Selasa, Agustus 28, 2018

Mendongenglah. Karena Dongeng adalah Cinta Kasih Lintas Generasi.


Masyarakat Kita Memandang Dongeng. Dongeng adalah medium terindah dalam tradisi lisan Nusantara, demikian tulis Pramoedya Anantara Toer (1925 – 2006), mengantar buku ‘Dongeng Calon Arang’.

Tapi medium yang indah itu, sama sekali tak terpetakan secara memadai dalam dunia literasi kita. Setidaknya, demikian yang banyak muncul dalam teks para novelis kita.

Beberapa ‘pernyataan’ novel-novel anak muda menyebut begini; “Ini cuma kisah dongeng. Mana ada dongeng yang bisa menjadi kenyataan?” demikian Monica Anggen dalam novelnya Be Mine. Makanya, Dyah Rinni dalam Beautiful Liar, menulis: “Kancil itu kan salah satu binatang paling terkenal dalam dongeng rakyat Indonesia tetapi kenapa nggak ada yang menjual kancil? Gimana orang mau kenal kancil coba?”

Bagaimana coba? Atau dalam analogi Lia Indra Andriana, “Itik buruk rupa yang berubah menjadi angsa hanya terjadi di negeri dongeng. Gadis biasa yang terlihat cantik saat memakai gaun bagus juga hanya terjadi di dalam film. Dalam kehidupan nyata, gaun bagus tidak selamanya bisa mengubah seseorang menjadi Cinderella,” (Paper Romance).

Dongeng secara pasti dibedakan dengan dunia nyata, bahkan digambarkan sebagai sesuatu yang mungkin menyebalkan, seperti tulis Sam dalam novel Catatan Akhir Kuliah; “Mungkin ini sebabnya banyak mahasiswa yang asyik tertidur di kelas karena kebanyakan dosen yang mengajar hampir persis kayak membaca buku dongeng.”

Tampaknya, dongeng juga sering jadi bak sampah, untuk gambaran pengalaman buruk manusia. Seperti tulis Winna Efendi dalam novel Happily Ever After; “Cinta tidak seperti dongeng yang selalu berakhir bahagia.” Dan ini diperkuat dengan pernyataan novelis senior sekelas Mira W., dalam novel Cinta Cuma Sepenggal Dusta, “Cinta sejati cuma ada dalam dongeng.”

Bahkan Dewi Lestari alias Dee yang sohor itu, menulis dalam Perahu Kertas, “Betapa ironisnya realitas saat harus bersanding dengan dunia dongeng.” Maka, kembali kita kutip bagaimana Winna Efendi mengambil kesimpulan, “Untukmu yang mencintai dongeng, biarkan mimpimu tetap hadir, jangan biarkan dunia menghalangimu. Sebab kadang, saat kenyataan terlalu pedih untuk ditanggung, cerita tentang Pangeran, Ksatria, dan sihir akan membuatmu bertahan dan percaya bahwa hidup selalu menyimpan keajaiban.

Tanpa tedeng aling-aling, dalam novel Erstwhile: Perserkutuan Sang, Joseph Rio Jovian Haminoto memvonis: “Seharusnya kamu tidak percaya akan indahnya dongeng.”

Apakah ini suatu masalah? Dari Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri, memang masalah. Definisi dongeng memang tidak indah. Buku rujukan kita dalam berbahasa yang baik dan benar itu, mendefinisikan dongeng sebagai berikut: (1) cerita yang tidak benar-benar terjadi (terutama tentang kejadian zaman dulu yang aneh-aneh). Contoh: 'anak-anak gemar mendengarkan dongeng Seribu Satu Malam', dan (2) perkataan (berita dan sebagainya) yang bukan-bukan atau tidak benar (kata kiasan). Contoh: 'uraian yang panjang itu dianggapnya hanya dongeng belaka'.

Dalam uraian tentang mendongeng, KBBI menjelaskan: (1) menceritakan dongeng,
contoh: 'Nenek pandai mendongeng tentang raja-raja zaman dahulu'
. (2) mengatakan yang tidak benar; berdusta, contoh: 'aku bukan mendongeng, melainkan menceritakan kejadian yang sebenarnya'.

Bahkan dalam definisi Paulo Coelho, dituliskannya, bahwa: “Pada setiap saat dalam hidup kita, kita semua memiliki satu kaki dalam dongeng dan yang lainnya di jurang.” Seolah dongeng adalah sesuatu yang buruk, sangat buruk, justeru karena bukan merupakan fakta sebenarnya.

