Agama adalah candu masyarakat, ujar sang filsuf Karl Marx (1818 – 1883). Menurutnya, agama hanya matahari
ilusi yang berputar di sekitar manusia selama dia tidak berputar di sekitar
dirinya. Boleh percaya boleh tidak.
Bertrand Russell lebih parah lagi
mendefinisikan; Fear is the parent of cruelty, and therefore it is no wonder if
cruelty and religion have gone hand in hand, tulis ahli matematika dan peraih
Nobel Sastra (1950) itu. Ketakutan adalah dasar agama: takut hal-hal misterius,
takut kalah, takut mati. Takut merupakan induk dari kekejian, oleh karena itu
tidak mengherankan jika kekejian dan agama senantiasa berjalan seiring.
Bukan hanya tinjauan dari filsuf Barat, seorang sofis Persia, Abu Hamid Al
Ghazali (1058 – 1111) pun mengatakan, “Kita tidak dapat mengakui bahwa setiap
orang yang mengaku beragama itu pasti mempunyai segala sifat-sifat yang baik.”
Ia bahkan dalam kitabnya yang sohor, Ihya’ Ulumuddin, menulis: Ada ulama yang sejati dan ulama palsu. Jadi,
bukan berkait Indonesia kemarin sore saja, agama sudah menjadi persoalan
manusia sejak awalnya.
Raden Ajeng Kartini, Ibu kita itu, dalam salah satu surat pada sohibnya di
Eropa, sudah mempertanyakan pula, “Agama memang menjauhkan kita dari dosa, tapi
berapa banyak dosa yang kita lakukan atas nama agama?” Ia sampai pada
kesimpulan, “Sepanjang hemat kami, agama yang paling indah dan paling suci
ialah Kasih Sayang. Dan untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruskah
seorang mutlak menjadi Kristen? Orang Buddha, Brahma, Yahudi, Islam, bahkan
orang kafir pun dapat hidup dengan kasih sayang yang murni.”
Jadi, di mana letak kesalahan? Pada keberadaan agama, dengan segala
konsepsi dan sejarahnya? Atau metodologi dan sistem pengajarannya oleh mereka
yang dogmatis, untuk menunjukkan otoritasnya, bahwa jika sudah beragama artinya
sudah paling benar dan suci?
Jika kita mengutip pandangan Gus Dur, “Semakin tinggi martabat manusia yang
menjadi pemeluknya, maka semakin tinggi pula martabat agama itu sendiri,” tak
bisa tidak persoalannya pada manusia. Hingga kemudian bisa terjadi fenomena, sebagaimana
yang juga ditulis Gus Dur, “Agama mengajarkan pesan-pesan damai dan ekstremis
memutarbalikannya.” Karena katanya, agama tak boleh jauh dari kemanusiaan.
My religion is very simple. My religion is kindness, ujar Dalai Lama XIV, pemimpin
spiritual dari Tibet (Agama saya sangat sederhana. Agama saya adalah kebaikan).
Semua tradisi agama utama pada dasarnya membawa pesan yang sama, yaitu cinta,
kasih sayang, dan pengampunan, kutbah Dalai Lama XIV berikutnya. Hal yang
penting adalah hal-hal tersebut harus menjadi bagian dari kehidupan kita
sehari-hari.
Sebagaimana diyakini Albert Einstein, fisikawan jabrik yang unik itu, “Agama
sejati adalah hidup yang sesungguhnya - hidup dengan seluruh jiwa seseorang,
dengan seluruh kebaikan dan kebajikan seseorang.” Dalam pandangan Khalifah Abu
Bakar As-Siddiq, kekhalifahan pertama sepeninggal Kanjeng Nabi Muhammad
shallallahu’ allaihi wassallam, “Agama buat di akhirat, harta buat kehidupan di
dunia. Di dunia orang yang tidak berharta berasa susah hati, tetapi orang yang
tidak beragama merasa lebih sengsara.” Kenapa? Karena tidak ada penghiburan dan
penguatan.
