Rabu, Maret 25, 2009
Bab 18 Versi Lengkap Syair Panjang Aceh
Pengantar:
Novel Politik Syair Panjang Aceh (Syahie Panyang Aceh), baru saja diterbitkan oleh Diva Press Yogyakarta (Maret, 2009, keterangan lebih lanjut bisa dilihat dalam www.divapress-online.com, harga buku Rp 45.000,00), salah satu bagiannya adalah bab 18, yang dalam versi lengkapnya, tanpa sensor, adalah sebagaimana dikutip dibawah ini, khususnya mengenai data dan fakta kekerasan di Aceh.
BAB 18
BAGAI SEDANG MENYAKSIKAN SEBUAH FILM, ADEGAN ITU silih berganti, berebut untuk disaksikan.
Meskipun pasukan militer non-organik sudah ditarik dari Aceh, seperti yang diinstruksikan Pangab Jenderal Wiranto tanggal 7 Agustus 1998, tidak serta-merta dapat menghilangkan luka dan duka yang pernah mereka torehkan selama beroperasi. Penderitaan fisik, mental dan intelektual banyak di alami masyarakat Aceh. Hal yang sulit dilakukan adalah memulihkan kondisi traumatis masyarakat Aceh yang telah menciptakan neurosa psikologis bagi sebagian besar masyarakat Aceh.
Berkait Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), sedikitnya ada 30 model penyiksaan yang sudah terdata. Di antaranya, ada korban yang digorok hingga putus, lalu kepalanya dibawa aparat keamanan dengan dipertontonkan di desa asal korban. Selain itu, ada yang ditembak di sumur, diganduli batu ke tubuh lalu di buang ke sungai, penyetruman alat vital korban pada saat interogasi, botol yang dimasukkan ke kemaluan wanita, torehan luka yang ditetesi jeruk nipis dan sebagainya.
Selain itu, banyak muncul kasus orang hilang maupun yang mati tak wajar, yang bisa dikatagorikan ke dalam tiga kelompok. Pertama, besar kemungkinan terlibat GPK, yang sesungguhnya GAM itu diciptakan elit politik di jajaran militer yang gemar merekayasa keadaan. Kedua, hanya simpatisan, merasa kasihan pada korban, ataupun benci pada penculik yang bertindak semena-mena. Ketiga, adalah korban fitnah.
Tapi pada semua kasus itu, terjadi pelanggaran HAM. Baik dari proses penangkapan, penyiksaan, maupun hukuman tembak, yang tak melalui proses pengadilan. Dan, masyarakat sekarang sudah mengerti. Karena kesadaran hukum terus meningkat.
Dari kasus-kasus yang tercatat di DPRD Pidie, sekitar 20 persen korban penganiayaan berat, masih hidup dan siap memberi kesaksian. Mereka umumnya sangat mengenali para penyiksaannya. Di bawah ini akan dipaparkan beberapa kasus kekerasan yang terjadi.
Dari 680 kasus orang hilang yang tindak kekerasan plus pemerkosaan yang berhasil dihimpun Forum Peduli Hak Asasi Manusia (FP-HAM), setelah diklarifikasi terdapat sedikitnya 30 kasus yang berkualifikasi supersadistis.
Sebagaimana aksi kebiadaban tentara sekuler mana pun di dunia ini –seperti yang dilakukan tentara Nazi pada Perang Dunia II, tentara Serbia terhadap etnis Bosnia dan Albania– korban sipil biasanya ditelanjangi dan diperkosa secara bergiliran di antara tentara-tentara yang gagah, hingga pada model penyiksaan dan penindasan seperti laki-laki sipil dilarang untuk bersikap religius dalam menghadapi kematiannya. Pelecehan agama cukup banyak terjadi dalam peristiwa DOM Aceh. Kisah Bosnia berulang lagi atau terjadi bersamaan dengan apa yang dialami di Aceh. Umat Islam di Indonesia bahkan yang di Aceh sendiri, ironisnya, lebih peduli dengan nasib yang dialami Muslim Bosnia ketimbang yang dialami oleh umat Islam di Aceh, wilayah sendiri.
Bagaimana mungkin? Karena ketakutan pada rezim Soeharto yang melebihi teroris itu. Rasa takut yang luar biasa di kalangan umat Islam Indonesia, dan itu lebih dari cukup untuk membuatnya bungkam.
Lihatlah bagimana cara-cara mereka menyiksa umat Islam di Aceh berikut ini, sebagian di antaranya:
1. Digorok dan Rumah Korban Dibakar. Kejadian ini menimpa korban, M. Jalil, 40 tahun. Warga Desa Maneh, Kecamatan Geumpang, Pidie yang oleh aparat diduga terlibat GPK. Ia disudahi di Alue Bayuen, Aceh Timur, sekitar 250 km dari desanya, di suatu hari di tahun 1990. Menurut pengakuan istri korban, Saodah Aleh (41) ibu dari lima orang anak, suaminya itu sedang mendulang emas di Alue Bayuen ketika dibantai petugas. Lalu kepalanya dibawa pulang oleh aparat ke kampung asalnya, Desa Maneh, Pidie. Sedangkan tubuh korban ditinggalkan di TKP. Kedatangan aparat ke rumahnya, dengan membawa kepala suaminya –disaksikan oleh banyak penduduk desa Maneh– ternyata belum membuat derita Saodah berakhir. Sebab, setelah kepala suaminya diserahkan, giliran rumahnya dibakar. Saodah dan keluarganya juga dianiaya.
2. Rumah Dibakar, Tak Diganti Rugi. Teuku Nurdin, 70 tahun, benar-benar mengalami nasib sial yang berkelanjutan. Warga Ulee Reubek Barat, Seunuddon, Aceh Utara ini pada 27 Juli 1990 didatangi lima anggota GPK di rumahnya untuk minta makan sekaligus istirahat. Kalau tak diperkenalkan, ia diancam akan dibunuh di bawah todongan senapan. Tak lama kemudian, terdengar bunyi senjata dari pihak ABRI yang mengetahui kedatangan GPK ke rumah Teuku Nurdin. Maka, terjadilah kontak senjata antara pihak ABRI dengan GPK. Tuan rumah, seperti dikisahkan Hasan (30), anak korban, lari meninggalkan ajang pertempuran itu. Dari saksi mata (tetangga) mereka kemudian tahu bahwa rumah tersebut dibakar, dibantu oleh sejumlah masyarakat yang dipaksa oleh aparat. Sedangkan GPK melarikan diri. Sebelum dibakar, barang-barang milik Nurdin, senilai Rp3 juta diambil aparat. Esoknya, semua masyarakat setempat dikumpulkan untuk ditanyai, siapa pemilik rumah yang dibakar tersebut. Ternyata pemiliknya adalah Nurdin, yang kemudian Nurdin melarikan diri ke Blang Geulumpang, ke rumah famili. Setelah 20 hari baru ia kembali. Saat itu, Danramil setempat berjanji akan mengganti rugi rumah yang dibakar itu. Tapi, janji tersebut tak pernah diujudkan.
