Sabtu, Februari 15, 2014

Negeri Bencana dan Tahun Omong Kosong 2014


Luas perairan Indonesia yang membentang dari Sabang-Merauke, mencapai 5,8 juta km per segi atau sekitar 70 persen dari total luas Nusantara. Jika diukur jaraknya, mencakup ujung Inggris hingga Turki. Dengan panjang 81.000 km., Indonesia merupakan negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Ditaburi 17.504 pulau, Indonesia dikenal sebagai Negara Kepulauan (Archipelago), yang lebih dikenal sebagai Negara Maritim nan mempesona.
Namun posisi Indonesia terletak di pertemuan tiga lempeng. Lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Indo-Australia yang menjadi pusat pergerakan bumi. Tak heran, jika wilayah ini memiliki potensi bencana besar artificial dan non-artificial. Bersamaan dengan itu, Nusantara juga berada di cincin api (ring of fire), karenanya Indonesia juga memiliki potensi bencana tektonik. Keberadaan gunung api yang terhampar hampir di seluruh kepulauan dan laut Indonesia, menjadikan negeri ini berada di lingkaran api, yang sewaktu-waktu bisa meletus. Indonesia juga tercatat sebagai pemilik gunung berapi terbanyak di dunia. Sebanyak 130 gunung berapi, atau 10 persen dari jumlah gunung berapi di dunia. Dari jumlah tersebut 17 di antaranya masih aktif.
Ring of fire merupakan rangkaian lempeng atau patahan besar yang menjadi ancaman potensial gempa. Posisinya mengepung perairan Indonesia mulai dari Laut Andaman menjalar dari atas pesisir Sumatera hingga timur. Lempeng ‘Semangka’ di sepanjang daratan pantai barat Sumatera berakhir di Selat Sunda. Kemudian, bersambung dengan rangkaian puluhan gunung berapi aktif di Jawa-Bali-Lombok-Sumbawa-Flores hingga Pulau Alor. Dan seterusnya, sebagaimana banyak sudah kita baca dan dengar dari para ahli.
Di tengah hadirnya para pemimpin yang buruk, masyarakat tak bisa disalahkan jika memperparah kondisi tersebut. Termasuk sesungguhnya, Ahok tak boleh memaki-maki pada warga Kampung Pulo yang ogah pindah. Jokowi tak bisa marah-marah melulu soal sampah di sungai-sungai Jakarta. Surono tak bisa hanya menyesali warga nekad ke Sinabung atau Kelud yang masih dalam posisi bahaya. SBY tak bisa hanya tebar pesona dengan gaya pidato yang menyebalkan. Dan sebagainya.
Bukan soal rakyat tak bisa disalahkan, tetapi itu semua menunjukkan betapa social enginering negara ini tak pernah dipikirkan sepanjang hampir setengah abad, dan apalagi sejak Orde Baru Soeharto berkuasa. Munculnya era reformasi, juga hanya menghadirkan parpol sebagai pt-pt baru (pt, perusahaan tertutup), yang hanya menjadi pameran kebodohan oligarki partai. Apalagi di tengah maraknya media yang lebih banyak menari di gendang orang lain. Menangguk keuntungan semata (atau menangguk di air keruh), maka lengkap sudah instrumenalia inspirasi rekayasa sosial itu mampat. Rakyat hanya gugusan angka yang secara eksploitatif digantung nasibnya.
Maka kemudian dalam begitu banyak bencana alam, yang seolah serentak terjadi menjelang Pemilu 2014 itu, yang kita dengar adalah; "Sudah mendapat bantuan apa dari Pemerintah?", "Ini bencana nasional atau bencana propinsi?", atau kita bertanya-tanya belagak bloon; "Mengapa Tuhan murka kepada kami?"
Dan di media sosial terlihat begitu riuh-rendah, dengan omongan masing-masing, memperpanjang keriuhan di pasar-pasar, di pos ronda, di jalanan, di warung-warung, dan sebagainya.
Dan itu tidak terjadi hanya sekali ini saja, seolah baru kemarin kita kenalan dengan banjir atau gunung meletus, atau terkena gempa tektonik. Padahal sudah berkola-kali, sejak jaman Nusantara masih bernama Hindia Belanda, dengan gunung Krakatau yang bisa mengguncang dunia dan membuat daratan Amerika dan Eropa gelap gulita.
