Rabu, Agustus 19, 2015

Moge, CC Besar IQ Kecil


Dadang Christanto, perupa, pemoge palsu, foto hanya sebagai model.
Selama ini kita melihat kasus pencegatan Elanto Wijoyono atas konvoi moge pelanggar lampu lalin di Yogyakarta, hanya dilihat dari sisi hukum, hak, keadilan. Bahkan ada yang berlebihan menyebut perang antar-kelas (menengah, maksudnya). Saya ingin menyodorkan sudut pandang dari kesalahan dalam membaca karakter moge itu sebagai biang masalah. Baik kesalahan polisi, pemoge, panitia JBR, dan Pemda DIY.
Karena kita berangkat dari kasus JBR 2015 dengan mengundang seluruh anggota HDCI ke Yogyakarta, maka kita hanya khusus membicarakan soal sepeda motor Harley Davidson. HD didesain khusus agar memberikan kenyamanan pada pengandaranya, terutama jika digunakan dalam perjalanan jauh dengan kecepatan relative tinggi.
HD didukung dengan dapur mesin pacu yang istimewa. Akselerasi motor juga sangat halus namun memiliki top speed yang tinggi. Inilah alasan mengapa motor Harley Davidson sangat nyaman dan cocok digunakan untuk touring jarak jauh. Getaran dan performa mesin itu akan sanggup diredam oleh rangka yang dibuat secara hydroforming. Motor ber-CC besar di atas 1.000 CC itu bisa dipacu hingga kecepatan 218.6 km/jam.
Jangan bicara tentang harganya, yang antara Rp 250 juta hingga milyar. Belum lagi biaya importer dan mengurus pajaknya (di Indonesia masuk kategori barang mewah). Belum perawatan dan BBM yang disedotnya. Tak sembarang orang bisa memilikinya, meski orang yang tak sembarang itu bisa bersikap sembarangan.
Dengan karakter seperti itu, moge hanya cocok untuk jarak jauh dan jalan bebas hambatan. Dan kita tahu jalan-jalan di Indonesia, lebih-lebih kota-kota besar yang didesain orang Belanda seperti Malang, Yogyakarta, Bandung, Bogor. Pendek-pendek, banyak tikungan, simpangan dan traffic-light. Sementara kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan? Bukan hanya crowded melainkan juga macet. Itu sungguh tidak ideal untuk HD, sekiranya kita berfikir. Dan karakter moge seperti itu, sangat berpengaruh pada perilaku pemogenya. Apalagi bagi pemoge yang mentalitasnya abal-abal. Bisa besar pasak daripada tiang, ber-CC besar tapi ber-IQ kecil. Atau bahasa Perancis-nya, “kegedhen empyak kurang cagak”. Pemoge sekelas Marsekal (Purn) Rilo Pambudi, memilih memensiunkan mogenya di rumah, sebagai keprihatinan atas perilaku pemoge.
Beberapa negara melegalkan motor dengan kubikasi mesin besar masuk jalan bebas hambatan (tol). Di Indonesia dilarang, karena memangnya sebelum masuk jalan tol tidak melewati ritual jalanan umum? "Hanya di negara kita yang roda dua enggak boleh masuk jalan tol. Saya ini sudah keliling dunia naik motor. Kita malu sama negara lain," kata Sekretaris Jenderal Motor Besar Club (MBC) Indonesia Irianto Ibrahim yang kemarin marah-marah di instagram, bahwa apa yang dilakukan Elanto Wijoyono adalah karena iri dan syirik. Dan menurutnya, syirik tanda tak mampu.
Para pemoge luar negeri enggan touring ke Indonesia dengan alasan lebih logis, jalanan Indonesia terlampau padat. Dan itu yang membuat Irianto malu dengan negaranya. Artinya, hanya orang nggak logis pakai moge ngotot raun-raun atau konvoi di dalam kota. Apakah ringroad masuk dalam kota? Di Yogyakarta yang mungil, secara sosio-ekonomis iya. Karena di semua sisi luar ring-road di Sleman dan Bantul, adalah perumahan-perumahan umum yang 80% bekerja di kota (dalam ringroad).
Tentu saja, acara JBR 2015 di Yogyakarta kemarin, dengan mengundang 4.000 bikers adalah kekonyolan tersendiri. Alasan pengembangan turisme (dan ditambah nasionalisme biar terasa penting dan gagah), jadi terasa mengada-ada.
