Jumat, September 26, 2014

UU Pilkada: Merampas Suara Rakyat dengan Alasan Demokrasi


Pada menit-menit terakhir sidang paripurna RUU Pilkada, kita kemudian tahu, Partai Demokrat menjadi tirani minoritas yang lebih mementingkan eksistensi dirinya daripada apa yang dikatakannya dengan ndakik-ndakik; bahwa demokrasi yang menyertakan partisipasi rakyat dalam pemilihan langsung itu yang dibelanya.
Semuanya hanya lips service, politik kata-kata. Tidak sebagaimana yang ditunjukkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono, presiden sekaligus ketua umum Partai Demokrat, yang pada 16 Agustus 2014 berpidato tentang demokrasi partisipasi ini, yang kemudian juga disambung pada pidato akhir Agustus ketika membuka rapim KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), dengan definisi-definisi politik yang tampaknya agung dan mulia. 
Hal tersebut masih ditambah lagi wawancaranya yang khusus untuk diuploadnya ke youtube. Bagaimana dengan jelas dan jernih, SBY dengan latar belakang bendera Partai Demokrat mengatakan bagaimana ia berpihak pada pilkada langsung sebagai proses demokrasi yang telah kita buktikan dengan sebaik-baiknya. Sebagai presiden pertama hasil pemilihan langsung, pun SBY juga menyatakan bagaimana partisipasi rakyat dalam proses demokrasi sebagai sesuatu yang membuktikan bagaiman Indonesia sebagai negara besar yang berwibawa di dunia. 
Namun semuanya itu dimentahkannya sendiri. SBY tentu saja saat itu sedang dalam kunjungan kenegaraan di AS, namun, kita semua mengerti, dialah yang menguasai dan mempunyai partai Demokrat, dan mampu membuat anggota partai menuruti semua perintahnya. 
Semalam, atau tepatnya dini hari hampir jam 02 (26 September 2014), pada akhirnya RUU Pilkada disahkan dalam sidang paripurna DPR-RI dengan cara voting. Hasilnya, 135 suara setuju pilkada langsung oleh rakyat (PDIP, PKB, Hanura + 6 anggota Demokrat dan 11 anggota Golkar), dan 226 suara setuju pilkada via anggota DPRD (Gerindra, PKS, Golkar, PPP, dan PAN).
Kemenangan “koalisi merah putih” atau kelompok Prabowo ini, karena semula Partai Demokrat yang mendukung pemilihan langsung, pada jam-jam terakhir saat lobi, tetap ngotot dengan 10 opsi yang tak bisa ditawar. Dan akhirnya, dengan 120 suara, mereka memilih walk-out. Tentu saja hal itu praktis mengubah peta politik, yang semula jika Demokrat bersatu dengan PDIP, PKB dan Hanura, pilkada langsung akan memenangkan suara. Namun, dengan walk outnya Demokrat, selesai sudah soal.
PDIP, Hanura, dan PKB, tampaknya tak ingin bersikap ‘tinggal glanggang colong playu’, ngacir dalam pertarungan terakhir. Seperti dikatakan anggota PDIP, mereka adalah petarung politik, yang diikuti oleh Hanura dan PKB, bahwa mereka akan mengikuti proses sidang sampai selesai. Walau pun jika ketiga partai itu pun menyatakan walk-out, pengesahan RUU itu juga akan buyar.
Padahal, menjelang ketok palu, PDIP, Hanura, dan PKB mendukung penuh 10 opsi dari Demokrat. Namun, Demokrat agaknya tetap keras kepala, mendesakkan 10 opsinya (koreksi total, evaluasi perbaikan proses pilkada langsung), yang sebenarnya sudah teradopsi dalam opsi dua pilihan pilkada langsung dan tidak langsung.
Bagaimana pun, hal tersebut tak bisa dilepaskan dari peran SBY langsung, yang mengambil keputusan untuk memerintahkan anggotanya walk-out, meski di ruang sidang tersisa 6 anggota Demokrat yang memilih berbeda dengan partainya, dan mendukung pilkada langsung. Partai Demokrat adalah hak mutlak SBY, dimana semua tak bisa bergerak tanpa komando langsung SBY. Hal itu tampak dari sikap Demokrat selama ini, sejak RUU Pilkada diajukan pemerintah Juni 2014.
