Oleh: Sunardian Wirodono
Sudah jamak, pemilu usai rakyat ditinggalkan. Rakyat pemilik hak suara,
sebagaimana ujar Gus Dur, hanya sebagai pendorong mobil mogok. Begitu mesin
bunyi, mobil langsung menggeblas tanpa
terimakasih, meninggalkan pendorongnya jatuh terjungkel.
Elite politik kita yang dulu berkoalisi memajukan Capres A maupun B,
kemudian ribut soal koalisi atau oposisi. Pada dasarnya, hal itu hanya
menunjukkan watak murninya. Mencari kekuasaan bagi kepentingan sendiri. Bukan
dalam rangka tunduk dan mengabdi pada kedaulatan rakyat. Bibirnya saja ngomong sampe ndower, demi bangsa dan
negara.
Pada saat itulah, rakyat jengkel. Terus kemudian cuek. Pada saat itulah, para politikus semakin senang. Makin dicuekin, makin leluasa bergerak. Mau dukung
mau cuek, suara atau kursi sudah
didapat. Ape lo? Ape lo?
Sejak awalnya, politik kita memang politik elitis. Herbert Feith
mencatat sejak Pemilu 1955, dengan partisipasi yang tinggi, tingkat pendidikan
masih rendah, hasil pemilu selalu diakhiri tudingan (dari yang kalah) tentang
adanya kecurangan.
Omong-kosong
Koalisi Oposisi. Sebagaimana yang dikatakan Megawati belum lama lalu,
sistem kenegaraan kita tak mengenal koalisi atau oposisi. Tapi tentunya hal itu
dengan ketentuan dan syarat berlaku. Yakni, tumbuhnya masyrakat yang sadar dan
peduli pada kualitas demokrasi.
Rakyat memerlukan presiden untuk menjalankan pemerintahan negara, dan rakyat membutuhkan DPR untuk mengawasi. Presiden (dan pemerintahannya) disebut eksekutif, bahkan eksekutif par excellence. Dengan para pembantunya, Presiden berfungsi melaksanakan (to execute) kebijakan sesuai undang-undang.
Maka, presiden memang harus lebih banyak bekerja ketimbang bicara. Sedikit bicara banyak kerja adalah moto keberadaannya. Bekerja menjalankan fungsi eksekutorial adalah mode of existence sekaligus filosofi eksistensialismenya.
Sebaliknya, DPR harus lebih banyak bicara. Aneh jika anggota dewan tidak berbicara. Masalahnya, berbicara pada siapa dan untuk apa? Jika hanya bicara pada media, dan tentang dirinya atau bahkan untuk kepentingan diri-sendiri, bukan mewakili kepentingan rakyat, di situ persoalannya. Dengan menyebut nama sepeti Fadli Zon dan Fahri Hamzah, misalnya, atau Eko Patrio, tak dapat kita bayangkan munculkan orang seperti Cicero.
Cicero, parlementarian legendaris dari Yunani Kuno. Orator ulung yang pidato-pidato retoriknya di Parlemen Kota Athena sangat inspiring (memberikan inspirasi) dan intriguing (merangsang). Anggota DPR kita, anehnya, suka pidato berapi-api, bahkan menghujat pemerintah di jalanan, bersama para pendemo (contoh, dua nama anggota DPR-RI yang disebut sebelumnya).
Kriteria penerimaan atau penolakan DPR, sejatinya tentu hanyalah satu: berpihak kepada kepentingan rakyat atau tidak. Konstitusi kita tidak mengenal koalisi pendukung pemerintah atau oposisi. Kalaupun dari parlemen ada menyebut sebagai oposisi, maka dalam system ketatanegaraan presidential, parlemen tidak dengan mudah menjaruhkan presiden.
Sampai di sini semuanya terang benderang. Anggota DPR, baik partai politik induknya bergabung dalam koalisi pendukung pemerintah maupun koalisi oposisi, tetap saja memiliki tugas konstitusional yang sama. Menjalankan ketiga fungsi mereka; legislasi, anggaran serta budgeting, dan terutama pengawasan. Tak peduli berasal dari partai manapun, koalisi atau oposisi, DPR harus mengawasi presiden.
Kaum Oligarkis Menyabot Rakyat. Dalam konteks dan perspektif ini, secara bersama partai-partai politik di DPR justru harus berkoalisi melaksanakan fungsi-fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Jika inti oposisi adalah penyeimbang dan pengawasan, hakikatnya setiap anggota DPR adalah oposisi. Keduanya mesti secara bersama-sama menjadi kekuatan penyeimbang bagi presiden dan pemerintahannya. Intuk itulah rakyat menggaji mereka.
