Untuk memindahkan 900 pedagang di Pasar Banjarsari ke Pasar Klithikan, Jokowi selaku walikota Solo, membutuhkan 54 kali makan bersama para pedagang. Pertemuan yang berlangsung seminggu sekali itu, artinya terjadi setahun lebih, hingga kemudian pemindahan dilakukan secara beramai-ramai, bergotong-royong, bahkan diiring karnaval, layaknya pesta dan tanpa gejolak. Mengenang hal itu, para pedagang klithikan memuji-muji Jokowi.
Dalam sebuah wawancaranya dengan BBC London (karena ada BBC Indonesia), Jokowi menyatakan bukannya anti mal, tetapi pemerintah harus mengendalikan dan punya keberpihakan. Demikian pula ia tidak begitu suka figure, melainkan membangun system.
Dalam perjalanan dari walikota, gubernur, hingga kemudian presiden, apresiasi pada Jokowi lebih banyak dilakukan media maupun lembaga-lembaga asing, dan juga pemerintahan negara lain. Sementara di Indonesia, memuji Jokowi dianggap menjilat. Dan orang Indonesia malu dikata penjilat. Karenanya, mengkritik Jokowi terkesan lebih heroik, penuh daya juang, apalagi jika sudah ngomong atas nama HAM, agama, nasionalisme, sebagaimana F ‘n F selalu menjadi juru-bicara Jokowi-hatters.
Waktu Pilpres 2014, sebagai kompetitor, Prabowo mencitrakan kepemimpinan yang kuat dan tegas untuk dirinya sendiri. Beberapa kali tema kampanye Prabowo waktu itu, secara verbal mengesampingkan, bahkan meledek Jokowi sebagai kepemimpinan yang lemah. Padahal menurut Prabowo, dan pendukungnya, Indonesia butuh pemimpin yang kuat. Sebagai tukang kompor yang baik, sampai pun ketika Prabowo terjungkal, Amien Rais terus saja menghina-dina Jokowi. Sebagai antek asing dan aseng. Sementara, dia pura-pura tak mendengar, bagaimana Hasjim Djojohadikusumo justeru menunjukkan jati-diri kakaknya.
Belum lama lalu di Yogyakarta, mendengar kesaksian Prof. Pratikno, selaku Mensesneg, yang artinya ring satu kepresidenan, semakin terafirmasikan, bahwa Jokowi tak sebagaimana yang sering digambarkan lawan-lawan politiknya. Tekanan politik pada presiden (yang sedang berkuasa, di mana pun), pasti tak pernah sederhana. Jika tak kuat, tentu akan jatuh. Meski pun ada yang bilang, Gus Dur jatuh justeru karena kuat. Prof. Mahfud MD akan fasih mendongeng mengenai hal ini, hingga pelengseran Gus Dur.
Anies Baswedan, disisi lain, meski sudah dilantik sebagai gubernur, bahkan usia kekuasaan sudah 100 hari, masih baper dan sibuk dengan persoalan dirinya. Dalam 100 hari itu, ia menyerang beberapa pihak. Bukan hanya Ahok, tetapi juga beberapa lembaga kementrian Kabinet Jokowi yang menjadi ‘atasan’ Pemda DKI Jakarta.
Bahkan terhadap Jokowi, dengan kata-kata bersayapnya yang khas, Anies mulai berani menegasi, dan bahkan menyerang. Menurut Anies yang sangat percaya pada kekuatan kata-kata, kerja-kerja-kerja itu akan sia-sia tanpa kata-kata. Maka ketika SGBK selesai direnovasi pemerintah pusat, Anies enteng berkata, “Renovasi itu sama persis dengan apa yang sudah dulu kami pikirkan!”
Sementara dengan senjata kata-kata, Anies lebih banyak berwacana di media, bukan berkomunikasi dengan warga Tanah Abang. Kini, persoalan Tanah Abang melebar, bahkan hingga para sopir angkot menolak diajak sarapan pagi Gubernur di Balaikota. Putuskan dulu baru kemudian mau mendengarkan berbagai reaksi, bukan saja kesombongan kata-kata, tetapi kesewenang-wenangan kekuasaan yang jumawa.
Meneruskan program pembangunan yang berkelanjutan, dari pejabat sebelumnya, tampaknya sesuatu yang tabu bagi orang Indonesia. Tapi tidak bagi Jokowi, sepanjang melihat urgensinya. Dari banyak pembangunan infrastruktur Indonesia yang digiatkan Jokowi, bukan hanya yang terdiri dari mangkraknya proyek pembangunan jaman SBY, Megawati, Gus Dur, Habibie, melainkan bahkan yang mangkrak sejak jaman Soeharto. Tidak ada perasaan phobi dan antipati di situ.
