Oleh : Sunardian Wirodono
Kalau saya menuliskan judul ‘Bubarkan Saja Dewan Pers’, tak lebih menanggapi seruan orang Dewan Pers, yang menyatakan bahwa ‘kehadiran buzzer mengganggu kebebasan pers.’. Lebih lanjut dikatakan oleh anggota Dewan Pers Asep Setiawan, sebaiknya buzzer ditiadakan.
Alasannya, sudah ada pejabat humas pemerintah yang menjawab jika kritik pers perlu direspons. Haduh, ini logika cemana? Dewan adalah ke-dewa-an, ia mewakili pemikiran yang substansial, tinggi dan mulia. Tapi lha ini kok picik bener?
Menyandingkan buzzer dengan pejabat humas di pemerintahan, adalah pemikiran kadrun banget. Nggak usah baper, kadrun hanyalah penyamaan oknum yang suka memandang segala sesuatu dari sudut politis. Namun ketika mereka sendiri memakai frame itu, ngelesnya selalu soal hak demokrasi untuk menyampaikan pendapat. Kebebasan berekspresi. Terus kemudian merembet ke hak azasi manusia dan seterusnya.
Lebih-lebih pendapat yang mengatakan buzzer ditiadakan itu, menopang pernyataan sebelumnya; bahwa kehadiran buzzer membahayakan pers. Hal itu disampaikan oleh Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers.
Framing yang ingin dimunculkan adalah; buzzer ‘peliharaan’ pemerintah. Bahkan ada sebutan ‘BuzzerRp’. Dalam salah satu sidang parlemen, ada anggota DPR-RI menanyakan mengenai anggaran negara bagi biaya buzzer itu.
Biyingkin. Kehadiran buzzer membahayakan pers. Dan senyampang itu, Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers di Dewan Pers, kebetulan ‘orang’ Tempo. Kita tahu cover-cover majalah Tempo, selalu menjadi kontroversi dalam perdebatan mengenai persoalan etis dalam etika pers. Media sering terlihat kritis, tetapi ketika dikritisi ternyata sami-mawon. Tipis kuping dan tebal muka.
Karena punya kuasa-nilai, Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers ngomong buzzer membahayakan pers. Buzzer bukan mengritik berita yang disiarkan pers, tapi ‘kerap’ melancarkan serangan kepada pers itu sendiri.’ Kalimat yang agak susah dipahami, mangsudnya apah? Ya, jangan berlayar jika takut ombak. Bahwa ada buzzer yang menjengkelkan dan bajingan, hal yang sama juga ada pada anggota pers. Bukan persoalan medianya. Mari adil melihat masalah.
Apa sih buzzer itu? Mendefinisikan buzzer sebagai peliharaan pemerintah (bahkan menyamakan fungsi dengan pejabat humas pemerintah), sungguh naif. Kalau buzzer ditiadakan, maukah misal Dewan Pers juga menghilangkan buzzer bagi Dewan Pers, buzzer bagi Tempo, buzzer FPI, buzzer kadrun, buzzer SJW (social joker warrior)?
Buzzer lahir karena teknologi komunikasi memungkinkan. Sesuatu yang gagal dilakukan oleh pers dalam mendorong keberanian rakyat menyuarakan hak-haknya. Buzzer sesuai sejarah kemunculannya, adalah ‘akibat dari’ situasi demokratisasi yang tidak berjalan normal. Proses amplifying adalah hal wajar dalam masyarakat terbelah. Tentu saja bising dan memekakkan telinga. Tapi itu resiko ketika elite gagal mengedukasi masyarakat. Dan jangan bandingkan ketika alat komunikasi dan informasi kita masih memakai kenthongan di pos ronda.
Kalau Dewan Pers maunya menjaga dan melindungi, pers macam apa yang mau dilindunginya di abad digital? Kini dengan teknologi komunikasi dan informasi kiwari, semua anggota masyarakat adalah tokoh masyarakat. Apalagi jika benar sinyalemen JA Prasetyo (Stanley), mantan ketua Dewan Pers, terdapat lebih dari 300 juta telepon genggam di Indonesia yang berpenduduk 270-an juta. Jumlah yang agak fantastis, karena Kemenkominfo menuliskan data 160 juta, dan di atas 80% pengguna aktif.