3. Diikat, Ditarik Ramai-ramai, lalu di-dor. Syech Asnawi Yahya (32), sarjana FKIP Jabal Ghafur, Sigli. Sebagai keuchik (kepala kampung/desa) di Blang Kulam, Kecamatan Batee, ia tak mau warganya disiksa oleh aparat atau diculik dengan dalih ikut operasi. Tapi, karena sering adu argumen dengan aparat mengenai masalah itu, ayah dua anak itu pun diambil petugas pada suatu hari di tahun 1991. lalu dibawa ke jembatan Delima, Pidie. Lehernya dipasangi tali, lalu beberapa warga disuruh menarik tali tersebut. Dalam situasi begitu, petugas menembakkan peluru ke tubuhnya. Syech Asnawi Yahya pun tewas di tempat. Mayat Syech Asnawi Yahya itu baru boleh diambil keesokannya oleh ibunya.
4. Diganduli batu, lalu dibenam ke Sungai. Sulaiman Ali (40), tidak menduga dirinya akan mati dengan cara yang mengenaskan. Warga Ulee Ruebek Seunuddon, Aceh Utara, ini disiksa di Mata Anoe, yang tak jauh dari desanya pada suatu hari pada tahun 1990. menurut adik kandung korban Teungku Nurdin Ali, abangnya itu diambil petugas selagi berkerja ditambak udang. Setelah itu ia diboyong ke Kantor Koramil setempat, kemudian diangkut ke Lhoksukon. Di kedua tempat ini ia disiksa dengan popor senapan mesin. Namun, karena masih bernyawa akhirnya ditubuhnya diganduli batu sebagai pemberat, ditenggelamkan di Sungai Sampoiniet, Aceh Utara. Dua hari kemudian, tubuhnya timbul kepermukaan dan dibawa masyarakat ke Masjid Raya Sampoinet, untuk dimandikan dan dikafankan.
5. Ajimat Dicabut dan Disiksa. Ishak Raja Bayan (55) mengalami siksaan pada bulan Maret 1990 di desanya, Matang Anoh, Seunoddon, Aceh Utara. Pagi hari yang naas itu ia bermaksud ke tambak untuk mengambil gajinya yang akan dibagikan pagi itu. Sewaktu pulang ia hadang oleh dua anggota Yonif 125 dan dibawa ke Koramil Seunoddon. Ia kemudian disiksa dan ditembak. Tapi, ternyata ia kebal. Lalu ajimatnya berupa cincin dicabut paksa. Setelah itu ia disiksa sampai memar dan lunglai. Ia kemudian disuruh pulang tanpa tahu apa sebab ia dikasari begitu.
6. Ditembak, kemudian kuburannya dibongkar. Walau Zainuddin (27) sudah jadi mayat, namun ia masih mengalami penderitaan. Peristiwa yang dialami Zainuddin tersebut terjadi pada bulan Agustus tahun 1991. warga Ulee Reubek, Seunuddon, Aceh Utara ini berangkat dari Bireuen menuju Pantolabu (Aceh Utara) pukul 01.00 dinihari. Para peronda malam menangkapnya setiba di Pos Cempedak, Jambo Aye. Karena tak merasa bersalah, ia melawan dan sempat dipukuli. Lalu, para peronda menggelandangnya ke Meunasah Cempedak. Sebagian yang lainnya memanggil polisi. Kemudian polisi datang, tapi korban melawan. Karena tampak garang, para peronda lalu memanggil anggota Kopassus di Alue Billi. Saat itu korban lari ke kebun. Anggota Kopassus langsung menembaknya secara membabi buta. Korban jatuh terkapar dengan tubuh yang bersimbah darah. Mayatnya dilemparkan ke parit di dekat balai pasar Ulee Reubek Timur, sekitar pukul 03.00 dinihari. Kemudian, masyarakat mengambil dan mengebumikan mayat tersebut. Esoknya, pukul 11.00 WIB kesatuan ABRI dari Korem lhokseumawe datang ke TKP ingin mengambil foto korban. Tapi, karena terlanjur dikubur warga, diperintahkan untuk dibongkar kembali. Setelah memfotonya, mereka pulang, dan warga mengubur Zainuddin kembali.
7. Penculikan akibat fitnah. Laporan orang hilang hingga 13 Juli 1998, mencapai 137 kasus. Sebagian kasus diduga kuat akibat fitnah antar masyarakat, fitnah politik, atau salah informasi, bahkan ada aparat yang sengaja menyalah-gunakan wewenang dengan memanfaatkan kasus DOM. Tak terkecuali fitnah terhadap lawan politik. Terutama menjelang Pemilu tahun 1997.
8. Ditembak di depan umum. Imuen Sulaiman (40), mengalami hal tak kalah sadisnya. Warga Lueng Dua, Simpang Ulim, Aceh Timur ini mengalami nahas di tahun 1990. Saat itu, seperti dikisahkan adiknya, M. Daud yang melapor ke Peduli HAM, abangnya yang meninggalkan enam anak itu diambil petugas sewaktu kenduri di rumah keuchik setempat. Lalu dibawa ke pos Lueng Peut. Diinterogasi dan dipukuli bertubi-tubi. Setelah itu, korban dibawa kelapangan sepak bola. Dipukuli dan dipertotonkan kepada warga. Lalu, ia ditembak disaksikan ratusan warga sebanyak dua kali. Tembakan pertama pada kepalanya, dan tembakan kedua di bahu kirinya. Setelah roboh, petugas berlalu.
9. Dijadikan tameng saat bertempur lawan GPK. Teungku Rahman Ali (70), warga Cot Baroh, Glumpang Tiga, Pidie, pada 1996 dibawa ke Pos Sattis Billie Aron, Rumoh Geudong. Ia ditembak lalu diobati. Tapi kemudian, disiksa lagi dan dibawa ikut operasi, untuk ditempatkan di barisan depan, sebagai tameng tentara, saat menghadapi serangan atau menyerang GPK.
10. Tangan dibedah, ditetesi air cuka. Rosli (25), warga Bola Mas Tanah Jambo Aye, Aceh Utara. Menurut ayah korban, Samidan Ali, yang melapor ke Peduli HAM, anaknya pada suatu hari di bulan Agustus 1991, pulang dari unit VI tempat dia bertani, ke rumah mereka di unit III. Dalam perjalanan itu, dia ditangkap petugas keamanan. Selama tiga bulan tidak pulang-pulang ke rumah istrinya. Setelah mencari ke sana-kemari, memasuki bulan keempat, pelapor mencari anaknya itu ke Pos Bola Mas unit III. Di tempat itu, ia temukan Rosli, sedang bekerja paksa sebagai tukang masak. Setelah didesak Samidan, akhirnya anaknya dikembalikan. Tapi, menurut pengakuan Rosli kemudian, begitu ia ditangkap kedua matanya ditutup dengan kedua belah tangan diikat. Kepada petugas dia mengaku akan pulang ke rumah, menemui istri dan mertuanya untuk mengabarkan bahwa lahan sawah mereka yang digarap selama ini sudah siap tanam. Tapi, penjelasannya itu tak digubris petugas yang justru menudingnya menanam senjata di suatu tempat. Karena tak bisa menunjukan tempat senjata itu, ia dipukuli dan ditendang. Sampai pada gilirannya, “Telapak tangan saya dibelah, lalu diperaskan air jeruk kecelah luka itu. Perihnya tak terbayangkan,” ujar Rosli sebagaimana ditirukan ayahnya. Setelah siksaan itu ia lewati, Rosli tak diperkenankan pulang ke rumah, melainkan dikaryakan sebagai tukang masak di pos keamanan.