Dalam The Lion, the Witch and the Wardrobe, C.S. Lewis (1898 – 1963) memposisikan dongeng sebagai sesuatu yang berkait masa lalu. Kenangan lama, atau kenangan masa bocah. Some day you will be old enough to start reading fairy tales again, tulisnya. Suatu hari, kamu akan menjadi tua dan mulai membaca cerita dongeng lagi. Padahal, Hans Christian Andersen, si bapak dongeng dari Odense, Denmark, menyatakan, “Hidup itu sendiri adalah dongeng yang menakjubkan.”

Jika kita kaitkan dengan  pernyataan Pramoedya di awal tulisan, tampaknya ada yang salah dalam kita memposisikan dongeng, justeru jika kita kaitkan dengan aspek kemanfaatannya. Dongeng, mungkin memang fiksi, bukan fakta. Tetapi apakah kemudian tidak bermakna? Atau bahkan tidak bermanfaat?


Fiksi dan Fakta dari Kisah Nabi Ibrahim. Jika kita mengacu pada pernyataan Pram, dikaitkan tingkat literasi bangsa Indonesia yang masih rendah, di peringkat 60 dari 61 negara. Nomor dua dari bawah, di atas Botswana dan di bawah Thailand. Hal itu hanya menunjuk sebuah pertanda, bahwa kita tak pandai dalam mengenali jati diri kita. Termasuk dalam menempatkan dongeng.

Di Nusantara Raya ini, ada begitu banyak dongeng, legenda, hikayat, dan berbagai cerita rakyat yang tumbuh, sebagai bentuk sastra lisan yang kaya. Namun ibarat mutiara di dasar telaga, ia tertutupi permukaan kenyataan yang tak memiliki cerminan atau perbandingan.

Kemampuan literasi, dalam suatu masyarakat, adalah salah satu kebutuhan yang sangat penting dimiliki setiap orang. Di mana pentingnya? Pada saat antara manusia yang satu dan lainnya berkomunikasi dan berinteraksi. Dalam konstruksi bangunan sosial masyarakat kita, di situ kelemahan kita seolah tak punya pola atau pegangan, dalam membangun tata sosial kehidupan masyarakat.

Literasi kita tahu adalah proses membaca, menulis, berbicara, mendengarkan, melihat dan berpendapat (seperti kita kutipkan dalam buku Kuder dan Hasit, 2002). Literasi secara umum didefinisikan sebagai kemampuan membaca dan menulis serta menggunakan bahasa lisan. Yang semua itu adalah piranti-piranti penting dalam membangun konstruksi sosial kita, apalagi dalam konteks berbangsa dan bernegara, karena heterogenitas masyarakat.

Meski dengan sudut pandang berbeda, tak sebagaimana Rocky Gerung mengatakan bahwa kitab suci adalah fiksi, kitab-kitab suci agama Semitik juga lebih banyak disampaikan dengan cerita. Lepas dari fiksi atau bukan, pandangan Kierkegaard menarik untuk diperbandingkan di sini.

Kisah-kisah Nabi Ibrahim (Abraham), bapak tiga agama semitik (Yahudi, Kristen, dan Islam), nyaris tak masuk akal, sebagaimana tertulis dalam kitab-kitab suci tiga agama itu. Tapi bagi filsuf Denmark, Soren Aabye Kierkegaard (Kopenhagen, 1813 – 1855), hal itu ditelaah menarik. Bahwa tradisi keagamaan yang dibangun Ibrahim, seolah ingin menunjukkan yang tak masuk akal itu bisa terjadi. The impossible is possible itu terdapat baik dalam Perjanjian Lama yang menjadi sumber utama seluruh kisah mengenai nabi-nabi bangsa Israel, Perjanjian Baru, maupun dalam Alquran.

Jika Nietzsche mengatakan Tuhan telah mati, maka dalam simbolisme kisah Ibrahim, tokoh yang dikagumi Kierkegaard, manusialah yang telah mati. Kematian manusia disusul kebangkitan kembali dalam bentuk kehidupan baru. Di situ makna kebangkitan dalam pemikiran Kierkegaard, yang menyatakan Ibrahim memiliki tingkat religiusitas yang amat kuat.

Kita sering melihat manusia religius memiliki sikap yang dianggap aneh, nyentrik, tak masuk akal atau bahkan gila. Hal ini disebabkan nilai-nilai religius bersifat murni subjektif, dan paradoksal. Dalam penilaian tentang Tuhan, misalnya, jika Tuhan ada dan mahasempurna, kenapa membiarkan adanya kejahatan? Kierkegaard mengatakan paradoks Tuhan bukan sesuatu yang bisa dipikirkan secara rasional.