Dengan jumlah seperti itu, hampir menyamai pemilik hak suara ketika Indonesia menentukan nasib demokrasinya dalam Pemilu. Padal, hak bersuara mereka, yang diampu bebas oleh perkembangan teknologi, berada dalam ancaman sistem hukum yang ketat. Tanpa perlindungan dan sistem peradilan yang fair, ketika UU-ITE acap dijalankan dengan tebang pilih.
Orang kecil bisa dipenjara, tapi yang punya temen elite atau politikus bisa diselamatkan. Padal, ancaman penjara tak main-main. Bisa 5-6 tahun untuk kasus sumir ‘perlakuan tidak menyenangkan’. Sementara jika ada anggota pers melakukan ‘kesalahan’, Dewan Pers bisa melindungi dengan pasal karet kebebasan pers. Cukup memberikan ruang ‘hak jawab’. Hak bertanyanya diberikan tidak?
Sekali lagi, kayak MUI, lembaga Dewan Pers juga bakalan sirna tanpa harus dibubarkan paksa. Apalagi kalau kita lihat, lembaga ini juga tak mampu menjaga marwah media pers di jaman berubah ini. Merespons hadirnya media online saja, Dewan Pers tak punya rumusan memadai. Apalagi dengan pemahaman definisi buzzer yang naif dan reaktif.
Karena gagal atau gagap menanggapi perubahan, kekuatan ke-4 demokrasi ini (di Indonesia), ternyata hanya mitos. Demokrasi di Indonesia, mungkin saja dipelopori oleh pers. Namun di jaman ini, revolusi teknologi komunikasi dengan hadirnya berbagai platform medsos, adalah sebuah keniscayaan, tak terbendung. Dengan tingkat literasi yang rendah, tak bisa menyalahkan pada satu sisi.
Jangan pula lupa, dengan penduduk 270 juta, oplah tertinggi yang pernah dicapai koran di Indonesia, hanya diraih oleh Kompas dengan 600 ribu eksemplar. Itu pun dulu. Sekarang sudah turun drastis dengan adanya android di tangan masyarakat Indonesia.
Apalagi ketika Dewan Pers senyatanya, juga tak bisa membasmi adanya wartawan amplop (baik amplop gede maupun kecil), atau media yang jadi ‘buzzer’ bagi lawan kepentingannya. Ini proses disrupsi yang menyakitkan. Tapi jika karena itu kemudian yang menulis opini seperti ini terus disebut ‘BuzzerRp’? Atau hanya akan dipuji mereka kalau mengritik Jokowi? Adillah sebelum kentut. Tabik! | @sunardianwirodono
Begini Cara Kerja
Buzzer dan Kisaran Gajinya
Kompas.com - 12/02/2021, 15:30 WIB
Bagikan:
Komentar 1
Ilustrasi.
Lihat Foto
Ilustrasi.(SHUTTERSTOCK)
Penulis Muhammad Choirul Anwar
| Editor Bambang P. Jatmiko
KOMPAS.com – Penggunaan buzzer untuk tujuan tertentu semakin marak dan
kerap mengundang perdebatan.
Ternyata, ada riset khusus mengenai buzzer yang pernah diterbitkan
University of Oxford pada tahun 2019 lalu. Penelitian ini berjudul “The
Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social
Media Manipulation”.
Dalam penelitian itu, buzzer disebut sebagai pasukan siber, yakni
instrumen pemerintah atau aktor partai politik yang bertugas
memanipulasi opini publik secara online.
Penelitian ini secara komparatif memeriksa organisasi formal pasukan
siber di seluruh dunia dan bagaimana para aktor ini menggunakan
propaganda komputasi untuk tujuan politik.
Dalam laporan tersebut, pihaknya memeriksa aktivitas pasukan dunia maya
di 70 negara, termasuk Indonesia.
Baca juga: Beli Mobil Baru Bebas Pajak, Ini Respons Pengusaha
Temuan dari penelitian ini menunjukkan adanya variasi di berbagai negara
mengenai skala dan rentang waktu pemanfaatan tim buzzer. Di beberapa
negara, tim muncul untuk sementara waktu di sekitar pemilihan atau untuk
membentuk sikap publik seputar acara politik penting lainnya.
Lakukan Kontrol
Di sisi lain, ada buzzer yang diintegrasikan ke dalam lanskap media dan
komunikasi dengan staf bekerja penuh waktu. Mereka bekerja untuk
mengontrol, menyensor, dan membentuk percakapan dan informasi online.
Beberapa tim terdiri dari beberapa orang yang mengelola ratusan akun
palsu.