11. Digantung. Penganiyaan yang dialami M Adam Puteh (55), penduduk Meunasah Cot Tunong, Simpang Tiga, yang diungkapkan kepada DPRD Pidiei. Pada tahun 1991, ia pernah digantung kepala di bawah, kemudian dipukul dengan kayu, ditendang dengan sepatu tentara. “Saya sudah ditahan, tapi tidak bisa melawan,” kata M. Adam yang juga hadir pada pertemuan dengan TPF DPR RI di Sigli. Selain itu, menurut pengakuannya, ke dalam mulutnya juga pernah dimasukan moncong senjata. Sampai menusuk ke tenggorokan dan berdarah. Seumur-umur ia mengaku tak pernah merasakan siksaan sedemikian parah itu. Menurutnya, penyebab ia ditangkap oleh oknum aparat itu hanya karena ia telah memotong buluh/bambu lemang. “Mereka menyangka saya akan membuat lemang untuk makan GPK. Karena di tempat itu memang tidak ada yang berani datang,” kata M Adam. Padahal, katanya, rumpun buluh itu sudah dibelinya dari Keuchik Saman dan akan dipotong untuk dijual kepasar.
12. Penyiksaan massal. Jumlah pelapor kasus orang hilang maupun tindak kekerasan di Pidie sampai 30 Juli 1998, mencapai 629 kasus. Angka ini merupakan gabungan antara laporan yang dicatat di DPRD Pidie (524 kasus) dan yang dicatat oleh para relawan dari FP-HAM (105 kasus). Kasus-kasus penyiksaan –baik yang disiksa, diperkosa, maupun ditembak atau dibunuh tapi tidak mati– semakin terungkap. Korban-korban penyiksaan kian berani memberi kesaksiannya. Bahkan di satu desa, Blang Iboih, Langgien, Bandar Baru, Pidie, sedikitnya, 30 warga, (separuh jumlah penduduk desa itu) telah diangkut serentak oleh oknum dan dibawa ke pos Sattis terdekat pada 1991. Di situ, mereka diperiksa sekaligus dianiaya, untuk mencari tahu keterkaitan mereka dengan GPK.
13. Kepala dikuliti di depan anak. M. Yusuf (12), bocah Desa Buloh Blangara, Lhokseumawe, yang masih mengenakan pakaian sekolah SD, menceritakan penculikan dan penganiayaan terhadap ayahnya, M. Jakfar, di rumah mereka, Desa Buloh Blangara, kecamatan kuta Makmur, Aceh Utara, tahun 1992. “Ayah saya diambil oleh tentara. Ayah dipukul, disepak, dan dihantam dengan bedil dikepala sampai kulit kepalanya koyak. Dia ditarik ke belakang, kemudian dilempar ke mobil. Usia saya baru enam tahun. Awalnya, malam itu saya bersama kedua orangtua sedang makan di rumah. Pintu depan diketuk dan setelah dibuka oleh ayah, langsung empat orang bersenjata (tentara) meninju dan menendangnya. Juga memukul ayah dengan popor senjata di kepala korban berkali-kali hingga kulit kepalanya sobek. Belum puas, dengan ganas penculik ayah mendekat dan menyobek kulit kepalanya. Ayah waktu itu terjatuh, dan kemudian penculik itu menginjak-injaknya. Dalam keadaan tak berdaya begitu, ayah masih dipukul, hingga kemudian diseret dan dilempar ke dalam mobil (tidak tahu jenis mobil itu). Saya dan emak hanya menangis dan ketakutan sekali. Ayah saya dibantai sekelompok tentara,...”
14. Ditembak dalam sumur. Korban kebiadaban aparat yang didor di dalam sumur itu adalah Muhammad Juned (28), warga Rawa Itiek, Pantonlabu, Aceh Utara. Suami Rabiah ini, menurut istrinya kepada FP-HAM, diambil aparat keamanan pada suatu hari di tahun 1990 di Desa Matang Ruebek. Dalam kejadian itu, Juned yang tak tahu apa salahnya, dikejar oleh aparat. Kakinya tersandung, lalu jatuh terperosot ke perigi (sumur). Di perigi itulah korban didor. Air sumur yang jernih sontak berubah memerah oleh kucuran darahnya. Masih dalam keadaan bergerak, Juned diboyong aparat naik ke mobil ke Lhokseumawe. Sejak itu dan sampai sekarang korban tidak diketahui bagaimana nasibnya. Oleh FP-HAM, musibah yang menimpa Muhammad Juned ini digolongkan sebagai korban orang hilang, meski keluarganya menduga Juned sudah almarhum, cuma saja tak diketahui di mana kuburnya.
15. Sudah jadi korban, keluarganyapun menjadi korban penipuan. Menurut Kamariah (25), pada 24 April 1998, pagi hari, rumahnya di Desa Cot Baro, Glumpang Minyeuk, didatangi beberapa penculik. Mereka mengatakan bahwa di rumah itu disimpan senjata. Dua kamar di dalam rumah digali, tapi tak ditemukan. Anehnya, malah mereka membawa Khatijah, ibu Kamariah, dan sampai sekarang belum kembali. Meskipun keluarga Khatijah tahu bahwa Khatijah sudah tidak pulang beberapa lama, beberapa anggota keluarga korban berusaha untuk mencari korban yang hilang dengan cara apa pun juga. Mereka bahkan ikut jadi korban penipuan.
Kejadian resupa juga menimpa keluarga A Gani Abubakar (29), seorang pengusaha kopi bubuk kemasan di Bereunun yang diculik tahun 1991. Menurut Saudah (35), kakaknya, kedua orangtua mereka pernah memberi uang Rp 500.000 kepada Yusuf Macek yang menawarkan akan mengurus pembebasan A Gani. Uang itu, kata Yusuf, akan dibelikan perhiasan untuk istri si penculik. Tapi sampai sekarang A Gani tak kunjung pulang, dan uang itu pun tak kembali lagi.
16. Ditaruh pemberat besi dan ditenggelamkan ke sungai. Abdurrahman Ahmad (52), mengalami tindak kekerasan sepulangnya dari kebun membelah kayu di tahun 1990. Kala itu, warga Leubok Peng-peng Kecamatan Peurelak, Aceh Timur ini kepergok ABRI yang sedang menyisir pinggiran hutan. Tanpa ditanya apa-apa, Abdurrahman langsung dibawa. Enam hari kemudian, lapor Ibrahim Ali (28), anak korban, jasad ayahnya ditemukan mengapung di Sungai Peurelak. Yang sangat menyedihkan, Abdurahman Ahmad diikat hidup-hidup pada besi yang berukuran sepanjang badannya, beratnya sekitar 17 koligram. Setelah diganduli besi, kemudian dilempar ke sungai.
