Mengindonesiakan Serat Centhini text by text? Selama ini belum pernah ada yang berhasil melakukannya. Bukan hanya sekedar ketebalannya, lebih dari 3500 halaman, memuat 722 pupuh atau jenis tembang, dan semuanya yang terbagi dalam 12 jilid buku, memuat 250-an ribu baris. Namun selain itu juga karena bahasa tembang Macapat serta kandungan isinya sebagai ensiklopedi, membuat penerjemahan itu bukanlah sesuatu yang mudah.
Apa yang dilakukan oleh Sunardian Wirodono, dengan melakukan pengindonesiaan yang diharapkan mendekati teks Serat Centhini, adalah sebuah keberanian. Dikatakan sebuah keberanian, karena Sunardian yang telah menggubah Serat Centhini menjadi sebuah novel berbahasa Indonesia, tidak bisa bersembunyi pada berbagai penjelasan naratif yang selama ini sering dipakai, jika beberapa orang mencoba untuk menerjemahkan karya sastra klasik Sri Susuhunan Pakubuwana V (1820-1823) itu.
Dikatakan oleh Sunardian, niatan mengindonesiakan Serat Centhini, lebih karena kenyataan banyak yang mengetahui (dengan menyebut-nyebut) Serat Centhini, namun belum tentu mereka membacanya, bahkan mungkin melihat wujud kitabnya. Belum lagi jika mengetahui, bahwa karya klasik itu masih tersimpan dalam bahasa Jawa. Maka banyak yang menyebut Serat Centhini adalah "Kamasutra Jawa".
Penyebutan itu, tidak sangat keliru, karena di dalam Serat Centhini memang bertebar ujaran-ujaran dan bahkan ajaran mengenai seksualitas. Dijabarkan dengan jelas, bagaimana sebaiknya orang melakukan senggama, juga pada waktu apa, dengan posisi seperti apa. Bahkan, dalam narasinya, juga diceriterakan bagaimana beberapa tokohnya seperti Ki Jayengraga, Ki Kulawirya, Cebolang, melakukan persenggamaan dengan berbagai perempuan, dari gadis di bawah umur, janda, atau bahkan isteri orang lain. Atau juga dengan terus-terang diceritakan bagaimana mereka melakukan party-sex, three-some, dan lelaki dengan lelaki. Cerita-cerita seperti itu tersebar hampir merata di setiap jilidnya.
Namun, Serat Centhini bukan hanya mengenai satu hal itu (sebagaimana Kamasutra yang memang secara khusus menguraikan teknis bersenggama cara India-Hindu). Serat Centhini adalah ensiklopedi yang naratif. Penuturan mengenai berbagai item, konten, dituliskan melalui kisah perjalanan tokoh-tokohnya (terutama Ki Syekh Amongraga, Ki Jayengsari dan Ni Rancangkapti, juga Cebolang), dengan setting waktu paska jatuhnya Kasunanan Giri oleh Sultan Agung Mataram (1736). Latar belakang kisah, adalah pelarian dan petualangan tiga anak Sunan Giri yang berada dalam kejaran para prajuri Mataram.
Dengan bangunan setting waktu, setting tema, dan pola bertuturnya yang linier, Serat Centhini menguraikan mengenai pernak-pernik kehidupan manusia melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tokoh-tokohnya. Dari sana meluncur berbagai hal dari perbintangan (astrologi), pengetahuan mengenai alam, cara bercocok-tanam, jamu-jamuan, aneka jenis makanan dan minuman, berbagai adat dan ritual (Jawa) dari melahirkan anak, pengantin, hingga kematian.
Dalam Serat Centhini juga bisa didapatkan berbagai hal mengenai ajaran dan ujaran agama, tasawuf, etika, filsafat. Juga kitab ini memuat data dan fakta mengenai sejarah, legenda, mitos, mengenai candi, bangunan kraton, aneka tetumbuhan, dan potret sosial dari berbagai kelas masyarakat.
