Dalam pertemuan dengan GNPF (Gerakan Nasional Pengawal Fatwa), antara
lain dihadiri Prabowo, Tomi Soeharto, dan PKS, Zulkifli Hasan menyapa Prabowo
sebagai Presiden. Dalam pidatonya, Ketua Umum PAN itu dengan teknik dialog ‘menyatakan’
Indonesia dalam situasi sulit. Pengangguran tinggi dan pertumbuhan ekonomi
rendah. Karena itu, dengan teknik retorik, Zulkifli sampai pada kesimpulan
(bahwa Jokowi) tidak perlu dilanjutkan. Senyampang itu, selang sehari, adik
kandung Ketua MPR-RI itu, Bupati Lampung Selatan, ketangkep basah dalam OTT
KPK, karena kasus suap infrastruktur.
Bagaimana kita
memahami itu? Dia mengritik ekonomi dan rakyat kecil susah, namun bersamaan itu
adiknya sendiri, aparat sipil negara, melakukan kelakuan permalingan? Itu
sungguh bajingan. Apalagi hal itu dikatakan di depan para (yang mendaku) ulama,
menamai diri mereka ‘Gerakan Nasional Pengawal Fatwa’. Fatwa apa yang dikawal?
Fatwa kebohongan? Fatwa kemunafikan? Fatwa kampret? Fatwa kok dikawal, itu
justru menghina bulat-bulat. Dan di antara ulama, yang mengaku mengawal fatwa
(dulu kaitannya dengan MUI, kemudian berubah jadi Alumni 212, berkait kasus ‘penistaan
agama’ dengan terdakwa Ahok) itu, hadir pula Prabowo dan Tomi Soeharto. Ini
soal agama? Bukan! Ini soal politik kekuasaan, dimana konsolidasi dilakukan para
pihak yang ingin memenangi pilpres dengan dalih agama.
Saya tidak percaya
persekongkolan itu karena bela agama. Gerak-gerik itu adalah gerak-gerik
politik, yang mengatasnamakan agama. Agama diperalat sebagai legitimasi, karena
gampang saja nebaknya, potential buyers kepentingan mereka adalah majoritas.
Ialah masyarakat Islam yang sebagian besarnya awam. Bukan pembaca (yang
memahami) makna subtantif alquran. Tidak memahami inti sejarah, dan apalagi
meneladan sikap dan sifat Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu’ alaihi wasallam.
Islam yang hanya suka mengancam-ancam liyan, Sibuk ngomongin sorga dan neraka,
namun abai dan tidak sensitive dengan relasi dan kesalehan sosial (yang menjadi
garis utama perjuangan nabi). Itu semua lebih karena jiwa korsa, yang
berformulasi menjadi formalis dalam pikiran (juga beragama), pragmatis dalam
tindakan, dan vandalis dalam berkuasa.
Itu semua sebagai
buah kekuasaan dan system politik bernama Soehartoisme. Yang dikembangkan
sepanjang Orde Baru, bahkan pun hingga kini masih dijalankan, secara persisten.
Karenanya, lihat, dalam pertemuan itu muncul Prabowo dan Tomi Soeharto,
representasi Orde Baru, yang pada 2014 dikatakan oleh Rachland Nashidik dari
Partai Demokrat, tak mungkin berkoalisi dengan partainya. “Karena berkoalisi
dengan Prabowo bukan saja tak bisa, tapi juga salah. PD tak mau dan tak akan
membantu membalik masa lalu jadi masa depan Indonesia.”, begitu tulisan di akun
twitter Rachland Nashidik, Wasekjen Partai Demokrat pada 2014, berkait Pilpres
waktu itu. Paham maknanya? Prabowo adalah kesalahan dalam pikiran Rachland yang
waktu itu masih euphoria dengan Reformasi 1998.
Tapi bagaimana jika
kemudian orang yang sama, ya Rachland Nashidik itu, kemudian 2018 ngomongnya
lain? Di akun twitternya juga, sarjana hukum lulusan Universitas Pancasila,
Jakarta itu menulis: “Saya mau ganti presiden. Kalau demi itu saya harus
bekerja sama dengan setan, saya akan lakukan. Apalagi cuma dengan Prabowo.”
Jelas bukan pernyataannya? Jangankan
hanya Prabowo, bahkan dengan setan pun! Pernyataan yang super bodoh. Siapa dia,
kok mau ganti presiden? Soal ganti presiden, adalah urusan 50+1 persen dari
180an juta pemegang hak suara Pilpres. Tidak bisa ditentukan oleh satu orang,
sekali pun ia Wasekjen Partai Milik SBY. Apalagi cuma bernama Rachland
Nashidik, yang nilai suaranya sama dengan Lik Karmiyem, penyikat WC Umum Pasar Legi,
yang dulu sekolahnya jeblok, nggak ngerti pasal hukum satu pun, kecuali bagaimana
dapet duit.