17. Disiksa sembilan malam, dibiarkan dalam keadaan lapar. Abdul Gani Berdan (26), warga Jiem-jiem, Bandar Baru, Pidie. Jebolan SD yang punya tiga anak, mengalami siksaan pada tanggal 11 Oktober 1992 di Pos Sattis setempat. Ketika itu, ia bersama tujuh penduduk lainnya, dijemput sore hari (15.00 WIB) oleh tiga oknum berseragam loreng. Di Pos Sattis mereka disiksa selama sembilan hari sembilan malam. Selama tiga hari korban tidak diberi makan. Perutnya perih luar biasa. Setelah itu, seperti dilaporkan Siti Aminah (29), istri korban, Abdul Gani Berdan berhasil pulang dengan keadaan yang sangat memprihatinkan.
18. Suami dibuang istri disetrum. Tahun 1996, Idris (30), tamatan SMP, dipermak di Murong Cot, Kecamatan Sakti, Pidie, pukul 07.00 WIB. Sebagian warga yang pendiam, Idris tergolong nekat. Ia diketahui menanam senjata di dekat rumahnya atas suruhan orang lain dengan imbalan uang. Karena ketahuan petugas, Idris di tangkap dan digelandang ke Lamlo. Delapan bulan ditahan, ia dibuang di Cot Panglima di Takengon, dengan tangan dan kaki terikat. Matanya ditutup. Tapi menurut pengaduan istrinya, Rosmiati (28), Idris kemudian berhasil ke luar dari Cot Panglima dan sampai rumah pada bulan Ramadhan tahun 1996. setelah itu, pulang-pergi beberapa kali. Belakangan, karena suaminya tak tertangkap, gilirin si istri dibawa ke rumah Gedong Aron. Di situ Rosmiati ditelanjangi dan dikontak, maksudnya disetrum, sampai mengeluarkan kotoran. Yang menelanjangi adalah Kopassus yang ia kenal.
19. Semua gigi dirontokkan. Teungku M. Yusuf Alibasyah, warga Blang Bunot, Bandar Baru, pada tanggal 5 Januari 1993, diambil paksa oleh dua orang petugas di Pos Sattis Jiem-jiem. Lalu dianiaya dengan cara mukanya dipukul berkali-kali sampai gigi rontok semua. Karena sulit mengunyah, lantaran tak lagi bergigi, makanan umumnya dia telan langsung. Kini, (Juli 1998), ia sakit-sakitan.
20. Cacat karena dipukul dengan balok. M Saleh Pakeh (32), warga Desa Lengkok, Sakti, pada tahun 1990 disiksa di Pos Sattis Tangse, kemudian di Pos Sattis Kota Bakti, Pidie. Ditahan 24 hari, disetrum, dan dipukul dengan balok sampai berdarah-darah. Ia bahkan pernah diobati Palang Merah Indonesia (PMI), namun kini mengalami cacat dan penuh bekas luka di badan.
21. Tulang rusuk dipatahkan. Ismail Usman (45), Cot Baroh, Glumpang Tiga, pada tahun 1992 di Pos Sattis Jiem-jiem dan Pos Sattis Kota Bakti, Pidie, dipukul dengan popor senjata balok kayu, dan benda keras lainnya hingga kini mengalami tulang rusuk patah. Dadanya sesak dan pahanya sakit.
22. Digantung kepala di bawah. Umar Ibrahim (60), Cot Baroh Glumpang Tiga, Pidie. Disiksa di Pos Sattis Jiem-jiem, Pidie, pada Juni 1994. Ia digantung dengan kepala ke bawah, lalu direndam dalam air dan tinja, serta dihujani pukulan. Ia masih bertahan hidup, mesti mengaku sangat trauma dan merasa secara fisik sudah rusak di dalam.
23. Dipaksa bersenggama dengan tahanan wanita. Penistaan seks juga dialami pemuda M. Taeb Hasan (20) di tahun 1998. Warga Blang Sukon, Bandar Baru, Pidie ini datang mengadu langsung ke Tim Investigasi FP-HAM. Ia diambil paksa dari kediamannya, lalu dibawa ke Pos Sattis Ulee Gle. Di sini ia diperiksa dan diinterogasi dengan berbagai pertanyaan yang bernada memposisikannya sebagai aktivis GPK. Karena mengaku tak tahu dan tak terlibat, Taeb dipukul dan ditelanjagi. Setelah itu ia dipaksa berbuat mesum dengan tiga wanita yang di tahan di pos tersebut. Dari sejumlah wanita janda yang juga dipaksa ditelanjangi di tempat itu, Taeb akhirnya hanya mampu melayani dua orang. Karena tak memenuhi “target” yang diingini penculiknya, Taeb akhirnya disiksa.
24. Diborgol, disiksa dan dirampas hartanya. Seorang pensiunan PNS, M. Yahya (59) penduduk Meunasah Manyang Muara Dua, mengadukan dirinya pernah diculik 12 Juni 1990. Para penculik memborgol tangannya, kemudian menyiksanya dengan bermacam cara dan jurus pukulan maut. Tidak hanya itu, malah hartanya seperti emas perhiasan istrinya, dan sepeda motor BL 7461 KB bersama buku hak miliknya, dikuras kelompok penculik.
25. Karena persoalan pribadi. Contoh kesewenang-wenangan lainnya, adalah kasus penganiayaan berat yang dilakukan Pratu II, anggota Bataliun 131 Payakumbuh, Sumatera Barat, terhadap Ramli Abubakar (28), warga Desa Kambuh Nicah, Kunyet, Padang Tiji. Syukri Abdullah (30), abang korban, mengaku heran meski tak bertugas di Pidie, Pratu II ternyata semena-mena menganiaya adiknya. Kejadian berlangsung 5 Maret 1995 saat Ramli sedang nonton teve di warung Bukhari, Desa Seunadu, Padang Tiji. Tiba-tiba masuk Pratu II yang baru datang dari Payakumbuh. II yang ternyata teman korban semasa remaja itu menyimpan dendam kepada Ramli. Menurut sejumlah saksi mata, II itu mengambil sebuah pompa sepeda dan langsung memukuli kepala korban hingga retak dan mengeluarkan banyak darah.6 Sebelum pulang ke Payakumbuh, menurut Syukri, Pratu II sempat akan mengancam akan menghabisi keluarga mereka kalau dia datang lagi nanti. Karena itu, pihaknya telah berulang kali melaporkan kasus itu ke Koramil Padang Tiji, Kodim 0102 Pidie, Sub Den-DOM, dan instansi terkait lainnya. Namun oknum ABRI yang diduga bersalah itu sejauh ini tak kunjung diproses, hanya lantaran DOM. “Padahal, kasus ini jelas-jelas karena persoalan pribadi,” sebut Syukri.
26. Sudah kehilangan suami, malah difitnah secara sistematis dengan surat.
Sejumlah janda, tepatnya istri, karena belum dipastikan suaminya meninggal, yang telah melaporkan kehilangan suaminya di DPRD Pidie, serentak menerima “surat dari suaminya” yang seolah dikirim dari Batam, Riau. Mereka yang menerima “surat dari Batam” itu semuanya warga Kecamatan Mutiara, Pidie. Menurut pengakuan para wanita itu, masing-masing mereka menerima surat secara terpisah. Begitu menerima surat, hati mereka sempat berdebar-debar. Tapi, setelah surat dibuka, kentara sekali bahwa surat itu direkayasa. Mereka bisa memastikan ini dari tanda tangan suami masing-masing dengan mencocokkannya pada tanda tangan asli di surat/KTP suami. Satu sama lain wanita itu, kemudian bertemu di rumah Dariarti yang sementara dinobatkan sebagai “pimpinan”dari kelompok janda-janda di Kecamatan Mutiara. Mereka lalu menghubungi yang lainnya. Ternyata, baru empat “surat dari Batam” yang diterima mereka. “Ini surat palsu. Tanda tangannya palsu. Saya tahu betul itu bukan tanda tangan suami saya. Disangkanya kami bodoh, mau ditipu-tipu begitu,” kata Dariati di Sigli. Ketiga temannya mengiyakan dengan penuh emosi bercampur sedih.
