"Pagi, Tere Liye,..."
"Oh, pagi. Siapa ya?"
"Saya Bung Karno,..."
"Oh, maaf. Saking banyaknya fansku, aku nggak kenal satu-satu."
"Oh,..."
"Iya. Maaf, ya, karena satu-satu aku sayang ibu,...."
"Oh,..."
"Kalau dua-dua, brati ibunya dua,..."
"Oh."
"Kok ah-oh, ah-oh, kayak dialog dalam novel-novelku."
"Ternyata Tere Liye itu lelaki?"
"Hihihihi,... nama tidak penting, kasih saja nama siapa saja."
"Saya kira perempuan beneran, makanya saya antusias menemui."
"Oh, banyak kok novelis lelaki bernama perempuan. Masalah? Ini kan untuk kesetaraan gender."
"Kalau nama macho macam Didik Nini Thowok, atau Hudson, yang penari cross-gender itu, bagaimana?"
"Ya, awoh, masak-awoh, jangan deh. Apakah kamu nggak tahu, ulama-ulama kita itu banyak berjuang untuk kemerdekaan Indonesia? Mana ada orang kiri, komunis, liberal, pejuang HAM ikut-ikutan berjuang, plis deh!"
"Saya ingin belajar dari Anda, soal kiri menurut Anda,..."
"Lho, pokoknya jangan kiri deh. Kiri itu tidak baik, kiri itu komunis, komunis itu tidak beragama, tidak beragama itu tidak seperti tokoh dalam novel-novelku."
"Iya. Tokoh novel sampeyan religius-religius, sangat kanan."
"Tentu. Segala yang kiri itu tidak baik. Coba, makan dengan tangan kiri kan kata ibu tidak baik. Kita kan mesti nurut pada ibu, karena sorga di bawah telapak kaki ibu. Mau jadi anak durhaka, dikutuk jadi batu kayak Malin Kundang, atau masuk neraka?"
"Termasuk tangan kiri, kaki kiri, mata sebelah kiri, kuping kiri?"
"Iyalah. Aku malah mau protes, mestinya tangan manusia semua kanan, juga kakinya, matanya, kupingnya. Hingga akhirnya akan muncul semboyan ke kanan jalan lurus."
"Bukannya ngikuti APILL?"
"Kanan jalan lurus itu artinya jalan kebenaran itu kanan. Wah, kamu itu pendidikannya apa to, kok nggak ngerti simbol. Jalan lurus itu apa coba? Bacalah atas nama tuhanmu. Mosok fansku nggak hobi mbaca?"
"Maaf, saya cuma baca novel-novel Tere Liye."
"Nah, itu bagus. Biar tambah pinter, baca status-status fesbukku juga. Pokoknya aku mau bangun generasi baru. Jangan terpukau produk-produk luar, yang belum tentu keren."
"Kalau produk Arab?"
"Lha kan disebutnya Arab, bukan disebutnya 'produk luar'? Belilah novel-novelku, produk aseli dalam negeri. Soal budaya pop sebagai anak buah kapitalisme, nenek moyang kita kan dari dulu juga pedagang, apalagi nenek moyang kita orang pelaut. Pelaut kan pandai berenang. Apa ada pelaut yang tak bisa berenang? Silakan cari!"
"Oh, pagi. Siapa ya?"
"Saya Bung Karno,..."
"Oh, maaf. Saking banyaknya fansku, aku nggak kenal satu-satu."
"Oh,..."
"Iya. Maaf, ya, karena satu-satu aku sayang ibu,...."
"Oh,..."
"Kalau dua-dua, brati ibunya dua,..."
"Oh."
"Kok ah-oh, ah-oh, kayak dialog dalam novel-novelku."
"Ternyata Tere Liye itu lelaki?"
"Hihihihi,... nama tidak penting, kasih saja nama siapa saja."
"Saya kira perempuan beneran, makanya saya antusias menemui."
"Oh, banyak kok novelis lelaki bernama perempuan. Masalah? Ini kan untuk kesetaraan gender."
"Kalau nama macho macam Didik Nini Thowok, atau Hudson, yang penari cross-gender itu, bagaimana?"
"Ya, awoh, masak-awoh, jangan deh. Apakah kamu nggak tahu, ulama-ulama kita itu banyak berjuang untuk kemerdekaan Indonesia? Mana ada orang kiri, komunis, liberal, pejuang HAM ikut-ikutan berjuang, plis deh!"
"Saya ingin belajar dari Anda, soal kiri menurut Anda,..."
"Lho, pokoknya jangan kiri deh. Kiri itu tidak baik, kiri itu komunis, komunis itu tidak beragama, tidak beragama itu tidak seperti tokoh dalam novel-novelku."
"Iya. Tokoh novel sampeyan religius-religius, sangat kanan."
"Tentu. Segala yang kiri itu tidak baik. Coba, makan dengan tangan kiri kan kata ibu tidak baik. Kita kan mesti nurut pada ibu, karena sorga di bawah telapak kaki ibu. Mau jadi anak durhaka, dikutuk jadi batu kayak Malin Kundang, atau masuk neraka?"
"Termasuk tangan kiri, kaki kiri, mata sebelah kiri, kuping kiri?"
"Iyalah. Aku malah mau protes, mestinya tangan manusia semua kanan, juga kakinya, matanya, kupingnya. Hingga akhirnya akan muncul semboyan ke kanan jalan lurus."
"Bukannya ngikuti APILL?"
"Kanan jalan lurus itu artinya jalan kebenaran itu kanan. Wah, kamu itu pendidikannya apa to, kok nggak ngerti simbol. Jalan lurus itu apa coba? Bacalah atas nama tuhanmu. Mosok fansku nggak hobi mbaca?"
"Maaf, saya cuma baca novel-novel Tere Liye."
"Nah, itu bagus. Biar tambah pinter, baca status-status fesbukku juga. Pokoknya aku mau bangun generasi baru. Jangan terpukau produk-produk luar, yang belum tentu keren."
"Kalau produk Arab?"
"Lha kan disebutnya Arab, bukan disebutnya 'produk luar'? Belilah novel-novelku, produk aseli dalam negeri. Soal budaya pop sebagai anak buah kapitalisme, nenek moyang kita kan dari dulu juga pedagang, apalagi nenek moyang kita orang pelaut. Pelaut kan pandai berenang. Apa ada pelaut yang tak bisa berenang? Silakan cari!"
Dan dialog pun macet. Karena Bung Karno kembali tidur. Mendengkur.