Masih tentang Episode Jalan di Tempat dengan Bangga
Oleh : Sunardian Wirodono
Hujatlah Jokowi, maka kamu ada. Tentu bukan omongan Rene Descartes, namun itulah yang terjadi di jaman kiwari. Sinisi semua tindakan atau performancenya, maka kau akan dengan cepat mendapatkan segalanya. Jika bukan popularitas, mungkin duit. Di luar keduanya, setidaknya akan memberimu status bahwa kamu warga negara yang kritis dan mandiri. Itu penting, karena akan dinilai waras, cerdas, bernalar, beda dengan yang lain, dan itu keren.
Skeptisisme, dan apalagi menonjolkan sinisme, bisa jadi shortcut, jalan pintas untuk menjadi seorang tokoh (meski menurut Joel Stein, dengan handphone di tangan semua anggota masyarakat kini adalah tokoh masyarakat).
Enggak buruk sih. Cuma kasihan kalau itu hanya teater, akting, siasat, yang jika seniman maka ungkapannya; Kualitasnya hanya sebatas kapasitas teknis artistik, atau wawasannya hanya dalam frame kreatif. Tapi nilainya kagak substansial. Jika tak boleh memakai contoh seniman, ambil contoh para aktivis sosial-politik, intelektual muda, orang-orang lapangan yang kini mencoba menempelkan sebutan SJW (orang bilang ‘social justice warrior’, saya sih lebih percaya mereka ‘social joker warrior’).
Ada yang mendadak menjadi ahli bahasa, dengan menjelaskan anarkisme bukan brutalisme dan bukan barbarisme (mungkin maksudnya barbarianisme). Tak ada penjelasan di situ. Padal, siapa yang menyamakan istilah itu? Juga tak ada penjelasan. Meski pun saya juga tidak tahu, siapa yang menyamaartikan istilah-istilah itu?
Namun jika menyebut berbagai demonstrasi yang brutal dan barbar itu merupakan tindakan anarkis, tak ada salahnya di situ. Anarkisme adalah faham yang menolak bukan saja pemerintahan, melainkan juga negara. Di Indonesia, seolah tetiba muncul yang bernama Anarko. Dari namanya ketahuan ideologi yang digotong.
Demonstrasi penolakan Omnibus Law UUCK, tidak ada salahnya sebagai hak menyampaikan aspirasi. Namun melihat cara-cara yang dilakukan secara barbar dan brutal (tahu ‘kan artinya dua kata itu?), tak bisa tidak itu adalah manifestasi tindakan anarkisme.
Maka, dalam diskusi-diskusi kita yang panas, yang lebih muncul memang diskusi wacana, perdebatan semantik. Bukan mengenai apa sesungguhnya masalah yang kita hadapi dan bagaimana kita pecahkan bersama, dicarikan solusinya, dan sepakat atas hal itu dijalankan. Membela buruh tapi tidak ngerti konfigurasinya. Bahkan ada yang membela petani dan rakyat miskin, tetapi tidak ngerti konstelasinya. Dan rerata juga tak bisa meyakinkan apa konsepsinya? Pokokmen, asal menyatakan bela-rasa pada rakyat kecil, rakyat miskin. Itu dianggap sudah juara, superhero baru. Padal, acap hanya sebagai eksploitasi bukannya eksplorasi.
Kerusuhan, Konflik, dan Tiadanya Norma. Terjadinya kerusuhan, secara sosiologi, adalah manifestasi adanya anomi (anomie), yang hakikatnya merujuk pada tidak adanya norma. Jika pun ada norma, hal itu sudah tak lagi mempunyai makna. Tidak lagi bisa digunakan sebagai acuan hidup sehari-hari.