Pada waktu itu, hingga sebelum pilpres Juli 2014, semua partai setuju pilkada langsung (tak peduli PKS, PAN, dan Gerindra, apalagi PDIP, Hanura, dan PKB). Sementara sikap Demokrat masih ambivalen dan condong pada pilihan pemerintah (sebagai representasi dari SBY itu juga) untuk lebih mendorong pilkada melalui DPRD karena berbagai pertimbangan seperti biaya mahal, korupsi marak, dan berbagai ekses negative seperti kerusuhan dan perpecahan elemen bangsa.
Namun setelah pilpres (9 Juli 2014) di mana Prabowo kalah oleh Jokowi, semuanya berubah. Upaya untuk mendesakkan system parlementer, tak bisa terhindarkan karena koalisi merah putih merasa lebih unggul di sana dengan menguasai mayoritas suara di parlemen. Dan semuanya itu dipraktikkan dalam UU MD3, UU Pilkada, dan mungkin dengan kemenangan-kemenangan itu akan dilanjutkan pada RUU Kembalinya Kekuasaan MPR, dan sejenisnya, untuk akhirnya kelak mendudukkan Prabowo sebagai presiden dengan cara langsung dipilih MPR-DPR.
Sikap Demokrat sebagai representasi sikap politik SBY, seperti karakternya, tidak pernah jelas dan tegas. Berada di area abu-abu, ingin menjadi pihak penyeimbang, netral, tidak di mana-mana, karena sebetulnya ingin di mana-mana. Politik dua kaki kerap dimainkan SBY, termasuk bagaimana ia kemudian menawarkan Pilkada Langsung dengan 10 Opsi, yang berbeda dengan koalisi merah putih dan bukan pula ikut koalisi Jokowi-JK. Demokrat agaknya ingin mencuri akting pada sisi ini. Ingin dikenang sebagai pembela kepentingan rakyat, namun juga ingin sebagai partai politik yang tidak dilecehkan di parlemen maupun pemerintahan.
Namun semuanya itu sia-sia. Demokrat tetap akan dinilai sebagai partai yang lebih mementingkan kepentingan mereka sendiri, dan bukan kepentingan kontituens sebagaimana sering dipidatokan selama ini.
Demokrat sering berada dalam sebuah blunder politik, karena kepentingan-kepentingan sempit elite partai. Cinta bertepuk sebelah tangan antara SBY dan Megawati, agaknya juga menjadi penyebab semuanya. SBY tak ingin diremehkan, tapi hasil akhirnya, Demokrat memang menjadi remeh. Lima tahun ke depan, setelah anggotanya rontok lebih dari 40% di parlemen 2014-2019 ini, bisa jadi akan sama sekali tak bersisa dengan tenggelamnya SBY dalam kepolitikan nasional kita.
Disahkannya RUU Pilkada menjadi undang-undang, sebenarnya bukan sebuah kiamat. Presiden sebagai kepala eksekutif, mempunyai hak suara 50% untuk menjadikan RUU yang disahkan oleh parlemen itu final menjadi UU atau batal sama sekali. Akan sangat tergantung, apakah SBY bersepakat dengan DPR atau tidak. Apakah SBY akan atau sedang bermain teater untuk meninggalkan impresi legacy sebagai negarawan, atau pecundang dan peragu yang abadi?
Pertarungan sesungguhnya belum berakhir. Jika pun SBY akhirnya menyetujui pengesahan UU Pilkada itu, rakyat masih punya harapan mementahkannya dengan melakukan uji-materi, judicial review melalui Mahkamah Konstitusi. Kita buktikan, pertarungan ini berakhir di mana, setelah 16 tahun reformasi yang memungkinkan rakyat berperan dalam pemilihan. Dan demokrasi, sebagaimana kata Plato, akan masuk ke dalam despotisme, dimana rakyat sebagai pemegang kedaulatan tak mempunyai hak selection apalagi election. 
