Senin, Desember 30, 2013

Gus Dur Memang Ringan; Begitu Saja Kok Repot.

"Gitu Aja Kok Repot", itu kalimat yang sering muncul dari Gus Dur, KH. Abdurrahman Wahid (lahir di Jombang, 7 September 1940, meninggal di Jakarta, 30 Desember 2009). Sebuah kalimat yang kemudian menjadi idiom banyak orang, setidaknya banyak yang memakai ucapan Gus Dur ini, untuk menggambar sebuah sikap kepraktisan, dan bahkan mungkin kepragmatisan. Pada dasarnya, makna kalimat memang seperti itu. Sebuah penyikapan atas suatu masalah dengan ringan saja. Tidak perlu repot-repot dipikirkan. Tidak perlu njelimet dihadapi atau dianalisis. Santai wae atau enjoy ajalah.
Tapi, seperti diakui oleh anak sulungnya, tidak mudah menyelami pemikiran Gus Dur. Sebagaimana juga kemudian ketahuan, tidak mudah bersikap "gitu aja kok repot", sebagaimana Gus Dur benar-benar tidak repot dengan semua hal. Tidak begitu halnya dengan para pengutip idiom itu, karena ungkapan Gus Dur itu kemudian lebih dimaknai sebagai penghindaran, eskapisme, yang tentu karena ketidaksiapan menyikapi secara matang. Lebih bersifat lepas tangan dan lepas tanggungjawab.
Perjalanan hidup Gus Dur, petualangan emosionalitas dan rasionalitas, telah menunjukan pada posisi beyond. Ia telah melampaui segala, bahkan kadang, ketika dipercayai mempunyai ilmu laduni ia dipercaya melampai jamannya, melampaui pemikiran orang lain. 
Saat detik-detik meninggalkan Istana, pada malam 23 Juli 2001, ia hanya memakai kaos oblong dan katok kolor, karena memang begitulah kesehaarian Gus Dur pada jam-jam seperti itu. Tak ada protokoler, sekali pun hari-hari itu adalah kegentingan, karena MPR telah bersidang memakzulkannya dari kursi kepresidenan. Saat keluar meninggal;kan istana, dengan mengunakan mercy tua, ia menyambangi para pendukungnya yang menantinya di Monumen Nasional (Monas). “Selamat Datang Presiden Rakyat.” Spanduk besar terpampang menyambutnya. Para pendukungnya berencana, dari Monas akan beramai-ramai mengiringi kepulangan Gus Dur ke kediamannya di Ciganjur. Iring-ringan pun mulai bergerak. Namun, entah bagaimana, akhirnya kendaraan yang membawa Gus Dur berbelok dan melesat memisahkan diri. Ia melakukan semuanya dengan ringan-ringan saja.
Gus Dur memang ringan saja, setidaknya cara berfikirnya. Saat ia dipaksa mundur dari jabatan orang nomor satu di republik ini, Gus Dur biasa-biasa saja. Ada sedikit perlawanan, tetapi tidak ngotot. Greg Barton, dalam biografi tentang tokoh ini menulis, “Saya berkeyakinan bahwa kecenderungan yang diperlihatkan Gus Dur dalam pernyataan-pernyataannya yang memandang enteng masalah yang dihadapinya itulah yang menggambarkan mekanisme ekstrovert dari kebiasaan untuk menyemangati dirinya ketika menghadapi tantangan yang benar-benar mengancam.”
Pada sisi itulah, setelah Gus Dur tiada, yang kita hadapai memang lebih berbagai kerepotan. Di bawah SBY, perjalanan bangsa dan negara Indonesia, ditengarai dengan berbagai kerepotan, karena ketiadaan keberanian atas yang bernama kepemimpinan. Intoleransi dan primordial yang kembali merusak, hampir tanpa penyikapan yang jelas, dan tanpa ketauladanan kepemimpinan. Dari segala lapis masyarakat, pertentangan seperti justeru tumbuh meluas. Bahkan, sampai ketika seorang Gubernur Sumatera Selatan meradang, dan siap mengobarkan perang, hanya karena makanan empek-empek diklaim juga sebagai makanan khas yang berasal dari Jambi, bukan Palembang.