Sosok Nabi Ibrahim menurut Kierkegaard, telah masuk dalam tahap religiusitas ini. Menurutnya, Ibrahim telah lulus dalam mempertahankan keyakinan subjektifnya berdasarkan iman. Ibrahim bersedia mengorbankan Ismail, anaknya, atas dasar keyakinan pribadi bahwa Tuhan memerintah untuk mengorbankan anaknya itu.
Hidup dalam Tuhan, bagi Kierkegaard, adalah hidup dalam subjektivitas transenden. Tanpa rasionalisasi dan ikatan duniawi. Subjektivitas yang hanya mengikuti jalan Tuhan. Tak terikat nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal (etis), maupun tuntutan pribadi, masyarakat atau zaman.


Imajinasi dan Tumbuhnya Nalar. Tumbuhnya manusia berkarakter, individu yang kuat dan mandiri, adalah apa yang dikatakan Sukarno dengan imagination, imagination, imagination. Betapa bangsa Indonesia yang semeter kurang sedepa itu, bisa menghasilkan Borobudur. Di situ betapa pentingnya imajinasi. Logic will get you from A to B. Imagination will take you everywhere, sebagaimana kata Albert Einstein. Nalar hanya akan membawa anda dari A menuju B, namun imajinasi mampu membawa anda dari A ke manapun. Apa pentingnya jika nalar membawa kemana pun, dibandingkan hanya terbatas sampai Z saja?

Peradaban yang tumbuh adalah akibat dari manusia yang ter-eksplorasi dan bukannya yang ter-eksploitasi. Dongeng berada dalam sisi ini, bagaimana mengeksplorasi pemikiran manusia, agar tidak stagnan, mandeg, sehingga terjadi involusi kebudayaan yang mengakibatkan peradaban juga mandeg.

Dalam pemikiran Kierkegaard yang penting, untuk menjadi seorang beriman tak cukup. Kita adalah pribadi independen, dan bukan kumpulan masa. Perubahan dimulai dari diri sendiri, bukan dari institusi. Di sana akan tumbuh apa yang dinamakan inspirasi, inisiasi, motivasi, yang akhirnya menumbuhkan partisipasi dalam intersubjektivitas, pemikiran aksersif dalam interaksi sosial dimana peradaban manusia tumbuh dan berkembang.

Dalam konteks ini, kembali pada pemikiran Pramoedya, bahwa dongeng adalah medium yang indah dalam tradisi lisan Nusantara, dan seperti juga pernyataan HC Andersen, bahwa kehidupan itu sendiri adalah dongeng yang menakjubkan; Kita tak bisa mengabaikan dongeng, sebagai titik awal keberangkatan, untuk melakukan transformasi sosial masyarakat Indonesia, yang selalu berada dalam perubahan.

Kenyataan-kenayataan sosial kita hari ini, adalah tumbuh suburnya pragmatisme yang bersifat materialistik. Segala sesuatu hanya diukur dari aspek kemanfaatan verbal. Sehingga tidak memberi ruang pada imaji, kreativitas, serta daya nalar. Bahkan jika kita kembali pada kritik Dick Hartoko, di awal dekade 70-an, negara kita ini, “terlalu sibuk dengan membangun dunia baru. Tangan-tangan kita tidak pernah diam, selalu sibuk bekerja.” (Keadaan Senggang Dasar Kebudayaan, Basis, 1972).

Beberapa pertanyaan Dick Hartoko waktu itu, “… bukankah pula rumah baru itu kita ingin bangun menurut tradisi asli masing-masing bangsa, sesuai dengan kepribadian kita, setia kepada sumber-sumber kebudayaan yang paling aseli, sehingga berakar dalam alam kodrat manusia? Nah, salah satu dasar sendi kebudayaan, baik di Timur maupun Barat, adalah keadaan senggang.”

Apa itu keadaan senggang? Bahkan dalam teori metafisika yang disinggung Aristoteles pun, keadaan senggang ialah penting. Keadaan berjarak, menarik diri dari kenyataan-kenyataan, fakta-fakta, segala yang eksak. Bahkan secara etimologis, Dick Hartoko menyebutkan keadaan senggang itu dalam bahasa Yunani disebut ‘skole’, dalam bahasa Latin ‘scola’, dan dalam bahasa Indonesia sekolah. Istilah yang kita pergunakan untuk menunjukkan tempat pendidikan dan pengajaran, yang berasal dari sebuah kata yang berarti senggang.

