“Banjir, kemiskinan, itu bisnis,…!” demikian kata Mas Uut, manusia gerobak yang pernah menghebohkan Jakarta tahun 1988. Fotonya menjadi ikon setelah ditayangkan harian Kompas waktu itu, sehabis lapaknya terbakar habis.
Mas Uut (58), secara tak sengaja saya bertemu dengannya di kota Malang, di rumah orangtuanya. Ia adalah manusia gelandangan, tukang pungut sampah dan barang rongsok. Ketua Laskar Mandiri yang pernah mendapat penghargaan dari Soeharto.
Drop Out dari kampusnya, dengan mengambil mata kuliah akuntansi, Mas Uut pergi ke Jakarta. Tanpa saudara dan ijazah. Tapi dia seorang gelandangan yang cerdik, dan fasih mengutip Aristoteles dalam omongannya.
Dengan mengenali lingkungannya, ia bisa mendapatkan 6 hektar lahan tak jauh dari daerah Kampung Pulo. Ia bangun lapak untuk menampung segala macam sampah. Itu bisnis yang mengiurkan. Dari sini ia berani berkeluarga, hingga punya cucu. Dan tiba-tiba lapaknya terbakar.
Ia kemudian lontang-lantung lagi di jalanan, Menyeret gerobak penuh barang-barang bisnisnya. Termasuk selalu membawa cucu yang ia bawa ke mana-mana, karena memang tak punya tempat tinggal.
Manusia gerobak adalah fenomena Jakarta, kota ke 6 terbanyak dalam hal ini di antara 25 negara di dunia. Istilah manusia gerobak adalah untuk para tunawisma, kaum pendatang di ibukota, tanpa identitas kependudukan (DKI). Mencari nafkah di jalanan, dengan “rumah nomaden”. Di dalam gerobak, bukan hanya sampah dan rongsokan, melainkan juga tempat menyimpan pakaian, perabotan dan kekayaannya.
Mas Uut manusia gerobak yang bisa menyiasati hidup di tengah kerasnya belantara metropolitan. Hingga ia dapatkan lagi daerah kekuasaan, dan rupiah kembali berputar dalam kehidupannya. Ia sendiri bukan keturunan orang miskin. Kini ia sedang balik ke daerah, karena menunggui rumah warisan yang mewah dengan segala isinya. “Tapi nggak betah, pengen segera kembali kerja,” katanya. Ia meninggalkan isteri dan anak yang masih menunggui kerajaan lapaknya di Jakarta.
“Banyak orang di daerah yang berlagak kaya padahal miskin,” kata Mas Uut sembari nyedot es dawet plastikan untuk berbuka puasa. “Sementara di Jakarta, banyak orang gampang mendapatkan duit tetapi dengan berlagak miskin.”
Mas Uut pernah menjadi anggota dewan (DPR-RI utusan ‘laskar mandiri’) di jaman Soeharto. Mengenali hampir semua sisi daerah kumuh dengan para centeng dan jagoannya. Ia bisa menyebut di mana daerah-daerah langganan banjir, sebagai ladang bisnis yang basah. Menjual kemiskinan dan penderitaan, untuk mengais sumbangan sosial dari pemerintah dan swasta.
“Tapi sesunggunhya, itu hanya sandiwara. Banjir memang dipelihara. Makanya mereka tidak suka dengan Ahok yang suka beres-beres, mengangkat mereka ke rusun,…” kata Mas Uut, yang mengatakan kasus kabel telpon masuk ke gorong-gorong, adalah ulah mereka yang suka membisniskan banjir itu.
Dengan banjir, mereka akan mudah mendapatkan uang dan segala bentuk bantuan sosial. Biasanya di wilayah korban itu, jumlah penduduk mendadak bertambah. Menurut Mas Uut, pada saat seperti itu, banyak yang membawa sanak saudara mereka dari daerah, untuk mendapatkan bantuan sebanyak-banyaknya. Saya ingat, ketika masih kerja di dekat Kampung Melayu, ketika kawasan itu dilanda banjir, banyak nasi bungkus dihanyutkan ke sungai. Para korban tidak membutuhkannya lagi. Sumbangan nasi bungkus selalu berlebih.
Bagi Mas Uut, orang-orang seperti Rama Sandyawan, juga para pendemo yang selalu membela rakyat miskin itu, baik-baik saja adanya. Sayangnya, mereka adalah orang baik yang naif. Tidak mengerti masalah sebenarnya, meski mereka berada di lapangan.
Orang seperti Ahok, kata Mas Uut, menjadi musuh bagi mereka yang kehilangan nafkah dari munculnya ketertiban kota. Bantaran sungai di Jakarta, adalah area bisnis yang mengiurkan. Meski Ahok bilang rusun jauh lebih murah (dibanding jika masyarakat menyewa rumah bedeng pinggir kali dengan minimal Rp 500 ribu), tetapi mereka bisa mengatakan Ahok tega menggusur rakyat miskin.
Apa yang terjadi di dekat RPTRA Kalijodo, membuktikan hal itu. Hilangnya gubernur macam Ahok, adalah kembali bangkitnya kesemrawutan, dan memberikan ruang bermain bagi para preman di segala level. Entah itu di DPRD, bahkan sampai Walikota, Camat, Lurah, RW, RT untuk bermain-main kembali lebih leluasa.
