Selasa, November 11, 2014

Berubah, Berubah, Berubah, dan Ndhableg!


Keamanan kita adalah hanya kemampuan untuk berubah, itu yang diujarkan John Lilly. Dan bagi Mignon McLaughlin,  inti orang yang paling bahagia, ialah mengubah apa yang paling ditakuti (menjadi sesuatu yang tidak ditakuti). Seperti ketika kita takut Prabowo akan menjadi presiden, eh, kita berjuang dan ternyata berhasil memenangkan Jokowi. Bahagia banget, meski ada yang menjerit ‘sakitnya tuh di sinihhhhh,…’
Dan demikianlah hukumnya. Kita melihat, pasar berubah, selera berubah, begitu juga perusahaan-perusahaan dan individu-individu yang memilih bersaing di pasar, semuanya itu harus berubah. Kenapa harus? Siapa yang mengharuskan? Dan untuk apa?
Siapa yang bisa membantah, bahwa tak ada yang abadi di dunia ini kecuali nilai? Nilai adalah sesuatu yang abstrak, dan wadah-wadahnya yang material, terkungkung hukum material atau hukum alam. Yang dulu kita bayi dengan batok kepala masih empuk, sekarang jadi makhluk tuwek dan keras kepala.
Mereka yang tidak ingin berubah, dengan gampang bisa dilihat, apa yang salah dalam membaca masalahnya. Sering kebolak-balik antara wadah dan isinya, wadag dan substansinya. Dan karena itu, manusia puritan sering anti perubahan, karena dianggap karya setan. Padahal perubahan itu sunatullah, itu kalau mau diskusi fair, tidak hanya mengambil ayat yang menguntungkannya tetapi menyembunyikan ayat yang mengkritisinya.
Dan orang kebingungan menanggapi FPI, padahal banyak orang Petamburan jadi saksi, bagaimana para boneka FPI itu minum pil koplo dulu sebelum turun dan ngamuk ke jalan. Kita tak bisa membedakan mana agama Islam substansi dan mana agama preman dengan peci bergambar pedang dan tulisan Allah tapi tukang nenggak pil koplo.
Perubahan adalah pertarungan. Menurut Joan Wallach Scott, mereka yang mengharapkan sesuatu yang nyaman dan bebas dari konflik, pada saat-saat perubahan itu berproses, pertanda tidak belajar dari sejarah mereka. Lihat saja bagaimana ketika transisi dari 1965 ke 1970, atau apa yang terjadi pada 1998, atau 9 Juli 2014 dari optimis menjadi keok! Dan tidak siap move on.
Dalam kehidupan pribadi kita saja, mengalami perubahan-perubahan itu. Dari kaya ke miskin, dari miskin ke kaya, dari gagal ke sukses, dari sukses ke gagal, dari proses ke macet, dari cinta ke benci, dari banyak pacar ke jomblo abis.
Belum lagi jika kita sedang memproyeksikan, mengangankan sesuatu. Dibutuhkan keberanian untuk berubah, karena perubahan tidak selalu berhasil. Dan di situlah, kata Bob Urihuck, kebanyakan orang menyerah.
Bagaimanapun perubahan adalah kata lain dari pertumbuhan, sinonim dari kata belajar. Kita semua dapat melakukan dan menikmatinya. Jika kita mau, seperti kata sang motivator. Tapi kenyamanan hari ini, membuat kita ingin stag, berhenti pada comfortable zone itu. Ogah move on. Still in here. Biar sampek matek, sampek tuwek, pejah gesang ndherek Soeharto dan Prabowo! Padahal faham yang mereka tawarkan sudah jadul, ketinggalan jaman, atau memang tidak jamannya lagi. Piye kabare, enak jamanku to? Lha, terus piye kembali ke jamanmu? Membangkitkan mayat Soeharto, atau memakai boneka bernama Prabowo sebagai tiran baru?
Sementara kita hanya terpukau pada kata-kata kesuksesan, kemeriahan, hasil akhir. Namun tidak pada bagaimana proses perjuangan mendapatkannya. Kemajuan merupakan kata yang merdu, dan impian semuanya sebagaimana kata Robert F. Kennedy. Tetapi untuk itu, perubahanlah penggeraknya, dan perubahan mempunyai banyak musuh. Tak semua orang suka perubahan, apalagi jika perubahan itu pada intinya menggusur perannya ke pinggir, ke bawah, ke luar lingkaran, dan seterusnya.
Dan celakanya, sebagaimana dituliskan sang dramawan John Steinbeck, manusia yang berangsur menjadi tua umumnya cenderung menentang perubahan, terutama perubahan ke arah perbaikan yang memberi ruang untuk pertumbuhan bagi generasi baru. Makanya kita lihat, partai-partai politik Indonesia kebanyakan semuanya buruk, karena selain oligarkis juga penganut faham gerontologisme.
Mana mau ARB mundur? Mana mau Megawati mundur? Mana mau SBY mundur (walau tak mencalonkan jadi ketua umum, tapi posisinya kelak pasti ketua dewan Pembina, yang artinya adalah owner)? Mana mau SDA mundur? Mana mau Amien Rais mundur (walaupun sudah tersingkir di partai)? Mana mau Prabowo mundur dari Gerindra? Sudah habis banyak duit, je!
Maka kita lihat, transisi politik kita dewasa ini, ialah bagaimana waktu pelan-pelan akan menyingkirkan politikus tua yang perlahan membusuk itu. Apalagi jika tak ada legacy yang ditinggalkannya.   
Padahal: Orang yang paling tidak bahagia, sebagaimana renungan Mignon McLaughlin, ialah mereka yang paling takut pada perubahan. Mereka yang ngomong tentang berubah, berubah, berubah, tapi pada dasarnya adalah ndhableg, keras kepala, untuk mengukuhi sesuatu yang sesungguhnya sudah out of date. Rata-rata, itu ciri khas politikus pengemban ideologi Soehartoisme.
Dan itu menyedihkan. Padahal, lima tahun lagi tuntutannya akan makin berkembang. Masyarakat semakin tak butuh politikus, apalagi yang hanya pandai bersilat lidah, beretorika, membagi uang menebar janji.  

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...