Seperti sudah kita duga, tragedi Tolikara (Papua), akan
menjadi pemicu ketidakjernihan kita dalam melihat persoalan, apalagi dalam
perspektif (1) tingkat persaudaraan dalam keagamaan kita, (2) rasa persatuan
nasional dalam keberagaman kita, (3) dan situasi kepolitikan kita yang sarat
konflik dan politicking dalam berbagai dimensi dan manifestasinya. Tiga hal ini seolah satu paket.
Jika hal tersebut kita sadari, bagi yang ingin
memainkannya menjadi sesuatu yang buruk dengan daya rusak (apapun tujuannya),
hal itu mudah saja dipergunakan, dan sangat sexy. Namun bagi yang menginginkan
kebaikan dan keberadaban tumbuh, jalan yang dilakukan adalah menjagainya,
membicarakan bersama, agar ketiganya tidak justeru dimanfaatkan untuk tujuan
jahat.
Kebaikan dan keburukan itu bisa dilihat dari dua niatan
yang berwatak eksploitatif atau eksploratif.
Mereka yang bermazhab eksploitasi; kesempatan diciptakan untuk
ditunggangi, atau sebagai kendaraan dan untuk kepentingan mereka semata. Sementara
jalur eksplorasi; kesempatan diciptakan untuk menjadi media tumbuh dan
berkembang bersama.
Sayang sekali, TV One sehari setelah peristiwa itu,
justeru menayangkan sosok profil Bang Yos, Sutiyoso, sebagai kepala BIN (Badan
Intelijen Negara) hanya sebagai seorang selebrita, yang mempunyai rumah dengan
luas tanah seluas hampir 4 hektar. Meski sebelumnya, Sutiyoso sebagai kepala
BIN pernah melangsir kegiatan yang lucu; Akan mengirim perwakilan ke Turki berkait soal ISIS. Sedangkan imbauannya
tentang Tolikara, Bang Yos khas seorang pejabat Orde Baru, yang menekankan agar
semua saling menahan diri. Lupa bahwa dirinya adalah bos para intel Negara,
yang mestinya bekerja dalam sunyi untuk bukan saja mengetahui, melainkan
mencegah kejadiah itu. Kalau saja di Jepang, Bang Yos pasti akan mengundurkan diri,
walau belum ada sebulan dilantik.
Kasus Tolikara, dari berbagai pernyataan Stafsus
Kepresidenan, Wakil Presiden, IPW, Komnas HAM, Kemenag, NU, Habieb Rizieq,
Ka-BIN, dan lain sebagainya (netizen juga), sudah dipakai untuk panggung
masing-masing. Menjadi media teater bagi berbagai kepentingan. Semua pihak
memberi pernyataan, bahkan saling tuding dan menyalahkan. Namun senyampang hal
itu, tak ada yang meminta semua untuk diam, menyelami, agar mengetahui akar
masalahnya.
Orang Papua mengatakan bahwa tak ada tradisi bakar rumah
ibadat. Bahkan mushalla (yang ter atau di bakar itu) sudah berdiri 30 tahun lampau.
Pengakuan seorang muslim Tolikara, selama 9 tahun ini ia merasa situasi di
Tolikara aman-aman saja. Gubernur Papua pernah mengatakan, bahwa di Papua toleransi
beragama sangat tinggi, bahkan tertinggi di Indonesia, karena masyarakat Islam
yang minoritas bisa membangun rumah ibadatnya. Berbeda dengan daerah lain, di
Aceh misalnya, minoritas di sana tak bisa semudah minoritas di Papua dalam
mendirikan rumah ibadat. Bayangkan saja, betapa sulitnya Jokowi hendak mencabut
‘SKB 3 Menteri’ yang bukan dalam kabinetnya tentu, sesulit membangun rumah
ibadat bagi gereja, kuil, vihara, tetapi tidak untuk mushalla dan masjid. Ini
fakta bisa dibuktikan, dan tak perlu sensi.
Bayangkanlah, tiba-tiba, pada hari yang keren pula, Idul
Fitri, hari suci umat Islam, berlangsung seminar internasional pemuda gereja-gereja
Injili di Tolikara. Padahal, Pemda,
Polisi, Tentara, di kabupaten Tolikara, bukannya tak tahu bahwa pada tanggal
17-19 ada peristiwa perhelatan nasional (dan mengundang tamu internasional)
yang diselenggarakan oleh Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga Injili di Indonesia (PGLII),
dengan lokasinya tak jauh (250 meter) dari tempat lokasi mushalla yang telah
bertahun-tahun memakai tempat itu untuk shalat Idul Fitri? Pertanyaannya;
bagaimana semuanya itu bermula? Ini kegagalan Sutiyoso sebagai kepala BIN, atau
kegagalan Jokowi yang hendak membangunkan Papua dengan menekan Freeport, atau
kesuksesan mereka yang hendak menaikkan posisi tawar, entah untuk perluasan
daerah, jatah preman, lawan politik, atau berbagai proposal illegal yang selama
ini dimajukan dengan cara pressing seperti ini? Banyak skenario bisa
dimunculkan, tergantung seberapa maniak kita dengan teori konspirasi. Kita sungguh
tidak mudah meraba semua itu, selain hanya terbatas indikasi atau sebarapa
akutnya kita gila kasus dan sensasi.
