Di tembak lewat SARA, Ahok selamat. Justeru makin
melejit. Ditembak via BPK, Ahok malah seger-waras. Kini ditembak isu reklamasi
dan moral pembangunan, Ahok agak kelimpungan juga. Ia terpaksa pakai jurus Dewa
Mabuk, sikat sana-sini. KKP, Kemendagri, KPK, BPK, bisa kena sodok semuanya.
Seorang fesbuker, kelompok haters, memanas-manasi; Pak Jokowi awas sampeyan
dikhianati Ahok!
Namun apa hasilnya? Kini Menko Kemaritiman memoratorium
(baca: menghentikan sementara) reklamasi Teluk Jakarta. Menurut pemerintah, tak
ada yang salah dalam reklamasi, hanya aturan hukumnya tumpang tindih. Hingga di
sini, mestinya, polemik selesai dan akar masalah dipahami. Artinya apa?
Lagi-lagi Ahok diselamatkan. Ahok tak bisa disalahkan dari aturan hukum yang
belibet itu. Pemerintah pusat biang keladinya.
Gorengan isyu reklamasi memang ruwet. Ruwet dari sononya
(1995) sejak Orsoe alias Orde Soeharto masih bercokol. Dan pejabat-pejabat
berikutnya memang tak pernah dididik bertangungjawab. Mereka hanya berkhidmat
pada jabatan, dan atau ketika mengemban jabatan itu doang, sembari main-main
sisi kelemahannya. Hobinya ninggalin bom waktu, kayak SBY yang lebay.
Lantas apalagi? Maka serangan dinaikkan lagi levelnya.
Soal orientasi pembangunan dan keberpihakan kelas menengah. Sentimen ini bahkan
mulai dibangun dengan masuknya unsur baru; Akademisi. Kini beberapa nama dari
kampus, mencoba mengorek orientasi pembangunan Ahok yang tidak pro rakyat
miskin kota. Ahok sebagai Petugas Pemerintah (mirip tudingan pada Jokowi
sebagai Petugas Partai), diplesetkan sebagai Ahok Petugas Taipan, yang
melakukan penggusuran kelewat batas kemanusiaan. Ahok kejam, brutal, lebih jahat
dari Orsoe; bahkan ada celetukan bunuh Ahok!
Bukan hanya politikus ecek-ecek, kini elite parpol, yang
ada di DPR, DPD, ikutan menembak masalah ini. Bobot tembakan (atau sebutlah
diskusi) ditingkatkan. Para intelektual, akademisi, dilibatkan dengan tema yang
sexy; kajian pembangunan, daya kritis kelas menengah, dan keberpihakan pada
kaum miskin korban pembangunan.
Maka terjadilah polarisasi klasik, mana yang kapitalisme
mana yang sosialisme, atau juga kini nambah mana yang kapitalisosdemisme (ini
aliran baru, maunya bersikap sosial dan demokrat, tapi kapitalis dikit-dikit
bolehlah). Ditambah embel-embel mana yang liberalislah, puritanlah,
romantislah,…
Tapi apakah kita punya data valid mengenai semua itu?
Apakah ikan-ikan di Teluk Jakarta hilang sejak adanya reklamasi, atau jauh
sebelumnya? Bagaimana kondisi Teluk Jakarta itu, dari hari ini hingga 5 tahun
sebelumnya, day by day? Betulkah reklamasi hanya untuk orang kaya, dan bahkan
untuk setuju reklamasi pun harus jadi kelas menengah? Terus untuk menikmati laut
atau pantai orang miskin harus bayar ke orang kaya?
Bahasa hyperbolic biasa dipakai dalam debat-debat kita.
Tentu saja untuk menyangatkan kepedulian kita dan ketidakpedulian orang lain.
Namun bagaimana sebenarnya kehidupan para nelayan yang mencari nafkah di situ?
Apakah kita mengetahui persis siapa mereka sesungguhnya? Nasib baik dan
buruknya? Bagaimana penghasilannya dalam 5 tahun terakhir, tiap harinya?
Bagaimana studi lingkungan yang dilakukan KLH mengenai kondisi Teluk Jakarta
dalam 10 tahun terakhir? Apa proyeksi Negara tentang ibukota Negara? Bagaimana
Jakarta 10-50 tahun ke depan?
Kita tidak pernah tahu, bagaimana sesungguhnya pendapat
masyarakat yang tergusur ini. Bahwa ada yang dirugikan, tentu saja iya. Tetapi
ada yang diuntungkan, tidak boleh disembunyikan. Tinggal berhitung saja, berapa
yang dirugikan berapa yang diuntungkan, karena apa dan bagaimana? Bagaimana
road-map Jakarta ke depan, dan bagaimana Jakarta selama ini sebagai daerah
khusus ibukota negara? Apa sebetulnya yang terjadi? Ahok Petugas Taipan,
Petugas Pemerintah, atau Petugas Konstitusi? Ahok jahat atau Ahok geblek? Atau
Ahok jahat karena geblek atau Ahok geblek karena jahat?
Darimana mengurai semua ini? Pada sisi itu, satu-persatu
kita sisir masalahnya. Apakah Romo Sandyawan di Kampung Pulo selalu benar? JJ
Rizal, Marco Kusumawijaya, Ahmad Dhani, Airlangga Pribadi, Alaydrus Ali, Karni
Ilyas, Lulung, Goenawan Mohamad, Syafi’ie Maarif, Ratna Sarumpaet, dan siapa
lagi sebutlah nama, selalu benar? Apakah Ahok juga selalu benar?