Dengan ribuan moge yang tumplek bleg di Yogyakarta itu, panitia dan peserta dengan pongah membanggakan multiplier effect ekonomi ke masyarakat. Okupasi hotel penuh, pegawai hotel dapat tips, penjual makanan, minuman, rokok, kere-kere, dapat cipratan duit anggota HDCI yang tentu turah-turah duit.
Namun selama empat hari, 14-17 Agustus kemarin, situasi lalu-lintas Yogya menjadi crowded. Kemacetan terjadi di mana-mana, ada atau tak ada touring. Karena ketika 4-8 pemoge raun-raun kota, sudah menjadi masalah itu sendiri. Belum lagi ketika mereka touring dari JCM di jalan Magelang melalui ring-road utara ke Candi Prambanan, yang menurut Komjen (Pol) Nanan Soekarnan selaku ketua umum HDCI, diikuti 2.000-3.000 moge (ini jumlah nggak jelas, mosok selisih sampai 1.000 motor).
Dengan panjang dan lebar motor, juga laju kecepatannya, maka jarak pacu satu moge membutuhkan ruang bebas tiga kali ukurannya. Dengan 2.000 moge saja, maka konvoi yang menurut AKBP Anny Pudjiastuti tak boleh terputus itu, bisa makan waktu lebih dari satu jam. Polisi tidak melihat diskriminasi, tapi berdalih diskresi. Bagaimana bagi korban diskresi? Ya, diskriminasi! Korbannya rakyat banyak, yang jumlahnya pada saat peristiwa itu berlangsung lebih dari 4.000 pemoge.
Dengan jalanan di Yogyakarta yang sedikit-sedikit simpangan, sedikit-sedikit simpangan (simpangan kok sedikit-sedikit), dan semuanya tentu cross dengan kendaraan umum, kita bisa bayangkan. Kemacetan berantai. Ada pesedamotor yang spontan membantu aksi Elanto karena pusing muter-muter mau ke stasiun mengantar saudaranya, tapi mencari alternative jalan ke mana-mana macet. Dan akibatnya ia ketinggalan kereta.
Di perempatan Condongcatur, tempat aksi Elanto, kemacetan jalan Gejayan di selatan ringroad macet parah. Perempatan ringroad ini adalah titik pusat pertemuan ratusan ribu kendaraan tiap hari, karena di utara ringroad terdapat puluhan perumahan umum. Apalagi hari Sabtu jam-jam sore orang hendak pergi atau pulang kantor dan dari bepergian (karena aktivitas kota jasa seperti Yogya, hari Sabtu bukan libur nasional). Jalanan Gejayan satu sisi (untuk yang ke utara) hanya selebar 5 meter, dipenuhi dua side kendaraan roda empat, dan hanya menyisakan sekitar 1 meter untuk lajur sepeda motor. Itu pun harus susah payah melaluinya, karena kaki-lima seenaknya dipakai untuk parkir roda-empat.
Lha wong kena lampu merah yang hanya 30 detik saja pengendara sudah tak sabar, apalagi mereka harus lebih dari 30 menit hingga 1 jam menunggu. Apalagi dalam kondisi letih, lapar, kesusu, di tengah panas dan desing mesin sekitarnya. Siapa yang tidak marah? Tidak peduli orang miskin dan kaya, mereka akan merasakan apa itu diskriminasi. Dalam hal ini, Elanto adalah pahlawan masyarakat korban!
Bagaimana mungkin kepolisian mengijinkan konvoi di ring-road yang menjadi urat-nadi keseharian masyarakat Yogyakarta, karena kebanyakan perumahan-perumahan tumbuh di utara ringroad itu?
Kita tak bisa membayangkan kemacetan hanya terjadi di jalan Gejayan, tetapi juga di jalan Magelang yang dipakai untuk start konvoi. Kita bisa bayangkan ribuan motor dan mobil yang tertahan berdesakan di jalanan yang sempit sisi jalan layang Jombor (yang 10 tahun mangkrak, tak bisa dibereskan oleh Pemda DIY). Pasti merupakan penyiksaan luar biasa. Belum pula di perempatan Monjali, Kentungan, Seturan, dan seterusnya. Jika para pemoge bisa pongah berkata kedatangan mereka juga berdampak ekonomi, apakah mereka juga menghitung berapa nilai kerugian yang diderita masyarakat korban? Nilai kerugian masyarakat bisa jadi lebih tinggi daripada uang yang bisa diserap oleh acara itu! Kita bisa diskusikan masalah ini secara terpisah.

