Dengan segenap beladuka pada korban atas meletusnya Gunung Merapi. Peristiwa ini, bukan pertama kalinya. Siklus Gunung Merapi, sebagai gunung berapi yang masih hidup, akan selalu demikian.
Namun peristiwa meletusnya gunung berapi, sesungguhnya bukanlah peristiwa yang tak bisa dimengerti dari sisi peradaban manusia sebagai mahkluk yang diperkenankan berpikir dan menafsir.
Ketika saya bercengkerama ke beberapa penduduk di Tutup Ngisor, Kecamatan Dukun, Muntilan (Jateng), beberapa penggali pasir yang berada di ring satu bahaya Merapi, mengatakan bahwa Gunung Merapi memberi kehidupan dan rejeki pada mereka. Sehabis gunung meletus, kata mereka, maka pasokan pasir, batu, begitu melimpah, dan menjadi sumber mata pencaharian. Demikian juga bagi para petani, pasca letusan Merapi, tanah menjadi subur, dan menjadi pengharapan untuk masa tanam berikutnya.
Jika demikian, mengapa fenomena alam itu tidak dipersahabat, sebagaimana naluri hewan-hewan yang tajam, yang akan menjauh dari Merapi, ketika peristiwa erupsi itu terjadi?
Di Jepang, setelah bencana besar Fujiyama, pemerintah dan para ilmuwan Jepang, berfikir keras mengenai hal itu. Dan hasilnya, terjadi perubahan pada kontruksi sosial dan budaya masyarakat setempat. Bentuk rumah dan kontruksinya, pekerjaan atau mata pencaharian penduduk, semua didesain untuk mengantisipasi sebagai resiko lingkungan yang rawan dan tidak stabil.
Pemerintah dan akademisi Indonesia, sesungguhnya juga bisa, mendisain setepatnya, bagaimana memposisikan hubungan masyarakat sekitar dengan Gunung Merapi, sehingga kita tidak hanya bicara soal "tanggap bencana" atau "musibah alam", padahal itu adalah peristiwa kerutinan yang bisa diperkirakan.
Artinya, sikap mental, karakter budaya, pola pikir masyarakat sekitar Merapi, adalah persoalan social enginering yang selama ini diabaikan, dan kita hanya ribut jika hal tersebut terjadi. Ribut keprihatinan, ribut aksi sosial, ribut anggaran bencana.
Berbeda dengan kasus yang terjadi di Chile, ketika presidennya di lapangan untuk bersama dalam peristiwa itu, Presiden kita justru berada di lokasi untuk menggelar rapat koorinasi terbatas dengan para mentrinya, dengan protokolernya yang bisu-tuli. Presiden terjebak dalam upacara teater yang tidak cerdas. Mempertunjukkan pembelaan, namun menyiratkan impresi kegenitan. Bahasa bodohnya berpamrih, tidak tulus, ora ngerti prioritas!
Soal Mbah Maridjan? Saya kira kontroversi itu terjadi karena kita sering kurang sabar dan bijak membaca peran-peran manusia dalam kehidupan. Yang anti klenik dan mistik, dengan serta merta akan mencibir sosok ini, namun yang sebaliknya, akan memujanya.
Mbah Maridjan, adalah sosok biasa dalam konstruksi sosial masyarakat desa, yang fenomena ini kemudian menemukan komodifikasinya oleh media yang rindu kasus dan isyu, termasuk bagaimana "rosa" mengeksploitasinya. Dalam konteks pemerintahan modern, Mbah Maridjan tentu saja warga negara biasa. Namun dalam keyakinannya sebagai abdi dalem yang mendapatkan tugas dari raja, yang katanya "tugas pemerintahan kraton", beliau menerjemahkan sebagai tanggung jawab. Ia telah memberi pengertian pada tetangga kiri-kanan untuk mengungsi, namun sebagai "penjaga yang ditugaskan", ia bertahan memohonkan pada Tuhan, keselamatan alam seisinya dalam sujud shalatnya itu. Bahwa ia kemudian gugur di medan lahar, itulah resiko seorang panglima perang, yang tidak ngacir dari tanggung-jawab. Tanpa mendeskreditkan beliau, Mbah Maridjan adalah sosok profesional, jika saja kita bisa mengabaikan efek mediasi yang dikembangkan oleh gossip selebritas media kita, Mbah Maridjan tidak seheboh dan "sejahat" pikiran kita.
Gunung Merapi meletus, sebagai peristiwa yang berdampak sosial dan ekonomi, tentu mengundang keprihatinan dan solidaritas sosial kita bersama. Namun, tidak mau memikirkan penyikapan kita atas fenomena dan pembacaan kuasa Tuhan atas alam semesta ini, bukanlah kesombongan yang dungu, melainkan kedunguan yang sombong.
Jika kita tak mampu membaca alam, mengapa kita tidak mau membaca buku?
| Sunardian Wirodono.
Foto Gunung Merapi Pasca Erupsi 2010, karya Idam Laksana, Yogyakarta.
Kamis, Oktober 28, 2010
Rabu, Oktober 13, 2010
Skandal Penjiplakan Novel Centhini 2 Perjalanan Cinta
Setelah menerbitkan novel “Centhini 40 Malam Mengintip Sang Pengantin” karya Sunardian Wirodono pada Mei 2009, merupakan novel gubahan dari sastra klasik Jawa Serat Centhini, Diva Press Yogyakarta menerbitkan novel “Centhini 2 : Perjalanan Cinta” dengan penulis bernama Gangsar R Hayuaji (yang kemudian dijelaskan sendiri oleh penulisanya merupakan nama pena dari Sri Wintala Achmad), pada Oktober 2010.
Penerbitan novel terakhir itu, sungguh menyentak saya (Sunardian Wirodono, SW). Karena dari teks-teks yang ada dalam novel itu, yang dikatakan ditulis oleh Gangsar R. Hayuaji, sebagian besar adalah apa yang saya tulis untuk melanjutkan novel pertama saya “Centhini 40 Malam Mengintip Sang Pengantin”. Bagaimana bisa, dan apa buktinya?
Sebelumnya, harus dijelas latar belakangnya. Hubungan kerja saya (SW) dengan penerbitan Diva Press (DP) tidaklah mulus. Setelah mengalami cetak ulang tiga kali, DP antusias untuk meminta saya menyegerakan penulisan novel berikutnya, yang memang saya janjikan Serat Centhini saya gubah menjadi tiga buku, yakni (1) Centhini 40 Malam Mengintip Sang Pengantin, (2) Centhini Perjalanan Cinta, dan terakhir (3) Cebolang Sang Petualang Jalang.
Hubungan kerja itu, karena persahabatan, tidak memakai perjanjian tertulis. Demikian juga tak ada kontrak, kecuali SW mendapat honorarium berdasar jumlah buku yang dicetak. Ketika saya mempertanyakan soal kontrak kerja, setelah melihat hasil cetakan ke-tiga, saya disodorkan point-point kontrak kerja yang 100% menekan penulis dan 100% menguntungkan penerbit.
Sementara, hak honorarium saya untuk cetakan ke-tiga (Oktober 2009), tidak akan diberikan sebelum saya menyelesaikan naskah ke-dua, “Centhini Perjalanan Cinta”. Saya shock, karena pada waktu itu (Februari 2010) saya sangat membutuhkannya. Dan selama itu, sama sekali tidak ada pembicaraan lebih lanjut. Sebelum itu, saya memang sudah menyerahkan beberapa bab untuk “Centhini Perjalanan Cinta”, karena saya membutuhkan uang (dengan system ijon), dan pihak DV memberikan uang muka pada saya Rp 5.000.000,00 untuk hal itu. Maaf, detailnya saya lupa mengenai hal ini.