Ketika berkesempatan mengunjungi beberapa daerah
perbatasan, berkait dengan pembangunan infrastruktur daerah-daerah perbatasan,
saya sungguh takjub. Yang jelas menonjol, betapa tak terperinya Indonesia Raya
itu. Ada begitu banyak amatan kita yang luput, karena Indonesia bukan hanya
kota-kota besar yang selama ini disebut. Pada daerah-daerah perbatasan
(Indonesia dengan Negara lain, seperti Malaysia, PNG, Timor Leste), hal yang
menonjol adalah kehadiran aparat keamanan. Dan itu artinya bukan hanya Polri.
Jika para bupati dan aparat pemerintahan di bawahnya adalah raja-raja ber-kursi (berdiam di tempat), TNI dan Polri
bisa menjadi raja yang mobile.
Daerah-daerah perbatasan hanya berada dalam mindset keamanan teritorial.
Pendekatan yang menonjol hanya dari sisi itu. Tak pernah ada sama sekali
pendekatan sosial-budaya. Dan dari sana kita juga segera tahu, dominasi
pendekatan militeristik yang muncul. Militer, dan atau aparat keamanan, sebagai
raja-raja baru yang sangat berkuasa.
Tolikara tentu bukan daerah perbatasan, meski tak jauh
dari Jayapura. Namun, sebagaimana daerah perbatasan, Tolikara adalah daerah
terpencil, yang mendapatkan perlakuan sama. Ketika jaman Moeldoko masih menjadi
Panglima TNI, tidak mudah bagi Jokowi membebaskan beberapa tahanan politik
berkait para aktivis OPM. Demikian juga kebebasan pers untuk meliput situasi di
Papua yang dicabut Jokowi, juga bukan tanpa perlawanan karena militer punya
pendekatan berbeda tentang keamanan dan stabilitas politik. Pendekatan
keamanan, menjadikan Papua atau daerah-daerah terpencil lainnya tetap dikangkangi
oleh militer dan kepolisian. Lihat pada kasus Tolikara, meski aparat
keamanan mengatakan skalanya kecil, namun satu remaja tewas tertembak senjata
api aparat, dan 11 luka berat karena tembakan. Sangat jelas hal itu menunjukkan
bagaimana pendekatan keamanan selalu sebagai alasan. Apalagi melawan rakyat tanpa senjata.
***
Dengan pengantar semacam itu, tulisan ini ingin mengajak
kita melihat persoalan secara lebih luas. Bukan hanya sekedar terjebak pada
‘non muslim bakar rumah ibadah muslim’, yang kemudian targetnya hanyalah ‘bakar
balas bakar’. Akhirnya, kita gratisan memberi panggung pada Habieb Rizieq dan
ormas muslim garis keras, untuk melakukan pembenaran pada berbagai
aktivitas kriminal dan kekerasan. Sementara itu, dalam waktu yang sama, kita
pura-pura tidak tahu dan menafikannya; Bagaimana dengan berbagai peristiwa
perusakan tempat ibadah umat bukan Islam, seperti Ahmadiyah, Syiah (ini dengan
kacamata mereka yang mengatakan Syiah dan Ahmadiyah bukan Islam), dan apalagi
gereja-gereja (yang ‘lebih bukan Islam
lagi’) di beberapa tempat?
Atau pertanyaan selipan; Apakah itu tujuan sesungguhnya,
bahwa “pembakaran” (dalam tanda petik)
mushalla di Tolikara, agar tercipta kerusuhan? Atau yang lebih besar lagi
kekacauan? Dan kemudian muncul instabilitas politik nasional? Karena kita tahu betapa
mudahnya kita terbakar, sebagai bangsa amook,
yang pendek akal dan rasa, karena didikan Orde Baru dan kemudian dibujuk-bujuk
oleh ideologi mutlak-mutlakan formalisme agama? Siapa pembawa waham formalisme agama itu?
Agama-agama, yang semuanya impor, ternyata hanya
menjadi sumber masalah, dan bukan menyelesaikan masalah. Pernyataan ini tentu
tak kalah bombastis, dengan mengabaikan bahwa pada awal-awalnya sampai sebelum
Orde Baru, kita melihat orang beragama dengan baik-baik saja. Islam yang
toleran, perlahan menghilang karena dekade 1980-an mulai muncul para waham
Wahabi? Pemerintahan Indonesia selama ini ering,
segan, bahkan linglung jika berhadapan dengan claiming Islam garis keras ini. Misalkan membiarkan HTI menghina-dina
NKRI, pura-pura tidak mendengar tokoh Islam garis keras dan takfiri memaki-maki,
membodoh-bodohkan presiden, dan mengkafirkan siapa saja yang tak semazhab.
Ada begitu banyak paradoks dibiarkan di sini. Bagaimana
kaum dajjal bisa mendajjalkan kaum lain, kelompok baru-thogut bisa menthogutkan
kelompok yang lain, juga umat kafir lain bisa mengkafirkan umat yang lain.
Claiming semacam itu begitu marak, yang semua pamrihnya bukan membangun dialog, melainkan
menindas liyan untuk mengikutinya. Itu sungguh cara atau syiar agama yang
membuat pertanyaan Kartini puluhan tahun
lampau tetap relevan; Bahwa orang saleh (dalam konteks taat hukum agama)
menjadi tidak lebih penting dari orang baik hati. Karena secara normatif orang
saleh ternyata belum tentu baik hati. Hanya saleh pada Tuhan Allah
sesembahannya, tetapi kemaslahatannya jahat dan cacat rohani.
