Kamis, Juli 05, 2012

Menjadi Manusia Pelengkap Penderita

Dalam persahabatan, dan juga lingkaran-lingkaran kehidupan lainnya, selalu saja ada manusia tengah dan pinggiran. Engkau ada di manakah? Yang menggerakkan atau digerakkan?
Tidak selalu persoalannya mana lebih penting, karena ada saatnya juga perlu menyadari, bahwa masing-masing mempunyai peran, masing-masing mempunyai pilihan. Dan masing-masing membawa konsekuensi atau resiko, sebagaimana masing-masing menuntut konsistensi dan penghayatan peran.
Dalam sebuah arus putaran, dari suatu lingkaran, ada as atau poros, namun ada sumbu-sumbu, jeruji, yang menghubungkan dengan seberapa jauh lingkar luar yang hendak diraihnya.
Pola pikir kita yang inginkan menjadi pusat segala, menjadi poros dari perputaran, menyingkirkan pemahaman kita akan perlunya organisme, suatu kesatupaduan yang saling, dan kita susah untuk menjadi organize, susah untuk bekerja sama serta saling dukung, karena semua ingin peran yang satu.
Pola hubungannya kemudian pada struktur kepentingan dan kekuasaan. Mencoba pengaruh-mempengaruhi, dan kalau perlu lakukan dengan dalil-dalil kuasa itu, merebut atau menindasnya. Hingga akhirnya muncul korban-korban, dan pengesahan akan piramida manusia, ada patron dan klien.
Orientasi dan juga proyeksi kehidupan kita, dibelenggu dengan pemahaman-pemahaman mengenai kesuksesan, kemenangan, dan kemutlakan. Namun, celakanya, sama sekali kita hanya lebih melihat pada tujuan akhir, bukan pemahaman atas semua proses yang mesti dilakoni. Itu sebabnya, perlahan kemudian sepanjang pragmatisme Orde Baru Soeharto selama 32 tahun, semuanya menjadi sistemik, dan masuk dalam bawah sadar sikap kita. Pendidikan kita, di segala sektor dan jenis, selalu lupa mengajarkan tentang kesatuan organis itu. Kita hanya diiming-imingi menjadi pemenang, tetapi tidak pernah diajari bagaimana cara meraih dan menggunakan kemenangan.
Strategi kemenangan kita, diambil alih oleh sekolah, kursus, lembaga survey, konsultan ahli, dan kemudian di-ekstrak menjadi pil ajaib, yang harus dibeli tentu. Untuk menjadi pemimpin, bupati, gubernur, presiden, tidak bagaimana berproses menjadi, melainkan cukup menyewa konsultan politik dengan rumus-rumus dan strategi pemenangan. Untuk lulus sekolah, bukannya berproses memahami, melainkan menguasai cara belajar yang efektif dan efisien, sampai pada pemikiran bagaimana cara mendapatkan kunci jawabannya, bussines as usual.
Apa yang terjadi sekarang ini, tentang pejabat yang lebay tapi korup, tentang pemimpin yang wangi tapi majal, tentang rakyat yang penuntut tapi letoy, adalah buah dari benih yang ditanam dalam pikiran-pikiran pendek itu.
Jika kita merindukan perubahan, tentu saja harus berubah. Bagaimana cara? Berhimpunlah, dalam mimpi yang saling mendukung. Dalam kesatuan organis, yang jika tak bisa kita teladani dari para orangtua yang mabuk kepayang, mesti dicari dari keyakinan diri kita sendiri. Seberapapun dan sebetapapun. Agar kita bukan sekedar jadi manusia pelengkap penderita.
Mau di tengah atau di pinggir, yang lebih penting adalah penghayatan kualitas peran. Sekali pun kita tahu, presiden yang buruk selalu lebih mempesona, daripada tukang sapu jalanan yang menjalankan tugasnya dengan baik dan benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...