Senin, April 07, 2014

Black Campaign Hanya Dilakukan Oleh Orang-orang Kalap.



Hari-hari ini, menjelang Pemilu 2014, kita membaca berita-berita yang menarik di media mainstream dan beberapa media online. Ada dua berita menarik (Senin, 7 April 2014); soal Jokowi pidato di Papua, dan Anis R. Baswedan menolak jadi cawapres Prabowo. Ada juga berita yang cukup simpatik soal Bill Gates diam-diam ke UGM sebelum ke Jakarta.

STOP PRESS | Berita yang mengeutkan hari ini, adalah juga soal Freeport. Pemerintah akhirnya takluk menghadapi Freeport yang ingin lebih lama lagi berada di Papua. Kontrak karya (KK) perusahaan raksasa tambang asal AS ini diperpanjang 2 kali 10 tahun atau hingga 2041.
“Para pengusaha ini minta kepastian perpanjangan karena telah membenamkan dana investasi besar. Ini poin titik temu kami,” kata Sukhyar, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), seperti dikutip dari Kontan, Senin (7/4/14).
Dengan perpanjangan durasi KK tersebut, berarti Freeport menambang di Papua selama 74 tahun. KK pertama PT Freeport Indonesia ditandatangani tahun 1967, tepat begitu Undang-undang Penanaman Modal Asing (UU No. 1 Tahun 1967) diberlakukan oleh Presiden Soeharto sebagai penanda dimulainya Orde Baru.
KK kedua ditandatangani tahun 1991. Seturut KK kedua ini, masa kerja Freeport akan berakhir pada 2021. Namun menjelang tenggat waktu itu, pemerintah ternyata memperpanjang kembali masa kerjanya hingga 2 x 10 tahun (sampai tahun 2041).
Perpanjangan KK itu sebenarnya bertentangan dengan UU No 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (minerba). UU ini menyatakan bahwa, KK setiap perusahaan yang habis masa kontraknya tidak akan diperpanjang. Rezim KK akan dihapus, diganti dengan rezim IUPK (izin usaha pertambangan khusus) yang setara dengan pertambangan biasa. Ingat, ini keputusan pada akhir kekuasaan SBY, dan cermati kelak apa yang akan diterima oleh pemerintahan sesudahnya.