Penataan Tanah Abang, yang membutuhkan konsistensi, sebagaimana dicanangkan Jokowi selaku Gubernur DKI Jakarta dulu, agaknya tabu untuk diteruskan Anies. Apalagi beberapa kebijaksanaan Ahok selaku pengganti Jokowi. Boro-boro melanjutkan gagasan Ahok soal rumah sakit kanker dengan pelayanan satu atap, yang terjadi justeru Anies-Sandi menunjuk KPK-TGUPP untuk mengusut korupsi RS Sumber Waras
Menurut Prof. Pratikno, Jokowi anti mencabut aturan yang sudah dikeluarkan. Tapi itu artinya ia harus tahu betul, menguasai permasalahan, bertanya pada banyak pihak. Membicarakan hingga setelah semua clear, eksekusi dilakukan dengan teguh. Semuanya harus detail karena pantang dicabut, kecuali dinilai faktual keliru secara prinsipil dan harus dikoreksi. Itu termasuk ketika dulu Jokowi memutuskan mencabut subsidi BBM, yang akan berdampak naiknya harga-harga kebutuhan pokok.
Dalam sebuah ceramah kebangsaan di Yogyakarta (27/1/18), Mensesneg Prof. Pratikno sampai pada kesimpulan, bahwa Jokowi adalah seorang yang detail. Itu adalah kata lain kepemimpinan yang melekat, mengikuti proses, dan memahami masalahnya. Termasuk keberanian Jokowi, memaksa polisi dan tentara untuk membiarkan dirinya ke Papua, karena selama ini Papua seolah dilupakan Jakarta, lebih karena alasan-alasan yang aneh, demi keamanan presiden.
Apakah Jokowi lamban dan klemar-klemer? Menurut Ahok, Jokowi lebih galak dan kejam dibanding dirinya. Bahkan dalam kasus pemindahan pedagang Pasar Banjaransari, Jokowi ‘memenjarakan’ satu dua pedagang yang dinilainya melanggar hukum. Memenjarakan, artinya memprosesnya secara hukum sesuatu kewenangan judikatif.
Pada sisi itu, jangankan Prabowo, Anies Baswedan bukan lawan sepadan Jokowi. Karena kualitas kepemimpinan tak dibangun dengan kata-kata, melainkan track-record yang mengikutinya. Dan semuanya tercatat secara verbatim di ingatan public, sekalipun para pemuja kata-kata akan menjungkir-balikkan fakta dan data berdasar arahan konsultan seperti Eep Saefullah atau pun konsultan asing Amerika Serikat (hayo, siapa si antek asing?).
Indonesia di masa depan, lebih membutuhkan yang lebih baik daripada Jokowi, bukannya yang lebih buruk. Tidak relevan sesungguhnya membandingkan Jokowi dan Prabowo, karena Indonesia sekarang mesti lebih maju lagi, dan tidak elok memperbandingkan dan apalagi balik ke model kepemimpinan Orde Baru, dengan figure-figur jadul segenerasi Prabowo cum suis. Apalagi generasi yang selalu hanya bersandar pada claiming nasionalisme dan agamaisme buta.
Jika Pilpres 2019 Jokowi vs Prabowo, bukan soal Prabowo lebih buruk. Tetapi kita bicara soal realitas ke depan. Tentang perang a-simetris, tentang kapitalisme yang berubah secara konseptual. Jika membandingkan Jokowi tidak cerdas, sementara Prabowo cerdas, juga tidak tepat. Karena Prabowo cerdas di masa muda, itu pun kita maklum karena apa. Di masa tua ini, tak ada yang bisa dibuktikan.
Lagi pula, kecerdasan dalam kepemimpinan akan dikalahkan oleh manusia adaptif dan pembelajar yang baik. Jokowi membuktikan itu. Apalagi, seperti penilaian Buya Syafii, Jokowi tidak tersandera masa lalu, masih bersih, dinilai jujur, integritas moralnya masih terjaga, meski tidak dihiasi tim mawar. Kita lebih butuh pesaing Jokowi yang lebih baik, bukan bagian dari gerombolan si berat itu.
Dalam transformasi politik ke depan, jeratan masa lalu, utamanya jeratan pada "Orde Soehartoisme Baru", termasuk dengan munculnya politik identitas, formalisme, fundamentalisme agama, sudah saatnya ditinggalkan, karena bukan bagian dari solusi, melainkan bagian dari masalah itu sendiri.