Tambahkan teks |
Dengan tudingan penyadapan aktivis, para SJW dan media yang mencoba menjadi pahlawan demokrasi, menuding pemerintah otoriter dan antri kritik. Saya belum tahu apa komentar mereka, untuk Denny Siregar yang sedang berkasus dengan Telkomsel.
Kita pernah dengar cerita, anak kecil yang bisa membobol data Pentagon. Di Indonesia Raya ini, juga tak sulit menemu anak SD melek teknologi tinggi, bahkan bisa melakukan penyadapan. Pernah anak SD Surabaya, ketika diajak ortunya piknik ke Singapura, ditangkap Polisi setempat ketika sedang main-main komputer. Pasalnya, ia melakukan pengacakan data sebuah bank Singapura. Ia tak sedang melakukan kejahatan, cuma karena iseng dengan hobinya bermain komputer.
Faktanya, melakukan perusakan dan penyadapan data yang terkait dengan ponsel dan internet, bisa dilakukan siapa saja. Teknologi informatika bukan suatu temuan istimewa manusia. Anak-anak yang ikut kursus keterampilan service HP, bisa menelpon dengan menggunakan nomor ponsel orang lain tanpa diketahui si pemilik. Pulsa Anda pun, bisa dicolong penjual pulsa yang pintar bermain bahasa pemograman. Pak Omno W Poerbo, pernah mempraktikkan merakit PC Pentium 1, dalam waktu 15 menit diotak-atik, dan kemudian dipakainya menelpon ke nomor telpon dan ponsel.
Dalam beberapa kali penangkapan teroris, kepolisian kita mendapati data, para perakit bom punya pekerjaan tak jauh berbeda, jika bukan loper koran (dulu sebelum jaman HP), kebanyakan tukang servis handphone atau laptop. Bahkan pada kelompok ini, ada divisi khusus yang mempelajari dunia informatika.
Klaim para SJW disadap oleh BIN atau Pemerintah atau Polisi atau apalah, menjadi sumir karena mereka tak punya bukti. Sama dalam setiap kejahatan, hanya akan meyakinkan kalau tudingan kita berbukti, berfakta, bukan berasumsi atau beralasan. Para koruptor yang kena OTT, pada awalnya akan nyanyi cem-macem, tetapi nanti dipersidangkan, lebih banyak bungkem ketika semua bukti disodorkan.
Mangsud saya, siapapun bisa menuding apa saja. Namun tanpa bisa menunjukkan bukti, akan menjadikanmu menyedihkan. Akhirnya tak beda dengan kelompok yang suka teriak anti PKI. Membakar bendera PKI, dan mengatakan PKI bangkit kembali. Kalau benar dirugikan, dan serius dengan claim itu, buktikan secara teknologi pada pihak-pihak berwenang. Jangan hanya ngomdo di media, dengan claiming atau playing victim. Nggak lucu sebagai korban penyadapan tapi enggan melapor. Nglapornya malah ke media. Alasannya pun khas, sia-sia lapor ke kepolisian.
Bagi para korban penyadapan, sebenarnya tak begitu sulit mencari bukti siapa melakukan penyadapan. Jejak digital bukan sesuatu yang mudah disembunyikan, apalagi dihapus. Semuanya bisa terlacak, dan bisa dibongkar sepanjang demi hukum dan alasan yang kuat. Karena gagap teknologi, tak sedikit orang pinter menunjukkan ketololan. Menjadi paranoid dan berlebihan menanggapi sesuatu yang tak dikuasai.
Dalam jaman internet dan abad digital ini, muncul apa yang disebut proxy-war. Perang berlangsung asimetris. Tak jelas mana lawan mana kawan. Karena lawan bisa diam-diam menjadi kawan. Belum pula yang memakai strategi victim playing. Konfigurasi kebencian juga membuat kelompok salawi (semua salah jokowi) berwarna pelangi. Ia bisa orang partai, akademisi, praktisi, penganut khilafah, sodrun, kadrun, penumpang gelap, kaum pragmatis, oportunis. Padal agenda mereka beda-beda, dan tak bakalan akur sekiranya kelompok ini pegang kekuasaan.
Dalam perang asimetris orang gampang njeplak Indonesia negara liberal, antek asing, dan sejenisnya. Tampak nasionalis banget. Padal, betulkah Indonesia liberal? Benarkah antek asing? Berapa nilai investasi asing Indonesia, dibanding negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara? Data bisa bicara beda, dan tragis. Karena tudingan itu bisa muncul dari para sisa konglomerat orba, yang tak berani bersaing dalam jaman perubahan ini. Melihat tenaga asing saja, diadu-domba dengan tenaga pribumi. Tanpa kita tahu konsep transfer of technologie atau pun transfer of knowledge yang lumrah di negara mana pun. Bagaimana kalau TKW dan TKI kita ditolak di luar negeri?