Formalisme agama yang akut seperti ini, kemudian dengan
gampang masuk dalam wilayah politik ideologi, dan dengan sendirinya mudah
dipolitisasi. Apakah ramuan ini tidak disadari para elite, kaum intelijen
profesional dan amatir, untuk mereduksi masalah? Atau malah dipakai untuk meledakkan masalah, apapun tujuannya?
***
Pada
jaman ini, perang konvensional telah digantikan dengan perang proxy (proxy war). Sifat dan karakteristik
perang telah bergeser seiring dengan perkembangan teknologi. Kemungkinan
terjadinya perang konvensional antar dua Negara (atau dua kelompok besar yang bertikai)
dewasa ini semakin kecil. Namun, adanya tuntutan kepentingan kelompok telah
menciptakan perang-perang jenis baru seperti perang proxy.
Sebuah
proxy war atau perang proksi memiliki arti perang yang terjadi ketika lawan
kekuatan menggunakan pihak ketiga sebagai pengganti berkelahi satu sama lain
secara langsung. Sementara kekuasaan kadang-kadang digunakan pemerintah sebagai
proksi; aktor non-negara kekerasan (non-state
actors), tentara bayaran, dan pihak ketiga lainnya. Dalam pengertian lain,
perang proxy adalah sebuah konfrontasi antar dua kekuatan besar
dengan menggunakan pemain pengganti untuk menghindari konfrontasi secara
langsung (dengan alasan mengurangi resiko konflik langsung yang beresiko pada
kehancuran fatal).
Biasanya,
pihak ketiga yang bertindak sebagai pemain pengganti bisa berbentuk non-state
actors (LSM, Ormas, kelompok masyarakat, atau perorangan). Melalui perang proxy
ini, tidak dapat dikenali dengan jelas siapa kawan dan siapa lawan karena musuh
mengendalikan non-state actors dari jauh. Proxy war telah berlangsung di
Indonesia dalam bermacam bentuk, seperti masuknya LSM asing ke Indonesia yang
mengatasnamakan Hak Asasi Manusia (HAM), gerakan separatis yang ditunggangi
pihak asing, orang asing yang menularkan budaya dan ideologinya, budaya kekerasan yang bertentangan dengan budaya
musyawarah untuk mufakat, dan lain-lain hal dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Apalagi
berbagai bentuk ‘manuver’ Jokowi soal Papua, langsung dan tidak langsung
menjadi semacam pengkondisian dinamika politik Papua. Dari sejak pembebasan
beberapa tahanan politik berkait OPM, pencabutan ijin pers asing memasuki Papua, dan bahkan
berbagai kebijakan ekonomi-politik berkait Freeport, dan lain
sebagainya.
Kita ingat peristiwa Ambon pasca lengsernya Soeharto.
Pemicunya sama: Serangan pada kelompok Islam oleh ‘kelompok Kristen’ justeru
pada hari Idul Fitri atau sesudah bulan puasa ketika umat Islam sedang dalam
euforia. Dalam pola intelijen, tidak penting siapa pelakunya, karena bisa
direkrut dari siapa saja, dan dari mana saja (tetapi bisa di-make-up agar
mencitrakan kelompok tertentu, untuk memicu kerusuhan yang lebih luas).
Menurut berbagai sumber, gerakan ke arah rusuh Ambon waktu
itu, sebetulnya sudah terendus oleh intelijen. Namun mengapa kerusuhan dan
saling bunuh bisa tetap terjadi di Ambon? Bisa jadi kasus itu dianggap remeh,
meski sudah dilaporkan tetapi tidak ditangani secara memadai. Namun bisa juga
kasus itu diketahui akan rusuh, tetapi sengaja dibiarkan untuk tujuan-tujuan
tertentu. Kasus kerusuhan Ambon, kita ingat konteksnya. Penguasa lama jatuh, situasi
politik-ekonomi goyah (tak stabil), dan ada pihak-pihak yang merasa terancam
(dan diduga memainkan isyu SARA untuk) mengancam pihak lain.
Dulu, Ambon ‘dibakar’ saat Idul Fitri 1999. Kemudian
saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air saling bunuh. Banyak kepentingan
dalam konflik ini. RMS yang disetir dari Belanda ikut andil, pialang senjata
dari Moro turut berpesta, konflik laten TNI dan Polri menemukan medianya,
kombatan eks-Moro dan Afganistan turut serta di dalamnya, dan senyampang itu
para makelar pemekaran daerah (petualang di daerah dan Senayan) semakin
giat berusaha. Ambon menjadi proyek selanjutnya usai konflik Sambas dan Sampit
menjadi tahap ujicoba Balkanisasi Indonesia. Di sisi lain, pemerintahan pusat
masih belum stabil akibat krisis moneter dan reformasi. Bagaimana
reaksi umat Islam waktu itu? Sebagian kecil mengirim laskar membela saudara
seiman, namun mayoritas membela saudara seiman dengan cara mendamaikan yang bertikai.
Perang saudara hanya membuat luka kebangsaan semakin
menganga dan membusuk. Kehormatan apa yang kita bela? Waktu itu pula, Deklarasi Malino menjadi monumen rekonsiliasi antara umat
Islam dan kaum Kristiani. Namun semua itu hanya ikrar damai. Kenyataannya,
ribuan makam saudara-saudara mereka yang telah gugur dalam peristiwa tersebut,
menjadi monumen nyata bahwa konflik hanya menyisakan luka.