Sekarang persoalannya, ketika permasalahan tersebut di atas tidak atau belum terselesaikan, pihak DP kemudian menerbitkan novel “Centhini 2 : Perjalanan Cinta” dengan penulis Gangsar R Hayuaji (Sri Wintala Achmad) tersebut.
Lepas dari apapun persoalan saya (SW) dengan DP, penerbitan novel atas nama Gangsar R Hayuaji itu mengandung cacat prinsipil dalam karya kreatif penulisan, yakni soal orisinalitas.
Dalam ucapan terima kasih (tak jelas dari penerbit atau penulisnya) pada novel “Centhini 2 : Perjalanan Cinta” (C2PC) itu, dituliskan ucapan terima kasih pula pada Sunardian Wirodono, yang disitu ditulis sebagai “penulis naskah lepas Centhini: Perjalanan Cinta” yang “secara tidak langsung” memberikan sumber data penulisan novel ini (C2PC, h. 5). Seolah ada penulis tetap sebagaimana proses penulisan Serat Centhini yang ditunjuk oleh Sri Susuhunan Pakubuwana V.
Tidak jelas apa maksud “secara tidak langsung” ini, karena pada halaman 418 disebutkan “Wirodono, Sunardian. “Centhini: perjalanan Cinta”. Teks lepas, Jakarta-Yogya, Maret-November 2009” pada daftar bacaan novel C2PC. Artinya Gangsar R Hayuaji tak mungkin tidak tahu soal file tulisan SW itu.
Seorang teman, lewat facebook, pernah menanyakan pada DP, apakah novel C2PC adalah karya SW? Dijawab oleh pihak DP, sama sekali tidak (Oktober 2010). Dan melalui account “Membaca Serat Centhini” (MSC) di facebook, karena mendapatkan tag kiriman dari “Centhini Literatur From Java” yang dikelola oleh Sri Wintala Achmad, SW menanyakan agar dijelaskan oleh penerbit maupun penulis, bahwa buku tersebut tidak ada kaitannya dengan SW. Hal tersebut dijawab langsung oleh Sri Wintala Achmad, bahwa novel tersebut sama sekali tidak berkait dengan SW, dan ia katakan semuanya ia tulis sendiri berdasar referensi yang ia miliki (Oktober 2010).
Baiklah. Saya ingin masuk pada bukti-bukti teks, yang ternyata, hampir semuanya copy paste dari yang saya (SW) tulis, untuk kemudian dengan nama Gangsar R. Hayuaji didaku sebagai karyanya:
Saya telah membaca novel "Centhini 2 Perjalanan Cinta" yang diakukan ditulis oleh Gangsar R Hayuaji (nama pena dari Sri Wintala Achmad), yang baru saja diluncurkan.
Novel tersebut konon mengacu pada karya sastra klasik Jawa Serat Centhini. Namun, mencermati teks novel tersebut, yang dibagi dalam empat bagian (1) Tambangraras Mencari Belahan Jiwa, 12 bab (2) Amongraga Mencari Sarang Angin, 15 Bab (3) Kelana Sang Pelarian, 3 bab, dan (4) Sang Kelana yang Kembali, 7 bab, dan (5) Kesaksian Seorang Cethi, 2 bab.
Saya (Sunardian Wirodono) setelah membacanya, kemudian bisa memastikan, bahwa karya tersebut, khususnya pada bagian 1, hampir keseluruhan merupakan copy-paste dari apa yang telah saya tulis untuk karya yang saya juduli "Centhini Perjalanan Cinta" khususnya dari Bab 1 s.d 3 yang oleh Sdr gangsar digabung kemudian dipecah menjadi 12 bab.
Demikian juga pada bagian 2, Sdr. Gangsar mengcopy-paste tulisan saya untuk naskah yang sama, khususnya pada Bagian Pembuka, yang kemudian dijadikannya 15 bab, dan diletakkan pada bagian ke-2.
Peletakan bab 1-2-3 dan kemudian baru bab pembuka, jika dilihat dari struktur pengurutan naskah saya, tidak mengurangi penjiplakan yang dilakukan oleh saudara Gangsar, karena baris demi baris bisa diperbandingkan dengan kesamaan persis di atas 90%. Sdr. Gangsar hanya melakukan pengimbuhan kata, penyisipan, pengubahan sana-sini-situ, menghapus beberapa alinea, tetapi tidak mengubah struktur logika dan plot, bahkan beberapa idiom yang sengaja saya lakukan.
Bahkan, upaya pengotak-atikan (membolak-balik) urutan itu, menjelaskan lebih terang, bahwa saudara Gangsar sadar dan sengaja melakukan hal tersebut. Misalnya, mengcopy-paste bab pembuka SW, yang justeru dipakai sebagai footnote seperti pada bukunya di halaman 298-299, untuk yang ini bahkan sama sekali tidak diedit alias plek-plek-plek, padahal lebih dari 40 baris.
Dengan demikian, novel terbitan Diva Press setebal 420 halaman itu (dikurangi 50 halaman pengantar), dari halaman 61 s.d 178 dan 181 s.d 300 (total dari 370 halaman) yang didaku Gangsar R Hayuaji sebagai karyanya itu, 236 halaman atau 63,78% adalah teks naskah yang di tulis oleh Sunardian. Dari meta-data file komputer, saya berani bertanggungjawab, naskah tersebut saya tuliskan pada periode Maret 2009-Maret 2010, sementara Gangsar menuliskannya bertitimangsa Mei 2010.
Saya kutipkan dari file SW “Bab Satu : Cinta Begitu Membelenggu” | WANAMARTA. YANG ADA HANYALAH SUNYI SEPI. MATAHARI memang tetap bersinar di langit. Bahkan, seolah tiada jemu. Setiap pagi. Setiap sore. Di langit yang sama. Datang dan pergi.
Tapi betapa membosankan bagiku.
Hari demi hari, begitu terasa lambat.
Sangat lambat.
Entah berapa lama sudah. Denayu Tambangraras berkelana dalam diam, di atas tempat peraduannya. Ya, tempat peraduan, karena demikianlah hari-hari dan malam-malamnya, diadukan dalam kesendirian.
Sementara itu, aku, si Centhini, sebagai cethi, pembantu setia Tambangraras, pun hanya berada dalam diam. Tiada mengerti harus berbuat apa. Bukannya tiada daya, namun lebih karena tiada cara, agar Denayu Tambangraras melepaskan diri dari derita. Yang kulakukan hanyalah menemani, melayani, dan menjadi perantara, dari siapa pun yang ingin menemuinya. Karena hanya padaku, Denayu sudi menumpahkan isi hatinya. Dan hanya padaku, Denayu percaya.
Masa-masa yang sulit, juga bagaimana aku harus menceriterakan kepadamu, betapa tidak masuk akalnya ini semua. Cinta kepati-pati Denayu, pada Syekh Amongraga, menjadikan semuanya ini tidak masuk akal, tak bisa dinalar, setidaknya oleh nalarku.
Kenapa cinta begitu membelenggu? Dan bukannya membebaskan?
Ah, pertanyaan yang tidak cukup cerdas, justeru karena terlalu dipikirkan.
