TERTARIK menjadi Presiden Republik Indonesia tahun 2009 mendatang? Segera baca tulisan ini, karena akan segera diketahui, apa saja kiat-kiatnya. Jangan katakan bahwa bercita-cita menjadi presiden sesuatu yang muluk, tidak realistis, bombastis, ngayawara, bullshits, nonsens.
Jangan percaya kata-kata sisnis dan bau pesimisme itu. Sekaranglah waktunya untuk kita. The dreams come true! Bangun dunia kita dengan lebih optimis. Kalau ada orangtua yang terpaksa perlu kita percaya, mungkin cuma Sukarno, yang mengatakan; “Gantungkan cita-citamu setinggi langit!” Selebihnya, omong kosong!
Baru dua alinea Anda baca, sekali berhenti, maka separoh kekalahan sudah terjadi. Bagaimana tidak? Karena hanya mereka yang punya tekad membara, termasuk menyelesaikan bacaan ini, akan bisa masuk kriteria menjadi kandidat Presiden Republik Indonesia.
Siapa yang bisa menduga, bahwa Barrack Obama, yang pernah tinggal di daerah kumuh Menteng Atas Indonesia, menjadi kandidat presiden Amerika Serikat? Siapa menyangka bahwa ibu rumah tangga Qori Aquino, menjadi presiden Philipina? Sama seperti yang tak kita duga sama sekali, siapa menyangka SBY menjadi presiden Indonesia? Persis dengan ketidakmengertian kita, bagaimana MJK bisa menjadi wakil presiden Indonesia!
Apa yang dikatakan oleh para pengamat, akademisi, atau para pedagang riset dan polling, hanyalah teoritisasi dari sesuatu yang sudah terjadi. Post factum. Meski ada yang jumawa semacam Denny J.A., yang konon sudah bisa memprediksi kemenangan pasangan SBY-MJK, ketahuilah, tidak ada yang mempercayainya waktu itu. Tidak juga SBY-MJK. Tidak juga Deny J.A., sekali pun nama yang terakhir ini masuk dalam “man of the year” atau “the king maker”, sebagai iklan-iklan di koran tentang dirinya, yang dibuat oleh dirinya pula.
Jadi, fakta itu menunjukkan, sebelum segala sesuatunya terjadi benar-benar, kita tidak boleh membunuh mimpi atau cita-cita kita, untuk menjadi presiden. Bahkan untuk Pemilu 2009 sekali pun. Masih ada waktu, masih ada kesempatan. Bagaimana caranya? Tentu saja, baca buku ini sampai tuntas.
Tidak ada yang sulit di dunia ini. Apalagi di Indonesia. Karena jika kita percaya pada keajaiban, begitu banyak keajaiban yang bisa diharap terjadi di Indonesia. Gus Dur saja, pendekar demokrasi itu, lebih percaya wangsit kyai langitan, daripada mekanisme sebuah partai modern, yang mengandalkan kedaulatan anggota partai. Sebagaimana namanya, keajaiban tidak mengenal rumus-rumus eksak. Tidak mengenal angka-angka polling. Justeru rumus keajaiban yang non-eksak itulah yang sering dicuri, untuk menjadi pembenaran bagi seluruh keajaiban yang direkayasa. Bukankah jika diperlukan segala macam angka-angka eksak dan akademis itu, semuanya bisa dihadirkan secara ajaib. Dan kita menganggapnya sangat wajar, betapa pun ajaibnya itu.
Bagaimana bisa? Tentu saja, untuk sampai pada pemahaman filosofis dari tesis itu, tidak bisa didapatkan segera dari pengantar pendek ini. Sekali lagi, jika Anda sudah tuntas membaca buku ini, akan segera tahu, bahwa memang tidak ada sesuatu yang sulit. Tidak sesuatu yang tidak mungkin. Tidak ada sesuatu yang absurd, di bumi persada Indonesia.