Serat Centhini adalah kitab yang ditulis mulai 1814, dengan menyodorkan warna baru. Ia ditulis dari tembok kraton, namun ia tidak berbicara mengenai kejayaan sebuah kerajaan atau keagungan Sang Raja. Serat Centhini, bahkan sebaliknya, menuliskan kisah orang-orang pinggiran, tokoh-tokoh yang tidak dikenali sejarah tetapi punya wilayah dan kehidupan sosial, orang-orang terusir atau pelarian. Sultan Agung yang menjadi "penyebab" dari latar belakang sosial Serat Centhini pun, hanya muncul sebagian kecil pada jilid pertama dan terakhir. Itu pun tidak sangat dominan. Ia tokoh yang menyebabkan pelarian Ki Syekh Amongraga, tetapi juga mengakhiri kisah Syekh Amongraga, namun di tengah-tengahnya Sri Pakubuwana memberikan ruang yang luas bagi berbagai tokoh kecil yang bisa jadi adalah korban-korban dari Sultan Agung.
Dari situ, keanehan sudah tampak pada karakter Serat Centhini ini yang berbeda dengan serat-serat lainnya. Bahkan, jika kita mengetahui, bagaimana proses terciptanya karya sastra itu sendiri, akan terasa semakin keanehannya. Karena sejak awal oleh penggagasnya (Sri Pakubuwana V, yang pada waktu itu masih sebagai putra mahkota dari Pakubuwana IV) dimaksudkan sebagai "baboning pangawikan Jawi" (sumber pengetahuan Jawa), maka ia memerintahkan pada Ranggasutrisna, Yasadipura II untuk berkeliling ke Jawa bagian barat dan timur, serta Sastradipura diutusnya ke Mekah untuk sekalian naik haji dan belajar mengenai agama (hingga kemudian namanya berganti menjadi H. Mohammad Ilhar) senarai dengan selesainya penulisan Serat Centhini pada 1823, atausembilan tahun kemudian.
Karena itu, Serat Centhini menjadi sangat tebal (12 jilid dan hampir 4000 halaman jika dilatinkan dengan ukuran buku 14x21 Cm, sebagaimana bisa dilihat dalam buku "Serat Centhini Latin" yang disusun oleh Karkana Kamajaya), sangat kaya. Ia adalah buku ensiklopedi pertama di Indonesia, yang ditulis dengan cara "paling kreatif dan orisinal".
Maka jika bisa disebut jasa siapa yang "meneruskan" Serat Centhini dikenal oleh kalangan lebih luas, ialah upaya menyalin Serat Centhini dari huruf Jawa ke huruf latin, seperti yang dilakukan oleh Karkana Kamajaya (1980) itu. Dari sana, serat Centhini yang semula ngendon di istana, bisa keluar dan dinikmati oleh kalangan luar, meski masih terbatas yang mengetahui bahasa Jawa. Selebihnya, gelap.
Baru kemudian 25 tahun kemudian, munculnya karya gubahan Elizabeth D. Inandiak (wartawati Perancis) dalam bentuk prosa liris berbahasa Indonesia (mulanya gubahan dalam bahasa Perancis), menjadi pintu masuk Serat Centhini pada generasi baru Indonesia. Banyak anak muda Indonesia yang kemudian sedikit tercerahkan dengan apa yang dilakukan oleh Inandiak. Meski pada karya Inandiak, rasa ensiklopedi Serat Centhini sedikit banyak dihilangkan, karena lebih bertumpu pada kisah romansa tokoh-tokohnya. Karya Inandiak, karena satu-satunya yang berbahasa Indonesia dengan pendekatan kontemporer, seolah menjadikan referensi utama pengenalan Serat Centhini.
Pada 2009, Sunardian Wirodono menggubahnya ke dalam bentuk novel, dimulai dari "centhini 40 Malam Mengintip Sang Pengantin", Sunardian "hanya" memakai peristiwa 40 hari masa pengantin antara Syekh Amongraga dengan Tambangraras, namun berhasil menyarikan gambaran Serat Centhini secara utuh, dari sejak awal sejarah Sunan Giri, hingga pecahnya perang, dan kisah pelarian anak-anak Sunan Giri tersebut, dengan teknik penulisan yang un-linier.
Sayang untuk seri novel keduanya, yakni paska minggatnya Syekh Amongraga dari isterinya, "Centhini, Perjalanan Cinta", yang mengisahkan pencarian Tambangraras dan seluruh keluarganya hingga kisah kematian Syekh Amongraga dan pertemuan terakhirnya dengan Sultan Agung, proses penerbitan novel itu terhambat karena konflik Sunardian dengan penerbitnya, yang secara sepihak mengalihkan naskah-naskah yang sudah digarap ke penulis lain Gangsar R Hayuaji alias sri Wintala Ahmad, yang penulis ini kemudin membajak atau mengcopy paste tulisan-tulisan Sunardian didaku sebagai karyanya dan atas namanya). Kasus pembajakan buku ini masih berproses secara hukum. Padahal, Sunardian yang semula merancang tiga novel gubahan atas serat Centhini itu, ingin menyodorkan kitab klasik itu dalam spirit dan bentuk awalnya, yakni Sunardian memilih tetap setia pada alur dan komponen isi Serat Centhini yang memang ensiklopedis, meski diakui menjadi tidak sebebas Inandiak misalnya. Sayang, dengan kasus hukum itu, menjadi terhambat.
