Elitisme Politik Memposisikan Rakyat sebagai Kambing Congek
Oleh Sunardian Wirodono
Panggung politik Indonesia, adalah panggung paling
menyebalkan, juga menjijikkan. Tetapi untuk dibiarkan lewat begitu saja, akan
menyenangkan mereka. Khususnya para bajingan politik, yang akan jauh lebih leluasa. Apalagi ketika media massa (baik cetak, elektronik, maupun online), mulai menjadi bagian dari permainan politik dan kepentingan praktis.
Anda bisa
bayangkan, seorang anggota parlemen, dari partai Gerindra (yang konon koalisi
Pemerintah), memosting foto dirinya, dengan ekspresi menahan senyum kayak orang
mau BAB, memamerkan kaos yang dikenakannya bertuliskan; JUBIR FPI. Orang
seperti itu mengatakan bahwa pembubaran FPI adalah lonceng kematian demokrasi.
Di mana otaknya coba?
Kalau
demokrasi mati, bagaimana ia sebagai anggota parlemen bisa berkata bebas
seperti itu, di media massa maupun media sosial? Dia menikmati bayaran
demokrasi (gaji sebagai anggota legislatif), dan mempraktikkan demokrasi, tapi
dia berbohong atas nama demokrasi.
Selama
tahun 2020, Indonesia memang lebih menonjol dalam dua persoalan yang dimunculkan
oleh dua faktor pemicu masalah. Ialah soal politik dan agama. Sesuatu yang
sangat mungkin terjadi, karena dua hal fundamental itu masih menjadi bagian dari
persoalan bangsa dan negara kita.
*
Setelah
berhasil melewati proses politik Reformasi 1998, justeru permasalahan baru
muncul. Kehidupan politik dikuasai kaum oligarkis. Lebih buruk dari Aukarno dan
Soeharto. Sesuatu yang wajar terjadi karena sistem politik kita yang elitis.
Peran mereka sebagai pusat rekrutmen kepemimpinan sipil, sama sekali tak
berfungsi. Tak ada pendidikan politik untuk rakyat.
Hingga akhirnya
sistem politik itu mengalami kemacetan, dan melahirkan Jokowi sebagai Presiden
Republik Indonesia. Bagaimana tidak, Megawati ketua umum partai pemenang
pemilu, mempunyi kekuasaan mutlak berdasar keputusan kongres, akhirnya
mencapreskan Jokowi, orang luar partai. Mengabaikan kader-kader internalnya.
Dan Jokowi
dua periode, mengalahkan lawan yang sama, yakni perwakilan wajah kepolitikan
yang sudah menjadi mummy. Tapi dicobahidupkan terus-menerus. Hingga kini,
berkelindan dengan ghirah agama yang palsu.
Dalam masa
pandemi saja, mereka mingkem. Dan baru kelicutan ketika salah satu dari
oligarki itu ketangkap KPK, dalam urusan bansos pandemi. Benarkah hanya
Kemensos? Bagaimana dengan Kemendes, Kemenaker, atau kementrian yang dijabat
orang partai?
*
Agama,
menjadi persoalan kedua, karena ia bagian dari dinamika politik. Bukan sejak
Rizieq Shihab, melainkan sejak awal berdiri republik ini. Ketika Sukarno
berdebat panjang, jauh sebelum merdeka. Juga bahkan di depan sidang PPKI,
hingga pidato 1 Juni 1945, yang tetap saja bermasalah. Perdebatan kaum
nasionalis dan kaum agamais (khususnya Islam), dikompromikan sebagai api dalam
sekam.
Hingga
sentimen yang tak terselesaikan itu kemudian justeru dipakai, dieskploitasi
atau dimanfaatkan untuk keuntungan sepihak. Bukannya dieksplorasi dalam
pengertian dibongkar akar permasalahannya. Dicari perbedaan-perbedaannya untuk
didapatkan titik pertemuannya sebagai rumusan Gus Dur.
Para elite
politik justeru memanfaatkannya. Mengkapitalisasi sebagai strategi mengalahkan
lawan, dengan menonjolkan politik identitas. Apalagi ketika kelompok ini,
termasuk para donaturnya, berhasil menjungkalkan Ahok, menaikkan Anies.