Apalagi kegiatan buat organisasi HDCI yang ternyata bukan organisasi yang bisa sebagai contoh. Nanan Soekarnan konon sebelumnya mengatakan jangan touring pakai moge, silakan pakai kendaraan umum atau andong. Tetapi ketika konvoi berlangsung dan dicegat Elanto, Nanan sebagai ketua HDCI tidak konsisten, sekaligus menunjukkan bahwa himbauannya sebagai ketua HDCI tidak didengar anggotanya. Sementara ketua HDCI Yogyakarta menyebut pemoge yang ‘berdebat’ dengan Elanto di Condongcatur itu bukan anggota HDCI. Sementara lagi, moge yang menabrak mobil di Gedongkuning, meski sudah diberitahu nomor identitasnya oleh korban tabrak-lari itu, katanya tidak diketemukan. Panitia JBR bohong, atau penabrak lari itu pakai nomor ganda, atau dengan surat bodong, karena kasus seperti itu banyak pada para pemoge. Artinya, organisasi HDCI cenderung terbawa karakter mogenya yang memang machoistic dan hedonistic, yang jika dicampur menjadi satu kata; arogan!

Polisi sebagai yang berhak mengatur dan merekayasa arus kendaraan di jalan-raya, mestinya mengetahui permasalahan ini. Demikian juga pemerintah daerah pemberi ijin dan panitia JBR. Konvoi moge dalam jumlah ribuan, adalah pilihan ceroboh, dengan alasan apapun, apakah itu turisme atau nasionalisme. Jika alasannya tourisme, ngapain ke Prambanan? Ngapain bukannya menyusuri 69 pantai di jalur selatan Gunung Kidul yang relative bebas hambatan, sekaligus mengangkat ekonomi rakyat miskin sepanjang jalur itu? Di sana jalanan panjang, bebas hambatan dan sepi. Kalau jalur itu dianggap bahaya, pada titik-titik berbahaya panitia bisa bekerja-sama dengan penduduk setempat untuk berkoordinasi, sekaligus berbagi rejeki dengan mereka untuk mengatur arus lalu-lintas. Atau kalau tidak, touring-konvoi ke kawasan Kulon Progo, atau sepanjang jalan Daendels di selatan dari Kulon Progo, Bantul hingga Gunung Kidul?
Jangan sampai para pemilik moge ini mendapat cap buruk; CC Besar IQ Kecil. Itu menyedihkan. #SavePointG!

Minggu, Agustus 02, 2015

MUI: Sertifikasi Sebagai Tendensi & Sumber Masalah

PENGANTAR : Ulama, makna sebenarnya dalam bahasa Arab adalah ilmuwan atau peneliti. Ketika diserap ke dalam Bahasa Indonesia, arti ulama berubah maknanya menjadi; orang yang ahli dalam ilmu agama Islam.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ulama adalah orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam. Kata ulama berasal dari bahasa Arab, bentuk jamak dari kata ‘aalim. ‘Aalim adalah isim fa'il dari kata dasar: ’ilmu. Jadi ‘aalim adalah orang yang berilmu dan ‘ulama adalah orang-orang yang punya ilmu.
Ulama (Arab:العلماء al-`Ulamā`, tunggal عالِم ʿĀlim) adalah pemuka agama atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat Islam baik dalam masalah-masalah agama maupum masalah sehari hari yang diperlukan baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan.

MUI SEBAGAI SUMBER MASALAH | Belakangan sebagai lembaga swadaya masyarakat,  Majelis Ulama Indonesia (MUI) lagi-lagi membuat kegaduhan atau kehebohan di masyarakat. Jauh dari fungsi seharusnya sebagai yang semestinya berilmu, membuat terang masalah, ketenangan, kenyamanan, dan kepastian.  
Pernyataan MUI, tentang BPJS Kesehatan yang tidak sesuai dengan syariah Islam, menjadi pangkal soal. Asumsi yang berkembang di masyarakat, fatwa MUI tersebut menganggap BPJS Kesehatan adalah haram.
Apakah masyarakat bodoh dalam menyimpulkan? Hal tersebut harus tetap dikembalikan pada bunyi penjelasan MUI sendiri, yang memberikan pernyataan tidak jelas, abu-abu, dan bersifat ambivalen. Jika kita berbicara soal syariah, maka tidak sesuai syariah adalah tidak sesuai hukum (Islam). Tidak sesuai hukum hanya akan menjatuhkan kesimpulan pada benar dan salah, bukan tidak begitu salah dan agak benar.
Takut dibully masyarakat, Prof. Jaih Mubarok, anggota Dewan Syariah Nasional MUI menjelaskan, “Bukan fatwa haram, teksnya bukan haram. Ini ijtima komisi fatwa MUI keputusannya bukan BPJS haram, tapi BPJS yang sekarang berjalan tidak sesuai syariah.”
Hal itu buru-buru juga dijelaskan oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, Din Syamsuddin, yang menampik pihaknya telah mengeluarkan fatwa tentang pengharaman layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan oleh pemerintah.
Din memastikan MUI tidak pernah mengeluarkan fatwa yang menyinggung BPJS. Adapun rekomendasi yang dikeluarkan Sidang Ijtima, hanya berupa saran untuk penyempurnaan BPJS. “Dan setelah saya teliti, tidak ada kata haram di dalamnya.”
Apa yang kemudian terjadi? Media disalahkan sebagai biang pemlintir informasi. Masyarakat yang kemudian berlebihan membully MUI turut disalahkan juga, karena tidak pantas menghina ulama.  Dikatakannya, MUI adalah lembaga yang didukung oleh orang pintar, professor, doctor, ahli agama tingkat apapun.
Tapi apakah jika sudah demikian mereka luput dari salah, wong mereka juga manusia semata? Wong kita juga tidak tahu, lembaga atau institusi apa yang berhak memposisikan seseorang menjadi ulama, atau ahli agama? Nabi? Dalam Islam setelah Muhammad tak ada lagi nabi. Malaikat, atau Tuhan sekalian? Bagaimana berkomunikasi verbal dengan Tuhan, selain membacai seluruh teks-teks yang ada tentang agama? Sementara itu, pembacaan teks yang akan terkait dengan sanad, kredibilitas, dan lain sebagainya, melalui apa jika bukan melalui interpretasi yang dibangun atas persepsi dan perspektif, yang satu dan lainnya berbeda, dengan mengatakan sahih dan tidak sahih?
Sementara MUI mengatakan tidak sesuai syariah, senyatanya NU bisa mengatakan, bahwa akad dalam BJPS sudah sesuai syariah Islam. Mana yang benar? Itu sekedar membuktikan, bahwa salah dan benar, sesuai dan tidak sesuai, ternyata berbeda-beda sekali pun konon dengan bacaan atau sumber referensi yang sama.
Persoalannya bukan kualitas orang dalam MUI itu pintar atau bodoh, tetapi validitas dan kredibilitas MUI sebagai lembaga itu sendiri bagaimana? Dalam penjelasan status hukum MUI, lembaga itu menyatakan dirinya adalah lembaga swadaya masyarakat, yang tidak jauh beda dengan organisasi masyarakat lainnya (baca statuta MUI).