Istilah koalisi dan oposisi sebagaimana diperdebatkan di ruang-ruang publik usai Pilpres 2019, lebih merupakan rekayasa politik kaum oligarkis dalam mengibuli rakyat pemilihnya. Pembelahan politik berdasar posisi terhadap presiden, menjadi berkesan ekstrakonstitusional, bahkan antikonstitusional! Hal itu sama tidak etisnya dengan anggota DPR yang diam saja dalam pengertian mengabaikan (ignoring) maupun membiarkan (allowing) suatu penyelewengan terjadi.
Koalisi dan oposisi bisa menjadi hanya istilah yang gagah, tetapi dengan praktik yang sama, hanya demi kepentingan mereka sendiri, sama sekali rendah nilainya. Oposisi jalan sunyi, seperti yang dibanggakan PKS, seolah jalan suci dan gagah. Padahal di Indonesia, oposisi juga bisa koruptif dan manipulative, ketika yang terjadi hanya demokrasi prosedural. Yakni dengan adanya praktik politik transaksional, di mana penolakan hanyalah alat, sebagaimana praktik tirani minoritas.
Pengabaian fungsi-fungsi DPR adalah tidak bermoral, apa pun alasannya. Termasuk di dalamnya, partai politik yang bergabung dalam koalisi partai politik pendukung pemerintahan. Karena itu, secara sederhana, dalam system politik kita, payung sebenarnya cuma dua, eksekutif (pemerintah) dan legislative (parlemen, wakil rakyat). Rakyat memilih presiden untuk menjalankan administrasi pemerintahan negara, dengan agenda yang dibuat parlemen sebagai cerminan kehendak dan kepentingan rakyat (yang memilih anggota parlemen tersebut).
Pada sisi itu. dibutuhkan lembaga judikatif, yang ditunjuk atas dasar
kesepakatan pemerintah dan parlemen. Agar
terjadi keseimbangan, terjamin jalannya pemerintahan sebagaimana dikehendaki
rakyat. Di situ pengertian ‘trias
politica’ pada awalnya.
Demokrasi Gotong Royong Sukarno. Sejarah gagasan Sukarno tentang demokrasi,
seluruhnya bertema sentral persatuan. Ideologi Pancasila yang digagas,
merupakan manifestasi keinginannya untuk selalu mempersatukan bangsa Indonesia.
Ia tak setuju demokrasi liberal dengan sistem parlementer seperti yang pernah
diterapkan.
Idealitas konsep demokrasi;
yaitu tata sosial, politik dan ekonomi yang anti elitisme, kapitalisme dan
imperialisme, serta memberi kesempatan kapada rakyat dalam peran politik dan
ekonomi. Gagasan ini oleh Sukarno dinamakan sosiodemokrasi.
Penerapan demokrasi yang relevan di Indonesia, menurutnya, demokrasi yang
menjunjung tinggi asas gotong royong (persatuan) dalam membangun bangsa dengan
sistem pemerintahan terpimpin atas dasar permusyawaratan/perwakilan.
Pengertian berada di luar pemerintahan, artinya berada di wilayah legislative,
parlemen, sebagai wakil rakyat. Jika mau memakai istilah oposisi, parlemen
itulah yang berada di ranah oposisi. Tentunya dengan tetap menyuarakan amanat
penderitaan rakyat, karena fitrahnya sebagai juru bicara rakyat.
Namun ketika korupsi, juga dalam cara berfikir (apalagi pelibatan
kalangan akademik dalam praksis politik), demokrasi terus dikutak-kutik dan
diakali. Menjadi makin rumit bukan untuk kesejahteraan rakyat, melainkan
kesejahteraan mereka yang terlibat dalam proyek-proyek eksperimen demokrasi.
Termasuk yang paling aktual, Pemilu Serentak 2019, dan mungkin kelak gagasan Salim
Said tentang Pilpres per-8 tahun sekali.
Pilpres dan Pileg dipisah, tetapi Pilpres per-delapan tahun sekali, dengan
presiden yang sedang menjalankan pemerintahan tak boleh ikut. Nyapres hanya
boleh sekali. Agar tak ada calon pertahana, yang dikhawatirkan abuse of power. Bayangkan, ketakutan
akan sesuatu, jalan keluarnya hanya menyodorkan bagaimana unsur yang menakutkan
itu dihilangkan (males mikir mencari
jalan keluar dan membangun system). Dan dengan kacamata kuda, sering jalan
lurus saja, tanpa melihat persoalan peripheral-nya.