Buku ini, dipersembahkan bagi para calon presiden Republik Indonesia, masa kini dan mendatang. Sebelum sampai pada cita-cita, jangan berhenti membaca buku ini. Meski harus diwariskan kepada anak-cucu-buyut-canggah, dan seterusnya dan seterusnya hingga tujuh puluh turunan, cita-cita menjadi presiden Indonesia adalah sah. Tetaplah optimis. La tahzan, kata sebuah buku laris. Bergembiralah. Jangan bersedih.
Sebagaimana sahabat-sahabat saya yang juga tetap optimis. Tetap bekerja dan berkarya, di belantara Indonesia, di pelosok-pelosok desa, meski tidak populer, karena media hanya milik para selebritas dan narsis. Mereka tetap mencintai Indonesia, meski yang memerintah Indonesia tidak mereka sukai. Adrian, yang masih terus mendampingi anak-anak Suku Anak Dalam di Sumsel. Taki, yang rela menyusuri sungai-sungai liar di Barito, dan membantu penduduk setempat dalam hal medis. Gugun, di balik-balik gunung wilayah “pedalaman” Jawa Barat. Maliko, di Aceh yang jauh dari televisi dan wartawan. Barko, di Papua yang “nyamuknya ganas-ganas” tapi tetap enjoy mendidik anak-anak Papua (kisahmu lebih dahsyat dari film-film kita). Bubun di perbatasan Indonesia dan Timor Leste, yang sering dicurigai tentara. Belum lagi Puti, Raja dan Ratu, Badilla, Dolitel, dan masih seabreg lagi lainnya di Lebak, Sidoarjo, Sorong, Lombok, Solok,...
Mereka pastilah menanti, Anda-lah yang menggantikan menjadi Presiden Republik Indonesia. Terima kasih kepada para sahabat-sahabat baik seperti itu. Dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Tidak akan sampai setengah hari. Bersegeralah. Dan jadilah presiden Republik Indonesia!
Yogyakarta, Desember 2007 - Agustus 2008
S.W.
Jangan percaya kata-kata sisnis dan bau pesimisme itu. Sekaranglah waktunya untuk kita. The dreams come true! Bangun dunia kita dengan lebih optimis. Kalau ada orangtua yang terpaksa perlu kita percaya, mungkin cuma Sukarno, yang mengatakan; “Gantungkan cita-citamu setinggi langit!” Selebihnya, omong kosong!
Baru dua alinea Anda baca, sekali berhenti, maka separoh kekalahan sudah terjadi. Bagaimana tidak? Karena hanya mereka yang punya tekad membara, termasuk menyelesaikan bacaan ini, akan bisa masuk kriteria menjadi kandidat Presiden Republik Indonesia.
Siapa yang bisa menduga, bahwa Barrack Obama, yang pernah tinggal di daerah kumuh Menteng Atas Indonesia, menjadi kandidat presiden Amerika Serikat? Siapa menyangka bahwa ibu rumah tangga Qori Aquino, menjadi presiden Philipina? Sama seperti yang tak kita duga sama sekali, siapa menyangka SBY menjadi presiden Indonesia? Persis dengan ketidakmengertian kita, bagaimana MJK bisa menjadi wakil presiden Indonesia!
Apa yang dikatakan oleh para pengamat, akademisi, atau para pedagang riset dan polling, hanyalah teoritisasi dari sesuatu yang sudah terjadi. Post factum. Meski ada yang jumawa semacam Denny J.A., yang konon sudah bisa memprediksi kemenangan pasangan SBY-MJK, ketahuilah, tidak ada yang mempercayainya waktu itu. Tidak juga SBY-MJK. Tidak juga Deny J.A., sekali pun nama yang terakhir ini masuk dalam “man of the year” atau “the king maker”, sebagai iklan-iklan di koran tentang dirinya, yang dibuat oleh dirinya pula.
Jadi, fakta itu menunjukkan, sebelum segala sesuatunya terjadi benar-benar, kita tidak boleh membunuh mimpi atau cita-cita kita, untuk menjadi presiden. Bahkan untuk Pemilu 2009 sekali pun. Masih ada waktu, masih ada kesempatan. Bagaimana caranya? Tentu saja, baca buku ini sampai tuntas.