Senggang bukan luang, sebagaimana imajinasi bukan berarti ngayawara alias melamun kosong. Senggang adalah sikap jiwa, sikap spiritual yang tak semata-mata diakibatkan faktor-faktor eksternal, seperti misalnya waktu terluang, hari libur atau week-end. Senggang merupakan suatu sikap jiwa dan berlawanan dengan sikap krida, hanya mementingkan segala yang bersifat lahir, fisik. Senggang adalah sikap retret, perenungan kembali akan nilai-nilai hakiki. Dalam senggang terjadi perenungan, terjadi proses internalisasi yang penting untuk menatap ke depan.

Begitu tak berjaraknya manusia dengan kenyataan-kenyataan sosial (dan politik) kita dewasa ini, memudahkan manusia diombang-ambingkan dongeng-dongeng baru, yang sama sekali tidak dimengerti. Bahkan, dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, medsos, betapa manusia mudah menyatakan menolak hoax, namun senyampang itu mereka hanyut secara tak sadar ikut menyebar-luaskan hoax. Nalar lumpuh, imajinasi lumpuh, yang akibatnya daya kritis juga lumpuh.

Jika orang dewasa bisa melakukan retret dengan me-refresh masa lalu dan pengalaman-pengalaman hidupnya, maka anak-anak yang tumbuh akan juga bisa merefresh pengalaman-pengalaman imajinatifnya, ketika berhadapan dengan kenyataan dan pertumbuhan psikologis dan biologisnya.

Di situlah dongeng menjadi sesuatu yang secara fungsional tak bisa diabaikan. Bahkan meski pun dongeng selama ini seolah dikhususkan bagi anak-anak, sebagaimana CS Lewis menyamakan dongeng adalah masa lalu. Betapapun, masa lalu justeru perlu ditengok sebagai perbandingan, bahan refleksi, mundur untuk maju. Artinya, orang dewasa atau tua pun, juga memerlukan dongeng-dongeng, sebagaimana HC Andersen mengatakan bahwa hidup itu sendiri adalah dongeng yang menakjubkan.

Persoalannya kemudian, apa itu dongeng? Apa manfaatnya? Dan bagaimana dongeng itu didongengkan? Pada jaman kini, dongeng tak sebagaimana dalam gambaran romantik kita. Disampaikan oleh seorang nenek atau kakek pada cucunya, atau oleh seorang ibu kepada anaknya, menjelang tidur.


Dongeng Masa Kini dan Manfaatnya. Dongeng pada masa kini ada begitu banyak ragamnya, sesuai perkembangan jaman. Dongeng kini bisa disampaikan kapan saja, tak selalu malam. Bahkan dalam berbagai bentuknya, tak hanya diceritakan secara langsung, melainkan juga dalam bentuk buku, bahkan secara audio-visual dalam film animasi, atau live-action di berbagai wahana mainan anak-anak dan special events.

Walaupun terlihat sederhana, anak-anak biasanya sangat serius mendengarnya, jika ceritanya menarik. Tentu saja, menyampaikan dongeng yang menarik kepada anak membutuhkan keterampilan khusus. Hal tersebut penting karena dengan memilih dongeng yang isi ceritanya bagus, akan tertanam nilai-nilai moral yang baik. Pendongeng yang baik akan selalu memberi ruang interaksi, dengan pendengar dongengnya, sehingga nilai-nilai yang ingin disampaikan secara induktif bisa lebih dimengerti atau terserap.

Dongeng yang baik juga mampu mengembangkan daya imajinasi anak, yang akan berperanan dalam perkembangan logika, daya nalar, kecerdasan tetapi juga sekaligus emotion inteligentia-nya. Dengan mendongengkan secara auditif, anak-anak akan terbiasa berimajinasi, memvisualkan sesuatu dalam pikirannya, untuk menjabarkan atau menyelesaikan suatu permasalahan.

Anak-anak yang terbiasa mendengar dongeng, biasanya bertambah perbendaharaan kata, ungkapan, watak orang, sejarah, sifat baik-buruk, teknik bercerita, dan lain sebagainya. Berbagai materi pelajaran sekolah pun, bahkan bisa kita masukkan pelan-pelan di dalam dongeng untuk membantu memahami pelajaran yang diberikan di sekolah.

