Kamis, Maret 03, 2016

Tere Liye dan Dialog Imajiner dengan Bung Karno

"Pagi, Tere Liye,..."
"Oh, pagi. Siapa ya?"
"Saya Bung Karno,..."
"Oh, maaf. Saking banyaknya fansku, aku nggak kenal satu-satu."
"Oh,..."
"Iya. Maaf, ya, karena satu-satu aku sayang ibu,...."
"Oh,..."
"Kalau dua-dua, brati ibunya dua,..."
"Oh."
"Kok ah-oh, ah-oh, kayak dialog dalam novel-novelku."
"Ternyata Tere Liye itu lelaki?"
"Hihihihi,... nama tidak penting, kasih saja nama siapa saja."
"Saya kira perempuan beneran, makanya saya antusias menemui."
"Oh, banyak kok novelis lelaki bernama perempuan. Masalah? Ini kan untuk kesetaraan gender."
"Kalau nama macho macam Didik Nini Thowok, atau Hudson, yang penari cross-gender itu, bagaimana?"
"Ya, awoh, masak-awoh, jangan deh. Apakah kamu nggak tahu, ulama-ulama kita itu banyak berjuang untuk kemerdekaan Indonesia? Mana ada orang kiri, komunis, liberal, pejuang HAM ikut-ikutan berjuang, plis deh!"
"Saya ingin belajar dari Anda, soal kiri menurut Anda,..."
"Lho, pokoknya jangan kiri deh. Kiri itu tidak baik, kiri itu komunis, komunis itu tidak beragama, tidak beragama itu tidak seperti tokoh dalam novel-novelku."
"Iya. Tokoh novel sampeyan religius-religius, sangat kanan."
"Tentu. Segala yang kiri itu tidak baik. Coba, makan dengan tangan kiri kan kata ibu tidak baik. Kita kan mesti nurut pada ibu, karena sorga di bawah telapak kaki ibu. Mau jadi anak durhaka, dikutuk jadi batu kayak Malin Kundang, atau masuk neraka?"
"Termasuk tangan kiri, kaki kiri, mata sebelah kiri, kuping kiri?"
"Iyalah. Aku malah mau protes, mestinya tangan manusia semua kanan, juga kakinya, matanya, kupingnya. Hingga akhirnya akan muncul semboyan ke kanan jalan lurus."
"Bukannya ngikuti APILL?"
"Kanan jalan lurus itu artinya jalan kebenaran itu kanan. Wah, kamu itu pendidikannya apa to, kok nggak ngerti simbol. Jalan lurus itu apa coba? Bacalah atas nama tuhanmu. Mosok fansku nggak hobi mbaca?"
"Maaf, saya cuma baca novel-novel Tere Liye."
"Nah, itu bagus. Biar tambah pinter, baca status-status fesbukku juga. Pokoknya aku mau bangun generasi baru. Jangan terpukau produk-produk luar, yang belum tentu keren."
"Kalau produk Arab?"
"Lha kan disebutnya Arab, bukan disebutnya 'produk luar'? Belilah novel-novelku, produk aseli dalam negeri. Soal budaya pop sebagai anak buah kapitalisme, nenek moyang kita kan dari dulu juga pedagang, apalagi nenek moyang kita orang pelaut. Pelaut kan pandai berenang. Apa ada pelaut yang tak bisa berenang? Silakan cari!"


Dan dialog pun macet. Karena Bung Karno kembali tidur. Mendengkur.

Tere Liye dan Kere Niye

Tere Liye, memang penulis novel pop terkenal. Tetapi sudah barang tentu, bukan berarti ia tak paham sejarah. Meski, celakanya, kenyataannya ia memang tak paham sejarah. Setidaknya sejarah Indonesia, yang di mana dia menasehati kita agar memahami sejarah negeri kita, dan agar tak terpesona pada paham-paham dari luar. Mungkinkah maksud paham-paham dari luar itu juga temasuk paham Arab, yang saat-saat ini sedang digandrungi, dan dikampanyekan besar-besaran di Indonesia, seperti fundamentalisme agama, misalnya? Wallahu’alam.