Apakah akan dirampas oleh oligarki partai sebagaimana jaman  Orde Baru dulu (sekalipun katanya dengan catatan perbaikan), dengan tidak lagi punya hak selection dan apalagi election, atau rakyat akan kembali mendapatkan haknya melalui keputusan MK. Kita, rakyat yang bersetuju pada pilkada langsung, masih punya ruang untuk berjuang, melawan kesewenang-wenangan par-tai politik.
Karena jika kita biarkan, Indonesia akan menjadi salah satu Negara ajaib, di mana memakai system presidential, namun pada level di bawahnya memaksakan diri dengan system parlementer. Meski pun kita juga boleh menduga, setelah bisa mendelegitimasi rakyat dalam pilkada, bukan tak mungkin koalisi merah putih akan segera mendesak untuk mengembalikan peran MPR dalam pemilihan presiden tak langsung pula!
Tentu saja, meski kita juga tahu dengan UU MD3, koalisi merah-putih agaknya telah menskenariokan, untuk terus melawan pemerintahan Jokowi-JK. Jika UU Pilkada tak Langsung ini mulus, maka mereka juga telah mendesakkan agar MPR bisa dikembalikan seperti jaman dulu, jaman Orde Baru sebagaimana hal tersebut telah disuarakan oleh Fraksi Golkar. Namun tentu saja dengan bungkus kata-kata, semua itu untuk mengembalikan pada nilai-nilai murni Pancasila, UUD 1945 yang murni dan kosekuen dan pandangan mulia para founding father (tapi hanya sentimen Sukarno yang disebut-sebut, tanpa menyebut Bung Hatta sekali pun, yang mengkritik habis pandangan Sukarno dalam Demokrasi Kita). Persis sebagaimana kata-kata George Orwell, bahasa politik dirancang untuk membuat kebohongan terdengar jujur dan pembunuhan terhormat , dan memberikan penampilan soliditas angin murni.
Manipulasi fakta sejarah ini sangat mengerikan, tetap dengan dingin dipakai kelompok merah putih untuk mengkamuflasekan tujuan-tujuan politik mereka yang sebenarnya. Sebagaimana sejak dulu, Gerindra memang didirikan oleh Prabowo untuk mengembalikan system demokrasi ke parlementer, karena menganggap system demokrasi kita sangat kebarat-baratan dan liberal.
Kebutuhan politik kadang-kadang berubah menjadi kesalahan politik, kata George Bernard Shaw. Dan ketika kita membabi buta mengadopsi agama, sistem politik, dogma sastra, kita menjadi robot, kami berhenti untuk tumbuh, sebagaimana diujarkan Anais Nin. Kita semuanya lebih didorong oleh nafsu-nafsu kita di dalam memburu kekuasaan dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat, merampas hak suara dan kedaulatan rakyat atas nama demokrasi.
Jika kelak koalisi merahputih bisa menguasai parlemen, dan mengobrak-abrik tatanan Negara kita, lima tahun ke depan presiden akan dipilih oleh anggota DPR-MPR dan Prabowo akan menjadi presiden, dengan Aburizal Bakrie sebagai Menteri Utama, dan PKS yang lebih concern pada ISIS di Suriah, akan memegang kendali dengan mengunci cacat-cacat politik Prabowo dan Ical. Di mana akhirnya PKS akan pegang kendali semuanya, dengan menggantung Prabowo sebagai Panglima Besar Islam.
Itu artinya sebagaimana yang dimaksudkan oleh Habieb Rizieq, dengan ucapannya ‘rebut dulu kekuasaan baru kita ribut nanti’ (ketika mendeklarasikan dukungannya pada Prabowo), akan menjadi kenyataan, dan Ikhwanul Muslimin cabang Mesir pun akan men-set up Indonesia sebagai Negara bagian yang mereka cita-citakan.
Selesai? Belum. Kedaulatan rakyat yang telah diperjuangkan dalam reformasi 1998, tidak akan kita serahkan kembali pada elite politik, oligarki partai dan kaum despotis. Rakyat masih punya harapan pada Mahkamah Konstitusi, untuk menggugat UU Pilkada ini. Tetap tabah, berjuang, dan merdeka!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...