Persoalan kita adalah soal kemiskinan dan kebodohan, yang memang pada kekuasaan korup hal itu dipelihara, untuk dieksploitasi. Jika rakyat masih bisa terus dibohongi ‘pakai’ jargon-jargon politik demokrasi, kekuasaan yang korup akan kembali digdaya, meski dipenuhi pernyataan-pernyataan sloganistik pro rakyat dan pro kemiskinan. Itu sebabnya, Ahok bisa digusur dengan isu agama dan ras. Tak ada kaitan dengan reputasi, dan demokrasi bisa memberikan kemenangan pada yang tidak mementingkan kualitas.
Seperti soal listrik naik, yang sebetulnya hal tersebut menjalankan keputusan dan desakan DPR (untuk kelak memunculkan listrik swasta). Namun mereka bisa memproduksi isu, bahwa pemerintah tidak pro-rakyat. Plintiran-plintiran politik semacam itu, dimainkan terus karena rakyat dianggap bodoh (dan miskin). Mereka ini sensitive dengan kata-kata sloganistik yang terkesan populis.
Riset Danang Widoyoko tentang ‘Kebijakan Ekonomi Ahok & Pertarungan Ekonomi Pasar vs Ekonomi Negara’ (2017), menunjuk fakta dan data menarik. Yang selama ini dikritik sebagai pro pengembang, dan menjadi acuan para aktivisis yang berseberangan dengan Ahok, sesungguhnya mengarah pada penguatan peran negara, melalui BUMN dan BUMD di sektor konstruksi. Penghematan anggaran Jakarta yang dicapai melalui efisiensi birokrasi, digunakan untuk injeksi modal BUMD (sebesar Rp 12 triliunan, berlipat dari alokasi di era Fauzi Bowo yang hanya Rp 1,12 triliun).
Dengan cara itu, Ahok membatalkan proyek MRT yang dikelola oleh Ortus, konsorsium usaha Edward Soerjadjaja dan Bukaka milik Jusuf Kalla. Pantaslah jika Jusuf Kalla bisa tertawa lebar dengan tersingkirnya Ahok, dan kemenangan Anies jagoannya.
Kekalahan Ahok akan menjadi titik balik dominasi swasta di sektor konstruksi Jakarta, mengingat komitmen dari Anies dan Sandi untuk memberi porsi yang besar kepada pihak swasta, mengurangi peran negara (BUMN dan BUMD). Ini yang dikatakan oleh Danang Widoyoko, sebagai pertarungan antara state led dengan market led economies.
Tetapi apakah rakyat proporsional, juga khususnya para aktivis demokrasi yang anti Ahok, melihat hal ini? Para aktivis progresif biasanya hanya tertarik pada isu-isu sexy yang latent, seperti eksploitasi kemiskinan dan kebodohan, namun pada sisi bersamaan mereka tidak ngerti soal game theory.
Tentu saja daya kritis perlu. Tetapi bukan daya kritis sebagaimana Amien Rais, Fadli Zon atau Fakrie Hamzah. Karena kata ‘kritis’ pada mereka, lebih dalam arti berada pada kondisi sakaratul maut, kehilangan proporsionalitas.
Mengkritisi calon pemimpin, dalam setiap kontestasi demokrasi adalah penting. Proses demokrasi akan memberi kesempatan untuk memilih lesser of the two evils. Namun ketika kita tidak ngerti game theory, tak memahami peta kepolitikan, bisa jadi agenda puluhan tahun berantakan seketika. Membutuhkan waktu untuk membangun kembali. Sembilanbelas tahun reformasi, kita belum bisa lepas dari soehartoisme.
Kekalahan Hillary Clinton, dan munculnya Donald Trump, adalah pelajaran demokrasi yang menarik. Karena pandangan idealistik yang utopis, dan naif, membuat para aktivis ngawur menyerang Hillary. Kemenangan Trump menyodorkan tragedi, bagaimana kerja keras puluhan tahun di bidang climate change, kesetaraan, dan demokrasi itu sendiri, dalam bahaya.
Ketika beberapa aktivis demokrasi dan HAM menyerang Ahok, dalam kasus Sumber Waras, reklamasi pantai, dan penggusuran pemukiman di bantaran sungai; apakah dengan terpilihnya Anies akan berhenti? Soal korupsi, kepemimpinan yang kompromistis memberi ruang negosiasi yang longgar. Ahok dalam hal ini lebih independen, meski karena itu tidak menyenangkan bagi DPRD maupun bahkan Mendagri. Penggusuran dengan berbagai bentuknya, juga akan terus berjalan. Kecuali Anies-Sandi berkompromi, untuk menjadikan Ibukota makin kumuh, dan para preman atau jagoan kembali bersimaharajalela.
Pada sisi itulah, menjadi pejuang rakyat tentu baik saja, sebagaimana kata-kata Mas Uut si manusia gerobak. Tetapi menjadi idealis naif, atau dungu, apalagi tak ngerti politik dan tak punya sensibilitas mengenai game theory, menjadi tidak strategis. Kenapa? Karena justeru kehadirannya hanya akan memperkokoh para pendusta, yang justru lebih menyengsarakan rakyat. Walaupun tampak tujuannya baik, idealis, pro-rakyat miskin, dan seolah populis. Tapi kalau dungu, ‘gimana?