Belum lagi kenyataan tragis di balik itu semuanya. Sebagaimana dilansir George Junus Aditjondro dalam sebuah makalahnya, mengenai akar masalah konflik
Poso dan Morowali. Setidaknya bisa sebagai perbandingan atas
perspektif sektarian (yang beberapa hari terakhir makin gencar).
Kita cenderung menyederhanakan konflik horizontal sebagai konflik SARA
semata. Tidak melihat kepentingan ekonomi-politik yang melibatkan
banyak aktor (sipil, aparatus negara, korporasi) dan berpotensi
memperluas spektrum konflik horizontal. Padahal ada sejumlah pihak yang diuntungkan dari pelestarian
konflik Poso dan Morowali, dan mungkin juga Tolikara. Entah itu aparat keamanan bernama Polri dan TNI,
termasuk satuan-satuan intelijen dan Badan Intelijen Negara, aparat sipil yang terlibat dalam manipulasi aliran dana bantuan
pengungsi dan dana kemanusiaan, atau bahkan investor-investor besar, yang
sudah atau akan terlibat dalam usaha-usaha pengelolaan sumber-sumber
daya alam di daerah-daerah konflik tersebut, yang punya potensi
penggusuran yang besar.
Belum lagi jika benar data dalam gambar di bawah ini, bahwa di wilayah
Tolikara ditemukan sumber daya alam berupa tambang seperti formasi kelompok batu gamping nungni yang mengandung bahan tambang 'au' (emas), 'cu' (tembaga), dan 'ag' (perak) di banyak tempat di distrik Kembu.
Apalagi kiranya
jika demikian? Mudah-mudahan bisa membantu memberikan perspektif kritis
(dan non-sektarian) di tengah upaya provokasi dan manuver
politik-ekonomi yang sudah, sedang, dan mungkin akan terjadi di Papua,
atau Indonesia secara umum.
***
Di berbagai medsos bertebaran postingan fotokopi surat
edaran dengan kop Gereja Injili Di Indonesia (GIDI), Badan Pekerja Wilayah
Tolikara, yang berisi larangan (ancaman) melakukan kegiatan berkait perayaan
Hari Raya Idul Fitri. Bagaimana muncul surat edaran bodoh semacam itu? Dan lebih bodoh
lagi, hal itu juga ditanggapi dengan berbagai reaksi bodoh. Siapa pengurus GIDI
Wilayah Tolikara? Kenapa ada pengurus gereja mengeluarkan edaran yang tidak
bertuhan seperti ini? Bagaimana tanggapan Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga Injili merespons GIDI yang berada dalam rangkuannya? Apa pula tanggapan PGI (Persekutuan Gereja Indonesia) di sisi lain?
Pertanyaan-pertanyaan
semacam itu, bisa kita teruskan lagi; Bukankah di Tolikara ada Kapolres dan
Dandim? Apakah Polres dan Kodim disana tidak punya reserse atau intel? Apakah
BIN (Badan Intelijen Negara) tidak bekerja di Tolikara? Bagaimana aparat
keamanan bisa menembak bocah 15 tahun hingga tewas dalam peristiwa ini? Dan celakanya, bagaimana jika surat tersebut hoax, karena adanya kesalahan penulisan mengenai tempat, waktu, dan bahkan cap serta nama yang bertanda-tangan pada surat tersebut? Konon akhirnya surat itu diakui ada, namun diakui pula oleh pembuatnya, hal tersebut sudah dicabut. Bagaimana menjernihkan semuanya ini, manakala di medsos yang beredar adalah surat yang 'dipegang' pihak kepolisian?
Dalam SuaraPapua.Com (20/7) kita bisa membaca pernyataan pendeta Dorman Wandikmbo yang mengejutkan; “Dari
awal saya sudah menegaskan bahwa surat yang diedarkan oleh kelompok tertentu
itu palsu, dan perlu dicari siapa aktor-aktor dibalik penyebaran surat palsu
itu. Karena gara-gara bocor ke media sosial justru perkeruh situasi,...”
Mana yang benar, versi polisi atau pernyataan pendeta Dorman? Menurut Dorman, di dalam organisasi gereja yang ia pimpin, setiap surat yang
keluar dan masuk di setiap wilayah pelayanan gereja GIDI harus sepengetahuan badan
pengurus GIDI Pusat, yakni, dirinya sebagai Presiden GIDI.
“Dalam
surat itu 'kan tidak ada tanda tangan saya, tidak ada juga tanda tangan ketua
panitia seminar dan KKR, maka bisa kita katakan surat ini palsu, dan tidak
benar, karena itu saya minta kita tidak terprovokasi,” tegasnya. Dirinya
menduga, sumber penyebar surat tersebut adalah aparat keamanan, yakni pihak
Kepolisian Republik Indonesia (Polri), karena dalam surat tersebut seakan-akan
ditujukan kepada Polisi.
“Coba
periksa dan tanya Kapolres Tolikara dan anggotanya, juga bisa tanyakan ke
kepolisian daerah Papua, kami heran dalam waktu satu jam setelah kejadian kok
surat sudah tersebar di berbagai media, ini permainan aparat,” tegasnya. Menurut
Dorman, jangankan jaringan internet, jaringan telepon seluler (HP) saja di
Tolikara sangat buruk, namun yang membuat dirinya heran surat dan
foto-foto bisa tersebar begitu cepat.