Jadi? Agama adalah pedoman, yang celakanya di dunia ini ada begitu banyak
pedoman, sebagaimana dalam agama itu sendiri ada banyak ragam dan jumlahnya.
Konon ada lebih dari 600.000 agama di dunia ini, bukan hanya 6 sebagaimana yang
“boleh beredar” di Indonesia.
Karena itu, dengan keyakinan agama masing-masing, yang dengan dogmanya bisa
membuat fanatisme penganutnya, hingga terjadi perang (atas nama) agama. Karena
agama kemudian juga menjadi pegangan operasional ke luar, bukan lagi ke dalam
(diri-sendiri) dalam proses internalisasi. Kemudian muncul menjadi
bendera-bendera, lembaga-lembaga, komunitas-komunitas, ormas-ormas, dan jangan
lupa donatur-donatur, anggaran dasar, proposal, beserta aksi demo ini-itu.
KTP Indonesia jaman dulu, tidak pakai kolom agama. |
Sementara di sisi lain, dalam sebuah negara dengan penduduknya yang beragam,
sebagaimana Indonesia (bedakan dengan yang homogen seperti di negara-negara
Timur Tengah, yang pun hingga kini perang saudara atau perang atas nama agama
terus gumyak meruyak), ada persoalan dengan yang disebut kepentingan nasional,
atau kepentingan bersama, dan mau tak mau hal itu menuntut hukum-hukumnya
sendiri.
Ada agama di luar agama yang perlu ditegakkan bersama. Agama sosial yang universal,
atau social religion, untuk menciptakan ikatan kebangsaan, untuk mengkonkretkan
hidup beragama itu sendiri, dan bukannya sebaliknya. Karena agama sebagai
pedoman hidup (yang bukan satu-satunya), dalam pandangan Albert Einstein,
sebagaimana kesenian dan ilmu-ilmu, berasal dari ranting pohon yang sama.
Oleh karenanya, fanatisme dalam agama, yang mestinya aturan internal, akan
menjadi persoalan ketika ditawar-tawarkan, disodor-sodorkan, bahkan
dipaksa-paksakan dalam intimidasi ke luar sebagai dogma. Di situ agama bisa
penuh dengan ujaran kebencian dan hujatan pada liyan. Tanpa penghayatan dan
logika yang lurus, agama menjadi alasan yang miskin untuk membunuh yang kaya,
sebagaimana dikatakan Napoleon Bonaparte.
Dan dengan otoritasnya dalam menafsir Tuhan dan kesucian, di situ agama
sering dipakai sebagai bunker, benteng perlindungan, bagi para koruptor,
penganiaya gender, kaum rasis, dan mereka yang dengan bangga mengeksploitasi
simbol-simbol keagamaan ke luar, bukannya ke dalam. Agama bukan untuk eksplorasi diri, menuju proses
pembelajaran akan nilai-nilai keluhuran manusia, tetapi dieksploitasi untuk
kepentingan dan keuntungan yang manipulatif.
Dumeh sudah berhijab, orang nggak bakal curiga meski niatannya mencuri
barang di minimarket. Dumeh sudah berhaji dan mimpin pondok, orang nggak bakal
curiga kalau dia pelaku pedofilia atau manusia sadis, yang bahkan salah pun
masih bisa ngancam-ngancam seorang Presiden. Apakah jika ngaku turun nabi boleh
bertindak melanggar hukum bersama?
Kalau soal berkilah hukum langit, atau hukum Tuhan, kenapa hanya dia yang
boleh menafsir? Memangnya Amien Rais mengetahui ada juga malaikat lainnya yang
mendoakan Jokowi menang, dan Amien Rais kemudian bakal stroke? Siapa penista agama yang sebenarnya? Ialah mereka yang mendustakan agama
untuk kepentingan remeh mereka, yang bertolak-belakang dengan bahasa kasih
agama yang hendak ditebarkan.
Karena dalam tahap yang lebih pragmatis, dan kompromis, seperti ujar
Voltaire, “Jika ditanya soal uang, setiap orang tidak akan berbeda agama!”