Masih ingat, bagaimana pada malam ke-40 hari perkawinannya, Syekh Amongraga pergi tanpa pamit pada isterinya, Tambangraras? Yang terjadi kemudian, hanya duka derita.
Denayu Tambangraras setelah itu, tiada mau melakukan apa pun. Tidak mandi, tidak bersalin pakaian. Makan dan minum pun, jika tak dipaksa, tak akan dilakukannya. Yang ia lakukan, hanyalah menderas Alquran, shalat, berdzikir.
Saat-saat keluar dari kamarnya, hanyalah untuk berwudhu, atau ke pakiwan. Selebihnya, tak ada.
Ia mengenakan pakaian serba putih, sebagaimana selembar kain yang hanya disampirkan di tubuh kurusnya.
Dan itu terjadi bukan saja berhari-hari, berpekan-pekan. Melainkan ketika bulan purnama telah berganti beberapa kali. Mungkin saja satu tahun lebih, aku tidak tahu pasti. Tapi nanti kau bisa merunutnya, seberapa lama perjalanan Syekh Amongraga di tempat-tempat yang ia datangi, untuk mencari dua adiknya, dengan meninggalkan isterinya!
Alasan yang menurutku dibuat-buat. Sangat dibuat-buat.
Apa sesungguhnya alasan yang sebenar-benarnya? Memang hendak meninggalkan Tambangraras, sebagaimana para lelaki meninggalkan perempuan yang telah dicecap sari-madunya? Sebegitu jugakah Amongraga yang bergelar syekh itu? Syekh apa pula namanya, dan darimana gelar itu didapatkannya?
“Centhini,…” suara Denayu Tambangraras perlahan.
Tersadar aku dibuatnya. Kupandangi perempuan kurus kering yang tepekur di atas ranjangnya, di depanku.
“Apa yang ada dalam pikiranmu kiranya?” Tambangraras menatapku.
“Tak ada,” jawabku keceplosan. Jengkel.
“Kita harus menerimanya,…”
“Untuk alasan apa, Denayu?” aku balik bertanya. Dengan nada meninggi.
“Tidak semua harus ada alasannya,…”
Jawaban Denayu Tambangraras mengecewakanku. Betapa dulu, ketika kami masih kanak-kanak, kami diminta untuk memberikan alasan. Semua benda yang bergerak di muka bumi ini, selalu dengan alasan-alasan. Tak ada yang tidak. Dan Ki Bayi Panurtha, akan selalu menuntut mengapa begini mengapa begitu. Tak boleh salah menjawab, dan tak boleh segala sesuatu dilakukan tanpa sebab dan tujuan yang pasti. Agar kami mengetahui dan waspada, mengenai baik-buruk segala sesuatu.
Tapi, kenapa justeru jauh waktu kemudian, ketika kami telah dianggap aqil-balikh, sama sekali kita tidak boleh mempertanyakannya? Dan diminta untuk menerima segala hal begitu saja?
Menyebalkan.
Kemudian, ini yang saya baca dari “Centhini 2 : Perjalanan Cinta” oleh Gangsar R. Hayuaji, pada bab 1, hal 61 – 64: | Sebagaimana kemarin, matahari masih terbit dan terbenam di langit Wanamarta. Datang dan pergi dengan membawa kabar yang sama. Hingga hidup hanya putaran roda kereta dalam kelengangan jalan. Melaju jauh menuju kota kesunyian hati tak bertepi. Betapa brengsek dan membosankan!
Entah sudah berapa lama Denayu Tambangraras berkelana dalam sunyi peraduannya. Tempat di mana ia selalu menghabiskan waktunya untuk mengadukan kesunyian hati pada cermin. Cermin yang selalu basah dengan air mata kepedihan.
Sementara aku si Centhini, cethi setia Denayu Tambangraras, tidak mengerti harus berbuat apa. Bukannya tidak berdaya, melainkan tidak tahu cara bagaimana membantu Denayu Tambangraras untuk terlepas dari belenggu nestapa. Pekerjaan yang kulakukan hanya menemani, melayani, dan menjadi perantara dari sesiapa yang ingin menemuinya. Karena hanya kepadaku, Denayu sudi menumpahkan isi hatinya. Hanya kepadaku, Denayu percaya.
Betapa sulit, manakala aku harus menceriterakan segala sesuatu yang tak masuk akal. Cinta kepati-pati Denayu Tambangraras pada Syekh Amongraga menjadikan segala sesuatu tidak masuk akal. Cinta yang membelenggu. Tidak memerdekakan. Cinta yang semakin tidak jelas hakikatnya. Memicu ketololan, ketika dipikirkan.
Makin terbersit di benak. Seusai melintasi empatpuluh malam perkawinannya, Denbagus Amongraga meninggalkan Wanamarta. Meninggalkan nestapa di dalam hati Denayu Tambangraras. Nestapa yang kemudian menyerupai ampas kopi, melarut kental di dasar cangkir.
Semenjak kepergian Denbagus Amongraga, Denayu Tambangraras tidak perduli dengan dirinya. Tidak mau mandi dan bersalin busana. Tidak mau merias wajah dan melulur tubuh langsatnya. Tidak mau makan dan minum. Hari-harinya hanya dihabiskan untuk menderas al-Quran, shalat, dan berdzikir.
Betapa iba aku pada Denayu Tambangraras. Perempuan yang tidak pernah lepas dari busana serba putih. Selembar kain yang hanya dibalutkan pada tubuh kurus keringnya. Perempuan yang hanya keluar dari tempat peraduan bila ingin berwudlu dan buang air besar dan kecil di pakiwan.
Di satu sisi, aku iba pada Denayu Tambangraras. Di sisi lain, aku jengkel pada Denbagus Amongraga yang pergi tanpa alasan. Apakah kepergiannya karena ingin meninggalkan Denayu Tambangraras? Apakah karena ingin mencari kedua adiknya yang tidak diketahui di mana rimbanya? Apakah ingin mencari jati diri? Semua masih teka-teki.
“centhini…” Denayu Tambangraras yang terpekur di ranjang sontak memecah lamunanku, “Apa yang tengah kamu pikirkan?”
“Ehm…”
“”Tidak perlu kamu pikirkan Centhini!” pinta Denayu Tambangraras. “Aku menerima semua ini.”
“Apa alasan Denayu menerima perlaku tidak adil dari Syekh Amongraga? Kekupu liar yang bergegas meninggalkan mawar layu, sudah dicecap sari madunya.”
“Barangkali sudah menjadi takdir.” Wajah Denayu Tambangraras serupa bulan terlindungi tirai awan tipis. “Karenanya, tidak ada alasan mengapa aku harus menerima semua ini.”
Jawaban Denayu Tambangraras membuatkan kecewa. Karena semasih kanak, aku selalu diajarkan untuk memberikan alasan atas segala yang diterima. Semua benda yang bergerak di muka bumi pun selalu hadir dengan alasan. Bahkan, Ki Bayi Panurta selalu menuntut agar segala sesuatu yang dilakukan berpijak pada alasan dan kepastian tujuan. Inilah pengetahuan yang berharga bagi manusia, agar senantiasa waspada terhadap segala sesuatunya.
Namun sesudah dewasa, aku justeru tidak diperbolehkan untuk menanyakan mengapa segala sesuatu harus diterima tanpa alasan. Sungguh menyebalkan!. Terlebih saat menyaksikan kepedihan Denayu Tambangraras yang harus menerima perlakuan tidak adil dari Denbagus Amongraga.
Stop sampai di sini.