Di mana kita berpijak? Munculnya medsos, bukan tidak
memperburuk situasi, meski media ini bisa menjadi katarsis masyarakatnya. Tentu
saja perlu kehati-hatian dalam membuat pernyataan, men-copast berita yang
justeru menjadi kompor ketegangan.
Karena tanpa kehati-hatian, justeru secara tidak langsung memberi ruang terlalu
besar pada pihak-pihak yang tidak ingin menjernihkan atau menenangkan suasana. Yang
terjadi justru kecenderungan mengeruhkan suasana. Medsos justeru bisa menjadi
arena terjadinya proxy war karena begitu banyak orang menari sesuai irama
gendang yang ditabuh para provokator.
Berbagai cuitan yang muncul di medsos, yang justeru mengeruhkan suasana,
akan membuat para pembuat provokasi bersorak-sorak gembira. Sampai-sampai,
tulisan Emha Ainun Nadjib (dari buku 'Iblis Nusantara Dajjal Dunia' yang diterbitkan Zaituna tahun 1998, dalam artikel berjudul ‘Saya Anti Demokrasi’)
dimanfaatkan oleh Republika-Online dan PKS-Piyungan online dengan mengharap efek berbeda dari
konteks yang lain.
Mari kita urai satu-satu. Peristiwa Tolikara meledak
tepat pada 1 Syawal alias pas shalat Idul Fitri. Lupakah kita akan peristiwa di
Ambon, Maluku, dan Poso dulu? Kerusuhan di Maluku bukanlah ulah rakyat Maluku.
Rakyat Maluku ratusan tahun hidup berdampingan dan bersaudara meski beda agama.
Siapa pemicu kerusuhan? Siapa pemasok senjata? Siapa pembawa orang-orang luar
Maluku berperang di seluruh wilayah Maluku? Ada banyak aktor terlibat di situ,
dengan agenda masing-masing. Ada aparat keamanan, kelompok TNI sakit hati dan
ingin membuat pemerintah pusing dan takut? Perusahaan asing yang ingin negeri
ini kacau, tapi usahanya aman? Atau kelompok-kelompok fundamentalis, yang
memang tak perduli nilai-nilai kemanusian dan peradaban, bertuhan dengan cara
anti-ketuhanan? Siapapun mereka, pemerintah dan rakyat bangsa negara ini mestinya tak sama
bodohnya.
Apakah Papua bagian Indonesia? Jika kita kutip omongan
Nus Reimas, bagaimana Papua cinta Indonesia, sebenarnya tak ada yang kita
khawatirkan. Dalam pertemuannya dengan Prabowo Subianto (waktu perhelatan capres
2014), Ketua Persekutuan Gereja-Gereja dan Lembaga Injili Indonesia itu
merasa tak lagi bermasalah dengan Jokowi dan PKS. Apa hubungannya? Hal ini
hanya untuk sekedar mengingatkan, bahwa efek pilpres dan menangnya Jokowi,
masih terasa sensitif sekarang ini, juga bagi beberapa orang GIDI yang waktu
itu terang-terangan mendukung Prabowo.
Pada waktu Prabowo bertemu dengan Nus Reimas, diceritakan Prabowo
menangis manakala membicarakan kondisi bangsa saat ini. “Dia (Prabowo)
nangis ketika melihat bangsa ini ke depan. Untuk itu, saya sekarang tidak ada
masalah dengan Jokowi, tidak masalah dengan PKS dan lain-lainnya. Tapi, yang
diperlukan saat ini adalah orang yang mau menangisi bangsa ini,” ujarnya. Apakah Nus pemerintah pusat belum menangisi Papua saat ini? Tetapi, sekali lagi, apa hubungannya, hingga Nus perlu mengatakan sekarang tak ada masalah? Apakah dulu ada masalah (dengan Jokowi, dan PKS)?
Gerakan Papua Merdeka masih muncul di sana-sini, bahkan juga di Tolikara yang 70% penduduknya masih buta huruf.
Terlalu naïf jika kejadian di Papua hanyalah murni soal
kerukunan agama, tanpa melibatkan konteks masalah operasi intelejen tingkat
tinggi. Pasalnya, masyarakat Papua sebenarnya sangat santun dan toleran soal
beragama. Apakah mereka belum merasakan kebijakan dan hati Presiden Jokowi, yang fokus pada
keberpihakan kesejahteraan masyarakat Papua? Kita bisa linglung dengan berbagai data dan pertanyaan-pertanyaan di atas.
***
Siapapun yang membakar mushala (bahkan sekali pun 'hanya' kios makanan dan
minuman milik rakyat), memang kurang ajar. Sama bedebahnya dengan yang meledakkan
bom di masjid Syiah di Arab maupun Pakistan. GIDI yang dikenali sebagai
fundamentalis (wahabi-nya) Kristen, termasuk pihak yang kita sesalkan dalam
kasus Tolikara ini. Kita berharap, aparat bertindak dengan baik dan adil.
Tangkap pelakunya dan diproses hukum secara proporsional.