Berita-berita lain? Seperti biasanya, berisi black campain, hujatan pada Jokowi, teori konspirasi, yang selalu saja: Bukan realitas sosial atau peristiwa, tetapi lebih merupakan berita opini (perspective), yang biasanya ditulis dengan cara misterius, mewawancarai narasumber yang "disembunyikan" tapi dibilang orang yang representatif di bidangnya. Apalagi kalau sudah menyebut-nyebut konspirasi internasional atau agenda setting, dengan menyamarkan sumber berita atau nara-sumber, sehingga berita tak bisa dikonfirmasi (berita semacam ini kebanyakan dikonsumsi mereka yang culun sebagai pengguna internet, dan tanpa sadar menjadi bagian dari loudspeaker, semacam cheer’s leader dalam berbagai perhelatan). Ditulis dengan gaya bahasa yang provokatif tapi miskin logika. Seolah menguasai seluruh akses informasi dunia, padahal pola kerjanya seperti paranormal yang hanya otak-atik gathuk, copast sana-sini-situ, meski sering berlagak lebih canggih dari intelijen paling andal di dunia (padahal sering modalnya hanya laptop dan nebeng di hotspots area, atau ngumpet dari warnet ke warnet).
Ada juga satu berita tak penting, tentang wawancara Biro Pers Kepresidenan dengan SBY, hanya untuk mencuri fokus, memberikan posisi tawar di dua kaki antara Prabowo dan Megawati.
Jika semua berita-berita hari ini ditujukan pada isyu-isyu di seputaran pemilu 2014 dan utamanya capres 2014-2019, seberapakah dampaknya sebagaimana yang diinginkan pemberitaan-pemberitaan itu? Pandangan mikroskopik itu akan menjebak kalkulasi kita sendiri. Karena sebagaimana kerja mikroskop, ia membesarkan yang kecil, dan tidak fokus pada yang berada di luar ring fokusnya.
Sementara tak bisa dipungkiri, politik yang sebenarnya, tak pernah bisa dicopot dari realitas sosial yang mengitarinya. Dunia maya sungguh-sungguh hanyalah maya. Mereka yang mengandaikan dari maya ke nyata, tak boleh melupakan dalil kebenaran, bahwa apa yang dikatakannya benar barulah diakui kebenarannya jika ia memiliki kaki-kaki yang menginjak ke tanah kenyataan itu sendiri. Karena bagi masyarakat nyata, seorang pemimpin hanya dipercaya kehadirannya ketika mampu singgah di hati, bukan sekedar di otak, apalagi hanya otak kiri (karena otak kanan tak terlatih dan atau sudah mati).
Saya ingin kutipkan sebuah tulisan mengenai mengapa semua itu bisa terjadi. Bahwa tak ada pemimpin tiba-tiba. Ketika orang disayang oleh masyarakat luas, menjadi meia darling, pasti ada sejarahnya, sebagaimana seseorang dibenci oleh banyak orang karena perbutan-perbuatan buruknya.  
Dalam sebuah tulisannya; The Science of Leadership, "WHY TRANSFORMATIONAL LEADERSHIP WORKS", Joseph H. Boyett, Ph.D., dari Boyett & Associates mengatakan; Pemimpin transformasional sukses karena mereka menyadap (mungkin tepatnya 'menyerap') beberapa kebutuhan paling dasar manusia, seperti kebutuhan untuk rasa identitas, kebutuhan untuk memiliki, kebutuhan untuk merasa baik tentang upaya kita, kebutuhan untuk merasa bahwa kita adalah bagian dari sesuatu yang istimewa, kebutuhan untuk percaya bahwa masa depan kita adalah perpanjangan harapan masa lalu kita, dan kebutuhan untuk merasa bahwa kita mencapai sesuatu worthwhile dengan kehidupan kita. Singkatnya, kepemimpinan transformasional bekerja karena kebanyakan dari kita sebagai pengikutnya sangat ingin bekerja.
Boyett tidak begitu membedakan antara pemimpin transformasional dengan pemimpin kharismatik, meski menurutnya mempunyai perbedaan utama.
"Pemimpin Karismatik" biasanya menekankan pengaruh yang ideal/charisma dan aspek motivasi yang inspirational (dari transformasi kepemimpinan transformational) sebagai kunci kepemimpinan perilaku, yang membuat gaya kepemimpinan ini diterima.
Semuanya berproses secara bertahap. Pertama, diturunkan dan menjadikan alam semesta sebagai pusatnya. Pada tahap ini seseorang mempertahankan fantasi kemahakuasaan, yang dikonfirmasi oleh respons dari pendadaran lingkungannnya.
Keterikatan kita pada pemimpin, didasarkan pada rasa ke-putusasa-an kita untuk merebut kembali bahwa "kami kehilangan surga masa kecil kami”. Dengan adanya pemimpin kharismatik, 'kami' kembali menjadi lengkap dan berharga. Pemimpin sebagai jawaban untuk ruang kosong dalam jiwa kita. Tidak ada rasa rasa komunitas, tradisi, dan berbagi makna yang memberi generasi sebelumnya rasa penguasaan, keyakinan pribadi dan harga diri. Bahkan menurut Cushman, evidence kekosongan emosional ini ada di mana-mana. Yakni, terutama, pada harga diri yang rendah. Tidak adanya rasa nilai pribadi. Yang ada adalah nilai kebingungan. Tidak adanya rasa keyakinan pribadi. Keharusan untuk mengisi kekosongan dengan induksi kimia emosional berupa pengalaman. 