Sisi lain dari itu semua, dongeng mampu untuk meningkatkan kreativitas anak. Kreatifitas anak bisa berkembang dalam berbagai bidang, jika dongeng yang disampaikan dibuat sedemikian rupa menjadi berbobot. Sah-sah saja apabila ingin menambahkan isi cerita dengan bumbu-bumbu, selama tidak merusak jalan cerita, sehingga menjadi aneh tidak menarik lagi.

Dan yang tak bisa dibantah, jika terjadi interaksi antara orangtua dan anak dalam mendongeng, secara tidak langsung akan mempererat tali kasih sayang. Selain itu tertawa bersama-sama juga dapat mendekatkan hubungan emosional. Pada sisi itu, dongeng menjadi media atau alat untuk menghilangkan ketegangan atau stress.

Dongeng merupakan sastra lama, yang menceritakan kejadian fiksi dengan tujuan untuk memberikan hiburan serta nilai pendidikan. Jika selama ini kita mengenal dongeng dengan isi cerita yang berkisah tentang tentang suatu kejadian luar biasa, penuh khayalan (fiksi), dan dianggap oleh masyarakat suatu hal yang tak benar-benar terjadi, bukan berarti ia kemudian menjadikan anak-anak seorang pengkhayal atau pelamun.

Kembali lagi pada soal imajinasi yang disinggung Bung Karno, dan juga Einstein atau Rama Dick Hartoko, yang kemudian juga disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara dalam konsep pendidikan ‘ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani’. Di depan memberikan teladan (kebaikan), di tengah membangun semangat, dan di belakang mendukungnya (memberi restu), dengan mendirikan sekolah Taman Siswa pada waktu itu.

Ada begitu banyak jenis dongeng, yang memberi ruang sangat leluasa untuk terjadi interaksi antarmanusia dan antargenerasi. Ada (1) fabel, dongeng binatang sebagaimana Dongeng Kancil. (2) Legenda, yang menceritakan peristiwa berhubungan dengan keajaiban alam, seperti Legenda Gunung Tangkuban Perahu. (3) Mite yang menceritakan tentang hal-hal gaib (animisme) seperti dewa-dewa, peri, dan mahluk halus. (4) Sage menceritakan suatu tokoh yang biasanya berkaitan dengan sejarah (biasanya menyebar dari mulut ke mulut, sehingga lama-kelamaan terdapat tambahan cerita yang bersifat khayal). (5) Parabel, dongeng yang mengandung nilai-nilai pendidikan atau cerita pendek dan sederhana, yang mengandung hikmah yang digunakan sebagai pedoman hidup, seperti Malin Kundang. Dan lain-lain bentuk cerita seperti cerita jenaka, cerita pelipur lara, cerita perumpaan, dan bahkan mungkin dongeng-dongen kreasi sendiri, yang sama sekali baru. Karena di dalam dongeng itu unsur terpenting ialah kemampuan story telling. Menuturkan cerita, apapun bentuk dan isinya. Sebagaimana di Inggris, pernah terjadi seorang ayah membuat dongeng sayur, dengan menata aneka sayuran, untuk memotivasi agar anaknya mau mengkonsumsi sayur.

Situasi sosial-kemasyarakatan kita hari-hari ini, bisa jadi mencemaskan, karena kita terbelah oleh persoalan-persoalan politik, yang sesungguhnya tidak secara langsung bersinggungan dengan kita. Tetapi dominasi perbincangan kita, yang dipenuhi isu-isu sosial-politik, membat kita sangat tidak berjarak, dan bahkan sangat terlibat, sehingga toleransi kita pada perbedaan (yang memang belum terlatih), menjadi semakin tipis. Kita cenderung intoleran dan mudah menistakan liyan. Apalagi, fakta sosial juga menunjukkan, bagaimana anak-anak pun terseret, dan diseret, pada masalah-masalah yang belum semestinya menjadi ranah emosi mereka.

Maka jika kita mengidealkan bahwa bangsa ini perlu melakukan transformasi sosial, revolusi atau evolusi mental, gerakan mendongeng pada generasi kini, menjadi alternatif untuk turut mewarnai bagaimana peradaban dikembalikan pada jalurnya. Ialah tumbuhnya individu yang berkarakter.

Inisiatif Lembaga Seni dan Sastra Reboeng menyelenggarakan “Seharian Jakarta Mendongeng” pada 28 Oktober 2018, di Perpustakaan Nasional R.I., Jakarta, semoga dalam rangka mengapa dongeng perlu hadir dalam kehidupan manusia, dan terutama manusia Indonesia.  