Tulisan-tulisan Tere Liye, kebanyakan adalah novel pop remaja. Sebagai novel pop remaja lainnya, di mana pun, cenderung masuk kategori budaya pop. Budaya pop tak lain adalah anak kandung kapitalisme, yang hobinya melakukan eksploitasi selera pop. Yang ringan-ringan. Mediocre. Menghibur. Tanpa kedalaman. Kemenyek. Ecek-ecek. Dan ketika Tere Liye nulis (di status fesbuknya) soal jasa-jasa pahlawan, serta paham-paham asing, dan juga mempertanyakan mana ada pejuang-pejuang kita dari yang komunis, kiri, liberal, pejuang HAM dalam perjuangan Indonesia merdeka, kita bisa saja gagal paham. Kemana saja selama ini?

Apakah ada pemikir komunis, pemikir sosialis, aktivis HAM, dan pendukung liberal yang pernah bertarung melawan Belanda, Inggris, Jepang? Ya, tentu saja ada, dan banyak. Kebanyakan mereka adalah para politisi dan negarawan pejuang diplomasi, pemikiran, kemanusiaan. Tentu bisa beda peran dengan pejuang-pejuang fisik, yang tarung di medan perang, atau mereka yang tergabung dalam kesatuan militer seperti BKR, TKR, TNI dan seterusnya.

Apakah kepahlawanan atau heroisme hanya yang bau militer? Tentu tidak. Kartini, Sukarno, Hatta, HOS Tjokroaminoto, Tirto Adisuryo, Soetan Sjahrir, Amir Syarifuddin, Tan Malaka, Soegijapranoto, KH Agus Salim, dan masih banyak lagi nama, adalah tokoh-tokoh dengan beragam paham seperti komunis, kiri, liberal, dan tentunya pejuang HAM pula. Mereka berjuang hidup dan mati. Dan berkali-kali menikmati penjara.

Di Indonesia ini, ketekenalan, populariras, tidak identik dengan kecerdasan. Dalam budaya pop, banyak tokoh terkenal yang pada dasarnya bodoh, otak udang, berperilaku dan berpikir dogol. Dan itu jamak. Jadi kalau Tere Liye menunjukkan kualitas aselinya, kita tak perlu heran. Jadi? Pernyataan Tere Liye itu membuktikan, popularitas itu tidak paralel dengan kualitas otak. 

Dalam dunia pop, yang sering terjadi adalah soal keberuntungan, juga opportunity. Pernyataan yang sangat kere niye!

Kiri dan Sejarahnya, Agar Kita Tak Mudah Paranoid

Istilah kiri, seringkali diidentikkan dengan komunisme. Padahal dilihat dari sejarahnya, istilah itu sudah muncul beberapa dekade sebelum Karl Marx (1818-1883), tepatnya saat hingar-bingar Revolusi Perancis pada akhir abad ke-18, di masa sekitar Raja Louis XVI dipancung guillotine pada 1792.

Kala itu semboyan kebebasan (liberté), persamaan (egalité) dan persaudaraan (fraternité) menjadi daya tarik massa revolusioner, kaum buruh dan tani, untuk bersama-sama kaum borjuis meruntuhkan pemerintah feodalistis.
Tapi setelah kaum borjuis berhasil mengambil alih kekuasaan, rakyat jelata tidak memperoleh kekuasaan apa-apa. Feodalisme diganti oleh borjuisme, kekuasaan politik yang didominasi kepentingan segelintir lapisan atas-ekonomi. Rakyat hanya memperoleh kebebasan, sedangkan persamaan dan persaudaraan cuma menjadi slogan.

Dalam kondisi itu, ternyata masih ada sekumpulan orang di parlemen yang menentang borjuisme. Mereka duduk mengelompok di sayap kiri ruangan. Karena itu, mereka disebut “kaum kiri”. Mereka berhadapan dengan para pendukung borjuisme yang menggerombol di sebelah kanan. Sejak itu “kiri” dan “kanan” menjadi kosa kata politik.
Dalam politik, sayap kiri mengacu kepada kelompok yang biasanya dihubungkan dengan aliran sosialis atau demokrasi sosial. Biasanya juga dianggap sebagai lawan dari sayap kanan. Komunisme maupun filsafat marxisme yang seringkali mendasarinya, seringkali dianggap sebagai bentuk radikal dari politik sayap kiri. Namun banyak golongan sayap kiri yang menolak bila mereka dihubungkan dengan komunisme, atau bahkan dengan anarkisme. 