“Di negara lain - seperti China, Vietnam, atau Venezuela - tim besar
orang dipekerjakan oleh negara untuk secara aktif membentuk opini
publik,” tulis laporan ini dikutip Jumat (12/2/2021).
Buzzer ini menggunakan berbagai strategi komunikasi. Penelitian ini
mengkategorikan kegiatan buzzer ke dalam empat kategori. Pertama,
penciptaan disinformasi atau media yang dimanipulasi. Kedua, pelaporan
konten atau akun secara massal.
Ketiga, strategi berbasis data. Keempat, trolling, doxing atau gangguan.
Kelima, memperkuat konten dan media online.
Penciptaan disinformasi atau media yang dimanipulasi adalah strategi
komunikasi yang paling umum. Di 52 dari 70 negara yang diperiksa,
pasukan siber secara aktif membuat konten seperti meme, video, situs web
berita palsu, atau media yang dimanipulasi untuk menyesatkan pengguna.
“Terkadang, konten yang dibuat oleh pasukan siber ditargetkan pada
komunitas atau segmen pengguna tertentu. Dengan menggunakan sumber data
online dan offline tentang pengguna, dan membayar iklan di platform
media sosial populer, beberapa pasukan siber menargetkan komunitas
tertentu dengan disinformasi atau media yang dimanipulasi,” lanjutnya.
Adapun, penggunaan trolling, doxing, atau pelecehan merupakan tantangan
dan ancaman global yang berkembang terhadap hak asasi manusia. Terdapat
47 negara telah menggunakan trolling sebagai bagian dari senjata digital
mereka.
Baca juga: BEI: 3 Perusahaan Teknologi Bakal IPO di Kuartal I
“ Pasukan dunia maya juga menyensor ucapan dan ekspresi melalui
pelaporan konten atau akun secara massal. Kiriman dari aktivis,
pembangkang politik, atau jurnalis sering kali dilaporkan oleh jaringan
terkoordinasi dari akun pasukan siber untuk mempermainkan sistem
otomatis yang digunakan perusahaan media sosial untuk menghapus konten
yang tidak pantas,” jelasnya.
Trolling dan penghapusan akun atau postingan bahkan dapat terjadi
bersamaan dengan kekerasan dunia nyata, yang dapat memiliki efek yang
dalam dan mengerikan pada ekspresi hak asasi manusia.
Strategi
Adapun mengenai tipologi perpesanan dan strategi valensi yang digunakan,
pasukan siber saat terlibat dalam percakapan dengan pengguna online
untuk beberapa tujuan. Pertama, menyebarkan propaganda pro-pemerintah
atau pro-partai.
Kedua, menyerang oposisi atau melancarkan kampanye kotor. Ketiga,
mengalihkan percakapan atau kritik dari masalah penting. Keempat,
memotori pembagian dan polarisasi. Kelima, menekan partisipasi melalui
serangan atau pelecehan pribadi.
Dalam laporan ini disebutkan pula harga yang dibanderol para buzzer. Di
Indonesia, penggunaan buzzer bersifat kontrak temporer, dengan nilai
antara Rp 1 juta-Rp 50 juta. Kebanyakan buzzer di Indonesia menggunakan
cara-cara disinformasi dan media yang dimanipulasi, serta memperkuat
konten.
Dalam laporan ini dijelaskan bahwa Indonesia termasuk dalam kategori
pemanfaatan tim buzzer berapasitas rendah. Artinya, praktik ini
melibatkan tim kecil yang mungkin aktif selama pemilihan atau
referendum, tetapi menghentikan aktivitas sampai siklus pemilihan
berikutnya.
“Tim berkapasitas rendah cenderung bereksperimen hanya dengan beberapa
strategi, seperti menggunakan bot untuk memperkuat disinformasi. Tim-tim
ini beroperasi di dalam negeri, tanpa operasi di luar negeri,” tulis
penelitian tersebut.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Begini Cara Kerja Buzzer dan Kisaran Gajinya", Klik untuk baca: https://money.kompas.com/read/2021/02/12/153000626/begini-cara-kerja-buzzer-dan-kisaran-gajinya?page=all#page3.
Penulis : Muhammad Choirul Anwar
Editor : Bambang P. Jatmiko
Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Begini Cara Kerja Buzzer dan Kisaran Gajinya", Klik untuk baca: https://money.kompas.com/read/2021/02/12/153000626/begini-cara-kerja-buzzer-dan-kisaran-gajinya?page=all#page3.
Penulis : Muhammad Choirul Anwar
Editor : Bambang P. Jatmiko
Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L