Kita sesungguhnya tak hanya memerlukan Jakarta yang seharian mendongeng. Apalagi jika dongeng-dongengnya hanyalah merupakan isu-isu recehan, entah itu yang bernama ganti Presiden, penistaan agama, dongeng korupsi, ketidakbanggaan pada perolehan emas para pejuang kita di Asian Games 18, dan sejenisnya. Tetapi lebih dari itu, kita memerlukan Indonesia mendongeng sepanjang waktu, sebagaimana nilai-nilai baik dan mulia harus terus dikumandangkan, dari generasi ke generasi.  

Pada hakikatnya dongeng bukan hanya sekedar bagian dari karya sastra lisan. Dan mendongeng juga bukan hanya merupakan tradisi lisan sastra kita. Dongeng, juga mendongeng, adalah bagian dari kasih sayang lintas generasi, untuk menjaga dan menumbuhkan peradaban. Sebagai bagian dari karya sastra, tentu dongeng memberi nilai tersendiri bagi kehidupan lintas generasi, baik anak maupun orangtua. Umar bin Khattab berpesan, “Ajarilah anak dengan sastra. Dengan sastra, akan memperhalus budi pekerti dan anak yang takut akan menjadi pemberani.”

Bukankah sebagaimana dikatakan Robin Moore, penulis, “Di dalam diri kita masing-masing, adalah pendongeng yang terlahir alami, menunggu untuk dilepaskan."

Maka, mendongenglah. 

 



Lima Manfaat Dongeng menurut Mark Greenwood, penulis buku anak dari Australia:

1. Mengasah Imajinasi. Saat mendengarkan dongeng, otak akan membayangkan setiap tokoh dan tempat yang ada di dalam cerita. Nah, saat kita membayangkan tokoh dan tempat, imajinasi kita sedang diasah secara tidak langsung.

2. Lebih Kreatif. Saat berimajinasi, kita pasti akan memberikan warna pada tokoh imajinasi tersebut. Proses pemberian warna pada tokoh imajinasi itu bisa membuat kita lebih kreatif. Semakin kuat imajinasi, maka tingkat kreatifitas kita pun akan semakin meningkat.

3. Gemar Membaca. Selain mengasah imajinasi dan meningkatkan kreatifitas, dongeng juga bisa membuat kita gemar membaca. Saat mendengarkan dongeng, kita akan penasaran dengan keseluruhan cerita atau hal lain yang berkaitan dengan dongeng tersebut. Jika kita sudah penasaran, kita pun akan mencari buku dan berbagai sumber yang berkaitan untuk mengatasi rasa penasaran tersebut.

4. Mengasah Cara Berkomunikasi. Dongeng juga bisa mengasah cara kita berkomunikasi. Saat mendengarkan dongeng atau mendongeng, akan ada interaksi antara dua orang atau lebih. Secara tidak langsung, hal itu membuat kita tahu bagaimana cara berkomunikasi yang baik dan nyaman.

5. Mengasah Kemampuan Menulis. Seseorang yang suka dengan dongeng biasanya punya imajinasi sendiri. Imajinasi itu biasanya disalurkan dalam sebuah tulisan. Saat imajinasi dibuat menjadi sebuah tulisan, kita akan berusaha memilih kata yang bagus dan enak untuk dibaca. Jadi, secara tidak langsung, kita sudah mengasah kemampuan menulis kita.

1 komentar:

  1. Saya selalu berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan peminjam yang meminjamkan uang tanpa membayar terlebih dahulu.

    Jika Anda mencari pinjaman, perusahaan ini adalah semua yang Anda butuhkan. setiap perusahaan yang meminta Anda untuk biaya pendaftaran lari dari mereka.

    saya menggunakan waktu ini untuk memperingatkan semua rekan saya INDONESIANS. yang telah terjadi di sekitar mencari pinjaman, Anda hanya harus berhati-hati. satu-satunya tempat dan perusahaan yang dapat menawarkan pinjaman Anda adalah SUZAN INVESTMENT COMPANY. Saya mendapat pinjaman saya dari mereka. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang sah di internet. Lainnya semua pembohong, saya menghabiskan hampir Rp35 juta di tangan pemberi pinjaman palsu.

    Pembayaran yang fleksibel,
    Suku bunga rendah,
    Layanan berkualitas,
    Komisi Tinggi jika Anda memperkenalkan pelanggan

    Hubungi perusahaan: (Suzaninvestment@gmail.com)

    Email pribadi saya: (Ammisha1213@gmail.com)

    BalasHapus

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...