Saya hanya ambilkan contoh kasusnya pada contoh di atas, karena pada hampir semua bagiannya, teknik copy paste dan pengubhannya sama persis.
Gangsar R. Hayuaji hanya mengcopy paste dari file Sunardian Wirodono, untuk kemudian dia tambahkan ini dan itu, diselipin kata lain, diubah sedikit kalimatnya. Namun struktur logika, idiomatika, dan beberapa penyebutan sama persis.
Memang tidak seratu persen copy-paste, namun itu tetap merupakan kerja pencurian. Bekerja di atas keringat penulis lain, untuk kemudian ditambah sana-sini-situ.
Penyebutan Denayu Tambangraras, adalah orisinal dari saya karena tidak ada penyebutan itu pada teks asli, yang ini juga dipakai oleh Gangsar, namun ia keliru ketika menyebut Syekh Amongraga dengan sebutan padanan denayu yakni Denbagus Amongraga, karena ia sudah beristeri dan bahkan disebut syekh (karena itu, saya tak pernah menyebut Denbagus Amongraga).
Semuanya, benar-benar sama persis sis dari awal sampai akhir. Jika SW memulai dengan pengantar berupa ihtisar perjalanan Syekh Amongraga, maka Gangsar langsung mengcopy paste bab satu sebagai pembuka. Dari copy paste tersebut, barulah ia edit di sana-sini-situ, tetapi sekali lagi dengan struktur kalimat dan logika yang sama persis dengan apa yang sudah ditulis oleh SW.
Yang paling dan sangat menyedihkan, pengutipan teks asli dari Serat Centhini dan juga terjemahannya, sama persis dengan apa yang ditulis oleh SW (Halaman 74-75-76-77) Pleg sama. Hanya pintarnya Gangsar, file bab satu SW, dipecah menjadi dua bab. Namun satu sama lain urutannya persis. Pola itu, dipakai untuk bab-bab berikutnya. Ada pula teknik lain, bagian dari teks narasi dicopy paste untuk kemudian dijadikan footnote (lihat C2PC halaman 298-299) total sebanyak 40 baris sama persis.
Untuk diketahui, teks naskah SW yang ada pada pihak DP adalah Bab Pembuka, Bab 1, 2, 3, serta Bab Terakhir (total semua lima file naskah, dari 12 file naskah yang direncanakan, atau) dari seluruh 10 bab yang direncanakan (tidak termasuk Prolog Bab Pembuka dan Epilog Bab Terakhir). Artinya, pada bab 4-5-6-7-8-9-10 sama sekali belum terjamah meski sudah diberikan strukturnya. Tapi untuk diingatkan, dari 4 bab yang sudah ditulis SW itu, semuanya dipakai oleh Gangsar dengan cara dipecah satu bab menjadi dua bab, dan seterusnya dengan teknik menyisipkan satu dua kata atau sedikit diubah kalimatnya. Dari 4 bab itu menjadi bahan baku (atau total sekitar 63,78%) bagi penulisan novel itu.
Ada yang dengan teknik copy paste, namun dihilang beberapa aliea, untuk kemudian masuk pada aliea berikutnya, tapi tetap dari milik SW. Misal sehabis mengutip Serat Centhini (C2PC hal 101-103) kemudian disambung hal 104 dengan alinea pembuka:
“Gemerosak dedaunan bercumbuan dengan angin malam. Bergoyangan ke kiri dan kanan. Di dalam ruang peraduan Ki jayengraga, Endhuk yang merasakan selangkangannya sakit menangis tanpa suara. “Ampuni aku, apa yang tengah tuan lakukan padaku?”
adalah sama persis dengan file SW dengan urutan setelah kutipan tembang, ada 10 aliena yang dihapus, langsung ke (kutipan dari file SW):
“Gemerosak daunan, bercumbuan dengan angin malam. Bergoyangan kekiri, ke kanan. Ke kiri. Ke kanan.
Tiba-tiba tubuh Endhuk terasa panas. Betisnya terasa basah, dan lekat. Ia menjerit kaget. Tubuhnya menggigil, dan tiba-tiba lunglai tiada daya.
“Apakah ini ayah, kenapa di selangkanganku ini, trasa basah dan lekat? Seperti air kencing tetapi ini kental sekali,...” Endhuk bertanya-tanya penuh kecemasan. (SW. Bab 2, halaman 12-13).
Apakah bedanya? Beberapa pengubahan yang dilakukan Gangsar, missal penyebutan Ayah menjadi Tuan, menunjukkan penulis tersebut sama sekali tidak menguasai dan membaca Serat Centhini asli. Ia hanya berdasar pada teks yang ditulis SW. Apalagi, dalam C2PC juga dikutipkan syair dari “Serat Nirartha”terjemahan Prof Dr. Poerbatjaraka, sungguh sama sekali mengacaukan logika waktu Serat Centhini (dengan alasan apapun interpretasi kreatifnya).
Atau pada akhir bab 10 C2PC Gangsar hal 162-164, yang pola penuturan, struktur logika dan pengutipan teks asli Serat Centhini, bahkan juga terjemahannya, sama persis dengan yang ditulis oleh SW (teks asli SW tentang hal itu pada Bab 3: Keajaiban di Wanataka, untuk membuktikan tanggal penulis, system meta data computer bisa menjelaskan dan bukan rekayasa apalagi ada tanggal pengiriman file tersebut via email ke DP yang tidak bisa dihapus, tulisan SW dibuat pada meta data terakhir 1 Desember 2009).
Dalam forum yang tepat, saya (SW) bersedia menyodorkan fakta-fakta itu lebih rinci, karena jumlah copy paste itu hampir menyeluruh. Yang membedakan hanya dipecah-pecah, beberapa alinea dihilang, disisiplin kata baru tapi tidak mengubah struktur kalimat dan logika, strutur urutannya sama persis.
Bagi saya, Centhini 2: Perjalanan Cinta yang didaku sebagai tulisan Gangsar R. Hayuaji itu, sama sekali tidak berangkat dari Serat Centhini aslinya, tetapi berangkat dari teks yang dibuat oleh SW. Bahkan, pada referensi yang ditulisnya, sama persis dengan apa yang dituliskan oleh SW, hanya ditambahi beberapa judul buku. Lumayan untuk gagah-gagahan. Penulisan footnote pun, meniru pola SW, bahkan (dan sekali lagi) yang paling menyedihkan, terjemahan Serat Centhini yang dilakukan dengan susah payah oleh SW di copy paste begitu saja, semuanya (kecuali halaman 377 dst). Model ini celakanya, ia terjebak pada pola penggubahan dan idiomatika yang dikembangkan SW, tanpa mengerti aslinya bagaimana. Misal penyebutan nama, tempat, pengadeganan. Penyebutan Denbagus Amongraga, yang salah secara teks tersebut tentu karena terjebak mengikuti pengembangan idiom SW untuk Denayu Tambangraras. Demikian juga penyebutan “ayah” menjadi “tuan” oleh Gangsar misalnya, karena teks asli memang si Endhuk diminta menyebut Ki Jayengraga sebagai “ayah”, bukan tuan! Dan seterusnya.
Apakah kesimpulannya?
Apakah itu semua terjadi, karena DP merasa telah membayar pada SW, dan sama sekali tanpa kontrak kerja tertulis, hingga menganggap teks SW sudah sah milik DP, untuk kemudian boleh dipakai siapa saja dengan mendaku sebagai tulisannya? Padahal, persoalan yang terjadi antara DP dengan SW juga sama sekali belum diselesaikan secara baik-baik, belum ada kata putus?