SERTIFIKASI SEBAGAI TENDENSI MUI | Di dalam MUI, terdiri orang-orang yang beragam, sebagaimana kata Din Syamsuddin dalam sebuah pertemuan dengan mahasiswa di luar negeri. Mengurus MUI jauh lebih rumit disbanding ngurus Muhammadiyah. Kenapa?
Karena banyak kepentingan di dalamnya.
Belum lagi kredibilitas orang-orangnya. Fakta hukum menunjukkan, ada seorang petinggi MUI Cabang Bogor, yang melakukan pem-video-an perilaku sex 3-some-nya. Apakah itu menunjuk bahwa ulama sebagai ahli agama? Terhadap kasus ini, jawabannya bisa kita tebak; Ulama juga manusia biasa, bisa khilaf. Tapi kalau fatwa ataupun hasil ijtima MUI dituding salah atau tak jelas, mereka membela diri; MUI ‘kan bukan lembaga sembarangan, didukung oleh orang-orang ahli, bergelar professor, doctor dan sebagainya.
Kalau benar mereka didukung orang ahli, bagaimana kita menilai pendapat Prof Jaih Mubarok, anggota Dewan Syariah Nasional MUI yang mengatakan; “Bila tidak ada yang bagus mualamahnya dan akhlaknya, maka daripada calon non muslim yang menang, tak apa memilih calon pemimpin yang korup,…”
Pernyataan itu disampaikan dengan mengintrodusir penjelasan normatif; "Yang terbaik, pilihlan pemimpin muslim yang mualamahnya dan akhlaknya bagus, yang tidak korupsi,…” (Kamis, 30/7/2015). Tetapi kemudian disambung dengan kata-kata sebagai berikut; "Daripada calon non muslim, pilih calon muslim yang korup.”
Meski kemudian ada penjelasan; “Tapi kemudian, masyarakat atau pemerintah membuat regulasi, agar dia tak korupsi lagi. Korupsinya harus dicegah ketika memimpin, dibuat kapok,…" namun bunyi pernyataannya sebagai ahli agama di Indonesia, mencerminkan sikap tidak toleran dan rasis.
Kenapa dikata in toleran dan rasis? Pernyataan itu disampaikan secara terbuka di publik, di Negara Indonesia yang mengakui banyak agama, bukan hanya Islam.  Dan Indonesia bukan Negara agama.
Hal itu menunjukkan bahwa kualitas orang-perorang di MUI tidak mengamanahkan sebagai gambaran sebuah majelis ulama, yang semestinya menjaga kemaslahatan umat. 
Artinya, MUI sendiri bukan lembaga yang sempurna dan didukung oleh orang-orang yang sempurna. Tinjauannya mengenai akad, dan berbagai hal yang berkait riba dan sejenisnya itu, juga debatable, sebagai lembaga keagamaan yang lain punya pendapat berbeda.
MUI hanya menggantungkan kata-kata yang interpretatif, bahwa syariah itu dijalankan supaya hidup kita berkah. “Kita ini kan seperti kurang berkah, kekayaan alam melimpah tapi miskin. Tidak ada kepentingan lainnya atas fatwa yang dikeluarkan ini, jangan kecam kami dengan berlebihan,” tutur Jaih Mubarok.
Negara kaya tapi rakyat miskin secara normatif memang kurang berkah (karena tidak menggunakan Syariah Islam?). Tapi bukan berarti bahwa Indonesia kurang berkah karena tidak nurut MUI. Karena kalau hukum positif dijalankan, korupsi dibasmi, Negara kaya ini akan bisa menyejahterakan rakyatnya.
Tendensi MUI untuk menggoalkan label halal dan haram dengan strategi syariah itu bisa dilihat dari himbauan akhirnya; “Saya kira BPJS silakan jalan, dan juga dibentuk BPJS Syariah,” kata Jaih Mubarok.
Disisi lain Din Syamsuddin menjelaskan, selain Komisi Bidang Fatwa, MUI juga memiliki Dewan Syariah Nasional yang berperan dalam membahas masalah-masalah di bidang keuangan. Orang-orang di dewan inilah yang selalu memberi masukan kepada pemerintah terkait berbagai kebijakan mengenai bidang ekonomi. “Kami memberi masukan agar program lebih sesuai dengan syariah Islam dan memberi manfaat kepada umat,” kata dia.
Dan kita tahu, MUI selain memberikan masukkan kepada lembaga BPJS terkait dengan hasil itjima tersebut seperti halnya Bank Konvensional (Asuransi Konvensional) yang kemudian dilahirkan Bank dan juga Asuransi Syariah.