27. Status wajib lapor yang tak jelas. Dari banyak laporan masyarakat, status wajib lapor ternyata cukup merepotkan. Lebih-lebih selama krisis ekonomi. Meski kesalahan belum jelas, namun mereka terpaksa meninggalkan kerja, mengeluarkan ongkos untuk labi-labi, juga ongkos RBT, hanya untuk menghadap ke Pos Sattis yang ditunjuk. Bahwa seharusnya oknum-oknum aparat ditatar P-4 dulu, kalau perlu ditatar bagaimana menjadi manusia. Namun para penyiksa ternyata tidak semua aparat. Beberapa nama penyiksa di rumoh geudong ternyata warga setempat yang dijadikan TPO (tenaga pembantu operasi) sekaligus tukang pukul.
28. Ayah dibunuh di sebuah rumah di desa lain. Keadilan bagi Herawati Hamid (21) baru sebatas mimpi. Untuk mencari tahu siapa pembunuh ayahnya, Hamid Itam (50), ternyata tak cukup mengandalkan Kepolisian maupun Polisi Militer. Ia bersama pamannya, Usman Itam (40), adik kandung Hamid, selama dua tahun sudah pontang-panting mengusut sendiri.9 Tak sedikit tantangannya. Bahkan Usman sendiri pernah didatangi sejumlahnya oknum Kopassus ke rumahnya di Desa Tampieng Baroh, Indrajaya, beberapa waktu lalu. Kedua oknum itu minta ia menghadap atasan mereka di Pos Sattis Kota Bakti. Usman menolak. Ia pun diajak ke seorang paranormal untuk mencari tahu siapa pembunuh Hamid Itam sebenarnya. Tapi tetap dia tidak mau. Kalau memang dia juga harus mati. Biar mati di rumah saja.
Didampingi pengacaranya, Iskandar Ishak SH (direktur LBH Seuramoe Makkah, Sigli), meneceritakan hasil pengusutan mereka. Sebagian keterangan diperoleh dari saksi-saksi, sebagian juga dari sumber di kalangan polisi penyidik. “Ayah saya bukan dibunuh di Gunung Gurutee, tapi di Pidie. Di sebuah rumah di Kelurahan Blang Asan. Ada saksi yang mendengar tembakan itu,” tutur Herawati, mahasiswa Akademi Manajemen Informatika dan Komputer (AMIK) Jabal Ghafur, Pidie.
29. Pembantaian besar-besaran seperti membunuh hama. Dari jumlah sementara laporan orang hilang, tindak kekerasan, dan sejenisnya yang dilaporkan masyarakat di Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur hingga 27 Juli 1998, yang mencapai puluhan ribu seperti jumlah hama saja layaknya. Kasus mati tak wajar di daerah ini mayoritas terjadi tahun 1990-1991. Selama dua tahun itu telah terjadi pembantaian besar-besaran di daerah Serambi Mekkah. Di Pidie dari jumlah 375 kasus, sedikitnya 102 jiwa ditemukan telah menjadi mayat. Dan, dari jumlah 102 ini, sekitar 80 persen di antaranya adalah kasus yang terjadi tahun 1990-1991. Untuk kasus orang hilang di DPRD Pidie mencapai 131 kasus, 60 persen diculik antara 1990-1991. Pelaku pembunuhan –maupun kasus-kasus orang hilang dan tindak kekerasan lainnya di Pidie diperkirakan lebih 95 persen kasus, di duga –dan menurut keterangan saksi dan keluarga– pelaku penembakan dilakukan oleh oknum ABRI.
Sebaliknya di Aceh Utara, seperti pengakuan Ketua DPRD Aceh Utara Mas Tarmansyah, bahwa 60 persen kasus orang hilang dan di tindak kekerasan yang terdata di DPRD Aceh Utara diakuinya dilakukan oknum ABRI, dan 40 persen didalangi GPK. Di antara kasus-kasus kematian di Pidie, sejumlah pelapor mengaku cukup mengenali pelaku penculik atau setidaknya tempat tugas penculik.
30. Nyaris menyerupai siksa kubur oleh malaikat berbaju loreng. M Saleh Pakeh (32), warga Desa Lengkok, Sakti, pada tahun 1990 disiksa di PS Tangse dan PS Kota Bakti. Ditahan 24 hari, disetrum, dipukuli dengan balok sampai berdarah, dan pernah diobati PMI. Kini mengalami cacat dan penuh bekas luka di badan.
diinterogasi sambil dianiaya di kantor koramil Jungka Gajah selama dua hari dua malam. Kemudian ia mengaku dilepas.
Dan seterusnya, dan seterusnya. Ini baru separoh dari keseluruhan jenis laporan. Belum lagi yang berkait dengan kekerasan berkait agama. Orang sedang melakukan shalat tarawih, bisa begitu saja diambil dan tak pernah kembali lagi. Ada santri disuruh berdzikir dengan mulut disumbat. Disiksa untuk tak henti-henti menyebut “Allah”, ditunggui shalat dan kemudian di-dor, dan seterusnya. , dan seterusnya.
*
FIKRI tengah berjalan mondar-mandir dengan wajah gelisah. Beberapa anak buahnya, mengamati sekeliling mereka dengan cermat. Semuanya dengan senjata siap tembak di tangan.
Tak lama kemudian, muncul seorang GAM muda, dengan tergesa mendekat ke arah Fikri.
“Para pa’i itu menyerbu tempat ini,...” GAM itu melapor dengan terburu.
Fikri menoleh ke arah pelapornya. Dahinya mengkerut.
“Siapkan semuanya. Kita tunggu di sini. “
Pelapor itu kemudian memberikan perintah pada para GAM yang lain. Mereka kemudian kelihatan sibuk mencari posisi masing-masing.
GAM pelapor kembali berada di dekat Fikri.
“Beberapa teman, sebagian besar, mengikut Rizal Noordin, Kak,... Kekuatan kita sekarang tidak berimbang.”
“Ada yang bermuka dua di antara kita rupanya,...” Fikri menggeram.
“Tak ada waktu lagi untuk membahasnya.”
“Kau tahu di mana Abu Rizal Noordin sekarang?”
GAM pelapor menggeleng. “Yang aku duga, dia mengadakan kontak dengan TNI! Jika tidak, bagaimana mungkin TNI tahu markas kita?”
Fikri dan beberapa GAM yang lain sama-sama terdiam. Mata mereka dengan awas, mengamati seluruh titik yang ada di depan. Masing-masing siap dengan senjata di tangan.