Tentu saja
hal itu bisa jadi akan terus-menerus dimanfaatkan, hingga 2024 kelak, dalam Pemilu
maupun Pilpres. Akan sangat tergantung seberapa besar penghargaan bangsa dan
negara ini pada sistem hukum yang sudah disepakati bersama.
Selama
demokrasi hanya bertumpu pada kebebasan berpendapat dan berserikat semata,
tanpa ditopang oleh kedisiplinan dalam menegakkan sistem hukum, proses demokratisasi
akan berjalan lamban. Bahkan mungkin menjadi faktor pengganggu. Karena tiap
hari bukan saja menjadi peristiwa politik, melainkan persoalan politik yang
tidak menyelesaikan. Lantas kapan percepatan pertumbuhan ekonomi menjadi
prioritas, ketika perimbangan anggaran kita masih sangat timpang antara belanja
dan pendapatan?
*
Lemahnya
konstitusionalisasi konflik, karena perilaku para praktisi perpolitikan kita
yang memang tidak bermutu. Demokrasi menangnya sendiri, mutlak-mutlakan, dan
tak sudi mendengarkan apalagi mengapresiasi liyan. Pelanggar hukum yang sedang
diproses hukum, oleh para elite politik diminta ditangguhkan, dan mereka rela
menjadi penjaminnya. Ini soal kemanusiaan? Bukan. Karena mereka juga tahu, jika
pun permintaan tak dikabulkan, mereka telah sukses mempromosi dirinya, untuk menangguk
simpati konstituen sebagai investasi dalam masa kontestasi kelak.
Semasa
hidupnya, sebelum jadi Presiden, Gus Dur pernah berujar FPI adalah organisasi
bajingan yang harus dibubarkan. Gus Dur bahkan menyebut Rizieq Shihab sebagai
teroris lokal. Gus Dur bahkan bertekad hendak membubarkan FPI, meski ketika
menjadi Presiden pun, tekad itu tak terlaksana. Hingga Rizieq bisa mengejek Gus
Dur, sebagai orang buata mata dan buta hati, hingga bukannya FPI bubar
melainkan Gus Dur yang longsor dari kursi kepresidenan.
Pada waktu
itu, ketika Gus Dur mengatakan hendak membubarkan FPI, beberapa teman Gus Dur banyak
yang diam saja. Tak berkomentar. Namun ketika mereka mengetahui pemerintahan
Jokowi menyatakan FPI sebagai organisasi terlarang, juga sedang memproses pelanggaran
hukum Rizieq, mereka ini pada bekoar atas nama demokrasi, hukum, keadilan, dan
HAM. Itulah sebabnya, SJW itu lebih tepat disebut Social Joker Warrior. Para Sulayan
Jokowi Waton, sebagai penganut waham salawi.
*
Jika dulu
ada gerakan ‘Semut Merah’ untuk menjatuhkan Gu Dur, kini juga ada gerakan
serupa, untuk menjatuhkan Jokowi. Beberapa adalah orang yang sama. Apakah tahun
2021 situasi akan tetap?
Akan sangat
tergantung pada Jokowi, apakah ia sesuai janjinya akan tanpa kompromi,
menurunkan kadar toleransinya pada para bajingan politik (di dalam maupun di
luar Istana). Akan pula sangat tergantung pada kekeraskepalaan Jokowi, dalam memerintahkan
para pembantunya, untuk bekerja keras demi bangsa dan negara. Bukannya demi
partainya semata.
Karena politik di Indonesia masih saja hanya dipandang
sebagai alat berkuasa. Untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Bukan sebagai
alat perjuangan mensejahterakan bangsa dan negara. Dalam ungkapan orang Jawa,
untung dalam dua periode di masa transisi generasi ini, Jokowi kita menangkan.
Dalam sangking riuhnya kepolitikan, kita pura-pura merem, bagaimana
performance Republik Indonesia ini (di masa pandemi dunia), lebih mencorong di
mata negara luar.
Politik itu
mulia. Benarkah? Jika diperlakukan secara mulia. Jika tidak tentu saja menjijikkan. Dan kalau didiamkan, para bajingan politik tentu akan
berpesta pora. Apalagi ketika kita dalam, turbulensi itu, turut serta menuding-nuding Jokowi. Secara tak sadar para jelata dihipnotis kata-kata oleh para demagog, menjadi bagian dari kaum elite politik. Walau hanya sebagai kambing congek. Dan hanya selalu puas dengan permainan kata-kata. | @sunardianwirodono