Kamis, Maret 03, 2016

Tere Liye dan Kere Niye

Tere Liye, memang penulis novel pop terkenal. Tetapi sudah barang tentu, bukan berarti ia tak paham sejarah. Meski, celakanya, kenyataannya ia memang tak paham sejarah. Setidaknya sejarah Indonesia, yang di mana dia menasehati kita agar memahami sejarah negeri kita, dan agar tak terpesona pada paham-paham dari luar. Mungkinkah maksud paham-paham dari luar itu juga temasuk paham Arab, yang saat-saat ini sedang digandrungi, dan dikampanyekan besar-besaran di Indonesia, seperti fundamentalisme agama, misalnya? Wallahu’alam.

Tulisan-tulisan Tere Liye, kebanyakan adalah novel pop remaja. Sebagai novel pop remaja lainnya, di mana pun, cenderung masuk kategori budaya pop. Budaya pop tak lain adalah anak kandung kapitalisme, yang hobinya melakukan eksploitasi selera pop. Yang ringan-ringan. Mediocre. Menghibur. Tanpa kedalaman. Kemenyek. Ecek-ecek. Dan ketika Tere Liye nulis (di status fesbuknya) soal jasa-jasa pahlawan, serta paham-paham asing, dan juga mempertanyakan mana ada pejuang-pejuang kita dari yang komunis, kiri, liberal, pejuang HAM dalam perjuangan Indonesia merdeka, kita bisa saja gagal paham. Kemana saja selama ini?

Apakah ada pemikir komunis, pemikir sosialis, aktivis HAM, dan pendukung liberal yang pernah bertarung melawan Belanda, Inggris, Jepang? Ya, tentu saja ada, dan banyak. Kebanyakan mereka adalah para politisi dan negarawan pejuang diplomasi, pemikiran, kemanusiaan. Tentu bisa beda peran dengan pejuang-pejuang fisik, yang tarung di medan perang, atau mereka yang tergabung dalam kesatuan militer seperti BKR, TKR, TNI dan seterusnya.

Apakah kepahlawanan atau heroisme hanya yang bau militer? Tentu tidak. Kartini, Sukarno, Hatta, HOS Tjokroaminoto, Tirto Adisuryo, Soetan Sjahrir, Amir Syarifuddin, Tan Malaka, Soegijapranoto, KH Agus Salim, dan masih banyak lagi nama, adalah tokoh-tokoh dengan beragam paham seperti komunis, kiri, liberal, dan tentunya pejuang HAM pula. Mereka berjuang hidup dan mati. Dan berkali-kali menikmati penjara.

Di Indonesia ini, ketekenalan, populariras, tidak identik dengan kecerdasan. Dalam budaya pop, banyak tokoh terkenal yang pada dasarnya bodoh, otak udang, berperilaku dan berpikir dogol. Dan itu jamak. Jadi kalau Tere Liye menunjukkan kualitas aselinya, kita tak perlu heran. Jadi? Pernyataan Tere Liye itu membuktikan, popularitas itu tidak paralel dengan kualitas otak. 

Dalam dunia pop, yang sering terjadi adalah soal keberuntungan, juga opportunity. Pernyataan yang sangat kere niye!

3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Wedukoro ngelokne arjuno, bimo mbelani arjuno, werkudoro ujuk-ujuk mbungkam arjuno nganggo busak'an merk "delete coment"

    Lucu bingit, werkudoro kaya cah cilik

    BalasHapus

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...