Sabtu, Februari 23, 2013

Bagaimana Kalau Monas Tak Mau Jadi Gantungan Anas Urbaningrum?



Bayangkan, tak berselang sebulan, setelah Presiden PKS dicokok KPK, dalam kaitan impor daging sapi, kali ini ketua umum Pardem dapat status tersangka dalam kaitan kasus Hambalang.
Kalau berkait KPK, tentu saja ini kasus hukum. Harus dibuktikan dan diproses secara hukum. Kalau ada yang mengait-ngaitkan dengan masalah politik, ya wajar saja, karena mereka berdua tokoh dan hidup di ranah politik.
Kalau kita ikuti kata-kata Anas, “Saya bingung, ini soal hukum atau politik,...” maka kita bukan hanya ikut bingung, tapi bisa bego. Mau ‘nabok nyilih tangan’ atau ‘nabok nyilih duit’, itu urusan Anas.
Jangankan itu, masalah rumah-tangga keseharian pun, kadang dipersepsi dan diinterpretasikan dengan kacamata politik. Masyarakat kita, sangat euforia dengan “politik”, meski idiom-idiom politiknya hanyalah bersandar pada media massa, utamanya televisi, yang itu pun lebih mewadahi para kepentingan di dunia itu, para politikus dan lawyer-nya.
Belum lagi masyarakat baru akan melek politik, muncul Mark Zuckerbergh, memberikan media pada masyarakat lisan Indonesia, dan jadilah semua orang ngomong (secara tertulis dan lisan) bak “bakul sinambi wara”. Dan di fesbuk atau twitter, kita lihat berbagai analisis politik seolah-olah kita ini sudah begitu rupa ahli politiknya.
Padahal, kasus Lutfi Hassan atau Anas Urbaningrum, itu tinggal dirujukkan saja di pasal-pasal yang berkait dengan persoalan hukum dan perbuatan hukum mereka. Itu saja.
A-politis? Memangnya kualitas politik macam apa, kalau perbincangan politik kita hanya pokrol bambu, asu gede menang kerahe, yang tak tahu malu ngomong apa saja asal populer (lihat beberapa anggota DPR yang sering nongol di ILC dan di media daripada di rapat paripurna atau konstituennya). Ngikutin omongan politikus yang penuh “politicking” dan sampah itu, dunia bisa mereka jungkir-balikkan seenak-udel.
Kalau ada pejabat publik, anggota DPR atau Menteri atau apa yang bilang saya tidak tahu apa-apa, ini jebakan, ini aturannya tidak jelas,.... lha kok bisa, baru protes setelah kejeblos? Kita selalu bilang, orang sebaik itu, sesantun itu, sesederhana itu, sereligius itu. Stop ukuran pribadi. Kasus hukum, nilai dengan ukuran hukum.
Aneh kalau soal Andi Malarangeng kemudian bilang, saya nggak ngerti birokrasi, atau Anas bilang saya nggak ngerti itu grativikasi, atau Lutfi menyangkal apa hubungannya ini dan itu,...
Biarkan KPK bekerja, toh akhirnya Lutfi juga tak bisa bekoar lagi serta menyangkal bahwa dia tak kenal AF, dia tak berhubungan dengan ini dan itu. Kalau ngomong kepatutan moral, ngomonglah dengan Tuhan, dan biarkan Tuhan memberi cap atau sertifikat dan diumumkan di wall-wall fesbuker sekalian.
Kita ini hidup di sebuah semesta yang memiliki hukum-hukum, sama seperti adanya hukum gravitasi. Jika Anda jatuh dari sebuah gedung, tidak menjadi soal apakah Anda orang baik atau jahat, Anda akan tetap menumbuk tanah (Michael Bernard Beckwith).
Karena itu, sadarlah, bahwa ketika Anda mengambil satu posisi, itu tidak sedang dalam posisi alay, mabuk, nyimeng, atau apalah. Jangan pura-pura bego. Menurut Bob Doyle, kebanyakan dari kita menarik sesuatu (akibat) karena kelalaian. Kita hanya berpikir bahwa kita tidak memiliki kendali atasnya. Padahal pikiran dan perasaan kita berada dalam suatu tindakan rutin terus-menerus. Jadi, segala sesuatunya didatangkan pada kita karena kelalaian. Kok bisa lalai? Katanya pakai sumpah?
Di Indonesia, semua hal bisa dipandang dari sisi politik. Tapi mengikuti omongan politikus (juga lawyer, juga fesbuker yang hanya bersandarkan sumber dari media mediocer), adalah blunder, yang celakanya itu juga dilakukan oleh SBY, sebagai pribadi dan presiden.
