Senin, Desember 21, 2009
SEMINAR : Ratu Kidul, Mitos yang Tak Akan Hilang
Kompas, Senin, 21 Desember 2009 | Ardus M Sawega
”Tadi terjadi pertempuran alus. Banyak kelompok orang yang ingin gagalkan acara. Ratu menangis lihat perbuatan mereka. Dia juga terharu karena melihat besarnya animo orang untuk ikut seminar.”
Pesan singkat lewat ponsel itu dikirimkan oleh MT Arifin, satu jam seusai seminar ”Membongkar Mitos Ratu Kidul” di Balai Soedjatmoko, Solo, Kamis (17/12). Di seminar itu, dia menjadi salah seorang pembicaranya. Dari pesan singkat MT Arifin itu, seolah benar-benar telah terjadi ”pertempuran” di dunia gaib di tengah seminar.
Padahal, faktanya, tidak ada yang aneh selama seminar yang dipadati sekitar 200 peserta yang datang dari sejumlah kota. Tak ada bau semerbak mewangi, dupa, atau kemenyan selama berlangsung seminar yang makan waktu hampir lima jam ini.
Lho, apakah Ratu Kidul bukan hanya sosok dongeng yang hidup di dunia mitos? Lebih absurd karena dalam pesan dari MT itu disebut kata ”Ratu”—maksudnya adalah Ratu Kidul. Di sana seolah-olah dia ini adalah ”seseorang”, perempuan lumrah yang nyata, bisa disentuh, atau digamit.
Apakah pesan singkat di atas masuk di akal? Apakah MT—panggilan akrab MT Arifin (54)—tidak sedang bercanda atau jangan-jangan ngelindur? Dengan nada sungguh-sungguh MT mengaku, dirinya membuat penelitian secara intensif sejak 2001 tentang Ratu Kidul, dengan metodologi yang dia sebut sesuai kaidah-kaidah keilmuan.
Seminar yang menghadirkan MT Arifin, I Sutardjo, dan Prof Soehardi dari UGM Yogyakarta ini, menurut panitia, memang hendak ”membongkar” mitos seputar Ratu Kidul. Maksudnya, fenomena Ratu Kidul (selanjutnya disingkat RK), yang selama berabad-abad hanya sebatas sebagai mitos yang cenderung negatif dan ”membelenggu” masyarakat Jawa itu, coba didekati secara rasional.
Revitalisasi mitos
Mitos Ratu Kidul adalah fenomena paling populer di masyarakat Jawa, tetapi kurang terungkap secara terbuka karena mitos itu mengandung kontroversi.
Prof Soehardi, mengutip Babad Tanah Jawi, menyebut mitos tentang RK sudah ada jauh sebelum Mataram. Kemudian di-”revitalisasi” oleh Ki Juru Martani bersama Ki Ageng Pemanahan untuk ”mengorbitkan” Danang Sutawijaya menjadi penguasa baru di Mataram (akhir abad ke-16). Sutawijaya yang kemudian menjadi Panembahan Senapati dimitoskan mendapat dukungan Kanjeng Ratu Kidul berupa balatentara lelembut saat mengalahkan pasukan Pajang di Prambanan.
Semenjak itu, mitos RK dikaitkan dengan para Raja Mataram untuk mengukuhkan kekuasaan. ”Mitos Ratu Kidul bukan sebatas kepercayaan takhayul semata, melainkan perlu dipahami sebagai kearifan lokal,” kata Soehardi.
Menyinggung RK, I Sutardjo, mantan pengajar pada Jurusan Sastra Indonesia di UNS Solo, mengungkapkan, pengalaman metafisiknya ketika menghadirkan ”roh” Ragil Suwarna Pragolapati, seorang penyair dan wartawan harian Kedaulatan Rakyat yang dikabarkan ”raib” di pantai Parangtritis pada tahun 1980-an, lewat seorang medium.
Dalam wawancara yang sengaja dia rekam itu, Ragil mengungkapkan keinginannya untuk bertemu RK. Ia bermeditasi duduk di atas batu gilang yang digunakan oleh Panembahan Senapati saat bertemu RK. Kemudian terjadi angin ribut dan mendadak ia menyadari dirinya telah kehilangan raga wadaknya. Nasib Ragil yang tetap raib sampai hari ini menambah daftar panjang cerita misterius yang menimpa warga masyarakat dikaitkan dengan mitos RK.