SERTIFIKASI HALAL DAN PERPUTARAN UANG | Kita bisa membayangkan, bahwa dengan otoritasnya dalam pelabelan halal dan haram, MUI bisa mengelola trilyunan rupiah. Pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaminan Produk Halal (JPH), sudah dua tahun ini mangkrak. Alasan yang disampaikan waktu itu, sangat banyak dan mendasar, karena jika dipaksakan, dikhawatirkan bisa menimbulkan banyak masalah.
Selain menimbulkan persaingan usaha, publik akan mempertanyakan siapa yang akan memungut uang hasil sertifikasi halal yang totalnya mencapai Rp 480 triliun dalam lima tahun?
Masa berlaku sertifikasi halal adalah 3 tahun, dan harus mulai mengurus perpanjangan sejak 6 bulan sebelum masa berlakunya habis. Artinya dalam lima tahun, pengusaha harus dua kali mengurus surat halal. Sekali pengurusan biayanya sebesar Rp 6 juta, sehingga bila ditotalkan bisa mencapai Rp12 juta dalam lima tahun. Jika angka itu dikalikan dengan 40 juta pengusaha, maka hasil yang ditarik dari masyarakat dalam lima tahun mencapai Rp480 triliun.
Saat ini DPR masih menggodok tentang siapa yang berhak mengeluarkan sertifikasi terhadap kehalalan suatu produk, yang selama ini masih dipegang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Dalam pembahasan, MUI meminta dialah yang memegang sertifikasi dan negara hanya mengurus administrasi saja. Itu tarikan yang masih alot dalam pembahasan RUU. Padahal sebagai organisasi masyarakat, MUI tidak berhak melakukan penarikan terhadap uang dari masyarakat sebesar Rp 480 triliun tersebut.
Yang berhak menarik uang dari masyarakat hanya negara. Mengenai soal kehalalan (atau keharaman) jika hal itu sebagai urusan agama, maka bukan hanya MUI saja yang paham soal agama. Ada Muhammadiyah, NU, dan lainnya yang juga mempunyai ahli-ahli agama. Ingat kasus pengelolaan uang yang dulu dilakukan Yusuf Mansyur? Juga oleh kelompok ormas kriminal berlabel agama yang juga mau main kutip uang rakyat dengan alasan agama?
Menurut salah seorang anggota DPR, aneh jika Kementerian Kesehatan tidak dilibatkan dalam pembahasan RUU JPH dan hanya melibatkan Kementerian Agama sebagai wakil dari Pemerintah. Ia berpendapat sebaiknya negara melakukan penguatan-penguatan terlebih dahulu.
Belum lagi jika kelak sampai pada praktik pelaksanaannya. Karena nantinya, daerah pun juga akan terkena dampak dari aturan ini. Pada kenyataannya, anggaran negara kita belum kuat, demikian juga pengusaha.
Pemerintahan SBY pada waktu itu berada dalam dilema, karena akan berhadapan dengan isu agama yang sensitif. Tapi, bangsa dan negara ini perlu makin sadar dan proporsional, bahwa atas nama agama bisa menjadi alat manipulasi bukan demi kemaslahatan umat saja, melainkan juga kepentingan para kapitalis bertopeng.
Jangan pula diabaikan, bahwa bola liar dari BPJS yang tidak sesuai syariah ini akan disusul dengan pembicaraan soal perlunya BPJS Syariah dan BPJS Konvensional, sebagaimana lembaga keuangan seperti bank dan asuransi kini juga mengenal Bank Syariah dan Asuransi Syariah. Dan itu bukan duit main-main dengan melibatkan MUI.
Dewan Syariah Nasional (DSN) mendesak Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan membuat produk asuransi berbasis syariah guna mengakomodir kepentingan umat muslim. Berdasarkan riset DSN, potensi pasar asuransi syariah di Indonesia cukup besar, di mana jumlah pesertanya minimal mencapai 7 juta orang. Terbayang berapa jumlah uang yang akan berputar di situ, dank arena syariah melibatkan MUI, apakah mereka mau gratisan untuk Negara?
Adiwarman Karim, Wakil Ketua DSN mengatakan pihaknya telah melakukan pemetaan terhadap jumlah peserta program Jaminan Kesehatan Sosial Nasional (JKSN).
Terdapat empat kategori peserta berdasarkan hasil riset DSN. Kategori pertama adalah kelompok peserta 'apatis', di mana peserta yang masuk dalam daftar ini rata-rata tidak peduli dengan prinsip-prinsip maupun kualitas fitur asuransi yang diterapkan oleh BPJS Kesehatan. "Jumlah peserta yang apatis ini sekitar 15 juta orang," tuturnya kepada CNN Indonesia, Rabu (29/7).
Kriteria peserta yang kedua adalah 'konformis'. Kelompok ini sangat-sangat mementingkan akad dan label syariah dalam pelaksanaan JKSN. "Jumlahnya itu sekitar 7 juta orang," katanya.
Kelompok ketiga adalah 'rasionalis'. Kelompok ini relatif tidak terlalu peduli dengan besar iuran yang diwajibkan PBJS Kesehatan, tetapi yang penting bagi mereka adalah fitur dan pelayanan yang terbaik.
Terakhir adalah kelompok 'universalis', di mana peserta-pesertanya tidak terlalu mempermasalahkan akad yang mendasari JKSN. Namun, yang merka utamakan adalah transparansi, nilai-nilai kejujuran dan etika pengelolaan iurannya.  "Untuk rasionalis dan universalis itu jumlahnya paling besar, yakni di luar dari yang pertama dan kedua itu," tuturnya.
BPJS Kesehatan dalam situs resminya merilis perkembangan jumlah peserta JKSN. Sampai dengan hari ini, Rabu (29/7), jumlah peserta JKSN lebih dari 148,5 juta jiwa. "Potensi dana kelolaannya tinggal dikalikan saja kalu rata-rata menyetor iuran 200 ribu sampai 300 ribu per bulan," kata Adiwarman.
Bukankah itu sumber perputaran uang yang mengiurkan?