Para tokoh Muslim-Nasrani juga bisa meredam agar tidak merembet kepada isu
radikalisme agama. Kalau isu sensitif ini dikompori, maka banyak penumpang
gelap yang bakal bermain: Nasrani garis keras, Muslim garis keras, pialang
senjata, pengedar proposal bantuan dana buat perang, makelar perusuh, pengusaha
neolib, dan tidak mustahil intelijen asing dan pribumi. Dan yang
kemudian terjadi, hembusan mengenai perlunya pemekaran wilayah yang melibatkan
calo-calo Senayan, dengan ancaman klasik Referendum Papua. Kalau
ini terjadi, dan Papua lepas dari NKRI, bagaimana dengan Deklarasi Juanda yang
melindungi kedaulatan laut Indonesia, dan konsep tol laut Jokowi?
Terlalu jauh menyangkutkan dengan isu referendum? Bisa
jadi. Namun jauh sebelumnya, tak dapat ditutupi beberapa aksi
sepihak yang menuntut Referendum Papua di Jakarta. Dua minggu sebelum peristiwa Tolikara, sudah
beredar informasi akan ada eskalasi meningkat di Papua. Tanda-tandanya nampak,
tapi informasi dan letupan kecil tersebut tidak segera diantisipasi pihak
intelijen dan aparat keamanan. Padahal situasi di Papua tidak bisa dilihat
berdiri sendiri. Harus dilihat dari satu insiden dengan apa yang digerakkan di
Jakarta. Karena kepentingan Papua erat dengan kepentingan Jakarta.
Apakah ada pihak-pihak yang terganggu kepentingannya,
dengan berbagai kebijakan Jokowi di Papua saat ini? Aparat keamanan dan
intelijen semestinya memantau gerak-gerik pihak-pihak tersebut. Bukan sibuk
mengawasi masyarakat Papua, apalagi menembakinya dengan alasan untuk
mencegah terjadinya kekacauan lebih lanjut. Bagaimana jika semua itu karena
masyarakat Tolikara sebenarnya sudah masuk perangkap kegiatan intelijen?
Jangan dilupakan, untuk sebuah 'kecepatan' berembusnya berita yang terjadi di daerah terpencil (apalagi di Tolikara), beredarnya informasi dibakarnya mushalla di Tolikara pada pas Idul Fitri itu, betapa sungguh mencengangkan. Pada hari yang sama berita ini sudah sampai Jakarta dan langsung beredar ke seluruh Indonesia. Bagaimana mungkin? Jangan terlalu banyak pertanyaan yang bersifat spekulatif, karena akan terasa subversib!
Jakarta konon sudah menangkap siapa otak di balik semua
ini. Tapi siapa? Informasi ini dikeluarkan dan disimpan untuk melakukan
disinformasi, dan mengacaukan situasi. Padahal kita tahu, dalam setiap operasi
intelijen tukang bakarnya tidak terlihat, tapi asap dan baunya terasa. Belum
lagi jika simpang siur informasi itu menyebut bahwa kejadian di Papua
melibatkan intelijen asing dan seorang tokoh intelijen berpengaruh di era
pemerintahan sebelumnya. Para pelaku yang menjadi otaknya berada di Jakarta. Wah!
Pendekatan pemerintah hanya pada masyarakat Papua dan
para elite agamanya, hanyalah untuk meyakinkan bahwa hal itu adalah persoalan
kecil. Karenanya, perlukah Pemerintah Pusat membentuk Tim Mediasi
atau Tim Dialog, karena masalahnya bukan masyarakat Papua, tapi kekuatan lain
tak terlihat? Mereka yang mencoba membuat penyakit, dan sekaligus
menawarkan obatnya, dengan kepentingan yang lain untuk dikompromikan, semua itu adalah gaya lama yang tak perlu diladeni apalagi ditolerir.
***
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Kadiv Humas) Polri,
Irjen (Pol) Anton Charliyan meminta masyarakat tidak terprovokasi atas kejadian
pembakaran mushalla di Kabupaten Tolikara, saat dilaksanakannya Salat
Idul Fitri (17/7) lalu. Menurutnya, ada upaya-upaya untuk memprovokasi
masyarakat di Indonesia. Polisi, menurut Anton, sudah mengantongi nama-nama
pelaku pembakaran. Semua pelaku ini nantinya, akan diproses sesuai
hukum. “Pelaku kriminal, siapapun yang berbuat, pasti harus mempertanggungjawabkannya.
Kami sudah mengantongi nama-nama pelaku,” kata Anton. Tapi siapa mereka? Sudah
dikunci dalam istilah ‘pelaku kriminal’.
Sesungguhnya, peristiwa kerusuhan yang terjadi di
Tolikara ini, adalah momen yang tepat bagi siapapun untuk berkacadiri. Apakah masing-masing pihak selama ini sudah
mengamalkan ajaran-ajaran agamanya, jika yang kita persoalkan masalah agama? Ataukah kita mengamalkan budaya intoleran
yang dibawa oleh budaya dari mana agama itu berasal? Ada banyak pasal dalam
berbagai agama yang dipertikaikan itu menjadi terasa sangat paradoksal.
Pasal-pasal atau ayat-ayat dalam kitab suci, menjadi kehilangan spiritnya
karena alasan dan cara bertindak bisa bertentangan. Karena benci,
orang menjadi tidak adil. Karena cinta, orang juga bisa menjadi tidak adil.