“Mungkin yang dikata tawanan kita dulu itu, benar adanya,... Nge beta perintah si gere ne tertupang.”
“Soal apa?” tanya Fikri.
“Kematian Tengku Dawood.”
Fikri tercenung.
Terdengar suara luara letusan senjata laras panjang di kejauhan.
Fikri tersadar dari lamunan. Ia beranjak dari tempatnya, diikuti beberapa lainnya.
“Kita layani mereka!”
Mereka berdua kemudian perlahan melangkah maju, dengan senjata siap tembak.
“Beritahu yang lainnya, kita pancing mereka ke atas,...!”
GAM itu berlari mendekat ke para GAM yang lainnya. Sementara Fikri bergerak, memberi komando.
“Kita tahu, bahwa ini adalah hari-hari terakhir kita. Tetapi ingin kukatakan kepada kalian semua,” Fikri berpidato dengan suara lantang. “Tidakkah kalian akan menurut orang-orangtua, yang telah mengkhianati kita itu? Mereka telah menyeret-nyeret kita ke dalam mimpi besar mereka, dan kemudian menjadi mimpi kita bersama. Tapi apa yang terjadi? Mereka mendorong kita masuk ke kubangan, dan menjadikan kita barisan pecundang. Sementara para orangtua itu menikmati lezatnya konsesi-konsesi politik, kita tetap saja akan menjadi bangsa terjajah di tanah kelahiran kita sendiri,....
Kita akan menjadi anak-anak muda yang diperalat, dan kemudian dicampakkan begitu saja. Selebihnya, kita kemudian akan melata di jalanan atau di ladang-ladang penuh tangis, sebagai warga kelas dua yang akan selalu menyerahkan nasib di tangan orang-orang kaya dan pandai. Kita cacing yang melata kepanasan di aspal jalan. Jika kita melawan, itu karena kita tdak mau menjadi pecundang dan jadi bulan-builanan para orangtua itu.
Sekuat tenaga, kita akan terus berjuang melawannya, menawar agar anak-anak kita bisa memiliki meski pun Cuma sekedar kenangan untuk menolong dirinya sendiri. Biarlah mereka hanya bisa membangun sekolah dalam mimpi, menjadi pandai dalam mimpi, dan melakukan negasi dengan negosiasi yang beradab dalam mimpi pula. Mungin kita bukan martir. Tetapi sejarah telah menyurukkan kita ke rawa-rawa hina ini, sebagai generasi yang tak punya pilihan,...”
Selangkah demi selangkah, mereka menuruni bukit. Dengan penuh waspada, mengamati kawasan hutan yang sudah sangat dikenalinya itu.
Sementara itu, dari arah tepi hutan, merangsek pula beberapa anggota TNI dengan senjata di tangan. Seseorang, dengan lambaian tangan, memberi komando untuk terus merayap naik pada prajurit lainnya.
Tak lama kemudian, terjadi baku tembak. Mula-mula, anak buah Fikri menembak ke arah seorang prajurit TNI, dan langsung berbalas. Maka jadilah peluru berdesingan mencari sasaran.
Kalah dalam jumlah, pasukan Fikri bergerak mundur. Mereka kembali naik ke bukit. Tapi, tanpa dinyana, dari arah belakang terdengar pula letusan senjata, mengarah pada mereka.
“Kita dikepung, Kak,...” seorang GAM terlihat begitu panik.
Fikri dan GAM anak buahnya, kemudian mencari alternatif lain. Mereka bergeser ke tempat lain.
Salah seorang GAM, mengarahkan senjatanya pada seorang prajurit TNI yang berada dalam jarak tembak. Tapi, mendadak prajurit TNI itu terjengkang di terjang oleh peluru dari arah belakang.
GAM yang hendak menembak itu melongo, tapi segera paham ketika menoleh ke arah Fikri.
Fikri meniup loop pestolnya yang masih mengeluarkan asap mesiu. Ia kemudian membisikkan perintah mundur pada GAM yang terdekat posisinya. Dengan cara berantai, perintah itu disebarkan pada yang lain.
Fikri dan kawan-kawannya dengan segera meninggalkan tempat itu.
CATATAN KAKI:
Data sebagian besar diambilkan dari berbagai laporan lembaga-lembaga swadaya masyarakat terutama yang tergabung dalam Forum Peduli Hak Azasi Manusia (FP-HAM) di Aceh, berkait dengan upaya pengungkapan beberapa kejahatan kemanusiaan yang dilakukan dalam penerapan DOM Aceh 1989-1998. Pengutipan berdasarkan laporan faktual, untuk memberikan gambaran bagaimana kenyataan itu benar-benar bukan fiksi melainkan fakta riel.
Selasa, Maret 10, 2009
Kasih yang Tak Sampai
Mengenang 100 Tahun Sutan Sjahrir, dikutip dari MBM Tempo, 03/XXXVIII/09 Maret 2009 dalam edisi khusus "Sutan Sjahrir : Peran Besar Bung Kecil"
Cinta Sjahrir dan Maria dinyalakan api idealisme pergerakan. Meredup oleh jarak.
AMSTERDAM adalah kota yang menggairahkan Sjahrir. Dia menemukan idealisme di kota ini. Juga teman-teman sealiran. Salomon Tas, wartawan berhaluan kiri, yang saat itu menjabat Ketua Sociaal Democratische Studenten Club (Perkumpulan Mahasiswa Sosialis Demokrat) Amsterdam, adalah salah satu sahabat dekat Sjahrir. Berdarah Yahudi, Tas lahir dalam keluarga sederhana, terdidik, serta amat antikolonial. Mahasiswa Hindia Belanda yang sedang bersekolah di negeri itu, termasuk Sjahrir, segera menjadi kawan-kawan dekatnya.
Persahabatan dengan Tas kian erat ketika kakak Sjahrir, Siti Sjahrizad—alias Nuning—harus kembali ke Hindia Belanda pada 1931. Di rumah Nuning di Amsterdam Selatan itu tadinya Sjahrir tinggal, sejak datang pada Juni 1929. Tas kemudian menawarkan apartemennya sebagai tempat tinggal Sjahrir.
Di apartemen itu, Tas tinggal bersama istrinya, Maria Johanna Duchâteau, dan dua anak mereka yang masih kecil-kecil. Di rumah itu tinggal pula teman perempuan Maria bernama Judith van Wamel.
Tas, Maria, Judith, dan Sjahrir sama-sama menggemari sastra, film bermutu, dan musik. Mereka menonton film dan teater di Stadsschouwburg dan menghadiri pertemuan politik di bar Americain. Restoran terkenal Bohemien di kawasan Lange Leidse Dwaarstraat menjadi tempat berkumpul Sjahrir dan teman-temannya. Di restoran inilah Tas membentuk Perkumpulan Mahasiswa Sosialis Demokrat.
Perkawanan itu ternyata melahirkan asmara antara Sjahrir dan Maria, istri Tas. Perempuan peranakan Belanda-Prancis ini berpikiran maju dan banyak membantu Tas dalam aktivitas politiknya. Pernikahannya dengan Tas pada tahun-tahun itu sedang gersang. Tas tidak punya waktu untuk Maria dan anak-anak mereka. Hidupnya hanya untuk politik.