Tidak ada yang sulit di dunia ini. Apalagi di Indonesia. Karena jika kita percaya pada keajaiban, begitu banyak keajaiban yang bisa diharap terjadi di Indonesia. Gus Dur saja, pendekar demokrasi itu, lebih percaya wangsit kyai langitan, daripada mekanisme sebuah partai modern, yang mengandalkan kedaulatan anggota partai. Sebagaimana namanya, keajaiban tidak mengenal rumus-rumus eksak. Tidak mengenal angka-angka polling. Justeru rumus keajaiban yang non-eksak itulah yang sering dicuri, untuk menjadi pembenaran bagi seluruh keajaiban yang direkayasa. Bukankah jika diperlukan segala macam angka-angka eksak dan akademis itu, semuanya bisa dihadirkan secara ajaib. Dan kita menganggapnya sangat wajar, betapa pun ajaibnya itu.
Bagaimana bisa? Tentu saja, untuk sampai pada pemahaman filosofis dari tesis itu, tidak bisa didapatkan segera dari pengantar pendek ini. Sekali lagi, jika Anda sudah tuntas membaca buku ini, akan segera tahu, bahwa memang tidak ada sesuatu yang sulit. Tidak sesuatu yang tidak mungkin. Tidak ada sesuatu yang absurd, di bumi persada Indonesia.
Buku ini, dipersembahkan bagi para calon presiden Republik Indonesia, masa kini dan mendatang. Sebelum sampai pada cita-cita, jangan berhenti membaca buku ini. Meski harus diwariskan kepada anak-cucu-buyut-canggah, dan seterusnya dan seterusnya hingga tujuh puluh turunan, cita-cita menjadi presiden Indonesia adalah sah. Tetaplah optimis. La tahzan, kata sebuah buku laris. Bergembiralah. Jangan bersedih.
Sebagaimana sahabat-sahabat saya yang juga tetap optimis. Tetap bekerja dan berkarya, di belantara Indonesia, di pelosok-pelosok desa, meski tidak populer, karena media hanya milik para selebritas dan narsis. Mereka tetap mencintai Indonesia, meski yang memerintah Indonesia tidak mereka sukai. Adrian, yang masih terus mendampingi anak-anak Suku Anak Dalam di Sumsel. Taki, yang rela menyusuri sungai-sungai liar di Barito, dan membantu penduduk setempat dalam hal medis. Gugun, di balik-balik gunung wilayah “pedalaman” Jawa Barat. Maliko, di Aceh yang jauh dari televisi dan wartawan. Barko, di Papua yang “nyamuknya ganas-ganas” tapi tetap enjoy mendidik anak-anak Papua (kisahmu lebih dahsyat dari film-film kita). Bubun di perbatasan Indonesia dan Timor Leste, yang sering dicurigai tentara. Belum lagi Puti, Raja dan Ratu, Badilla, Dolitel, dan masih seabreg lagi lainnya di Lebak, Sidoarjo, Sorong, Lombok, Solok,...
Mereka pastilah menanti, Anda-lah yang menggantikan menjadi Presiden Republik Indonesia. Terima kasih kepada para sahabat-sahabat baik seperti itu. Dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Tidak akan sampai setengah hari. Bersegeralah. Dan jadilah presiden Republik Indonesia!
Yogyakarta, Desember 2007 - Agustus 2008
S.W.
Maunya apa? Memangnya ini Amerika? Ibunya Barrack Obama saja, mengirimkan balik Obama ke Amerika, karena katanya kalau tetap di Indonesia tidak bakal mungkin jadi presiden. Hm, jadi presiden di Amerika bisa jauh lebih mudah dibanding di Indonesia.
BalasHapusMemangnya Amerika? Jauh lebih sulit jad presiden di Indonesia. Contohya, Barrack Obama belum tentu berhasil jadi presiden jika tetap di Indonesia.
BalasHapusEmang gampang ya? Kalo di Amrik kali. Barrack Obama tu kalo di Indonesia, kagak bakal bisa jadi presiden! Ya toh?
BalasHapus