Baiklah, semua masing-masing ngotot benar. Tapi jika
semuanya itu benar, mengapa yang benar dan benar itu sulit bertemu untuk
bicara? Karena masing-masing dirinya mengaku paling benar, dan orang lain
paling salah. Dasar dialog atau komunikasi tidak bertemu. Belum lagi yang
mengaku para cendekiawan (apalagi fesbuker tukang kompor) mengatakan tak
mungkin salah. Pasti Ahok yang salah. Dan membela Ahok pun kini bisa
dihina-dina, sebagai kelas menengah ngehek, tanpa bisa menyebut data BPS
tentang populasi penduduk Indonesia mengenai kelas menengah.
Jika kita terus sibuk bertengkar, berkubang dengan
masalah-masalah mulu, tanpa penyelesaian, siapa yang diuntungkan? Siapa coba?
Jangan-jangan hanya para debaters itu, sebagai insan profesional yang mendapat
imbalan karena keahliannya?
Tarung bebas atas nama demokrasi (liberal juga), ini
tentu menyenangkan bagi kaum oportunis, dan penumpang gelap, yang memanfaatkan
situasi chaostic. Tak peduli grand-design demokrasi Indonesia sejak 1998. Dan
itu bukti betapa kita tak punya agenda politik yang jelas sebagai bangsa dan
negara. Tak ada vision dan mision, apalagi dengan para akademisi proyek dan
menara gading. Pokokmen meriah, syukur bage bisa nambah credit-point.
Apakah kita tahu berapa duit beredar di Jakarta ini?
Sirkulasi dan distribusi uang nasional kita, hampir 70% masih berputar di
Jakarta, dengan segala rembesannya. Apakah rakyat miskin di Jakarta
menikmatinya? Dengan parlemen yang korup gila-gilaan, Jakarta hanya akan
menjadi ajang bancakan kaum oportunis. Apalagi jika pihak eksekutifnya adalah
lembek dan sapi perah legislatif atau parpol. Ini fakta susah dibantah, dan
langkah Ahok maju di Pilkada 2017 jalur perorangan, gagal dibaca sebagai kritik
keras atas kondisi politik koruptif itu. Alih-alih dipakai intropeksi, melainkan
malah justeru dimanfaatkan oleh para oportunis mengambil formulir pencalonan
yang diobral para parpol gagal paham itu. Kita akan bisa mengukur bagaimana
psikologisme politik calon gubernur dari jalur dan situasi itu.
Pada posisi itu, Ahok lebih bisa dipercaya, dan menang
posisi. Dan itu modal Ahok yang sepenuhnya didapat dari sentimen negatif tak
adanya kepercayaan public pada para penantangnya. Di sisi lain, parpol gagal
melakukan kaderisasi kepemimpinan. PDIP yang bisa sendirian memajukan calon, masih
saja terlihat kelimpungan dan tak pasti. Orang luar yang datang mendaftar
bacagub, kredibilitasnya diragukan sejak awal, karena reputasinya yang buruk,
atau performancenya sebagai common enemy. Maukah PDIP, misalnya, mengajukan
Yusril Ihza Mahendra, yang notabene ketua partai politik lain, dan notabene
pula partai itu sama sekali tak mendapat suara di nasional dan lokal? Mikir!
Tetapi kini persoalan Ahok tidaklah mudah. Lembaga
polling sudah mengintrodusir, elektabilitas Ahok (dengan kasus reklamasi itu)
turun. Ahok mempunyai cacat bawaan yang tak bisa ditolerir. Tidak santun dan
kejam pada kaum miskin (artinya; hanya menghamba kaum atas), oh ya tambah satu
lagi; Gubernur ngebir. Lengkap sudah. Ini senjata mutakhir yang ternyata
mempertemukan kaum moralis normatif macam FPI, FBR, akademisi, aktivis HAM,
LSM, para pejuang medsos kiri-kanan oke, bersatu-padu; No Ahok!
Jikalau Ahok memang tak dikehendaki karena cacat mental,
sebagaimana Wisanggeni harus dibunuh sebelum Bharatayudha, Jakarta yang
blangsak sejak jaman Bang Ali dulu, memang harus ditinjau ulang. Duit yang
berputar di Jakarta, sebagai lumbung emas yang diincer para garong segala
penjuru, harus dialihkan. Presiden bisa mengambil keputusan politik, apakah
mempercepat desentralisasi dan otonomi daerah, atau memindah ibukota negara ke
luar dari Jakarta, sebagai pilihan terpendek.
Teman Ahok dan Batman, mesin pendukung Ahok, adalah
anak-anak muda yang culun, yang tak pandai bertarung kecuali meyakini Ahok baik
dan benar. Mereka tidak tahu, baik dan benar tidak cukup di Indonesia ini. Dan
para akademisi tak peduli resiko-resiko dari intellectual exercisenya. Pokokmen
secara teoritik Ahok tidak pantas, tidak memenuhi syarat orientasi pembangunan
yang kiri, pro-rakyat dan ramah lingkungan, neolib dan liberal. Bagi mereka,
Jakarta mau dijabat siapapun terserah, yang penting bukan Ahok! Dan Jakarta
begitu sexynya, untuk mereka yang sudah terlanjur horny, sejak dalam
kotorannya.