Tidak perlu waktu lama bagi Sjahrir untuk merebut Maria. Sebenarnya itu tidak bisa disebut merebut karena Tas tahu hubungan sahabatnya dengan Maria. Bahkan dia sendiri sudah mulai berhubungan dengan Judith. Kees Snoek—yang mempublikasikan kembali surat-surat Sjahrir kepada Maria—menyatakan kepada koresponden Tempo di Belanda, Asmayani Kusrini, kehidupan mahasiswa pergerakan saat itu amatlah bebas.
Sjahrir serius menjalin cintanya dengan Maria. Ketika hendak pulang ke Hindia Belanda pada 1932, ia meminta Maria ikut. Kepada Mieske, panggilan sayangnya kepada Maria, Sjahrir menyatakan kekasihnya bisa membantu kaum perempuan di bidang pergerakan.
Sjahrir juga ingin menikahi Maria di Hindia Belanda kelak. Sesuai dengan rencana, dia pulang lebih dulu mengambil alih pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Menurut Snoek, ketika itu Hatta, yang diplot sebagai pemimpin, belum selesai studinya. ”Sjahrir diputuskan kembali ke Indonesia lebih dulu,” ujarnya.
Maria, rencananya, akan menyusul bersama anak-anaknya empat bulan kemudian jika perceraiannya dengan Tas sudah beres. Medan menjadi tempat pertemuan mereka.
Dari Batavia, Sidi—begitu Maria memanggil Sjahrir—berangkat ke Medan, sementara Maria dan dua anaknya berlayar dari Kolombo ke Medan. Pertemuan itu akhirnya berlangsung pada April 1932. Pada tanggal 10 bulan itu, Sidi dan Mieske menikah di sebuah masjid di Medan.
Keduanya menginap di rumah tempat Sjahrir tinggal sebelum bersekolah ke Jawa. Mereka tidak pulang ke Koto Gadang karena ”tidak punya uang untuk pulang kampung.” Rencananya, Sjahrir akan mengajak Maria ke Jawa.
Sjahrir rupanya tidak sadar tindakannya menikahi perempuan kulit putih bisa dianggap provokasi. Meski Medan ketika itu termasuk kota Hindia Belanda yang ramai, pasangan Sjahrir-Maria segera mengundang gunjingan. Apalagi mereka juga datang ke tempat-tempat pertunjukan musik, film, dan teater, yang ramai disambangi orang kulit putih.
Maria, yang gemar berkebaya dan memakai kain, segera mengundang perhatian orang Belanda. Mereka bertanya, mengapa Maria mengenakan pakaian pribumi. Empat hari setelah pernikahan mereka, Sumatran Post, koran terbesar di Medan saat itu, menulis tentang Maria: ”Perempuan bersarung kebaya dalam penyelidikan polisi.”
Sebulan lewat, polisi mulai menyelidiki dokumen pernikahan Maria. Mereka menemukan Maria menikah dengan Salomon Tas, aktivis pergerakan antikolonial. Selain itu, Tas ternyata belum menceraikan Maria secara resmi. Karena Maria menikah secara Islam pada saat belum bercerai, keruan saja para pemuka agama jadi ribut.
Lima pekan setelah pernikahan mereka, pada 5 Mei 1932, pernikahan Sjahrir dibatalkan oleh pemuka agama setempat. Lima hari kemudian, Maria dipulangkan ke Belanda. Yang membuat hati Sjahrir pedih, Maria tengah mengandung anak laki-laki mereka.
Keinginan Sjahrir untuk segera menyusul sang istri ke Belanda ternyata penuh rintangan. Rentetan kejadian tragis kemudian menimpa Sjahrir. Hatta akhirnya pulang dari Belanda, tapi mendapat kecelakaan ketika mengunjungi orang tuanya di Sumatera. Sjahrir kembali mengundurkan niat ke Belanda. Surat Maria juga sudah lama tidak datang.
Belakangan datang kabar dari Maria yang menyebut kematian bayi mereka sesaat setelah dilahirkan. Hubungan Sjahrir dan Maria kembali terjalin. Mereka kembali bersurat-suratan. Sjahrir meneguhkan niatnya menyusul Maria. Apalagi ia sudah mengantongi izin dari Pendidikan Nasional Indonesia untuk kembali bersekolah di Belanda.
Rencananya, ia berangkat menumpang kapal uap S.S. Aramis dari Batavia pada Maret 1934 dengan bekal uang kiriman Maria. Celaka, akhir Februari itu, Hatta ditangkap. Sjahrir, yang bersembunyi di rumah adik tirinya, Radena, ditangkap polisi sehari kemudian.
Meski pertemuan dengan sang kekasih hati lagi-lagi kandas, hubungan Sjahrir dan Maria kian hangat lewat surat-menyurat. Maria menjadi satu-satunya tempat curahan hati yang memahami kesulitannya.
Dua tahun setelah penahanan Sjahrir, mereka kemudian menikah kembali, 2 September 1936. Pernikahan jarak jauh itu diwakili oleh pelukis Salim. Sjahrir, yang berada dalam pembuangan di Banda Neira, berangkat ke kantor gubernur. Sayang, pernikahan jarak jauh menciptakan suasana yang tidak sehat dan penuh ketegangan.
Untuk meredam masalah, Sjahrir meminta Maria menyusulnya ke Banda Neira. Keinginan itu gagal karena Maria tak punya cukup uang.
Akhir 1939, ketika Maria sudah punya uang , tidak ada kapal lagi yang menuju Hindia Belanda. Perang Dunia II sudah berkobar. Kembali mereka hanya surat-menyurat.
Setelah Indonesia merdeka dan Sjahrir menjadi perdana menteri pertama, tidak juga ada kabar baik bagi keduanya. Nyala cinta mereka mulai redup. Sebuah pertemuan di New Delhi, India, pada April 1947 menjadi penentu akhir perjalanan mereka.
Ketika itu, Nehru rupanya hendak membikin kejutan bagi Sjahrir. ”Ia tidak bilang akan mengundang Maria,” kata Snoek. Pada pikir Nehru, apalah salahnya mengundang Maria, yang masih jadi istri Sjahrir. Nehru tak tahu kala itu asmara sudah terjalin antara Sjahrir dan asistennya, Poppy.
Pertemuan setelah 15 tahun itu berlangsung dingin. Maria, bersama Nehru dan putrinya, Indira Gandhi, menyambut Sjahrir yang didampingi Poppy di bandar udara. Dalam sebuah wawancara pada 1988, Maria menyebut betapa Sjahrir sudah jauh berubah. ”Mungkin karena ia sudah menjadi negarawan.”
Sjahrir merangkul Maria dan menempelkan pipinya ke pipi Maria. Setahun kemudian, api cinta lama itu benar-benar padam. Keduanya memutuskan bercerai pada 12 Agustus 1948.
Belakangan, Maria menikah dengan adik Sjahrir, Soetan Sjahsyam, yang bersekolah di Belanda. Sejak kembali ke Belanda, Maria tinggal bersama Sjahsyam, yang ikut membesarkan anak-anak Maria dari perkawinannya dengan Tas.
Minggu, Maret 01, 2009
Sapto Rahardjo : Berlalunya Sebuah Era?
