DRAMA POLITIK 1 | Bagian Pertama dari 2 Bagian. Jadi siapa
yang diuntungkan dalam serentetan drama-drama politik kita hari ini? Kasus
Rizieq Shihab bisa berbelok ke Ahok versus Kyai Ma’ruf Amin, dan
menyeret-nyeret NU. Padahal menurut Kyai Ma’ruf Amin, seperti dalam BAP-nya
sebagai saksi ahli dalam kasus Ahok, Gubernur DKI Jakarta itu melakukan
tindakan yang tidak etis.
Kalau tidak etis, kenapa tidak diselesaikan secara etis juga? Atas hal yang diplintir di Kepulauan Seribu, Ahok sudah meminta maaf untuk hal yang tak dimaksudkannya. Namun atas nama desakan massa, juga partai yang jadi lawan Ahok (dalam proses Pilkada DKI Jakarta), kepolisian pun melakukan diskresi. Ahok yang masuk dalam kontestasi Pilkada, diproses cepat-cepat dan dibawa ke pengadilan.
Kalau tidak etis, kenapa tidak diselesaikan secara etis juga? Atas hal yang diplintir di Kepulauan Seribu, Ahok sudah meminta maaf untuk hal yang tak dimaksudkannya. Namun atas nama desakan massa, juga partai yang jadi lawan Ahok (dalam proses Pilkada DKI Jakarta), kepolisian pun melakukan diskresi. Ahok yang masuk dalam kontestasi Pilkada, diproses cepat-cepat dan dibawa ke pengadilan.
Padahal mestinya, aturan sebelumnya sudah sangat bagus. Karena jika peserta kontestasi bisa dilaporkan dan diproses hukum ketika sedang mengikuti Pilkada, akan terjadi kerawanan dalam politisasi. Proses hukum bagi kandidat yang sedang dalam masalah hukum, aturan semula, barulah bisa dilakukan setelah usai pemilihan. Namun ketika polisi melakukan diskresi itu, terjadi apa yang dikhawatirkan. Polisi kemudian juga memproses dugaan korupsi yang menyeret nama Sylviana Murni, yang juga maju dalam ajang kontestasi Pilkada DKI Jakarta.
Atas hal itu, partai yang mendorong-dorong Ahok segera diperkarakan, kini balik memprotesnya setelah dulu mengatakan equality before the law (maksudnya sebagai pejabat publik, Ahok jangan dikecualikan). Tapi ketika Sylviana Murni diproses hukum pula, reaksinya berbeda. Ada politisasi katanya. Blunder 'kan, kalau politik hanya karena libido sesaat? Belum lagi masuk laporan ke KPK, Anies Baswedan diduga melakukan gratifikasi. Dan seterusnya.
Standar ganda selalu dipakai mereka yang begitu banyak punya hiden agenda. Tidak ada konsistensi, karena yang penting mana saja yang menguntungkannya. Perkara antara logika yang pertama dengan berikutnya bertabrakan, tidak nyambung, bukan itu. Azas “pokoknya tak bersalah”, bukan “praduga tak bersalah”. Itu juga sebenarnya secara gamblang dicontohkan oleh Rizieq Shihab cum suis. Entah itu bernama FPI atau beberapa nama yang disebut-sebut memakai kedok agama dan keulamaan.
Ujung-ujungnya, siapapun tidak boleh mengritik atau menyentuh ulama. Poin menghormati ulama, tentu saja tak ada yang salah, sebagaimana menghormati orangtua, orang pinter, orang jujur, orang mulia. Ulama sendiri artinya adalah ‘berilmu’. Tapi sejak ratusan lampau, Imam Ghazalie dalam ‘Ihya Ulumuddin’ sudah mengingatkan, bahwa di antara mereka juga terdapat ulama al su’, ulama palsu yang hanya memakai agama untuk kepentingan duniawi. Agama hanya sebagai legitimasi keuntungan, yang praktiknya (menurut Ghazalie), sesungguhnya, membuat derajat penghargaan orang terhadap agama menjadi turun.
Dalam putaran masalah itu, Ahok sebenarnya sedang berada di atas angin. Tetapi tiba-tiba, dalam persidangan ke-8, angin seolah berbalik. Ahok dituding telah menghina, menistakan Kyai Ma’ruf Amin, yang bersaksi atas nama MUI, tetapi kata MUI di situ kemudian juga diserempetkan ke NU, karena Kyai Ma’ruf Amin adalah Ketua Rais Am PBNU.
Beberapa orang mengatakan Ahok dan timnya blunder.
Padahal, lebih karena mereka tak mampu melakukan mediasi, karena fakta persidangan berbeda dengan sas-sus, pemutar-balikan fakta dan hoax yang diproduksi secara massal dan cepat. Gambarannya menjadi sempurna, Ahok bermasalah dengan kepribadiannya. Fokusnya, leadership dengan persoalan etika.
Secara formal dan normative, Kyai Ma’ruf Amin sudah memaafkan Ahok (atas kesalahan apa), tetapi gerakan di bawah terus digoreng. Beberapa petinggi MUI dan juga PBNU, terasa tak bisa menerima ‘karakter’ Ahok. Kata ‘maaf’ di situ menjadi bias. Bahkan Ketum PP Muhammadiyah juga ikut serta memojokkan Ahok, juga Sujiwo Tejo, Jusuf Kalla, dan netizen yang konon semula netral. Kebanyakan mendelegitimasi Ahok.
Senyampang itu, di sisi lain, SBY yang bolak-balik baper pengen ketemu Jokowi, tiba-tiba bisa membelokkan perhatian ke pansus penyadapan, dan berujung ke hak tanya DPR. Dari sini pula, bisa ditebak arahnya. Tinjauan kembali hak-hak penyadapan lembaga yang ditata dalam UU bisa dirombak. Para koruptor di masa lalu, masa kini, dan masa mendatang akan kembali bertempik-sorak.
Ini bukan hanya sekedar Jokowi yang dikeroyok. Negara dikepung kaum vested interest, kelompok kepentingan yang selama ini dirugikan atau disingkirkan. Dalam metadata, huruf-huruf dalam tuitan SBY (yang sohor soal curhatan ke Allah Tuhan YME), jangan-jangan kalau disusun ulang, pesan disebaliknya jadi seperti ini bunyinya: “Ya Allah, Tuhan YME. Negara kok jadi begini. Juru fitnah yang mengganggu pengganggu negeri & penentang aksi penyebar hoax berkuasa & merajalela. Kapan para mantan & yg dilemahkan menang?”
Saya tidak tahu, apakah happy-end dalam semua drama-drama itu hanya ada dalam dongeng super-hero atau cerita anak-anak Bawang Merah Bawang Putih. Dalam hal ini, apakah kita masih bisa melihat Jokowi relevan dan bisa ditolerir dari spirit Reformasi 1998?
Kita tak bisa lagi bertanya pada masa lalu. Satu titik pijak yang kini sudah banyak dilupakan, ketika kini para eksponennya pun bertarung dari kubu-kubu yang saling berhadapan. Itu bukan nara-sumber yang baik untuk ditanya.
Indonesia adalah negeri milik generasi mendatang. Merekalah yang lebih penting ditanya, apakah yang ada sekarang ini memenuhi syarat untuk memperpanjang usia NKRI?