Kelaparan untuk bimbingan rohani. Keinginan untuk diisi oleh dzat Tuhan, oleh agama, kebenaran, oleh kekuatan dan kepribadian seorang pemimpin atau guru. Dan terutama konsumerisme kronis.
Keharusan untuk mengisi kekosongan dengan barang-barang konsumen dan pengalaman "menerima" sesuatu dari dunia. Pemimpin sebagai "Good Parent", sebagaimana Soeharto memerankan dirinya, atau ada orang mendaku sebagai keturunan Pangeran Diponegoro, dan sebagainya (contoh soal dari SW).
'Kami' (kumpulan individu) ingin merasa penuh harapan tentang masa depan. Pemimpin karismatik menanamkan dalam diri kita keyakinan; bahwa semua akan baik sekali jika kita hanya mengikuti dia.
Sementara, pendapat lain tentang kepemimpinan transformatif, mempunyai ikatan yang jauh lebih efektif, karena model kepemimpin transformasional lebih memberikan perhatian individu: mendengarkan, sensitif, terutama dibutuhkan untuk kebutuhan pribadi, dan untuk pengembangan serta pertumbuhan.
“Pemimpin Transformasional” berkomunikasi menggunakan pesan emosional. Terbuka dan ekspresif. Terlibat dalam hangat, penuh kasih, dan menerima komunikasi emosional. Ia mengatur tantangan realistis dan menginspirasi kemampuan seseorang untuk mencapainya. Karena itu, ia lebih mengembangkan otonomi, motivasi dan inisiatif dalam diri pengikutnya.
Menciptakan rasa identitas, nilai dan kompetensi, pada tingkat individu dan kelompok. Menerima dan memperkuat individu mengembangkan kebutuhan untuk mandiri. Memperkuat rasa berharga, identitas, dan kompetensi. Bertujuan kerja dengan standar kinerja, tetapi tidak kritis menghakimi. Mengatur keterbatasan, menetapkan aturan bagi yang tidak disiplin, tetapi tidak mengkritik, tidak dominan, menekan atau melarang tanpa alasan.
Pemimpin transformasional menyediakan kesempatan untuk pengalaman dan re-inforces kesuksesan. Memberikan stimulasi intelektual; merangsang imajinasi dan berpikir, serta mengembangkan kreativitas.
Pemimpin transformasional membangun perasaan harga diri, self generations, kompetensi, kemandirian, motivasi batin diarahkan, kemauan untuk menginvestasikan upaya lebih lanjut dan berusaha untuk sukses. Memungkinkan orang untuk memanfaatkan potensi individu dan organisasi mereka. Menghasilkan rasa harga diri, kematangan emosional, kompetensi, kemerdekaan, berorientasi prestasi. Pemimpin transformasional mempunyai kepercayaan penuh dan rasa hormat, dan menciptakan perasaan kekaguman dan bangga berada di dekatnya. Menjadi contoh pribadi. Berfungsi sebagai model imitasi dan identifikasi.
Yang paling penting, pemimpin transformasional mengembangkan kepemimpinan transformasional yang dapat menggantikannya. Dengan menjadi ketua umum partai politik, semasa masih menjadi presiden, hingga ke pemilu ini, SBY bukanlah contoh kepemimpinan transformatif itu tentu.
Pada sisi lain, manusia tidak hanya pragmatis dan berorientasi pada tujuan, tetapi juga individu yang ber-ekspresi. Perilaku menganggap 'perilaku yang tidak hanya kalkulatif', tetapi juga ekspresi perasaan, estetika nilai-nilai dan konsep diri. Semua itu dilakukan karena dengan melakukan itu, mereka membangun dan menegaskan identitas untuk diri kita sendiri.
Orang-orang termotivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan harga diri mereka (identitas dan komunitas) dan harga diri-sendiri. Penghargaan didasarkan pada rasa kompetensi, kekuasaan, prestasi atau kemampuan untuk mengatasi dan mengendalikan lingkungan seseorang. Harga diri didasarkan pada rasa kebajikan dan nilai moral, dan didasarkan pada norma-norma dan nilai-nilai tentang perilaku.
Evaluasi-diri merupakan sumber penting dari motivasi intrinsik: Rakyat. Reaksi terhadap penampilan mereka sendiri, berfungsi sebagai prinsip sumber penghargaan dan hukuman.
Bagaimana kepemimpinan transformasional melakukan pekerjaannya? Apa itu pemimpin transformasional yang membuat begitu menarik? Mengapa kita menginginkan perubahan dalam cara kepemimpinan kita? Ada apa dengan jiwa kita yang membuat kita begitu terbuai atas ‘upaya’ tipu muslihat pemimpin transformasional ini?
Tidak ada jawaban yang pasti untuk hal itu. Beberapa peneliti kepemimpinan memiliki beberapa teori atas hal itu. Mungkin jawaban sederhana adalah; ia bekerja karena 'kami' menginginkannya untuk bekerja. Kami perlu untuk hal itu, yakni bekerja. Kami menginginkan memiliki identitas. Kami ingin merasa bahwa kita memiliki. Kami ingin untuk merasa baik tentang upaya kita dan diri kita sendiri. Kami ingin merasa, bahwa kita mencapai sesuatu yang berharga dengan hidup kita. Kami ingin melihat masa depan kita sebagai perpanjangan harapan masa lalu kita. Kami ingin membuat perbedaan. 
Dan siapa yang berada dalam aras bawah sadar atau harapan itu, dan bisa meyakinkan rakyat, bahwa dengan mengikutinya kita dapat memenuhi keinginan tersebut, jadilah ia pemimpin transformatif. Jika ia tidak berada dalam aras bawah sadar masyarakatnya, sebanyak apapun uang dibuangnya, rekayasa diciptakannya, media memuja-mujanya, semuanya juga akan sia-sia. 
Atau pun jika sebaliknya, ketika pemimpin transformational itu dituding hanya bagian dari rekayasa, boneka, punya konspirasi dengan Yahudi, China, AS (kok nggak dituding dengan Arab Saudi ya, misal dengan kaum wahabi), semuanya juga akan sia-sia belaka. 
Kepemimpinan tidak berada di ruang hampa. Ia nyata, hidup, dan berinteraksi.
Sementara, di mana-mana, black-campaign hanya dilakukan oleh orang-orang kalap, atau kelompok hitam, hati dan pikirannya.

1 komentar:

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...