Dalam kondisi seperti itu, manusia seolah hidup secara minimal, sebagaimana layang-layang. Bertindak menurut kepentingan sendiri, tidak mengindahkan liyan. Dan bentuknya paling ekstrim, manusia menerapkan yang disebut hukum rimba. Norma yang pada hakikatnya mengatur hubungan kelompok dan individu sesuai dengan kesetaraan hak dan kewajiban, diganti dengan pola hubungan asimetris. Setiap orang atau kelompok, hanya mendesakkan hak sebagai kepentingan dan mengabaikan kewajibannya. Semua kelompok merasa dirinya paling benar dan pihak lain adalah salah.
Tak digunakannya norma normal, tidak hanya oleh rakyat. Kadang malah bermula dari sikap serupa yang muncul dari pejabat negara. Misal paling gampang, pejabat yang arogan, korup, hedonis (contoh, Gatot Nurmantyo yang dulu hanya sebagai Panglima TNI, berapa gajinya? Konon punya istana di Sentul, dan konon punya tiga isteri). Namun, celakanya dalam situasi hidup pragmatis, yang seperti itu (karena kekayaannya, dan bisa membayari orang untuk menuruti kehendaknya), mementahkan keyakinan Marx untuk tumbuhnya komunisme. Karena yang ada hanyalah komunalisme. Dan ada jenis manusia seperti itu, yang bisa diperlakukan seperti itu pula.
Banyak faktor menyebabkan hal itu. Bukan hanya pada perilaku dari para individu yang terlibat dalam struktur dan bangunan sistem. Melainkan juga bangunannya sendiri, struktur dan hierarkinya, sama sekali tak memiliki legitimasi kuat. Hal itu bisa jadi juga karena sistem yang berlangsung. Oligarki partai, sitem politik yang elitis, perilaku atau mentalitas yang muncul, entah itu korup atau terjadinya deviasi atau pun bias kepentingan.
Situasi Indonesia sangat kompleks, lebih-lebih dalam situasi transisi paska longsornya Soeharto, yang menyisakan soehartoisme hingga kini. Karena sistem politiknya yang elitis, memungkinkan partai politik hanya sebagai alat elite. Demokrasi dengan pemilu, hanya dipakai sebagai siasat mendapat dukungan. Namun senyampang itu, tak ada proses politik di dalamnya. Yang ada hanyalah persoalan dukung-mendukung dan nista-menista. Demokrasi masih berada di level paling bawah, yakni kontestasi untuk berebut kemenangan, dengan menyingkirkan kompetitor, sampai ke akar-akarnya.
Teori Konflik Karl Marx yang Tidak Majas. Konflik, baik yang bersifat fisik maupun non-fisik, adalah sesuatu yang inheren dalam hidup manusia. Untuk menjalankan kehidupan keseharian, mencapai tujuan masing-masing, individu maupun kelompok harus bersaing dengan individu dan kelompok lain. Dalam teori Marx (Karl Marx), dan para ilmuwan sosial lainnya, konflik yang sangat tajam, khususnya antara kelas bawah dan atas di satu pihak, dan dipihak lain antara masyarakat secara keseluruhan versus negara, adalah suatu indikasi tentang adanya perubahan sosial yang revolusioner; Perubahan dari masyarakat kapitalis menuju ke komunis.
Namun teori Marx itu, tak banyak terbukti di Eropa (Dahrendorf, 1984). Jika pun terjadi, kadarnya terjaga karena mekanisme institusionalisasi konflik. Di situ kemenangan kapitalisme, yang lebih melihat sistem dan mekanisme secara signifikan berpengaruh terhadap perilaku sosial masyarakat.
Di Indonesia, keadaannya menjadi lain. Ketika politik menjadi elitis, sementara kaum elit belum selesai dengan dirinya. Di kalangan atas, demokrasi adalah sebuah kemestian legitimasi, apapun jalannya. Di masyarakat bawah, demokrasi hanyalah prinsip kebebasan menyatakan pendapat.
Dalam situasi transisi itulah, kita bisa berada dalam kegamangan. Apalagi ketika lembaga-lembaga negara tak bekerja secara normal dalam proses institusionalisasi konflik. Konflik pecah di jalanan, dan hal itu rawan ditunggangi berbagai kepentingan, dengan persepsi dan perspektif peran masing-masing. Hanya di negara di mana rakyatnya masih hanya sebagai objek, yang terjadi adalah objektifikasi nilai. Dan itu selalu sumir, juga samar. Apalagi jika memakai politik identitas.