Kita ingat bagaimana Gus Dur mengguncang-guncang kita, setelah 32 tahun dicengkam oleh otoritarianisme Soeharto dengan segala kemutlakannya. Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjapada hari libur opsional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Pada bulan itu itu juga, pada pertemuan dengan rektor-rektor berbagai perguruan tinggi (27 Januari 2001), Gus Dur menyatakan kemungkinan Indonesia masuk dalam anarkisme. Ia lalu mengusulkan pembubaran DPR jika hal tersebut terjadi.
Ia memang kontroversial, dan semakin bertambahlah gerakan anti-Wahid, karena berbagai keputusan politiknya yang berani dan di luar mainstream pemikiran pada umumnya. Hal itu kemudian mengusik munculnya perlawanan politik. Pada 1 Februari 2001, DPR bertemu untuk mengeluarkan nota terhadap Gus Dur. Nota tersebut berisi diadakannya Sidang Khusus MPR, dengan agenda menyodorkan wacana pemakzulan Presiden yang dapat dilakukan. Tentu saja, hal itu menimbulkan kegoncangan pada para pendukung Gus Dur, pada basis PKB dan NU. Tak tanggung-tanggung demonstran NU terus menunjukkan dukungan mereka kepada Gus Dur, dan mengumumkan bahwa mereka siap untuk mempertahankan Gus Dur sebagai presiden hingga mati.
Drama politik sepanjang 2001, selama paruh tahun itu, sungguh menegangkan, dan tidak produktif. Tak ada juru bicara Gus Dur yang bisa meletakkan kata-kata Gus Dur yang berbau langit itu ke bumi kenyataan. Gus Dur sendiri mulai putus asa. Ia kemudian meminta Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyatakan keadaan darurat. Yudhoyono menolak dan Gus Dur memberhentikannya dari jabatannya beserta empat menteri lainnya dalam reshuffle kabinet pada tanggal 1 Juli 2001.
Akhirnya pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli. TNI menurunkan 40.000 tentara di Jakarta dan juga menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai bentuk penunjukan kekuatan. Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan dekret yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri. Abdurrahman Wahid terus bersikeras bahwa ia adalah presiden dan tetap tinggal di Istana Negara selama beberapa hari, namun akhirnya pada tanggal 25 Juli ia pergi ke Amerika Serikat karena masalah kesehatan.
“Gitu aja kok repot.” Betulkah tidak repot? Itu persoalan yang tidak pernah terjawab, atau bisa dijelaskan dengan baik oleh siapapun termasuk tentunya oleh para Gusdurian. Lelaki yang terlahir dengan nama Abdurrahman Addakhil dan cucu cucu Hadratussyeh KH Hasyim Asy'ari, ulama besar pendiri Nahdlatul Ulama itu, pada akhirnya mewariskan ajaran yang tidak mudah untuk diuraikan, dan dipahami.
Ia memilih jalan yang tak lazim saat itu, dan mungkin juga dalam anggapan saat ini sekali pun. Gus Dur, menempatkan dirinya selalu berada di seberang mainstream. Termasuk bagaimana ia berhadapan dengan kekekuasan rezim Soeharto. Pilihan yang tak mudah ini membuatnya menaklukkan banyak hati orang-orang yang tertindas saat itu. Ia menaklukkan hati anak-anak muda yang marah dengan keadaan. Ia menaklukkan hati tokoh-tokoh yang belum mantap hatinya untuk melawan tirani. Ia menaklukkan kegenitan kaum intelektual. Ia menunjukkan nama aselinya, Abdurraham Addakhil, sang penakluk.