Tidak bisa menunggu kevakuman (atas proses hukum pembajakan novel Centhini) itu, Sunardian menjadi terpicu untuk sekalian saja menerjemahkan Serat Centhini seutuhnya. Dengan demikian, maka masyarakat akan langsung tahu dari sumber aslinya, text by text. Disebutkan demikian, karena berbeda dengan penerjemahan yang sudah dilakukan oleh Tim Universitas Gajah Mada, terjemahan Sunardian tetap di susun sebagaimana teks syair tembang macapat, meski tidak mungkin memenuhi guru wilangan dan guru lagu metrum tembang macapat yang ketat. Namun setidaknya, pembaca dituntun mampu mendekatkan pengertiannya atas teks bahasa Jawa yang akan disertakan juga. Itu perbedaan dengan penerjemahan sebelumnya, yang dituliskan secara prosa dan lebih mendekati uraian deskriptif daripada pendekatan karya sastra kreatif.
Apa yang diharapkan oleh penerjemah adalah, agar dengan demikian Serat Centhini diketahui teks aslinya, dan diketahui pula makna sejatinya, kalimat-perkalimat sebagaimana pola penerjemahan kitab-kitab suci seperti Alquran, Injil, Wedha, tanpa niatan menyamakannya. Dimaksudkan oleh Sunardian, dengan demikian "rasa puitik" dari tembang macapat, bisa dirasakan pula meski dalam bahasa Indonesia.
Penulis yang dulunya dikenal sebagai penyair, dan kemudian lebih berkonsentrasi ke novel, tentu lebih mempunyai pendekatan sastrawi yang dibutuhkan untuk proses penerjemahan Serat Centhini ini.
Namun karena proyek penerjemahan ini lebih bersifat pribadi, Sunardian memilih jalur penerbitan indie, dengan gotong-royong masyarakat yang mencintai dan menginginkan dapat membaca Serat Centhini sesuai pengetahuan bahasanya. Karena itu, proses penerjemahan itu akan memakan waktu lama. Sunardian menjanjikan, setiap bulannya, akan diterbitkan per-jilid mulai Januari 2011, hingga jilid XII direncanakan selesai dan terbit pada Desember 2011.
"Dengan gotong royong pembaca dan penggemar Serat Centhini, proses penerjemahan ini tidak perlu menggantungkan pada funding atau lembaga kebudayaan pemerintah, yang memang tidak peduli pada dokumen bangsanya," demikian dikatakan Sunardian yang memilih jejaring sosial seperti facebook dan blogspot untuk menyebarkan bukunya. Jejaring sosial ini, katanya, mampu membebaskan cengkeraman dari dominasi toko buku, yang biasanya memotong antara 50-60% dari harga jual buku, sehingga menyebabkan harga buku mahal namun penulisnya kurang mendapatkan penghargaan. Jika toko buku langsung mendapatkan lebih dari separoh harga buku, maka teknik yang dipakai penerbit adalah melipatgandakan buku itu hingga mereka memperhitungkan mendapatkan keuntungan memadai, akibatnya harga buku menjadi sangat tinggi, apalagi jika memakai jasa distributor, karena toko buku tidak memberikan ruang pada munculnya penerbit-penerbit kecil yang tidak bisa menjaga kontinyuitas penerbitan. Dengan komposisi toko buku mendapat 50-60%, distributor antara 10-15%, penerbit hanya akan sekitar 25-35%, dan penulis sebagai tiang utamanya, hanya sekitar 10% (dengan model royalti, terutama pada penerbit besar), tetapi kebanyakan penerbit buku hanya memberikan sekitar 1% dari harga jual buku.
"Komposisi itu, jelas tidak mengembangkan dunia penulisan," kata Sunardian Wirodono yang semula malang-melintang di dunia broadcast di Jakarta dan mulai 2008 memilih tinggal di Yogyakarta.
Senin, Januari 17, 2011
Langganan:
Postingan (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...