Pernyataan politik
Rachland, yang bertahun 2014 dengan 2018, menunjukkan karakternya yang khas;
Oportunistik. Ciri utamanya pada ketidakkonsistenan. Bahkan secara ironis bisa
dibilang persisten dalam inkonsistensi. Hanya Rachland? Tidak. Itu ciri khas,
bahkan ciri utama elite Indonesia pada hampir semua lini. Elite di bidang
politik, aparatus negara, pendidikan, agama. Karena pada kenyataan formalisme, pragmatisme
dan vandalisme itu sudah begitu mengakar. Itu pula sebabnya, sering tidak
berkorelasi; Pinter dengan bijak. Saleh dengan amanah. Bahkan sehat dengan
waras nalar dan jiwanya, dan seterusnya.
Mereka para elite
itu, kemudian hanya mencerminkan sebagai politikus. Lha, kalau politikus,
bahkan diri sendiri pun rela ditipunya. Apalagi orang lain. Bahkan dalam anekdote
Salim Said, orang Indonesia itu pemberani, tidak ada takutnya. Tuhan pun tidak
mereka takuti, meski mengaku sebagai bangsa religius. Betapa kemudian terasa, mulut politikus busuk tak bisa kita percaya. Lihat bagaimana dulu Yusuf
Kalla bilang jika Jokowi presiden, bisa hancur Indonesia. Nyatanya? Kalla jadi
wapresnya Jokowi. Kemarin sore bilangnya mau pensiun, ngasuh cucu. Tadi pagi, bilangnya
demi kepentingan negara, atau demi kepentingan lebih besar, pensiun mah bisa
nanti-nanti. Esuk dele sore tempe, persis Amien Rais.
Dulu waktu Prabowo kalah di 2014, Ali Mochtar
Ngabalin sampai-sampai menghujat Tuhan, minta keadilan, dan minta kemenangan
Jokowi dicabut segala. Tapi kini? Juga bagaimana dulu Idrus Marham
menghina-hina Jokowi, waktu jadi timses Prabowo? Kini Idrus Marham yang Mensos
itu, bikin buku memuji-muji kepemimpinan Jokowi.
Siapa lagi? Gampang dicari di internet. Ini
jaman di mana mulut politikus makin kelihatan busuknya, yang difrozen dalam
jejak digital. Dan seterusnya. Terus kenapa?
Kita mestinya abaikan omongan politikus. Kalau
pun memperhatikan omongannya, lihat apa yang dipikirkan dan dilakukan. Konsisten
atau cuma gombal amoh? Kualitas omongan, juga bisa dilihat. Nalar atau ngawur.
Jujur atau puna-puni. Semua akan terlihat dalam track-recordnya. Seperti misal
Prabowo ngomong nasionalisme, dan dibilang nasionalis oleh pemujanya. Benarkah?
Lagi-lagi, cermati track-recordnya. Teliti panggung depan dan panggung belakang
yang dibangunnya.
Kita lebih bisa percaya omongan Bung Karno.
Rakyat kuat negara kuat. Kalau rakyat bodoh, dan penakut, mudah dibohongi
elite. Bisa elite politik maupun elite agama. Rakyat mudah dibohongi pakai
ayat, fatwa, ideologi, sampai uang dan nasbung. Makanya kemudian ada yang bikin
gerakan ngawal fatwa. Fatwa kok dikawal. Itu menghina kemutlakan fatwa itu
sendiri sebagai otoritas Tuhan (jika kita pakai logika agama). Merebut otoritas
Tuhan untuk mengkapling sorga dan neraka. Yang nyoblos Ahok masuk neraka,
mayatnya nggak perlu dishalatkan. Yang milih Anies-Sandi? Sekarang lagi pusing,
karena masih empat tahun harus menyaksikan akrobat kata-kata dari duo asu
(anies sandiaga uno).
Rakyat kuat, rakyat yang tak mudah dibohongi
pakai “pakai”. Kuat itu artinya bukan hanya melakukan aksi jika marah atau
jengkel. Tapi artinya mengetahui masalah, mengetahui makna, mengetahui siyasah
(siasat, pencitraan). Dan itu tentu hanya bisa berjalan dari masyarakat
pembelajar. Masyarakat penggosip hanya akan sampai pada pembicaraan, tapi tak
mampu bergerak, apalagi melakukan perubahan. Karena di sisi lain, juga muncul
paradoks, banyak pejuang memanfaatkan perjuangan dalam angka proyek.
Itulah sebabnya, dalam situasi dan kondisi
ini, Ahok tampak begitu cemerlang. Ia adalah bagian kebenaran yang kita tolak
diam-diam, bahkan atas nama agama sekali pun. Saya bayangkan dengan lagak
seperti dalam foto yang tersertakan ini, Ahok bertanya; “Bangsa macam apa kau
ini, hei, wong Indonesia?”
Saya gemetaran tak bisa menjawab! Jangan-jangan, kata batin saya yang kepo, tuhan ngerjain kita dengan menyodorkan manusia bernama Ahok.
Sunardian Wirodono
Yogyakarta, 27 Juli 2018