Di saat jalan demokrasi masih sepi, Gus Dur menapakinya dengan ringan. Ia terbuka menentang kekuasaan. Tak ada risau. Bahkan terlihat santai. Gus Dur memang antitesa zamannya. Ia un-linear, tidak linear. Ia bergerak zig-zag. Kadang ia begitu frontal. Seperti saat secara terbuka menentang kekuasaan yang ingin turut campur pada Muktamar NU di Cipasung Jawa Barat. Tapi, ia bisa tiba-tiba tampak mesra dengan Tutut, panggilan akrab Siti Hardiyanti Rukmana, putri sulung musuh utamanya Soeharto. Gaya zig-zag Gus Dur ini kadang membuat para pendukungnya bingung. Dalam guyonan, ada yang bilang Gus Dur itu bergeraknya seperti Bajaj. Kalau mau belok tidak pakai sinyal. Tiba-tiba.
KH Aburrahman Wahid adalah fenomena zaman ini. Ia tak melihat perbedaan sebagai permusuhan. Baginya, perbedaan sikap politiknya dengan Soeharto, bukan berarti ia tak bisa “berteman” dengan putri sang jenderal bintang lima ini. Orang tidak pernah bisa memahami pesan utamanya, bahwa yang ia lawan adalah Soehartoisme, bukan Soehartonya. Dan ia teguh dalam prinsip itu.
Keteguhan dalam prinsip dan sikapnya ini, juga tampak dalam hal membela kelompok-kelompok minoritas. Di zaman ia menjadi presiden, pemeluk kepercayaan tradisional Tionghoa mendapatkan kembali pengakuan identitasnya. Begitu pun pembelaan Gus Dur terhadap keberagaman. "Kalaupun ada yang mencoba memisahkan kita, kita semua harus sadar bahwa persaudaraan yang lebih besar di antara kita memanggil kita bersama-sama untuk meyakini Tuhan masing-masing dengan cara sendiri-sendiri. Karena itu, saya tidak pernah merasa terasing dari saudara-saudara yang beragama lain, Hindukah, Kristenkah, Buddhakah..." Demikian pidato Gus Dur, pada acara Perayaan Natal Bersama Tingkat Nasional di Balai Sidang Senayan, Jakarta 27 Desember 1999). Sementara, sekarang, pada tahun 2013, di tengah maraknya intoleransi itu, presiden SBY bahkan "hanya berani" menyampaikan selamat hari Natal pada umat Nasrasi melalui twitternya, bukan melalui pidato resmi dalam kapasitasnya sedbagai kepala negara, sebagaimana beberapa pemimpin dunia yang non-Nasrani sekali pun.
Sikap dan sepak terjang Gus Dur, membuat wajah Islam menjadi berwarna. Anak-anak muda NU seolah mendapat gairah baru. Gerakan Pemuda Anshor, organisasi kepemudaan di bawah NU, dalam beberapa hal menjadi garda terdepan dalam membela kaum minoritas. Dan kita tahu, pada 24 Desember 2000, Riyanto, anggota Barisan Anshor Serbaguna Kota Mojokerto, menjadi “martir”, tewas akibat ledakan bom pada Misa Natal di Gereja Eben Haezer Mojokerto, 24 Desember 2000. Kita tahu, dalam perayaan-perayaan Natal di berbagai gereja di seluruh Indonesia, anak-anak Banser NU menjadi anak-anak yang dibanggakan oleh kaum Nasrani Indonesia yang minoritas itu. Sesuatu yang sangat berarti ketika mengucapkan Natal pun, di Indonesia, makin menjadi perdebatan halal atau haram.
Gitu aja kok repot, memang hanya bisa diyakini dan dihayati oleh mereka yang beyond. Orang-orang yang terbuka mata, hati, dan pikirannya. Bukan oleh mereka yang picik mata, hati, dan pikirannya. Pada orang seperti itu, yang muncul adalah pandangan mutlak-mutlakan, ajaran yang diwariskan oleh Soeharto, lawan Gus Dur dan nalar sehat kita pada saat itu.
Terimakasih Gus Dur, telah menjadi bagian dari pembelajaran Indonesia hari-hari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...