Padahal, agama-agama itu mengajarkan kasih-sayang,
pengertian, dan toleransi tentu. Sebagaimana Islam manakah yang paling dicintai
oleh Allah? Jawab Muhammad Rasulullah: “Al-Hanifiyyah As-Samhah, Islam yang
toleran,…” (Hadits Sahih HR. Bukhari).
Jadi apa sesungguhnya persoalan kita? Presiden Gereja Injili di
Indonesia (GIDI), pendeta Dorman Wandikbo, menegaskan bahwa insiden di Karubaga
terjadi karena aparat keamanan tidak membuka ruang komunikasi.
“Belum sempat diskusi atau negosiasi dilangsungkan, aparat TNI/Polri sudah
mengeluarkan tembakan secara brutal dan membabi buta, sehingga 12 orang
tertembak. Jadi amukan dan kemarahan masyarakat bukan disebabkan oleh aktivitas
ibadah umat muslim, tapi lebih karena tindakan dan perlakukan biadab aparat
TNI/Polri, yang tidak membuka ruang demokrasi atau untuk mendiskusikan hal-hal
yang baik bagi keberlangsungan ibadah kedua belah pihak,” kata Dorman Wandikbo
melalui pernyataan tertulisnya (17/7).
Menurut Ketua
Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga Injili di Indonesia (PGLII) Roni Mandang,
kedatangan umat GIDI ke umat Islam dengan cara baik-baik. Tapi, tembakan aparat
ke arah mereka membuat situasi menjadi kacau. Apalagi begitu diketahui 1 orang
meninggal dunia akibat rentetan tembakan itu. Umat pun membakar kios di sekitar
lokasi. Namun api rupanya merembet ke mushala yang dijadikan tempat Shalat Id.
Namun, Kabagpenum
Divisi Humas Polri Kombes Suharsono menegaskan, tembakan ke arah umat GIDI
dilakukan karena mereka tak mengindahkan halauan petugas untuk menjauh dari
sekitar mushala. Polisi telah menghalau massa yang meneriakkan pernyataan
bernada provokatif. Namun, massa tidak menurut. Polisi pun menembakkan tembakan
peringatan hingga akhirnya melepaskan tembakan ke tanah dan jatuh korban.
Pada sisi lain, Staf Khusus Presiden, Lenis Kogoya (putra Papua), sendiri heran
mengapa pemerintah setempat memberikan izin kepada umat Gereja Injili di
Indonesia (GIDI) untuk menggelar acara mengundang orang banyak bertepatan saat
Hari Raya Idul Fitri 1436 Hijriah. “Tanggal 17 Juli itu semua sudah tahu agenda nasional,
Lebaran. Tapi mengapa masih diberi izin juga oleh pemerintah atau polisi?"
ujar Lenis (19/7).
Kenapa kita jadi
hanya sibuk bantah-berbantah dengan berbagai pernyataan yang bersifat teknis,
yang lebih menunjukkan tak ada yang mau ambil alih tanggungjawab dan semua
orang mau cuci-tangan?
Masalahnya, api sudah menjalar, dengan cepat. Ratusan
orang dari organisasi masyarakat Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS) mendatangi
rumah ibadah milik keluarga besar Gereja Injili di Indonesia (GIDI) di
Kelurahan Joyontakan, Serengan, Solo, sehari sesudah kejadian Tolikara (Sabtu,
18/7). Aksi ini ditengarai (dan bahkan dinyatakan) merupakan reaksi atas pembakaran mushalla di Tolikara, Papua. Massa
tersebut membawa sejumlah poster bertuliskan, “Pembakar Masjid Papua Adalah
Teroris” dan tulisan lainnya (padahal yang terbakar adalah mushalla). Seperti biasa, aparat keamanan berlagak
menihilkannya. Kapolresta Solo, Kombes Pol Ahmad Luthfi, saat itu langsung
turun ke lapangan dan meninjau lokasi. “Tidak ada apa-apa, ini hanya pernyataan
sikap dari kelompok massa,” kata dia.
Dan kita tahu, Gereja Baptis Saman di Bantul dibakar dua hari setelah peristiwa Tolikara (20/7). Menurut Harianjogja, Gereja Baptis Indonesia Saman di Dusun Saman, Desa
Bangungharjo, Sewon, Bantul dibakar oleh orang tak dikenal, Senin
(20/7/2015) dini hari. Aksi kriminal berupa percobaan pembakaran itu diduga terjadi antara
pukul 02.30 WIB hingga pukul 03.00 WIB. Pelaku yang belum diketahui
identitasnya meletakan ban yang telah tersulut api di dekat pintu masuk
Gereja Baptis Indonesia Saman. “Jadi membakarnya pakai ban,” terang
Kepala Polres Bantul AKBP Dadiyo (20/7). Sayangnya, pada hari yang sama, terjadi pula upaya pembakaran gereja di Purworejo, Jawa Tengah sesudahnya (20/7). Masihkah kita perlu berwacana?
Kita juga kemudian mendengar Habieb Rizieq mengancam bahwa dalam 2X24 jam pelaku tidak
ditangkap maka presiden FPI ini akan turun? Turun dari kursi FPI? Tidak.
