Ajakan untuk tidak membicarakan kasus Ahok, hanya karena kita bukan warga Jakarta, dan tak punya hak pilih dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, makin tidak relevan. Disamping terlalu naïf, a-politis, namun juga tidak adil. Kenapa?
Karena senyampang mereka melarang orang luar Jakarta ngomong, diajaklah orang luar Jakarta menggerudug Jakarta. Sama dengan senyampang melarang orang bukan Islam ngomongin agama Islam, mereka ngomongin (bahkan ngejelek-jelekin) agama lain. Senyampang bilang kita harus menegakkan hukum, dilakukan pula penistaan hukum.
Apakah kasus Ahok soal penistaan agama? Bukan. Ini kasus politik. Apakah hanya soal politik Pilkada? Bukan. Ini politik berdimensi nasional dengan mendesakkan kebrutalan politik identitas, yang mengancam demokrasi Pancasila sebagai kesepakatan konstitusional kita.
Apapun kepentingan Anda, jangan mencoba menutup mata dan telinga, juga hati, dari berbagai seliweran data dan fakta lewat berbagai media. Munarman dari FPI, jauh sebelumnya sudah jelas menyatakan akan menjadi komandan lapangan bagi demo 4 Nopember 2016. Dan itu dikukuhkan terang-terangan dengan GNPF-MUI (Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI).
GNPF MUI setelah Ahok ditetapkan sebagai tersangka (16/11) menyebar ajakan untuk terus membuat viral dengan isu mendesak agar Ahok dijadikan terdakwa dan dipenjara (dan ini sudah menyebar ke bahkan grup pengajian ibu-ibu di seluruh pelosok negeri). Pada sisi lain, pengacara MUI (usai gelar perkara Ahok) mendesak Ahok mundur dari pencalonan karena alasan moral dan kehilangan obligasi. Desakan itu, sungguh memberitahu kita soal pelecehan hukum karena mengabaikan UU Pilkada 2015.
Hasil gelar perkara kasus Ahok, yang diduga menista agama, sesungguhnya mengecewakan. Negara dipaksa menerima tekanan kelompok (identitas) ‘mayoritas’, atas nama stabilitas politik. Akal sehat dikorbankan, apalagi dengan tudingan melanggar Pasal 156 a KUHP juncto Pasal 28 ayat 2 Undang-undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Bagaimana Ahok sebagai korban justeru dituding melanggar UU ITE? Jungkir balik kita untuk memahami masalah ini.
Pertanyaannya: Jika Polisi memakai dua pasal itu, bagaimana dengan apa yang dilakukan Ahmad Dhani, Fahri Hamzah, Munarman, Habieb Rizieq, Buni Yani, Desmond J. Mahesa, dan bahkan pidato SBY 2 Nopember 2016? Jika Polisi telah dinilai bekerja proporsional, tidak berpihak, apakah akan bertindak sama pada nama-nama tersebut di atas, yang juga telah menjadi kasus terlaporkan?
Pada sisi ini, politik identitas telah dengan dingin menjadikan Ahok sebagai korban demokrasi. FPI, dengan berlindung pada ‘pengawal fatwa MUI’, mendapatkan panggung begitu luas. Apalagi ada pihak kepentingan lain yang menunggangi, karena kesamaan agenda, menyingkirkan Ahok dalam kontestasi. Politik identitas juga telah menjungkir-balikkan nalar kita, ketika Ulil Absar Abdalla dari JIL (Jaringan Islam Liberal) mengatakan bahwa Agus-Sylvi adalah sosok yang tidak membuat kita terpolarisasi (dibanding Ahok). Bagaimana kita memahami founder JIL yang liberal ini bahu-membahu dengan FPI, yang punya agenda sama dalam Pilkada DKI?
Ini soal penistaan agama? Kita bisa menjawabnya ya, dengan kalimat tambahan; Kita semua telah menistakan agama, hanya karena telah memakainya bersama-sama untuk justifikasi, legitimasi, tendensi, bagi tujuan-tujuan politik praktis. Entah itu bernama Pilkada DKI Jakarta 2017 atau pun Pilpres 2019. Bagaimana bisa menyangkut Pilpres yang masih jauh? Kita siapa? Kita masyarakat ramai, termasuk para intelektual dan ulama, yang tampak hilir mudik di depan kamera televisi, dengan wajah-wajah yang kehilangan trust.
Jika politik anak tangga ini dibiarkan, menuju ke eskalasi politik yang makin tak terkontrol, tentu saja mencemaskan. Jangan lupa isu-isu yang ditebar beberapa petinggi partai politik seperti Syarief Hasan, Amir Syamsuddin, juga Fahri Hamzah, yang mengatakan bahwa presiden bisa di-impeachment, dilengserkan, karena pernyataannya soal aktor politik, dan safari politiknya yang justeru dituding sebagai upaya memecah-belah bangsa.
Politik identitas dimainkan, dan politik kelas dinisbikan. Sementara demokrasi akhirnya tunduk pada desakan massa yang mendaku sebagai korban. Strategi playing victim ini, bagian strategis untuk berkelindan dengan kepentingan kelompok sepaham-setujuan.
Upaya Jokowi untuk menyatakan bahwa ia netral, dan Ahok ternyata juga tak kebal hukum, dan terbuktikan dalam gelar perkara kasus Ahok itu, pada akhirnya tak juga menghentikan desakan tersembunyi para pendemo. Pemerintah ikut menari digendang orang lain. Benarkah ini melangkah mundur untuk maju? Di sini kita perlu mendesak Presiden.
Politik tidak berada di ruang hampa. Kita juga boleh mendesak, bagaimana agar Presiden benar-benar mengujudkan pesan-pesan tersiratnya, bahwa kita tidak boleh kalah oleh agenda kelompok minoritas yang hendak mengacaukan NKRI. Siapakah kelompok minoritas itu? Dialah yang bukan mayoritas. Siapa yang mayoritas? Ialah masyarakat diam, yang tetap menghendaki Nusantara Raya ini sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia, bersendikan UUD 1945 dan Pancasila yang berbhineka tunggal ika.
Let's keep rock n roll, Mr. President. Semoga presiden tetap mampu mendengarkan suara kesunyian.