Sementara dalam masa damai, sepuluh tahun kekuasaan SBY, sama sekali kita tak melihat jejaknya. Masih saja soal huru-hara politik menjadi lebih penting, dan lagi-lagi kita memiliki presiden yang lebih sensitif terhadap krisis politik daripada krisis-krisis yang menyangkut alam. Padahal, menjadi dalil umum kita, hanya alam yang mengajari kita berubah. Manusia yang dibimbing oleh kapitalisme dan filsafat pragmatisme, akan cenderung bertahan pada comfortable zone.
Sense of crisis itu tidak terasa. Perusahaan bernama parpol, sama dengan perusahaan properti, yang terus beriklan di televisi, tentang hunian yang indah dan bebas banjir, dan merupakan investasi masa depan yang menguntungkan. Padahal, dari banyak kasus kerugian konsumen, perusahaan properti termasuk yang paling bermasalah dengan angka 40%. Berapa persen masalah yang muncul dari parpol? Bisa di atas itu. Hasil survei Cirus Surveyor Group bulan lalu memperlihatkan sebanyak 40 persen responden tidak percaya terhadap partai politik. Sedangkan 39,2 persen kurang percaya. Hanya 9,4 persen reponden yang percaya terhadap partai politik. Sementara 11,4 persen tidak tahu atau tidak menjawab. Sementara para politikus busuk yang duduk di Senayan, kini 90,8% mencalonkan kembali dalam Pemilu 2014 ini, memperebutkan 650 kursi DPR-RI bersama para mantan foto model seks dan artis-artis yang mulai tidak laku.
Sementara itu sadarkah kita, adalah niscaya bahwa tanah air Indonesia akan terus berada di atas kawasan cincin api Pasifik, tempat bertemunya lempeng-lempeng tektonik utama dunia, yang ditandai oleh ratusan gunung berapi, yang secara bergiliran akan meletus dari waktu ke waktu. Beludru api yang membentang menjadi alas manusia Indonesia sampai kapan pun. Ketika terjadi bencana yang melanda, bukan bumi sedang murka yang menurut pandangan manusia, akan tetapi bumi sedang mencari keseimbangan baru. Ketika ada penurunan daratan, maka akan ada penaikan daratan pula. Hal tersebut merupakan sifat alam yang selalu dinamis. Dengan kesadaran baru, kita berharap bukan saja mampu menjadi bangsa pembelajar. Melainkan juga lebih punya pegangan ketika menghadapi alam bagi dirinya, yang sedang mencari keseimbangan baru.
Sesungguhnya alam selalu mengajari perubahan. Tapi manusialah yang selalu ogah, apalagi yang sudah duduk akan selalu lupa berdiri. Sebelum harta-bendanya amblas, dan nyawanya tatas, kalau bisa mempertahankan, maka akan dipertahankan habis-habisan, meski tidak masuk akal sekali pun. Tapi bagaimana cara mempertahankannya? Kita tidak diajari untuk merawat dan mengembangkannya. Karenanya dalam mempertahankannya kita seperti anak kecil, yang mempertahankan boneka dari rebutan teman kita. Dan hampir dari semua ajaran kita hari-hari ini adalah patrap mempertahankan kekayaan diri-sendiri dan patrap meng-eksploitasi. Bukan patrap meng-eksplorasi. Mana ada yang mengajak kita kenalan baik-baik dengan alam? Mana ada yang mengajak kita berbincang-bincang dengan alam? Mana ada yang mengingatkan kita akan management by process, dan bukan semata management by product? Kita mendiaminya, tetapi sekaligus mendiamkannya. Dan tahu-tahu, Tuhan disalahkan karena murka. 
Di mana peran para kaum pintar dari yang bernama arsitek, ustaz dan ustadzah, pendeta, pastor, bedande, guru, presiden, ketua BNKB, penyair, empu, wakil rakyat, walikota, gubernur, menteri, filsuf, fesbuker, lawyer, pelatih silat, capres, dan sebagainya itu dalam festival bencana tahun ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...