Namun, sekali lagi, apakah cukup alasan kemudian, Sri Wintala Achmad dengan memakai nama gangsar R. Hayuaji mendaku teks-teks dalam novel C2PC sebagai karyanya, padahal jelas-jelas sebagian besar adalah bukan tulisannya, melainkan tulisan SW yang sudah dipegang oleh DP, dan itu diakui oleh penulis sendiri di halaman 418, sebagai bagian dari “bahan bacaan”? Bukankah artinya tidak ada alasan mengelak tidak tahu dan sebagainya, jika bukan hanya kalimat per kalimat, melainkan titik koma, suku kata dan idiomnya sama persis dengan yang ditulis SW? dalam meta-data file-file SW bertiti mangsa Maret-November 2009/Maret 2010, sementara dalam C2PC tulisan Gangsar bertanggal Mei 2010! Setidaknya tenggang waktu dua bulan.
Lantas, apa yang kemudian mesti dilakukan atas hal ini? Sesungguhnya, atas nama UUHC, saya bisa menuntut saudara Sri Wintala Achmad selaku pemegang nama Gangsar R Hayuaji, yang mengklaim bahwa novel “Centhini 2 : Perjalanan Cinta” adalah karya tulis orisinalnya, atas bukti-bukti yang saya beberkan tersebut. Setidaknya minimal bisa menuntut Rp 500 juta, yang tentu lumayan bisa untuk mencetak sendiri novel saya dan dibagikan gratis.
Namun, sebagai sesama penulis, dan saya berharap Sri Wintala Achmad kelak tumbuh menjadi penulis yang baik, saya hanya menunggu pengakuan dia, bahwa yang dia lakukan bukanlah tindakan yang patut dilakukan oleh mereka yang bekerja di lapangan kreatif. Apalagi ketika di cover buku tersebut disebutkan bahwa novel tersebut penuh ajaran luhur dan sejenisnya.
Saya, Sunardian Wirodono, menunggu saudara Sri Wintala Achmad, di forum mana pun hendak diadakan.
Bagi saya, apa yang dilakukan Sri Wintala Achmad sebagai penulis, sangatlah menyedihkan. Karya kebudayaan yang besar, ternyata hanya disikapi secara lemah karena imbalan honorarium, namun tanpa perilaku kreatif yang memadai. Apalagi jika membaca pengantar penulis yang luar biasa panjang (dari hal 7 s.d 57, yang ditulis bertanda Cilacap-Yogyakarta, Mei 2010), terlihat lebih banyak copy-paste tulisan-tulisan mengenai Centhini yang bisa di-downdload dengan mudah dari internet
Innalillahi wa inna illahi roji’un.
Yogyakarta, 13 Oktober 2010
Sunardian Wirodono
Penerbitan novel terakhir itu, sungguh menyentak saya (Sunardian Wirodono, SW). Karena dari teks-teks yang ada dalam novel itu, yang dikatakan ditulis oleh Gangsar R. Hayuaji, sebagian besar adalah apa yang saya tulis untuk melanjutkan novel pertama saya “Centhini 40 Malam Mengintip Sang Pengantin”. Bagaimana bisa, dan apa buktinya?
Sebelumnya, harus dijelas latar belakangnya. Hubungan kerja saya (SW) dengan penerbitan Diva Press (DP) tidaklah mulus. Setelah mengalami cetak ulang tiga kali, DP antusias untuk meminta saya menyegerakan penulisan novel berikutnya, yang memang saya janjikan Serat Centhini saya gubah menjadi tiga buku, yakni (1) Centhini 40 Malam Mengintip Sang Pengantin, (2) Centhini Perjalanan Cinta, dan terakhir (3) Cebolang Sang Petualang Jalang.
Hubungan kerja itu, karena persahabatan, tidak memakai perjanjian tertulis. Demikian juga tak ada kontrak, kecuali SW mendapat honorarium berdasar jumlah buku yang dicetak. Ketika saya mempertanyakan soal kontrak kerja, setelah melihat hasil cetakan ke-tiga, saya disodorkan point-point kontrak kerja yang 100% menekan penulis dan 100% menguntungkan penerbit.
Sementara, hak honorarium saya untuk cetakan ke-tiga (Oktober 2009), tidak akan diberikan sebelum saya menyelesaikan naskah ke-dua, “Centhini Perjalanan Cinta”. Saya shock, karena pada waktu itu (Februari 2010) saya sangat membutuhkannya. Dan selama itu, sama sekali tidak ada pembicaraan lebih lanjut. Sebelum itu, saya memang sudah menyerahkan beberapa bab untuk “Centhini Perjalanan Cinta”, karena saya membutuhkan uang (dengan system ijon), dan pihak DV memberikan uang muka pada saya Rp 5.000.000,00 untuk hal itu. Maaf, detailnya saya lupa mengenai hal ini.
Sekarang persoalannya, ketika permasalahan tersebut di atas tidak atau belum terselesaikan, pihak DP kemudian menerbitkan novel “Centhini 2 : Perjalanan Cinta” dengan penulis Gangsar R Hayuaji (Sri Wintala Achmad) tersebut.
Lepas dari apapun persoalan saya (SW) dengan DP, penerbitan novel atas nama Gangsar R Hayuaji itu mengandung cacat prinsipil dalam karya kreatif penulisan, yakni soal orisinalitas.
Dalam ucapan terima kasih (tak jelas dari penerbit atau penulisnya) pada novel “Centhini 2 : Perjalanan Cinta” (C2PC) itu, dituliskan ucapan terima kasih pula pada Sunardian Wirodono, yang disitu ditulis sebagai “penulis naskah lepas Centhini: Perjalanan Cinta” yang “secara tidak langsung” memberikan sumber data penulisan novel ini (C2PC, h. 5). Seolah ada penulis tetap sebagaimana proses penulisan Serat Centhini yang ditunjuk oleh Sri Susuhunan Pakubuwana V.
Tidak jelas apa maksud “secara tidak langsung” ini, karena pada halaman 418 disebutkan “Wirodono, Sunardian. “Centhini: perjalanan Cinta”. Teks lepas, Jakarta-Yogya, Maret-November 2009” pada daftar bacaan novel C2PC. Artinya Gangsar R Hayuaji tak mungkin tidak tahu soal file tulisan SW itu.
Seorang teman, lewat facebook, pernah menanyakan pada DP, apakah novel C2PC adalah karya SW? Dijawab oleh pihak DP, sama sekali tidak (Oktober 2010). Dan melalui account “Membaca Serat Centhini” (MSC) di facebook, karena mendapatkan tag kiriman dari “Centhini Literatur From Java” yang dikelola oleh Sri Wintala Achmad, SW menanyakan agar dijelaskan oleh penerbit maupun penulis, bahwa buku tersebut tidak ada kaitannya dengan SW. Hal tersebut dijawab langsung oleh Sri Wintala Achmad, bahwa novel tersebut sama sekali tidak berkait dengan SW, dan ia katakan semuanya ia tulis sendiri berdasar referensi yang ia miliki (Oktober 2010).
Baiklah. Saya ingin masuk pada bukti-bukti teks, yang ternyata, hampir semuanya copy paste dari yang saya (SW) tulis, untuk kemudian dengan nama Gangsar R. Hayuaji didaku sebagai karyanya:
Saya telah membaca novel "Centhini 2 Perjalanan Cinta" yang diakukan ditulis oleh Gangsar R Hayuaji (nama pena dari Sri Wintala Achmad), yang baru saja diluncurkan.