MEREVISI FATWA MUI | Kembali ke persoalan BPJS; Benarkah BPJS tidak sesuai syariah Islam? Itu ‘kan kata MUI, sementara ada pandangan lain yang juga harus dihargai.
Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Prof. Hasbullah Thabrany menilai Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak paham dan salah menilai mengenai sistem Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Menurut Hasbullah, MUI harus merevisi fatwa yang menyatakan BPJS Kesehatan tidak sesuai syariah. "Ini, kan program berjalan yang bersifat wajib, jadi jangan penilaian mereka berdasarkan program yang sifatnya jual beli," kata Hasbullah (KOMPAS.com, Jumat, 31/7/2015).
Menurut Hasbullah, Jaminan Kesehatan Nasional sifatnya seperti wajib pajak, disusun oleh pemerintah sebagai bentuk kewajiban terhadap warganya. Mengenai denda, menurut Hasbullah hal tersebut merupakan hukuman yang wajar jika terlambat membayar iuran.
Denda itu pun tidak dijadikan sebagai keuntungan BPJS, melainkan untuk Jaminan Sosial peserta lain. "Saya kira salah paham. Di pajak juga ada denda, kenapa dia tidak bilang pajak itu tidak syariah?" kata Hasbullah.
Sama halnya iuran yang dikumpulkan peserta BPJS. Iuran tersebut bukan sebagai keuntungan untuk BPJS, melainkan untuk membayar peserta lain yang sakit.
Hasbullah menegaskan bahwa sistem BPJS sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS. "Kalau bilang BPJS harus syariah, maka sama juga mengatakan pemerintah pun harus berbadan hukum syariah dong? Karena badan hukum BPJS itu sama dengan badan hukum pemerintah," ujarnya.
Hasbullah pun mempertanyakan mengapa BPJS Kesehatan baru dipermasalahkan sekarang mengingat program asuransi kesehatan oleh pemerintah sudah berjalan sejak lama. Ia mempertanyakan apakah fatwa tersebut memang dikeluarkan untuk kepentingan umat?
Penilaian soal BPJS dihasilkan dalam forum pertemuan atau ijtima Komisi Fatwa MUI di Pondok Pesantren At-Tauhidiyyah Cikura, Bojong, Tegal, Jawa Tengah, pada Juni 2015. Menurut Din belum dikonsultasikan ke dewan pimpinan dan dikeluarkan sebagai fatwa. Tapi bagaimana bisa bocor ke masyarakat dengan materi yang belum final penjelasannya?
Mengapa sebagaian ulama yang tergabung dalam MUI telah bertindak ceroboh, tidak bijaksana dan gegabah, karena kalau niatnya baik, mereka bisa menyampaikannya secara tertutup dan terpilih pada pemerintah, dengan target perbaikan, tanpa menimbulkan kehebohan. Jika demikian, apa maksud dan maknanya?

MAKHLUK APAKAH MUI | Dengan sindirannya yang tajam, Gus Mus mempertanyakan; Makhluk apakah MUI ini?
MUI atau Majelis Ulama Indonesia adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewadahi ulama, zu'ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 17 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, Indonesia.
MUI berdiri sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI,” yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.
Sebagai organisasi yang dilahirkan oleh para ulama, zuama dan cendekiawan muslim serta tumbuh berkembang di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia adalah gerakan masyarakat. Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia tidak berbeda dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan lain di kalangan umat Islam, yang memiliki keberadaan otonom dan menjunjung tinggi semangat kemandirian. Semangat ini ditampilkan dalam kemandirian -- dalam arti tidak tergantung dan terpengaruh -- kepada pihak-pihak lain di luar dirinya dalam mengeluarkan pandangan, pikiran, sikap dan mengambil keputusan atas nama organisasi.
Sementara dalam penjelasan lembaganya, dalam kaitan dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia tidak bermaksud dan tidak dimaksudkan untuk menjadi organisasi supra-struktur yang membawahi organisasi-organisasi kemasyarakatan tersebut, dan apalagi memposisikan dirinya sebagai wadah tunggal yang mewakili kemajemukan dan keragaman umat Islam. Majelis Ulama Indonesia , sesuai niat kelahirannya, adalah wadah silaturrahmi ulama, zuama dan cendekiawan Muslim dari berbagai kelompok di kalangan umat Islam.
Jika demikian, apa otoritasnya? 
 