Bagaimanakah sesungguhnya Ratu Kidul?
Sejauh penelitian empiris yang dilakukan MT, RK bukanlah sosok ratu siluman yang menyeramkan dan kejam karena suka mencabut nyawa orang dan menenggelamkan mereka di Laut Selatan, sebagaimana berita yang kerap terdengar di sekitar pantai selatan Pulau Jawa—dari Ujung Kulon di Banten hingga Banyuwangi di Jawa Timur.
”Ratu Kidul tidak seperti yang dicitrakan banyak orang. Ratu sering merasa sedih oleh anggapan masyarakat yang menuduhnya sebagai biang segala malapetaka. Tetapi, kesalnya, dia tidak bisa begitu saja membantahnya. Beberapa kejadian memang semata-mata karena musibah atau kecelakaan dan kehendak alam, tetapi beberapa yang lain karena ulah yang dilakukan oleh ’orang-orang’ di sekitarnya,” ujar MT.
Apakah keterangan MT memiliki ”kebenaran” yang bisa dipertanggungjawabkan? ”Bagi saya,” ujar MT, ”seorang ilmuwan itu bisa saja salah, tetapi dia tidak boleh berbohong. Sekali seorang ilmuwan berbohong, menurut saya, itu fatal.”
MT menguraikan secara panjang lebar berbagai konsepsi, serta teori tentang RK yang didasarkan data, baik yang dia kutip dari sumber resmi tekstual yang pernah ditulis orang tentang RK maupun pendalamannya berupa cek silang ke sumber-sumber lain. Sumber teks dia kutip dari Serat Kandhaning Ringgit Purwa (abad ke-16), Kitab Manikmaya (abad ke-17), Babad Tanah Jawi (abad ke-18), Serat Centhini (abad ke-19).
MT menjelaskan, selama ini masyarakat salah kaprah mengidentifikasi RK. Menurut dia, nama ”Ratu Kidul” sesungguhnya tidak dikenal di Kerajaan Kidul. Adapun mitos semua raja Mataram (Jawa) ”kawin” dengan RK karena kesepakatan sejak Panembahan Senapati, menurut dia, secara teori terbukti tidak benar.
Sumber-sumber teks itu pun mengungkapkan teori yang berbeda satu sama lain tentang penguasa Laut Selatan. Misalnya, teori ”satu ratu” atau teori ”banyak ratu” untuk RK. Satu ratu artinya hanya ada satu RK untuk sepanjang masa (abadi). Adapun banyak ratu berarti yang menduduki jabatan sebagai RK itu ”orang”-nya berganti- ganti.
Masih menurut MT, RK adalah posisi Ratu atau permaisuri Raja Kidul (lelaki), sedangkan ”orang”-nya berganti-ganti. Adapun para mantan ”Ratu Kidul” yang sudah lengser sebagai Ratu Kidul masih memiliki status khusus, tetap berwibawa dan dihormati; di samping posisi-posisi lain yang dipegang oleh sejumlah perempuan cantik.
Pernah jadi Ratu Kidul
Nama-nama mereka yang pernah menjadi RK itu adalah Dewi Angin-angin, Ratu Ayu, Ratu Andarawati, Ratu Kencanasari, dan Ratu Mayangsari. Masing-masing digambarkan asal-usulnya, ciri-ciri fisik; tinggi tubuh, kecantikan parasnya, bentuk mata, warna kulit, postur, hingga panjang rambutnya. Begitu pula tentang busana kegemarannya, watak, kebiasaan dan perilaku masing-masing.
Betapa pun ”riil” dan gamblangnya penggambaran MT tentang RK, agaknya RK akan tetap berada di ranah mitos. Ranah yang selalu menimbulkan rasa ingin tahu: antara ingin membuktikan tetapi sekaligus menyadari batas keberanian— atau sesungguhnya itulah iman?
Menurut I Sutardjo, mitos tentang RK mustahil bisa ”dihapus” karena alasan pembangunan (modernisasi) atau kemajuan globalisasi. Dari pandangan idiosinkretisme dan kebudayaan, mitos RK selayaknya mendapat tempat. ”Sebagai ideologi kebudayaan, mitos Ratu Kidul sampai kapan pun tidak akan hilang,” ujarnya menegaskan.
Langganan:
Postingan (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...