Sebagaimana kata Sukarno; “Orang Kiri adalah mereka jang menghendaki perobahan kekuasaan kapitalis, imperialis jang ada sekarang. Kehendak untuk menjebarkan keadilan sosial adalah kiri. Ia tidak perlu Komunis. Orang kiri bahkan dapat bertjektjok dengan orang Komunis. Kiriphobi, penjakit takut akan tjita-tjita kiri, adalah penjakit jang kutentang habis-habisan seperti Islamophobi. Nasionalisme tanpa keadilan sosial mendjadi nihilisme.” ('Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat", Cindy Adams, 1966:100)
Istilah ini berasal dari pengaturan tempat duduk legislatif pada masa Revolusi Prancis. Saat itu, kaum republik yang menentang Ancien Régime biasanya disebut sebagai kelompok kiri karena mereka duduk di sisi kiri dari dewan legislatif.

Acuan ini kini sudah tidak berlaku, dan karena itu makna istilahnya pun telah berubah, sesuai dengan spektrum gagasan dan sikap yang diperbandingkan, dan sudut pandang si pembicara. Pada masa belakangan ini, istilah ini hampir selalu mencakup suatu bentuk dari sosialisme, sosial demokrasi, atau, bila di Amerika Serikat, dengan liberalisme.

Kelompok kiri juga seringkali mencakup sekularisme, khususnya di Amerika Serikat, India, Timur Tengah, dan di banyak negara Katolik, meskipun agama dan politik sayap kiri kadang-kadang juga bersekutu seperti halnya dalam gerakan hak-hak sipil di AS, atau dalam kasus teologi pembebasan dan sosialisme Kristen.

Dalam politik, sayap kanan atau Kelompok Kanan adalah istilah yang mengacu kepada segmen spektrum politik yang biasanya dihubungkan dengan konservatisme, liberalisme klasik, kelompok kanan agama, atau sekadar lawan dari politik sayap kiri. Dalam konteks tertentu, istilah sayap kanan juga bisa mencakup nasionalisme otoriter, namun hal itu biasanya lebih merupakan bagian dari ekstrem kanan.

Sejak Revolusi Prancis, penggunaan istilah politik "kiri" dan "kanan" telah berubah melintasi batas-batas linguistik, masyarakat, dan nasional, kadang-kadang maknanya malah berbeda di suatu masa dan tempat tertentu dibandingkan dengan masa dan tempat yang lainnya. Misalnya, pada tahun 2004, pemerintah Republik Rakyat Tiongkok mengklaim dirinya tetap di "kiri", meskipun negara itu telah mengalami evolusi yang membawanya lebih dekat dengan apa yang di tempat lain dicirikan sebagai "kanan", mendukung tradisi budaya nasional, mementingkan kekayaan, dan industri yang dimiliki secara pribadi. 

Demikian pula, almarhum diktator Spanyol, Francisco Franco, yang secara internasional merupakan sekutu kuat dengan kelompok kanan dan yang secara brutal menindas kaum kiri Spanyol, pada kenyataannya melakukan sejumlah kebijakan pembangunan yang agak mirip dengan apa yang dilakukan di Uni Soviet dan negara komunis lainnya, yang hampir secara universal dianggap "kiri". 

Demikian pula, sementara "kanan" mulanya mengacu kepada mereka yang mendukung kepentingan kaum bangsawan, di banyak negara sekarang (khususnya di Amerika Serikat), pembedaan kiri-kanan tidak terkait erat dengan kekayaan atau garis leluhur.

Fasisme biasanya dianggap sayap kanan, meskipun sebagian ahli membantah klasifikasi itu. Yang lainnya berpendapat bahwa ada unsur-unsur ideologi kiri maupun kanan dalam filsafat yang mendasari perkembangan Fasisme.

Kedua ciri di atas muncul dalam berbagai bentuk. Orang yang mendukung sebagian dari tujuan-tujuan di atas tidak secara otomatis mendukung yang lainnya. Pada tingkat kebijakan politik praktis, ada banyak sekali variasi dalam cara-cara yang diambil para pemikir sayap kanan untuk mencapai tujuan dasar mereka. Kadang-kadang mereka pun saling berdebat dengan sesamanya, seperti kelompok sayap kiri.

Jadi, jangan asal kutip kata-kata. Toh nyatanya dengan mempunyai kuping kiri, tangan kiri, kaki kiri, toh Anda juga bisa belok kanan, dan jalan terus? 

Pahami istliah, dan dalami sejarah.

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...