Sumber Kekacauan. Ketika partai
politik mudah mengingkari amanat rakyat, di mana sumbernya kekacauan semua itu?
Ada missing link dari amanat rakyat
ke orang-orang yang mereka pilih lewat partai politik. Begitu pemilu usai,
rakyat tak lagi punya hubungan dengan parpol. Parpol balik jadi milik
orang-orang parai, atau bahkan milik ketua umumnya doang.
Maka tak heran di Indonesia ada fenomena Prabowo dengan Gerindra, Hari
Tanoe (Perindo), Surya Paloh (Nasdem), dengan tingkat kecanggihan
masing-masing. Lihat Surya Paloh, dengan busa-busa di sekitar brewoknya. Di
tengah kesibukan membangun koalisi hasil Pilpres 2019, sudah bermanuver untuk
Pilpres 2024, mengelus-elus jomblo
Anies Baswedan. Nasdem sama sekali tak peduli sosok tersebut menjadi common enemy masyarakat. Meski dari hal
itu, justeru patut diduga, Nasdem sedang bermain-main politik bagi
kepentingannya sendiri. Omong kosong dengan demi bangsa dan negara, sebetapapun
gagahnya orasi politikus penggemar army
look itu.
Para elite parpol lebih sibuk urusan bagi-bagi kuasa. Rebutan kursi. Rebutan
proyek. Pada sisi itu, jangan lengah, dalam tradisi demokrasi yang masih formal
prosedural, istilah oposisi hanyalah sebuah kegenitan, jika bukan bentuk
kemunafikan. Oposisi dalam pengertian ini, bukanlah jalan sunyi, apalagi
kering. Kenyataan membuktikan, oposisi justeru bisa menjadi tirani minoritas.
Dan cara menundukkan mereka, bukan hanya lewat voting, tetapi juga suap atau
politik uang dalam demokrasi transaksional.
Jika wakil rakyat (atau partai) merepresentasikan kepentingan rakyat,
maka tanpa menyebut adanya koalisi dan oposisi, system demokrasi kita sudah
bisa disebut sehat. Yang tidak sehat, ialah jika istilah koalisi dan oposisi
hanya dipakai sebagai kamuflase, untuk menyembunyikan watak elite partai yang
oligarkis. Bertaniah pada kepentingan partai, elitenya, atau apalagi pada
ketumnya doang.
Sampai kapan? Sampai tumbuhnya pengetahuan dan kepedulian politik dari rakyat.
Rakyat yang berdaulat dan kritis, itulah pangkal soalnya. Karena jika tidak,
rakyat hanya akan sebagai alasan. Pengkhianatan kedaulatan rakyat makin leluasa,
manakala rakyat makin cuek.
Presiden Kuat,
atau Rakyat Kuat? Presiden yang kuat, bisa jadi penting. Parlemen dan
judikatif yang kuat, tentunya juga harus. Tetapi semua itu butuh rakyat yang
sadar dan peduli (kata lain dari kritisisme
rakyat). Dan itu bersifat wajib. Kalau rakyat golput? Demokrasi tidak pernah
tumbuh dari ngambek’an. Karena itu
hanya makin menyuburkan watak oligarki partai.
Hadirnya politisi buruk dan hadirnya golput, kayak dua wajah dalam satu koin. Bertentangan tapi satu, bahkan
secara tak langsung saling dukung. Ibarat lomba, tak jelas siapa duluan.
Tumbuhnya partisipasi, yang jadi agunan demokrasi, juga berlomba cepat dengan
dua hal tadi.
Meski pada sisi lain, antara kepedulian tumbuhnya politik yang sehat
dengan apatisme rakyat, bisa melahirkan kesia-siaan baru. Sekali pun kita mendapat
pimpinan eksekutif yang bagus model
Jokowi, yang bisa mengundang partisipasi Pemilu di atas 80%, tetap saja
demokrasi menjadi bahan rampokan elite. Rakyat tidak pernah tahu bagaimana cara
menghukum para penipunya, padahal modusnya selalu berulang.
Kita masih berkutat pada kutukan pertama; Rakyat pinter dan sok pinter
yang golput (golputnya pun masih kualitas sinis
tapi ceriwis), dan di sisi lain; rakyat bodoh yang hanya selalu ngarep datangnya Satria Piningit. Yang
terakhir itu sering ketipu, baik dari demokrasi recehan, hingga apalagi yang
mudah tersepona sorga dan takut
neraka.
Sunardian Wirodono, penulis tinggal di Yogyakarta.