Lihat saja mencuatnya nama Anies Baswedan, Gatot Nurmantyo, Din Samsuddin, AHY, Tomie Soeharto, bahkan yang diam-diam juga terlihat ngebet, Dahlan Iskan. Apakah bisa dilepaskan dengan konfigurasi kompetisi politik dengan Jokowi di sisi lain? Juga bukan rahasia, bagaimana perebutan pengaruh (kekuasaan) acap berlangsung dengan licik. Dengan munculnya istilah demo atau massa bayaran? Menuding demokrasi kita hanya melahirkan istilah kampret, cebong, atau kadrun, itu khas cara pandang kelas menengah untuk menutupi istilah buzzerRp atau influencer bayaran yang disemprotkannya. Mengapa bisa sampai seperti itu?
Pada sisi lain, para SJW sebagai intelektual tukang, hanya melihat dari sisi kepentingannya. Tak bisa melihat lebih jauh mengenai kompleksitas masalah, yang dengan mudah dikatakan bukan urusannya. Pandangannya pragmatis dan temporer, hingga tak peduli dengan inkonsistensi ideologinya apa, kecuali kepentingannya. Kapasitas keintelektualannya hanya pada tingkat keterampilan teori. Di mana persoalan konten hanyalah soal narasi.
Menyedihkan ada intelektual atau seniman, yang mengatakan karena berbagai ormas, bahkan NU dan Muhammadiyah menolak UUCK, maka dengan begitu dikatakan Presiden keras kepala, bodoh, nekad, pekok, dan sebagainya. Apakah itu ukurannya? Soal penolakan UUCK, bisa ditambahkan, bahkan ada 67 Dekan (mungkin dari Fakultas Hukum) di Indonesia. Bahkan ada pula dosen yang mau memberi nilai A jika ada mahasiswanya yang mau ikut demo menolak UUCK. Kurang apalagi? Tapi apakah itu jaminan kebenaran, dengan menutup dasar pemikiran yang berbeda? Apa ukuran kebenaran? Apakah ormas agama bisa dijadikan ukuran norma normal, apalagi dalam politik identitas?
Akar Masalah dari Nilai Demokrasi sebagai Alat. Sayangnya
memang komunikasi itu yang tidak ketemu. Duapuluh tahun reformasi, tak
memberikan perubahan apa-apa pada berbagai lembaga negara kita. Hingga
bagaimana cara kita bernegara, masih juga dijalankan dengan sistem kerajaan.
Misal, Jokowi mengundang elite organisasi buruh. Tapi demo tetap berlangsung.
Dan baru setelah rusak-rusakan fasum, Said Iqbal ngomong mereka akan menggugat UUCK ke MK, dan
seterusnya. Belum lagi di parlemen, mengikuti sidang dari awal tapi di putaran akhir
menyatakan ketidaksetujuan. Wakil rakyat hanya sekelas kejar setoran, masih
mikirin uang sidang per-D. Kemudian menyatakan walk-out dengan panggung teater
aksi demo massa yang tengah berlangsung. Agar mendapat piala Citra.
Jika muncul anarkisme di tengah masyarakat, yang diekspresikan secara brutal dan barbar, semuanya mempunyai akar masalahnya. Dari sana, kita bisa memahami, mengapa di berbagai media, juga tentunya berbagai platform medsos, apa dan bagaimana komentar SBY, Dien Samsuddin, Gatot Nurmantyo, Amien Rais, Tommie Soeharto, Dahlan Iskan, Anies Baswedan, Rizieq Shihab, bahkan Najwa Shihab, dokter Tirta, dan di luar itu para SJW (Social Joker Warrior) yang tak bisa saya sebutkan satu-persatu, apalagi satu per dua, yang artinya setengah-setengah.