Novel tersebut konon mengacu pada karya sastra klasik Jawa Serat Centhini. Namun, mencermati teks novel tersebut, yang dibagi dalam empat bagian (1) Tambangraras Mencari Belahan Jiwa, 12 bab (2) Amongraga Mencari Sarang Angin, 15 Bab (3) Kelana Sang Pelarian, 3 bab, dan (4) Sang Kelana yang Kembali, 7 bab, dan (5) Kesaksian Seorang Cethi, 2 bab.
Saya (Sunardian Wirodono) setelah membacanya, kemudian bisa memastikan, bahwa karya tersebut, khususnya pada bagian 1, hampir keseluruhan merupakan copy-paste dari apa yang telah saya tulis untuk karya yang saya juduli "Centhini Perjalanan Cinta" khususnya dari Bab 1 s.d 3 yang oleh Sdr gangsar digabung kemudian dipecah menjadi 12 bab.
Demikian juga pada bagian 2, Sdr. Gangsar mengcopy-paste tulisan saya untuk naskah yang sama, khususnya pada Bagian Pembuka, yang kemudian dijadikannya 15 bab, dan diletakkan pada bagian ke-2.
Peletakan bab 1-2-3 dan kemudian baru bab pembuka, jika dilihat dari struktur pengurutan naskah saya, tidak mengurangi penjiplakan yang dilakukan oleh saudara Gangsar, karena baris demi baris bisa diperbandingkan dengan kesamaan persis di atas 90%. Sdr. Gangsar hanya melakukan pengimbuhan kata, penyisipan, pengubahan sana-sini-situ, menghapus beberapa alinea, tetapi tidak mengubah struktur logika dan plot, bahkan beberapa idiom yang sengaja saya lakukan.
Bahkan, upaya pengotak-atikan (membolak-balik) urutan itu, menjelaskan lebih terang, bahwa saudara Gangsar sadar dan sengaja melakukan hal tersebut. Misalnya, mengcopy-paste bab pembuka SW, yang justeru dipakai sebagai footnote seperti pada bukunya di halaman 298-299, untuk yang ini bahkan sama sekali tidak diedit alias plek-plek-plek, padahal lebih dari 40 baris.
Dengan demikian, novel terbitan Diva Press setebal 420 halaman itu (dikurangi 50 halaman pengantar), dari halaman 61 s.d 178 dan 181 s.d 300 (total dari 370 halaman) yang didaku Gangsar R Hayuaji sebagai karyanya itu, 236 halaman atau 63,78% adalah teks naskah yang di tulis oleh Sunardian. Dari meta-data file komputer, saya berani bertanggungjawab, naskah tersebut saya tuliskan pada periode Maret 2009-Maret 2010, sementara Gangsar menuliskannya bertitimangsa Mei 2010.
Saya kutipkan dari file SW “Bab Satu : Cinta Begitu Membelenggu” | WANAMARTA. YANG ADA HANYALAH SUNYI SEPI. MATAHARI memang tetap bersinar di langit. Bahkan, seolah tiada jemu. Setiap pagi. Setiap sore. Di langit yang sama. Datang dan pergi.
Tapi betapa membosankan bagiku.
Hari demi hari, begitu terasa lambat.
Sangat lambat.
Entah berapa lama sudah. Denayu Tambangraras berkelana dalam diam, di atas tempat peraduannya. Ya, tempat peraduan, karena demikianlah hari-hari dan malam-malamnya, diadukan dalam kesendirian.
Sementara itu, aku, si Centhini, sebagai cethi, pembantu setia Tambangraras, pun hanya berada dalam diam. Tiada mengerti harus berbuat apa. Bukannya tiada daya, namun lebih karena tiada cara, agar Denayu Tambangraras melepaskan diri dari derita. Yang kulakukan hanyalah menemani, melayani, dan menjadi perantara, dari siapa pun yang ingin menemuinya. Karena hanya padaku, Denayu sudi menumpahkan isi hatinya. Dan hanya padaku, Denayu percaya.
Masa-masa yang sulit, juga bagaimana aku harus menceriterakan kepadamu, betapa tidak masuk akalnya ini semua. Cinta kepati-pati Denayu, pada Syekh Amongraga, menjadikan semuanya ini tidak masuk akal, tak bisa dinalar, setidaknya oleh nalarku.
Kenapa cinta begitu membelenggu? Dan bukannya membebaskan?
Ah, pertanyaan yang tidak cukup cerdas, justeru karena terlalu dipikirkan.
Masih ingat, bagaimana pada malam ke-40 hari perkawinannya, Syekh Amongraga pergi tanpa pamit pada isterinya, Tambangraras? Yang terjadi kemudian, hanya duka derita.
Denayu Tambangraras setelah itu, tiada mau melakukan apa pun. Tidak mandi, tidak bersalin pakaian. Makan dan minum pun, jika tak dipaksa, tak akan dilakukannya. Yang ia lakukan, hanyalah menderas Alquran, shalat, berdzikir.
Saat-saat keluar dari kamarnya, hanyalah untuk berwudhu, atau ke pakiwan. Selebihnya, tak ada.
Ia mengenakan pakaian serba putih, sebagaimana selembar kain yang hanya disampirkan di tubuh kurusnya.
Dan itu terjadi bukan saja berhari-hari, berpekan-pekan. Melainkan ketika bulan purnama telah berganti beberapa kali. Mungkin saja satu tahun lebih, aku tidak tahu pasti. Tapi nanti kau bisa merunutnya, seberapa lama perjalanan Syekh Amongraga di tempat-tempat yang ia datangi, untuk mencari dua adiknya, dengan meninggalkan isterinya!
Alasan yang menurutku dibuat-buat. Sangat dibuat-buat.
Apa sesungguhnya alasan yang sebenar-benarnya? Memang hendak meninggalkan Tambangraras, sebagaimana para lelaki meninggalkan perempuan yang telah dicecap sari-madunya? Sebegitu jugakah Amongraga yang bergelar syekh itu? Syekh apa pula namanya, dan darimana gelar itu didapatkannya?
“Centhini,…” suara Denayu Tambangraras perlahan.
Tersadar aku dibuatnya. Kupandangi perempuan kurus kering yang tepekur di atas ranjangnya, di depanku.
“Apa yang ada dalam pikiranmu kiranya?” Tambangraras menatapku.
“Tak ada,” jawabku keceplosan. Jengkel.
“Kita harus menerimanya,…”
“Untuk alasan apa, Denayu?” aku balik bertanya. Dengan nada meninggi.
“Tidak semua harus ada alasannya,…”
Jawaban Denayu Tambangraras mengecewakanku. Betapa dulu, ketika kami masih kanak-kanak, kami diminta untuk memberikan alasan. Semua benda yang bergerak di muka bumi ini, selalu dengan alasan-alasan. Tak ada yang tidak. Dan Ki Bayi Panurtha, akan selalu menuntut mengapa begini mengapa begitu. Tak boleh salah menjawab, dan tak boleh segala sesuatu dilakukan tanpa sebab dan tujuan yang pasti. Agar kami mengetahui dan waspada, mengenai baik-buruk segala sesuatu.
Tapi, kenapa justeru jauh waktu kemudian, ketika kami telah dianggap aqil-balikh, sama sekali kita tidak boleh mempertanyakannya? Dan diminta untuk menerima segala hal begitu saja?