MUI DAN BUAH SIMALAKAMA | MUI berdiri seiring dengan tumbuhnya Orde Baru dibawah Pemerintahan Soeharto, dan menjadi bagian penting rancang-bangun dimulainya program pemerintahan Orde Baru.
Konsolidasi Orde Baru bukan persoalan mudah dalam bayang-bayang kepemimpinan Sukarno. Soeharto secara sistematis melakukan desukarnoisasi dengan membangun pemerintahan yang terstruktur serta terpusat, yang kemudian menjadi pemerintahan otokrasi.
Konsolidasi kepada seluruh umat Islam, adalah bagian penting dari strategi Soeharto. Umat Islam di Indonesia memiliki begitu banyak organisasi yang tercerai berai ke dalam banyak faksi. Dalam situasi itu, tumbuh dua organisasi massa Islam, NU dan MUhammadiyah, yang memiliki kekuatan dan pengaruh besar di dalam masyarakat. Keberadaan dua ormas ini, dalam sistem kekuasaan yang dikembangkan Soeharto sudah tentu dianggap contra-productive. Mengakui keberadaan NU serta Muhammadiyah, mau tak mau membuka posisi sharing dalam kekuasaan, yang hal ini jelas mengganggu konsep dan program yang tersentral dan terstruktur dari sistem pemerintah yang disebut Orde Baru.
Karena itu, Soeharto mengumpulkan semua organisasi-organisasi  kecil dan bahkan yang mendadak dibentuk saat itu, untuk membuat lembaga tandingan kelompok muslim diluar Muhammadiyah dan NU.
Demikianlah cikal-bakal MUI (yang kelak pola ini ditiru pada 1997 oleh Wiranto dalam mengumpulkan massa militant berlatar keagamaan, untuk mengalihkan isyu sentral ke konflik horisontal, yang pada akhirnya kelompok itu menjadi cikal-bakal FPI, Front Pembela Islam).
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok.
Pada sisi itulah Muhammadiyah dan NU mengalami degradasi peran dan posisinya sepanjang pemerintahan Soeharto. Pemasungan kekuatan politik inilah yang menjadi sasaran pokok pemerintahan Orba ketika itu.
Peran NU dan Muhammadiyah tidak berada dalam konstelasi gerakan politik, namun mereka memiliki pengaruh di dalam pemenuhan kebutuhan syariat dan ibadah serta kepercayaan umat. Oleh karena itu pada tataran legal formal, MUI dijadikan alat pokok pemerintah dalam menjalankan setiap program-programnya.
MUI menjadi alat kekuasaan Orde Baru untuk ikut serta mendukung dan mensukseskan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Pada jaman Orba, MUI memiliki kewenangan absolut untuk menentukan hari hari besar Islam, serta menentukan baik serta buruk dan bahkan haram-tidaknya sesuatu.
NU dan Muhammadiyah tetap berkembang bersama umat yang meyakininya, dan tetap mengikuti fatwa yang dikeluarkan oleh masing-masing organisasi. Bahkan pada pemerintahan Orba tidak pernah terjadi, Muhammadiyah ikut kedalam policy pemerintah ketika menentukan hari besar Islam, terutama Iedul Adha dan Iedul Fitri. Bahkan seringkali penentuan hari besar Islam itu dijadikan alat pemerintah untuk memperdalam jurang perbedaan diantara ummat Islam.
Sejak Maret 2015, pemerintahan Jokowi mencabut dana bantuan sosial untuk MUI. Pemangkasan Bansos ini adalah keputusan yang cukup berani, karena MUI selama ini berada dalam posisi status-quo yang tak seorang pun bisa menjamahnya.
Setelah era lengsernya Soeharto dengan politik otoritarianisme, demokratisasi dan kesetaraan non-diskriminasi tentu menjadi tantangan berat bagi keberadaan MUI yang dogmatis dan absolut. Apalagi munculnya kesadaran baru, bahwa keyakinan masing masing umat, adalah hak asasi yang harus dihormati oleh siapapun, termasuk negara. Ruang keyakinan warga menjadi sangat penting dan menjadi tolok ukur keberhasilan pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya.
Demokratisasi, HAM, toleransi, adalah isyu-isyu yang secara diametral selama ini justeru berlawanan dengan fatwa-fatwa MUI, apalagi dalam kaitan labelisasi halal dan haram yang masuk ke lembaga dan sistem keuangan negara dengan dalil-dalil syariah (Islam).
Pada posisi ini, dimana sebenarnya posisi dan keberadaan MUI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang plural seperti Indonesia?