Konon kita anti-korupsi, tapi aturan perundangan dan sistem penganggaran sampai pembahasan dan pelaksanaan, membuka jalan untuk itu. Di mana logikanya? Amerika tingkat korupsinya lebih rendah dari Indonesia, bukan karena disana ada 10 Pancasila atau pakai ayat ini dan itu, tetapi berdasar satu sistem dan mekanisme di mana perencanaan sampai pelaksanaan itu diawasi secara fair, dan reward and punishment ditegakkan dengan konsisten. Dan untuk itu, tak diburuhkan FPI untuk menegak-negakkan diri yang absurd itu.
Kenapa bukan menuntut sistem rekrutmen orang Senayan diperbaiki, supaya tidak menelorkan undang-undang yang lemah secara konstitusional dan akademik? Kenapa ngomong yang tidak-tidak, sementara di Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan, dan lain-lainnya, juga bisa terjadi korupsi? Kurang apa PKS mengecat putih bajunya, dan apa kejadiannya?
Tapi kalau kamu ngomongin agama nggak bisa, kata Ahok alias Budi Tjahaja Purnama, wagub DKI Jakarta. “Ngomong agama kita nggak usahlah, yang penting nilai-nilai dalam agama kamu harus mempengaruhi kamu dalam kamu bertindak," ujar Ahok di Balai Kota Jakarta, Kamis (21/2).
Mantan Bupati Belitung Timur ini mengatakan, iman harus ditunjukkan dengan perbuatan. "Kamu mau tunjukkan iman kamu, tunjukkin perbuatan kamu, baru kemudian aku tahu iman kamu seperti apa," katanya.
Segala sesuatu yang kita fokuskan, akan kita ciptakan. Jadi misalnya, jika kita sungguh-sungguh marah pada perang yang sedang berlangsung, atau pemogokan, atau penderitaan, kita menambah energi padanya. Kita mendorong diri, dan ini hanya menciptakan penolakan. Sebagaimana kata Carl Jung, “Apa yang Anda tolak akan bertahan.”
Apa yang Anda tolak justru akan bertahan karena jika Anda menolak sesuatu, Anda berkata, “Tidak, saya tidak menginginkan hal ini, karena ini membuat saya merasa begini— perasaan yang saya rasakan saat ini.” Jadi, Anda memancarkan sebuah emosi yang sangat kuat dari “Saya sungguh-sungguh tidak menyukai perasaan ini”, dan perasaan tidak menyenangkan itu justru akan mendatangi Anda dengan cepat” (Bob Doyle).
Gerakan antiperang menciptakan lebih banyak perang. Gerakan antinarkoba justru menciptakan lebih banyak narkoba. Gerakan anti korupsi, atau katakan tidak pada korupsi, nyatanya malah kampiun korupsi. Karena kita berfokus pada apa yang tidak kita inginkan!
Maka betapa benar Ibu Teresa. Ia berkata, “Saya tidak akan pernah menghadiri demonstrasi antiperang. Jika Anda mengadakan demonstrasi damai, undanglah saya.” Ia tahu. Ia memahami Rahasia. Lihatlah apa yang telah ia wujudkan di dunia.
Jika Anda antiperang, sebaiknya jadilah prodamai. Jika Anda antikelaparan, jadilah orang yang memiliki lebih dari cukup untuk makan. Jika Anda anti pada politikus tertentu, jadilah pro-oposisi. Sering kali pemilihan umum memenangkan orang yang tidak disukai karena mereka justru mendapatkan semua energi dan fokus.
Ingatlah, dan pernyataan yang satu ini adalah yang paling sulit sekaligus yang paling indah untuk dipahami, bahwa terlepas dari apa pun kesulitannya, di mana pun adanya, siapa pun yang terkena, Anda tidak mempunyai pasien kecuali diri Anda sendiri; tidak ada yang harus Anda lakukan kecuali meyakinkan diri akan kebenaran yang ingin Anda wujudkan.
Belajarlah untuk hening, surut dari pasar wacana, dan biarkan semua orang bekerja pada proporsionalitas dan profesionalitasnya.
Kalau Anas dihukum karena kasus grativikasi, jangan salahkan undang-undang yang mengaturnya begitu, sekali pun kau bersumpah-sumpah bahwa seseorang itu jujur kacang ijo dan sangat religius maknyus.
Kalau nanti ujungnya Boediono, atau SBY, juga ditangkap KPK ‘gimana? Pasti Anda akan bilang, nggak mungkiiiiiinnnnn, terus bla-bla-bla.
Nggak penting, sebagaimana tulisan ini juga nggak penting!
Kalau Anas mau digantung di Monas, memangnya Monas mau digantungin Anas? Berpikirlah dari sudut yang lain. Naik dan berdirilah di atas meja. Carpe diem. Seize the day!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...