Dibilangnya pemerintah Indonesia, jaman Jokowi mulai otoriter dan anti kritik. Bahkan ada yang menyebut kebebasan pers terkendala. Ha, gambis! Pers yang mengeluh kebebasan persnya terganggu, adalah pers dogol. Bukan pejuang kebebasan pers sejati, melainkan lembaga publik yang manja (maka hormat saya pada lembaga pers yang dulu dibredel. Ingat, dulu). Di jaman media online, dengan medsos bertebaran, mengherankan mengatakan pemerintah otoriter. Teriak kebebasan pers tapi hanya karena menyuarakan kepentingan owner, yang punya kepentingan politik tertentu, adalah sampah anorganik. Tapi begitulah, ini jaman merah dikatakan kuning, kuning dibilang tai.
Indonesia adalah negara liberal dalam kaitan komunikasi dan informasi. Orang bisa bebas seenaknya membeli nomor perdana ponsel. Bahkan sempat ada nomor perdana berharga Rp 5 ribu. Cara registrasi pun online, bisa kita tipu dengan NIK ngawur, asal jumlah digitnya sama. Sementara di negara yang kita bilang maju dan modern, kayak Eropa dan AS, penggunaan nomor ponsel sangat ketat diawasi. Satu orang hanya boleh memiliki satu nomor. Pun dengan cara registrasi manual atau on paper.
Jika pun harus nambah nomor lagi, dengan syarat dan ketentuan yang lebih ketat. Itupun hanya untuk keperluan tertentu, seperti dagang misalnya. Di Indonesia, bisa beli nomor perdana sehari ganti seribu kali. Bagaimana bisa disebut pemerintahan otoriter? Dalam data Kemenminfo (2018), ada 237 juta ponsel dimiliki orang Indonesia (terbesar ke-6 dunia), dengan 161 juta internet aktif. Bagaimana mengontrol mereka, dengan sistem pemilikan nomor ponsel yang liberal seperti itu? Ini bukan pemerintahan otoriter, dalam komunikasi dan informasi, lebih merupakan liberal keblinger.
Maka saya cuma ingin mengutip Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu’ alaihi wasallam, yang pernah ngendika, “janganlah engkau benci berlebihan, karena akan menjadikanmu tidak adil.” Kecuali, kamu memang sedang memainkan peran tertentu, sebagai victim player. Kayak kalau Pak SBY ngetuit, cucunya pun bisa dibanggakan, karena bahasa Inggrisnya lebih lancar dari Jokowi. Ha, njuk ngapa? Ini jaman Sara Fajira pun bisa punya puluhan juta follower, Bung! Dia ngomong, “ajining dhiri ana ing lathi,…!”
Todong-menodong, Komedi Badut-badut | Tahun 2013, sekumpulan hacker Indonesia melakukan perang ke Australia. Semuanya bermula dari hal yang sederhana. Lewat ajakan terbuka di fesbuk.
Awalnya, beberapa hacker Indonesia mendengar informasi penyadapan yang dibocorkan Edward Snowden, mantan anggota National Security Agency Amerika Serikat kepada majalah Jerman ‘Der Spiegel’, Okober 2013. Menurut Snowden pula, kantor Kedutaan Australia di Jakarta, dipakai sebagai lokasi penyadapan sinyal elektronik.
Pada tahap awal, para hacker Indonesia yang tergabung dalam komunitas Indonesian Security Down Team (ISDT) meretas 265 situs Australia, dengan mengubah tampilan halaman depannya. Para peretas menyampaikan pesan yang sama, “Stop Spying on Indonesia!”
Para hacker ini utusan negara? Bukan. Anggota komunitas ISDT adalah kelompok amatir. Didirikan oleh tiga anak muda yang semua belajar ilmu peretasan secara otodidak. Komunitas ini didirikan awal 2013, dalam waktu kurang setahun memiliki belasan ribu anggota. Domisili mereka menyebar, bahkan di beberapa kota kecil Kalimantan, Sulawesi, Papua, NTT, selain Jawa dan Sumatera tentunya.
Mereka bukan hulubalang negara, bukan yang
dalam istilah sekarang buzzer apalagi buzzer-rupiah. Ini komunitas
orang-orang biasa. Terdiri beragam profesi. Sebagian besar bukan murni
hacker. Banyak di antaranya kaum hobiis semata. Apa yang mereka lakukan,
katanya, karena kecintaan pada negaranya. Kalau orang nggak ngerti
harga cinta, tak bisa membayangkan mengapa ada orang mau bertindak atau
bekerja gratisan.
