Keamanan kita adalah hanya kemampuan untuk berubah, itu
yang diujarkan John Lilly. Dan bagi Mignon McLaughlin, inti orang yang paling bahagia, ialah
mengubah apa yang paling ditakuti (menjadi sesuatu yang tidak ditakuti). Seperti
ketika kita takut Prabowo akan menjadi presiden, eh, kita berjuang dan ternyata
berhasil memenangkan Jokowi. Bahagia banget, meski ada yang menjerit ‘sakitnya
tuh di sinihhhhh,…’
Dan demikianlah hukumnya. Kita melihat, pasar berubah, selera berubah, begitu juga perusahaan-perusahaan dan individu-individu yang memilih bersaing di pasar, semuanya itu harus berubah. Kenapa harus? Siapa yang mengharuskan? Dan untuk apa?
Dan demikianlah hukumnya. Kita melihat, pasar berubah, selera berubah, begitu juga perusahaan-perusahaan dan individu-individu yang memilih bersaing di pasar, semuanya itu harus berubah. Kenapa harus? Siapa yang mengharuskan? Dan untuk apa?
Siapa yang bisa membantah, bahwa tak ada yang abadi di
dunia ini kecuali nilai? Nilai adalah sesuatu yang abstrak, dan wadah-wadahnya
yang material, terkungkung hukum material atau hukum alam. Yang dulu kita bayi
dengan batok kepala masih empuk, sekarang jadi makhluk tuwek dan keras kepala.
Mereka yang tidak ingin berubah, dengan gampang bisa dilihat,
apa yang salah dalam membaca masalahnya. Sering kebolak-balik antara wadah dan
isinya, wadag dan substansinya. Dan karena itu, manusia puritan sering anti
perubahan, karena dianggap karya setan. Padahal perubahan itu sunatullah, itu
kalau mau diskusi fair, tidak hanya mengambil ayat yang menguntungkannya tetapi
menyembunyikan ayat yang mengkritisinya.
Dan orang kebingungan menanggapi FPI, padahal banyak
orang Petamburan jadi saksi, bagaimana para boneka FPI itu minum pil koplo dulu
sebelum turun dan ngamuk ke jalan. Kita tak bisa membedakan mana agama Islam
substansi dan mana agama preman dengan peci bergambar pedang dan tulisan Allah
tapi tukang nenggak pil koplo.
Perubahan adalah pertarungan. Menurut Joan Wallach Scott,
mereka yang mengharapkan sesuatu yang nyaman dan bebas dari konflik, pada saat-saat
perubahan itu berproses, pertanda tidak belajar dari sejarah mereka. Lihat saja
bagaimana ketika transisi dari 1965 ke 1970, atau apa yang terjadi pada 1998,
atau 9 Juli 2014 dari optimis menjadi keok! Dan tidak siap move on.
Dalam kehidupan pribadi kita saja, mengalami
perubahan-perubahan itu. Dari kaya ke miskin, dari miskin ke kaya, dari gagal
ke sukses, dari sukses ke gagal, dari proses ke macet, dari cinta ke benci,
dari banyak pacar ke jomblo abis.
Belum lagi jika kita sedang memproyeksikan, mengangankan
sesuatu. Dibutuhkan keberanian untuk berubah, karena perubahan tidak selalu
berhasil. Dan di situlah, kata Bob Urihuck, kebanyakan orang menyerah.
Bagaimanapun perubahan adalah kata lain dari pertumbuhan, sinonim dari kata belajar. Kita semua dapat melakukan dan menikmatinya. Jika kita mau, seperti kata sang motivator. Tapi kenyamanan hari ini, membuat kita ingin stag, berhenti pada comfortable zone itu. Ogah move on. Still in here. Biar sampek matek, sampek tuwek, pejah gesang ndherek Soeharto dan Prabowo! Padahal faham yang mereka tawarkan sudah jadul, ketinggalan jaman, atau memang tidak jamannya lagi. Piye kabare, enak jamanku to? Lha, terus piye kembali ke jamanmu? Membangkitkan mayat Soeharto, atau memakai boneka bernama Prabowo sebagai tiran baru?
Bagaimanapun perubahan adalah kata lain dari pertumbuhan, sinonim dari kata belajar. Kita semua dapat melakukan dan menikmatinya. Jika kita mau, seperti kata sang motivator. Tapi kenyamanan hari ini, membuat kita ingin stag, berhenti pada comfortable zone itu. Ogah move on. Still in here. Biar sampek matek, sampek tuwek, pejah gesang ndherek Soeharto dan Prabowo! Padahal faham yang mereka tawarkan sudah jadul, ketinggalan jaman, atau memang tidak jamannya lagi. Piye kabare, enak jamanku to? Lha, terus piye kembali ke jamanmu? Membangkitkan mayat Soeharto, atau memakai boneka bernama Prabowo sebagai tiran baru?
Sementara
kita hanya terpukau pada kata-kata kesuksesan, kemeriahan, hasil akhir. Namun
tidak pada bagaimana proses perjuangan mendapatkannya. Kemajuan merupakan kata
yang merdu, dan impian semuanya sebagaimana kata Robert F. Kennedy. Tetapi
untuk itu, perubahanlah penggeraknya, dan perubahan mempunyai banyak musuh. Tak
semua orang suka perubahan, apalagi jika perubahan itu pada intinya menggusur
perannya ke pinggir, ke bawah, ke luar lingkaran, dan seterusnya.
Dan
celakanya, sebagaimana dituliskan sang dramawan John Steinbeck, manusia yang
berangsur menjadi tua umumnya cenderung menentang perubahan, terutama perubahan
ke arah perbaikan yang memberi ruang untuk pertumbuhan bagi generasi baru.
Makanya kita lihat, partai-partai politik Indonesia kebanyakan semuanya buruk,
karena selain oligarkis juga penganut faham gerontologisme.
Mana
mau ARB mundur? Mana mau Megawati mundur? Mana mau SBY mundur (walau tak
mencalonkan jadi ketua umum, tapi posisinya kelak pasti ketua dewan Pembina,
yang artinya adalah owner)? Mana mau SDA mundur? Mana mau Amien Rais mundur
(walaupun sudah tersingkir di partai)? Mana mau Prabowo mundur dari Gerindra?
Sudah habis banyak duit, je!
Maka
kita lihat, transisi politik kita dewasa ini, ialah bagaimana waktu pelan-pelan
akan menyingkirkan politikus tua yang perlahan membusuk itu. Apalagi jika tak ada
legacy yang ditinggalkannya.
Padahal:
Orang yang paling tidak bahagia, sebagaimana renungan Mignon McLaughlin, ialah
mereka yang paling takut pada perubahan. Mereka yang ngomong tentang berubah, berubah, berubah, tapi pada dasarnya adalah ndhableg, keras kepala, untuk mengukuhi sesuatu yang sesungguhnya sudah out of date. Rata-rata, itu ciri khas politikus pengemban ideologi Soehartoisme.
Dan
itu menyedihkan. Padahal, lima tahun lagi tuntutannya akan makin berkembang.
Masyarakat semakin tak butuh politikus, apalagi yang hanya pandai bersilat
lidah, beretorika, membagi uang menebar janji.