Menyebalkan.
Kemudian, ini yang saya baca dari “Centhini 2 : Perjalanan Cinta” oleh Gangsar R. Hayuaji, pada bab 1, hal 61 – 64: | Sebagaimana kemarin, matahari masih terbit dan terbenam di langit Wanamarta. Datang dan pergi dengan membawa kabar yang sama. Hingga hidup hanya putaran roda kereta dalam kelengangan jalan. Melaju jauh menuju kota kesunyian hati tak bertepi. Betapa brengsek dan membosankan!
Entah sudah berapa lama Denayu Tambangraras berkelana dalam sunyi peraduannya. Tempat di mana ia selalu menghabiskan waktunya untuk mengadukan kesunyian hati pada cermin. Cermin yang selalu basah dengan air mata kepedihan.
Sementara aku si Centhini, cethi setia Denayu Tambangraras, tidak mengerti harus berbuat apa. Bukannya tidak berdaya, melainkan tidak tahu cara bagaimana membantu Denayu Tambangraras untuk terlepas dari belenggu nestapa. Pekerjaan yang kulakukan hanya menemani, melayani, dan menjadi perantara dari sesiapa yang ingin menemuinya. Karena hanya kepadaku, Denayu sudi menumpahkan isi hatinya. Hanya kepadaku, Denayu percaya.
Betapa sulit, manakala aku harus menceriterakan segala sesuatu yang tak masuk akal. Cinta kepati-pati Denayu Tambangraras pada Syekh Amongraga menjadikan segala sesuatu tidak masuk akal. Cinta yang membelenggu. Tidak memerdekakan. Cinta yang semakin tidak jelas hakikatnya. Memicu ketololan, ketika dipikirkan.
Makin terbersit di benak. Seusai melintasi empatpuluh malam perkawinannya, Denbagus Amongraga meninggalkan Wanamarta. Meninggalkan nestapa di dalam hati Denayu Tambangraras. Nestapa yang kemudian menyerupai ampas kopi, melarut kental di dasar cangkir.
Semenjak kepergian Denbagus Amongraga, Denayu Tambangraras tidak perduli dengan dirinya. Tidak mau mandi dan bersalin busana. Tidak mau merias wajah dan melulur tubuh langsatnya. Tidak mau makan dan minum. Hari-harinya hanya dihabiskan untuk menderas al-Quran, shalat, dan berdzikir.
Betapa iba aku pada Denayu Tambangraras. Perempuan yang tidak pernah lepas dari busana serba putih. Selembar kain yang hanya dibalutkan pada tubuh kurus keringnya. Perempuan yang hanya keluar dari tempat peraduan bila ingin berwudlu dan buang air besar dan kecil di pakiwan.
Di satu sisi, aku iba pada Denayu Tambangraras. Di sisi lain, aku jengkel pada Denbagus Amongraga yang pergi tanpa alasan. Apakah kepergiannya karena ingin meninggalkan Denayu Tambangraras? Apakah karena ingin mencari kedua adiknya yang tidak diketahui di mana rimbanya? Apakah ingin mencari jati diri? Semua masih teka-teki.
“centhini…” Denayu Tambangraras yang terpekur di ranjang sontak memecah lamunanku, “Apa yang tengah kamu pikirkan?”
“Ehm…”
“”Tidak perlu kamu pikirkan Centhini!” pinta Denayu Tambangraras. “Aku menerima semua ini.”
“Apa alasan Denayu menerima perlaku tidak adil dari Syekh Amongraga? Kekupu liar yang bergegas meninggalkan mawar layu, sudah dicecap sari madunya.”
“Barangkali sudah menjadi takdir.” Wajah Denayu Tambangraras serupa bulan terlindungi tirai awan tipis. “Karenanya, tidak ada alasan mengapa aku harus menerima semua ini.”
Jawaban Denayu Tambangraras membuatkan kecewa. Karena semasih kanak, aku selalu diajarkan untuk memberikan alasan atas segala yang diterima. Semua benda yang bergerak di muka bumi pun selalu hadir dengan alasan. Bahkan, Ki Bayi Panurta selalu menuntut agar segala sesuatu yang dilakukan berpijak pada alasan dan kepastian tujuan. Inilah pengetahuan yang berharga bagi manusia, agar senantiasa waspada terhadap segala sesuatunya.
Namun sesudah dewasa, aku justeru tidak diperbolehkan untuk menanyakan mengapa segala sesuatu harus diterima tanpa alasan. Sungguh menyebalkan!. Terlebih saat menyaksikan kepedihan Denayu Tambangraras yang harus menerima perlakuan tidak adil dari Denbagus Amongraga.
Stop sampai di sini.
Saya hanya ambilkan contoh kasusnya pada contoh di atas, karena pada hampir semua bagiannya, teknik copy paste dan pengubhannya sama persis.
Gangsar R. Hayuaji hanya mengcopy paste dari file Sunardian Wirodono, untuk kemudian dia tambahkan ini dan itu, diselipin kata lain, diubah sedikit kalimatnya. Namun struktur logika, idiomatika, dan beberapa penyebutan sama persis.
Memang tidak seratu persen copy-paste, namun itu tetap merupakan kerja pencurian. Bekerja di atas keringat penulis lain, untuk kemudian ditambah sana-sini-situ.
Penyebutan Denayu Tambangraras, adalah orisinal dari saya karena tidak ada penyebutan itu pada teks asli, yang ini juga dipakai oleh Gangsar, namun ia keliru ketika menyebut Syekh Amongraga dengan sebutan padanan denayu yakni Denbagus Amongraga, karena ia sudah beristeri dan bahkan disebut syekh (karena itu, saya tak pernah menyebut Denbagus Amongraga).
Semuanya, benar-benar sama persis sis dari awal sampai akhir. Jika SW memulai dengan pengantar berupa ihtisar perjalanan Syekh Amongraga, maka Gangsar langsung mengcopy paste bab satu sebagai pembuka. Dari copy paste tersebut, barulah ia edit di sana-sini-situ, tetapi sekali lagi dengan struktur kalimat dan logika yang sama persis dengan apa yang sudah ditulis oleh SW.
Yang paling dan sangat menyedihkan, pengutipan teks asli dari Serat Centhini dan juga terjemahannya, sama persis dengan apa yang ditulis oleh SW (Halaman 74-75-76-77) Pleg sama. Hanya pintarnya Gangsar, file bab satu SW, dipecah menjadi dua bab. Namun satu sama lain urutannya persis. Pola itu, dipakai untuk bab-bab berikutnya. Ada pula teknik lain, bagian dari teks narasi dicopy paste untuk kemudian dijadikan footnote (lihat C2PC halaman 298-299) total sebanyak 40 baris sama persis.
Untuk diketahui, teks naskah SW yang ada pada pihak DP adalah Bab Pembuka, Bab 1, 2, 3, serta Bab Terakhir (total semua lima file naskah, dari 12 file naskah yang direncanakan, atau) dari seluruh 10 bab yang direncanakan (tidak termasuk Prolog Bab Pembuka dan Epilog Bab Terakhir). Artinya, pada bab 4-5-6-7-8-9-10 sama sekali belum terjamah meski sudah diberikan strukturnya. Tapi untuk diingatkan, dari 4 bab yang sudah ditulis SW itu, semuanya dipakai oleh Gangsar dengan cara dipecah satu bab menjadi dua bab, dan seterusnya dengan teknik menyisipkan satu dua kata atau sedikit diubah kalimatnya. Dari 4 bab itu menjadi bahan baku (atau total sekitar 63,78%) bagi penulisan novel itu.