OTORITAS MUI DAN KUDETA MERANGKAK | Umat Islam di Indonesia sendiri tidak diberitahu, mengapa pemimpin MUI ini dan bukan itu. Siapa saja yang menjadi anggota MUI apakah perseorang atau mewakili lembaga, dan bagaimana pula kriterianya? Namun kenapa dengan ketidakjelasan posisinya itu ia seolah menjadi wakil Tuhan yang memberikan penilaian final yang harus diikuti, jika tak ingin dikatakan murtad? Orang Indonesia, apalagi pemimpin atau pejabat public, takut jika dicap murtad dari agama.
Padahal, siapa yang berhak mengatakan seseorang murtad, kafir, halal, haram, syirik, berdosa, masuk neraka, sorga, dapat pahala Tuhan?
Kalau MUI mau merangsek ke sistem hukum gormal pemerintahan Negara Republik Indonesia, ganti dulu azas bernegara kita. Ubah atau ganti UUD sesuai syariah (Islam). Caranya? Terserah. Mau pakai jalan revolusi, kudeta, atau berjuang melalui jalan demokrasi yang kita sepakati bersama.
Saya meminjam istilah Choen Husain Pontoh, dalam status fesbuknya, begini: “Jika sejarawan Asvi Warman Adam mengatakan bahwa Soeharto melakukan kudeta merangkak terhadap pemerintahan Soekarno pasca G30S, maka saya ingin mengatakan bahwa MUI sedang melakukan proyek politik Syariah Merangkak,...."
Jika semua keputusan perundang-undangan Republik Indonesia dikaitkan dengan syariah (Islam), negara ini Negara Islam, Negara agama, atau bukan? Lihat UUD 1945 kita. Lihat preambulenya. Lihat sejarahnya dengan membaca teks pidato Sukarno 1 Juni 1945 dan perdebatan yang terjadi di dalamnya. Di situ jelas Bung Karno mengatakan, sekali pun tidak ada embel-embel Islam, tetapi karena mayoritas para pemimpinnya beragama Islam, tidak mungkin tidak aspek hukum dalam konstitusi kita (pendeknya) tidak Islami.
Formalisasi syariah dengan pelabelan haram dan halal, tampaknya menjadi senjata efektif. Memang label 'Islam' tidak dipakai, tetapi pelabelan 'syariah' tak mengingkari substansinya. Lha bagaimana dengan syariah (hukum) Kristen, syariah Hindu, syariah Buddha, syariah Khonghucu sebagai agama yang diakui di Indonesia? Atau mau bikin BPJS Islam, BPJS Kristen, roti Islam, roti Buddha, celdam Katholik, softext Hindu, dan sebagainya? Maka itulah Bung Karno menawarkan Pancasila!
Jika semua-mua hal kemudian harus disyariahkan secara hukum agama Islam, dengan ancaman-ancaman sorga dan neraka (karena syariah atau hukum agama tentu berkait halal dan haram, haq dan bathil), maka buat apa pemerintahan ini dibangun oleh semua orang tetapi disetir oleh pandangan lembaga yang kredibilitasnya di luar sistem bersama yang kita sepakati atas nama konstitusi? Buat apa mendirikan partai politik, memutar duit dan atas nama rakyat dengan mendirikan lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, jika kemudian makbedundug muncul MUI di atas segala-galanya, seolah mewakili Tuhan? Tuhannya siapa?
Di situ agama menjadi persoalan bukan jalan keluar. Apalagi kalau ujung-ujungnya nanti ada Presiden Syariah, Parlemen Syariah, pengadilan syariah, medsos syariah, parpol syariah, dan sebagainya.
Negara Indonesia tidak dilahirkan, diurus, dan dipertanggungjawabkan oleh MUI, tetapi oleh seluruh manifestasi bangsa dan Negara Indonesia. Jadi agen siapa MUI ini? Israel? Mossaad? Mossanto? Yahudi? Fremasson? Raja Saud bin Wahab? Suntulkenyut?

Namun, inilah tragedi besar bangsa ini. Setelah agama selama ini sebagai tameng negara semasa pemerintahan tiran Soeharto, kini agama berbalik memperalat negara. Sistem politik Soeharto yang berazas formalisme dan pragmatisme, membuahkan masalah pada generasi sesudahnya, bangsa multikultur ini dibenturkan dengan berbagai legitimasi yang vandalistik. Sama halnya dengan ketika elite penguasa memakai organisasi massa dalam periode menjelang lengsernya Soeharto, untuk membenturan konflik horisontal ke isyu agama (Islam) sebagai mayoritas, hingga terbentuknya FPI yang menjadi benalu bagi pemerintah. MUI pada akhirnya menjadi slilit yang dilematis, terlebih dikala formalisme dalam Islam menjadi moment munculnya kaum waham dengan faham wahabiyah.
Pertanyaan terakhir: MUI sendiri halal atau haram? Sudah bersertifikat syariah belum?

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...