialismenya. Itulah sebabnya, pencitraan diri Barrack Obama, justeru adalah berkomunikasi secara lugas, dengan menyodorkan pemikiran, konsep, arah baru, untuk diapresiasi dan didukung. Dari sana, muncul jutaan relawan, dan menjadi mesin politik yang luar biasa. Bukan membuai atau membius rakyat dengan janji-janji bahwa semuanya akan menjadi lebih baik dengan dirinya. Bagaimana caranya? Mbuh ra weruh. Indonesia ke depan, membutuhkan pemimpin yang artikulatif. Kita tidak pernah tahu angin puting beliung. Jangankan puting beliung, angin lesus yang tak terdeteksi pun, baru saja memporak-porandakan UGM dan wilayah Bulaksumur. Siapa pun presidennya, sesungguhnya tidak diperdulikan rakyat. Karena rakyat membutuhkan jawaban hari ini. Bagaimana caranya menguatkan rupiah, menggulirkan ekonomi makro dan mikro seiring, bagaimana pengangguran bisa dikikis, bagaimana korupsi bisa diberantas. Bagaimana caranya? Semua capres pasti akan menjanjikan itu semua. Tetapi, sekali lagi, bagaimana caranya? * Sunardian Wirodono, direktur Equacom Yogyakarta, pembelajar pada masalah-masalah komunikasi politik.
Langganan:
Postingan (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...