Karena amatiran itulah, serangan pertama mereka menuai kritik, dari sesama hacker (mungkin dari Australia). Langkah ISDT dengan menyerang ratusan situs di Australia, dalam beberapa hal disebut ‘serangan yang merugikan pihak tak bersalah’. Kelompok hacker dunia justeru ‘menyarankan’ agar target sasaran diubah. Hanya ke situs pemerintah Australia dengan alamat akhir <gov.au.>
Benarlah. Pada 8 November 2013, komunitas ISDT mengubah strategi. Kali ini ISDT didukung komunitas hacker lain seperti Indonesian Cyber Army, Java Cyber Army, devilcOde, dan beberapa nama lagi. Serangan serempak dimulai ke asis.gov.au. Situs milik Australian Secret Intelligence Service (ASIS), dinas rahasia Australia, mengalami shutdown dalam 4 jam penyerangan. Padal, pengakuan seorang anggota devilcOde, dia mengoperasikan peretasan dari warung internet di Medan.
Kerjaan anak-anak muda itu, membuat pusing para hacker yang lebih senior (biasanya yang sekolah formal, atau bekerja di lembaga formal atau konsultan lembaga negara). Mereka harus bersiaga satu, menjaga serangan balik. Kepolisian RI dari Cyber Army juga pusing mengatasi hal ini. Karena kewenangan penegak hukum bergantung pada lokasi dan pihak yang diretas. Masalahnya, tak ada aduan dari pihak yang diretas (Australia). Nah! Agaknya, diam-diam itu tanda takluk negara itu atas ulah hacker Indonesia.
Ketika saya menyiapkan novel politik ‘Anonim My Hero’ (2014), tokoh utamanya seorang hacker yang diburu Soeharto. Tokoh bernama Anonim itu terpaksa harus sembunyi ke pulau Selayar, Sulawesi, mem-bang Ragnarock hingga semua situs games di Indonesia shutdown. Pada waktu persiapan menulis, saya berkenalan dengan beberapa hacker kelas internasional yang tinggal di beberapa kota Indonesia.
Di Yogyakarta, ada sebuah kampung yang dulu nyaman dijadikan alamat sementara para hacker beroperasi. Kelas mereka, meski tinggal di kamar kost 2 x 3 meter, bisa mendatangkan kapal tanker berisi persenjataan di pelabuhan besar Indonesia!
Para hacker ini orang terlatih? Terlatih dalam arti berlatih dengan disiplin secara mandiri, otodidak. Tentu juga tak ada lembaga yang mau terbuka mengajari peretasan. Tapi dengan teori terbalik, karyawan bank pun bisa melakukan pembobolan bank. Sama dengan seorang outsourcing Telkomsel yang bisa membocorkan data Denny Siregar. Ini mah tak ada hubungan dengan kemampuan hacker, tapi kelas maling ayam biasa. Tak ada hubungan dengan ISO berapapun yang dibanggakan direkturnya.
Membobol situs, meretas data via internet, bukan sesuatu yang sulit. Apalagi cuma memecahkan rumus kode data nomor ponsel. Bahkan jika mau jujur, semua mereka yang berhubungan internet atau gadget, data pribadi mereka bukan lagi milik pribadi. Jikapun tetap menjadi rahasia, karena ada UU perlindungan hukum untuk hal itu. Hingga tak sembarang orang bisa menyalahgunakan. Karena itu, jika dulu ada adagium “tak ada kejahatan yang sempurna”, maka dalam abad digital ini, “tak ada kejahatan digital yang tak bisa dilacak”.
Kalau kepolisian Indonesia terasa lembek, bisa ditebak biasanya kasusnya berkait politik. Lihat misalnya, mengapa Harun Masiku kini lenyap, dan jejak digitalnya juga tak terlacak lagi. Juga kenapa Djoko Tjandra bisa kayak siluman.
Jadi kalau ada orang mengaku pejuang tapi mengeluh-ngeluh soal penyadapan atau peretasan, tapi lapornya ke media, dan bukan ke polisi, mungkin ayam bego pun akan ketawa. Strategi claiming dan victim playing, jika bukan dilakukan kelompok tolol, pasti pecundang.
Dua hal ingin saya nyatakan dalam tulisan ini: (1) Penyadapan bisa dilakukan siapa saja, meski ada UU Perlindungan dan kecanggihan sistem serta teknologi, (2) Jika benar menjadi korban penyadapan, laporkan ke pihak berwenang, atau minta tolong relawan yang ahli informatika untuk bisa melacak sendiri dan menemukan bukti digitalnya. Baru kemudian lapor ke Polisi agar mereka tak berkilah cem-macem.
Karena di balik ketakutan, biasanya ada udang disembunyikan. Kalau berjuang murni demi kebenaran dan keadilan, membela jelata dan apalagi yang teraniaya, tak ada yang perlu ditakutkan. Meski rahasia diri kita dipegang kawan dan lawan. Kalau dalam tembang Leo Kristi, todong menodong dalam lipatan, komedi badut-badut! | @sunardianwirodono