Dunia internet dan digital, memberikan kita kemudahan untuk melacak jejak, bagaimana omongan mereka, D-per-D. Di mana pemlintiran media, hoax, rumors, fitnah, dan lain sebagainya bisa dibedakan.
Persoalan substansinya memang pada penegakkan hukum atau aturan. Di situ masih terjadi ruang kompromi yang lebar, dan belum terbukti Jokowi menurunkan tingkat kompromi yang dijanjikan. Bahkan sampai "akan saya gigit sendiri, dengan cara saya sendiri,” kata Jokowi. Waduh, digigit dengan caranya sendiri? Seperti apa, atau pakai apa? Dengan mengundang Andi Ganie dan Said Iqbal ke istana, misalnya?
Di situ kita masih bermasalah dengan norma normal. Juga soal belum terciptanya ruang terhormat untuk kemenangan moral, dengan penegakan hukum, moral force atau pun moral hazzard. Yang muncul justeru Anarko! Meski bukan tanpa sejarah, setelah maraknya politik identitas.
Mahkamah Konstitusi, lembaga negara yang membuka ruang rakyat menggugat, yang dibangun paska longsornya Soeharto (berdiri pada era Presiden Megawati Soekarnoputri), tidak diingat sebagai perubahan di era reformasi. Masih saja yang muncul adalah gejolak hatinya, impulsinya. Tidak penting relevan atau tidak. Sudah begitu, mengaku paling benar dan paling pintar, dengan indikator yang bisa kita lihat; Kecenderungan meremehkan atau meniadakan liyan.
Padal, Ki Hadjar Dewantara, yang semula adalah Raden Mas Suwardi Suryaningrat, seorang ningrat Jawa, dengan elegan sudah ngendika; “Dimana ada kemerdekaan disitulah harus ada disiplin yang kuat.” Disiplin atas apa? Atas kesepakatan bersama, agar kemerdekaan itu bermakna dan terasakan bersama. Di sisi itu, tulis Ki Hadjar, “janganlah orang mengira bahwa dasar kekeluargaan itu mengijinkan kita melanggar peraturan. Kekeluargaan kita adalah sikap kita pada yang takluk kepada organisasi kita.”
Sebagai keluarga besar, bersama, berembug, berbicara, saling mendengarkan, bergotong-royong, bahu-membahu, itu yang tidak terjadi. “Barang siapa dengan terang-terangan atau dengan sengaja mengabaikan, wajiblah kita memandang dia sebagai orang luaran,” masih tulis Ki Hadjar. Karena masing-masing kita diikat dalam kesepakatan atas aturan, yang harus dijalankan secara disiplin tadi. “Sungguhpun disiplin itu bersifat selfdisiplin, yaitu kita sendiri mewajibkan dengan sekeras-kerasnya.” Namun senyampang itu, masih menurut Ki Hadjar, “peraturan yang sedemikian itu harus ada di dalam suasana yang merdeka.”
Bagaimana sampai pada dialektika seperti itu, pada manusia jaman dulu? Sementara generasi yang hidup di teknologi 4.1 ini tingkat literasinya sangat receh? Orang kuna macam Ki Hadjar Dewantara, lebih mengerti makna demokrasi. Yakni kemerdekaan yang bukan hanya pada soal kebebasan, namun juga soal kedisiplinan dan aturan yang memberi ruang pada liyan.
Ini memang masih tentang episode jalan panjang, di mana sama sekali kita tak mampu memanfaatkan episode bersama Jokowi, menuju ke episode atau tahapan berikutnya. Apakah momentum kebersamaan ini akan lewat, sia-sia? Bahkan, makbedundug, tak sedikit para SJW kemudian sama-sama mengikuti menghina Jokowi. Hanya karena mereka merasa terhina atas kehadiran Jokowi, S1 fakultas kehutanan, yang semula tukang meubel itu?
Dan kita masih jalan di tempat, dengan bangga. | @sunardianwirodono.