Ada yang dengan teknik copy paste, namun dihilang beberapa aliea, untuk kemudian masuk pada aliea berikutnya, tapi tetap dari milik SW. Misal sehabis mengutip Serat Centhini (C2PC hal 101-103) kemudian disambung hal 104 dengan alinea pembuka:
“Gemerosak dedaunan bercumbuan dengan angin malam. Bergoyangan ke kiri dan kanan. Di dalam ruang peraduan Ki jayengraga, Endhuk yang merasakan selangkangannya sakit menangis tanpa suara. “Ampuni aku, apa yang tengah tuan lakukan padaku?”
adalah sama persis dengan file SW dengan urutan setelah kutipan tembang, ada 10 aliena yang dihapus, langsung ke (kutipan dari file SW):
“Gemerosak daunan, bercumbuan dengan angin malam. Bergoyangan kekiri, ke kanan. Ke kiri. Ke kanan.
Tiba-tiba tubuh Endhuk terasa panas. Betisnya terasa basah, dan lekat. Ia menjerit kaget. Tubuhnya menggigil, dan tiba-tiba lunglai tiada daya.
“Apakah ini ayah, kenapa di selangkanganku ini, trasa basah dan lekat? Seperti air kencing tetapi ini kental sekali,...” Endhuk bertanya-tanya penuh kecemasan. (SW. Bab 2, halaman 12-13).
Apakah bedanya? Beberapa pengubahan yang dilakukan Gangsar, missal penyebutan Ayah menjadi Tuan, menunjukkan penulis tersebut sama sekali tidak menguasai dan membaca Serat Centhini asli. Ia hanya berdasar pada teks yang ditulis SW. Apalagi, dalam C2PC juga dikutipkan syair dari “Serat Nirartha”terjemahan Prof Dr. Poerbatjaraka, sungguh sama sekali mengacaukan logika waktu Serat Centhini (dengan alasan apapun interpretasi kreatifnya).
Atau pada akhir bab 10 C2PC Gangsar hal 162-164, yang pola penuturan, struktur logika dan pengutipan teks asli Serat Centhini, bahkan juga terjemahannya, sama persis dengan yang ditulis oleh SW (teks asli SW tentang hal itu pada Bab 3: Keajaiban di Wanataka, untuk membuktikan tanggal penulis, system meta data computer bisa menjelaskan dan bukan rekayasa apalagi ada tanggal pengiriman file tersebut via email ke DP yang tidak bisa dihapus, tulisan SW dibuat pada meta data terakhir 1 Desember 2009).
Dalam forum yang tepat, saya (SW) bersedia menyodorkan fakta-fakta itu lebih rinci, karena jumlah copy paste itu hampir menyeluruh. Yang membedakan hanya dipecah-pecah, beberapa alinea dihilang, disisiplin kata baru tapi tidak mengubah struktur kalimat dan logika, strutur urutannya sama persis.
Bagi saya, Centhini 2: Perjalanan Cinta yang didaku sebagai tulisan Gangsar R. Hayuaji itu, sama sekali tidak berangkat dari Serat Centhini aslinya, tetapi berangkat dari teks yang dibuat oleh SW. Bahkan, pada referensi yang ditulisnya, sama persis dengan apa yang dituliskan oleh SW, hanya ditambahi beberapa judul buku. Lumayan untuk gagah-gagahan. Penulisan footnote pun, meniru pola SW, bahkan (dan sekali lagi) yang paling menyedihkan, terjemahan Serat Centhini yang dilakukan dengan susah payah oleh SW di copy paste begitu saja, semuanya (kecuali halaman 377 dst). Model ini celakanya, ia terjebak pada pola penggubahan dan idiomatika yang dikembangkan SW, tanpa mengerti aslinya bagaimana. Misal penyebutan nama, tempat, pengadeganan. Penyebutan Denbagus Amongraga, yang salah secara teks tersebut tentu karena terjebak mengikuti pengembangan idiom SW untuk Denayu Tambangraras. Demikian juga penyebutan “ayah” menjadi “tuan” oleh Gangsar misalnya, karena teks asli memang si Endhuk diminta menyebut Ki Jayengraga sebagai “ayah”, bukan tuan! Dan seterusnya.
Apakah kesimpulannya?
Apakah itu semua terjadi, karena DP merasa telah membayar pada SW, dan sama sekali tanpa kontrak kerja tertulis, hingga menganggap teks SW sudah sah milik DP, untuk kemudian boleh dipakai siapa saja dengan mendaku sebagai tulisannya? Padahal, persoalan yang terjadi antara DP dengan SW juga sama sekali belum diselesaikan secara baik-baik, belum ada kata putus?
Namun, sekali lagi, apakah cukup alasan kemudian, Sri Wintala Achmad dengan memakai nama gangsar R. Hayuaji mendaku teks-teks dalam novel C2PC sebagai karyanya, padahal jelas-jelas sebagian besar adalah bukan tulisannya, melainkan tulisan SW yang sudah dipegang oleh DP, dan itu diakui oleh penulis sendiri di halaman 418, sebagai bagian dari “bahan bacaan”? Bukankah artinya tidak ada alasan mengelak tidak tahu dan sebagainya, jika bukan hanya kalimat per kalimat, melainkan titik koma, suku kata dan idiomnya sama persis dengan yang ditulis SW? dalam meta-data file-file SW bertiti mangsa Maret-November 2009/Maret 2010, sementara dalam C2PC tulisan Gangsar bertanggal Mei 2010! Setidaknya tenggang waktu dua bulan.
Lantas, apa yang kemudian mesti dilakukan atas hal ini? Sesungguhnya, atas nama UUHC, saya bisa menuntut saudara Sri Wintala Achmad selaku pemegang nama Gangsar R Hayuaji, yang mengklaim bahwa novel “Centhini 2 : Perjalanan Cinta” adalah karya tulis orisinalnya, atas bukti-bukti yang saya beberkan tersebut. Setidaknya minimal bisa menuntut Rp 500 juta, yang tentu lumayan bisa untuk mencetak sendiri novel saya dan dibagikan gratis.
Namun, sebagai sesama penulis, dan saya berharap Sri Wintala Achmad kelak tumbuh menjadi penulis yang baik, saya hanya menunggu pengakuan dia, bahwa yang dia lakukan bukanlah tindakan yang patut dilakukan oleh mereka yang bekerja di lapangan kreatif. Apalagi ketika di cover buku tersebut disebutkan bahwa novel tersebut penuh ajaran luhur dan sejenisnya.
Saya, Sunardian Wirodono, menunggu saudara Sri Wintala Achmad, di forum mana pun hendak diadakan.
Bagi saya, apa yang dilakukan Sri Wintala Achmad sebagai penulis, sangatlah menyedihkan. Karya kebudayaan yang besar, ternyata hanya disikapi secara lemah karena imbalan honorarium, namun tanpa perilaku kreatif yang memadai. Apalagi jika membaca pengantar penulis yang luar biasa panjang (dari hal 7 s.d 57, yang ditulis bertanda Cilacap-Yogyakarta, Mei 2010), terlihat lebih banyak copy-paste tulisan-tulisan mengenai Centhini yang bisa di-downdload dengan mudah dari internet
Innalillahi wa inna illahi roji’un.
Yogyakarta, 13 Oktober 2010
Sunardian Wirodono
Langganan:
Postingan (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...