Kompas Minggu,
1 Maret 2009
Franki Raden
Sewaktu remaja saya pernah membaca sebuah artikel di majalah Aktuil tahun 1970-an tentang grup musik yang bernama Yogiharmonik (?) di Yogyakarta. Gambar yang terpampang pada artikel tersebut adalah alat musik yang terdiri dari kaleng-kaleng bekas beserta wajah penciptanya. Saat itu sulit saya bayangkan bagaimana bunyi musik yang keluar dari ”instrumen” seperti itu. Tidak beberapa lama kemudian ingatan saya tentang artikel dan grup musik ini pun memudar.
Beberapa tahun setelah itu saya mulai kuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Pada saat itu perhatian saya terhadap perkembangan musik kontemporer di negeri ini semakin menguat. Sebagai mahasiswa sekolah musik yang berkiblat ke Barat, pada awalnya perhatian saya tentu saja terpusat pada perkembangan musik kontemporer di sana. Kebetulan kehidupan musik kontemporer di dalam negeri sendiri pada tahun 1970-an sangat lengang. Di samping itu, Jakarta pada masa itu masih menjadi pusat perkembangan seni kontemporer di Indonesia sehingga apa yang terjadi di luar Jakarta sering kali lepas dari perhatian saya.
Pada awal hingga akhir tahun 1970-an, percaturan musik kontemporer di negeri ini memang masih berputar pada kertas notasi (partitur) yang menjadi tumpuan dari lomba komposisi musik Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang diprakarsai almarhum Frans Haryadi. Oleh sebab itu, yang tampil di atas panggung ”resmi” musik kontemporer umumnya hanyalah mereka yang (pernah) belajar komposisi di IKJ atau Akademi Musik Indonesia (sekarang ISI Yogyakarta). Pada tahun 1979, DKJ membuat program baru yang berjudul Pekan Komponis Muda. Dalam acara ini DKJ memperluas ruang lingkup gagasan musik kontemporer dengan menyertakan mereka yang berlatar belakang musik tradisional dan berkarya tanpa menggunakan partitur. Thus, karya mereka adalah pementasan mereka.
Pada saat itulah perkembangan musik kontemporer Indonesia mulai memasuki babakan baru yang sangat penting: katakanlah babakan postmodern jika Anda peduli. Sejak saat itu pergumulan musik kontemporer di luar Jakarta yang tidak bertumpu pada wacana estetika Barat tiba-tiba menjadi transparan. Pada awal tahun 1990-an, ketika saya melakukan penelitian lapangan tentang musik kontemporer Indonesia untuk menulis disertasi, di Yogyakarta muncul seorang tokoh musik ”baru” yang berada di luar pagar akademik AMI. Tokoh ini menyajikan pementasan musik yang jauh di luar jangkauan imajinasi para akademikus Yogyakarta sehingga ia menjadi tokoh yang sangat kontroversial. Komponis tersebut tidak lain adalah pencipta alat musik Yogiharmonik yang dahulu pernah saya baca di majalah Aktuil, yaitu Sapto Rahardjo, yang pada pagi kemarin baru saja dipanggil oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Pementasan Sapto yang beberapa kali saya tonton di Purna Budaya, Yogyakarta, ternyata sangat memukau. Pada waktu itu karya-karyanya selalu muncul dengan menyertakan perlengkapan canggih teknologi multimedia. Tetapi, di tangan Sapto, pementasan yang memanfaatkan teknologi canggih ini dapat menjelma menjadi sebuah bentuk ritual dan sangat membumi pada realitas sosial di sekitarnya. Salah satu karyanya dipentaskan selama 24 jam nonstop tanpa membosankan sedikit pun. Karyanya yang lain dipentaskan di atas sebuah pick up kecil yang berkeliling di sekitar kota Yogyakarta.
Sapto Rahardjo, komponis yang baru saja berpulang, pada tahun 1990-an bukan saja mampu membuat kota Yogyakarta menjadi penting dalam peta musik kontemporer Indonesia, tetapi juga mampu membuat dunia musik kontemporer Indonesia itu sendiri menjadi sangat dinamis pada dekade 1990. Dinamika inilah yang memungkinkan saya untuk dapat menulis sebuah disertasi. Periode itu banyak melahirkan para komponis eksperimental yang dipelopori antara lain oleh Sapto Rahardjo. Di samping itu, dukungan terhadap dunia musik kontemporer datang dari mana-mana, terutama dari media massa (cetak dan elektronik), taman rekreasi (Ancol dan PRJ), asosiasi profesional (PII), pemerintah (Depdikbud dan DKI), para mahasiswa, seniman di bidang lain, dan juga para konglomerat. Pertumbuhan jenis musik ini juga terjadi di kota-kota di Jawa, Bali, dan Sumatera. Bahkan, sebuah desa seperti Desa Mungkid di Jawa Tengah pun memiliki pusat kegiatan musik eksperimental yang digalang oleh seorang komponis bernama Sutanto. Pada akhirnya dunia musik kontemporer Indonesia mampu menciptakan paradigmanya sendiri. Dalam hal ini jasa Sapto Rahardjo tidak kecil.
Sayangnya para komponis yang menjadi motor perkembangan musik kontemporer pada dekade 1990-an adalah para komponis yang kesehatannya sangat rentan. Di samping Sapto Rahardjo, kita telah kehilangan figur-figur muda lainnya yang juga sangat penting, yaitu Harry Roesli, Yazeed Djamin, dan Saut Sitompul yang meninggal dunia pada awal usia 50-an. Keempat komponis ini masing-masing memiliki posisi tersendiri di dalam dunia musik kontemporer Indonesia.
Setelah lebih dari sepuluh tahun tidak berada di Indonesia, saya baru menyadari betapa penting dan dinamisnya periode tahun 1990-an di mana Sapto Rahardjo memantapkan kariernya sebagai komponis. Mungkin Sapto sendiri tidak terlalu peduli dengan istilah ”musik kontemporer” atau ”musik eksperimental” yang kerap saya gunakan dalam tulisan. Gaya musiknya memang selalu tidak dapat diduga ke mana arahnya. Ia selalu bisa muncul dengan sesuatu yang membuat kita terperangah, entah karena kreativitasnya, kenakalannya, ataupun kenekatannya. Yang jelas etos kerja Sapto Rahardjo sebagai komponis dan pemusik memang sangat luar biasa. Inilah yang membuat ia mampu menggalang sebuah festival gamelan internasional di Yogyakarta hanya dengan bekal sebuah tekad.
Dunia musik Indonesia saat ini jelas telah kehilangan seorang figur komponis, pelopor, dan penggagas yang sangat penting. Tapi, yang sekarang saya pertanyakan kepada diri saya sendiri adalah: apakah era musik eksperimental Indonesia dewasa ini juga telah berlalu dengan perginya orang-orang seperti Sapto Rahardjo, Harry Roesli, dan Saut Sitompul? Jika ini benar terjadi, sungguh patut disayangkan karena mungkin kita tidak akan pernah lagi menyaksikan sebuah dinamika kehidupan musik di Indonesia yang sangat penuh dengan kejujuran, kenekatan, vitalitas, kreativitas, dan orisinalitas bak Sapto Rahardjo. Selamat jalan, sobat!
Franki Raden Etnomusikolog
Langganan:
Postingan (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...