Turun ke lapangan untuk ‘bakar balas bakar’. Kalau HR mau turun dari tahta FPI,
jangankan 2X24 jam, detik ini juga akan lebih bagus. Karena orang seperti HR
hanya akan eksis jika ada orang menyediakan panggung untuknya. Padahal dia
bukan tokoh penting jika Indonesia mau damai sejahtera. Dan kini, konon ribuan jihadis akan menyerbu Papua, jika pelaku pembakaran mushalla tidak juga ditangkap. Mau ke Papua gratisan? Naik apa? Kapal api? Pesawat? Atau herkules?
Dan itukah yang diharapkan? Sementara kita diam saja, tidak memasalahkan seorang remaja tewas terkena senjata api aparat keamanan, dan 11 orang luka berat karenanya?
***
Persoalan yang jauh
lebih menyedihkan, sesungguhnya perang proxy yang melebar ke medsos, entah itu
twitter, fesbuk, dan berbagai media online yang begitu bersemangat mengompori
situasi makin keruh. Kita seolah menjadi makin suka kalau makin kacau, karena
jika itu terjadi makin sah alasan yang anti Jokowi untuk mengatakan; Tuh lihat,
Jokowi tidak bisa mengatasi kekacauan, maka #sudahlahjokowi,
#sudahilahjokowi. Cuma begitu saja
yang ingin ditargetkan? Dengan membunuh anak umur 15 tahun di Tolikara? Jangan
pula dilupakan, setelah Aceh menjadi Nangroe Aceh Darussalam dengan perjanjian
Helsinki, kini tinggal Papua yang masih sexy dipermainkan orang-orang di
pusat kekuasaan.
Setelah berbusa-busa
dengan segala kemungkinan Tolikara, mari sejenak kita renungkan dengan sebuah
kisah;
Duapuluh
tahun lalu, McArthur Wheeler memutuskan merampok bank. Wheeler, warga Pitshburg
US, kala itu umur 44 tahun dengan keyakinan teguh merampok bank berbekal
air perasan lemon. Hipotesis Wheeler sederhana, air perasan lemon, bisa
digunakan sebagai tinta yang tak terlihat (invisible ink). Jika air perasan lemon dituliskan pada sebuah kertas, maka tulisannya tak terbaca. Tulisan itu
baru bisa dibaca kalau didekatkan dengan panas.
Demikianlah,
Wheeler melumuri kepalanya dengan air perasan lemon. Dalam benak Wheeler,
wajahnya jadi tak terlihat jika dilumuri air perasan lemon. Sebagai percobaan,
ia berselfi dengan kamera Polaroid. Entah kameranya sedang rusak, atau sebab
lain, tapi hasil foto itu tak bisa menampilkan wajah Wheeler. Wheeler makin
yakin, dan percaya absolut dengan resepnya. Walau dia tak paham dengan kimia,
dia mantap merampok bank dengan air perasan lemon di wajahnya.
Hari
itu, Wheeler akhirnya merampok bank. Tanpa topeng apalagi penutup kepala. Tak
hanya merampok satu bank, tapi dua sekalian. Wheeler membawa banyak uang.
Sekaligus terkenal. Sebab, kamera pengintai bank bisa merekam wajahnya.
Selang
beberapa jam usai beraksi, wajahnya sudah nongol di layar televisi, dengan jelas.
Alhasil, wajah itu mudah dikenali sebagai McArthur Wheeler. Di hari yang sama,
polisi bisa menangkap Wheeler dengan mudah.
Kebodohan
Wheeler ini menarik dua peneliti psikologi sosial dari Cornell University;
David Dunning dan Justin Kruger. Keduanya tertarik, apa yang menyebabkan Wheeler
begitu percaya diri merampok bank hanya dengan melumuri wajahnya dengan air
lemon.
Hasil
penelitian mereka menunjukkan, dalam konteks psikologis, makin minim
pengetahuan atau pengalaman seseorang di suatu bidang, justru makin tinggi rasa
percaya diri. Bahkan level ke-pede-annya, melebihi para ahli. Orang-orang yang mengetahui masalah, lebih bisa hati-hati memberi pernyataan, tidak gegabah, dan kesannya justru rasa percaya dirinya paling rendah. Para ahli, justru tak
sepede dibanding dengan orang-orang minim pengetahuan. Fenomena ini dikenal dengan
‘Dunning-Kruger Effect’.
Mereka
yang minim pengetahuan, makin mendapat angin segar dan panggung yang lapang
dengan adanya media sosial. Dengan mudah, mereka bisa sembarang memungut pendapat ngawur dan
hoax yang bertebaran di beranda media sosial. Salah satu contoh misalnya ada yang
mengatakan Yunani bangkrut karena di Athena, satu-satunya ibukota negara di
Eropa, tak punya masjid. Demikian juga mereka yang kini sedang sibuk kutip
sana-sini mengenai tragedi Tolikara. Bahkan ada yang mengatakan itu semua gegara Ahok dan Kompas.
Penebar
opini seperti itu biasanya memang mereka yang tidak memiliki pengetahuan apalagi pakar.
Ini selaras dengan perkataan Charles Darwin; Kebodohan lebih banyak melahirkan
rasa percaya diri (kenekadan), dibanding dengan pengetahuan. Merasa paling benar dan paling
ngerti, adalah awal kebodohan.
Mau kita apakan Tolikara? Kita pakai sebagai momentum
pembelajaran, atau kita tunggangi demi berbagai kepentingan dan atau ego kita
yang merasa benar dengan menyalah-nyalahkan pihak lain?
Duhai para elite, Tolikara, tolong ingat kami rakyat!