Senin, Juni 04, 2012

Politik adalah Panglima, tapi Panglima yang Korup

I.
POLITIK dalam situasi transisi, adalah politik dalam situasi chaos. Situasi grey-area, samar, dan tidak jelas, antara mana lawan dan mana kawan, mana domba dan mana musang, dan mana musang berbulu domba atau sebaliknya. Karena dalam situasi seperti itu, antara yang benar dan yang salah, antara yang jujur dan munafik, bisa hadir bersama-sama, baik untuk kepentingan yang sama atau pun beda sama sekali.
Oleh karena itu, pemahaman secara teoritik tentang kebenaran nilai politik secara substansial, sering menjadi tidak cukup meyakinkan. Belum lagi, ketika dalam politic in progress itu, terlibat pula untuk bersekongkol mereka yang disebut para akademisi, yang semestinya menjadi pihak yang mencermati, bukan pihak yang terlibat bermain.
Maka yang muncul ke permukaan, dalam proses demokratisasi di Indonesia saat ini, ialah politik pencitraan dengan berbagai caranya. Dan dalam doktrin tujuan menghalalkan cara, begitu banyak cara dipakai untuk pencitraan, karena politik yang dikenal dalam proses ini ialah pengertian politik paling elementer, yakni politik sebagai strategi merengkuh massa, mengukuhkan kekuasaan.
Politik citraan atau politik selebrasi, menjadi sangat mendominasi, dengan lebih banyaknya nama-nama (untuk tidak menyebut tokoh) yang berkiprah di dunia politik praktis, namun sama sekali tidak banyak kita bisa pelajari (politik seperti apa), kecuali politik kekuasaan.
Praktik politik dan politik praksis kita, berada dalam tataran paling awal, paling naif, dan bisa jadi paling manipulatif. Karena pada saat yang bersamaan, yang kita pahami secara teoritis dalam buku-buku teks politik, tiba-tiba bisa menjadi sangat berbeda pemaknaannya. Politik menjadi superlatif, justeru karena tingkat kepentingan yang berbeda-beda. Sama persis dengan Bhineka Tunggal Ika, bermacam-macam, tapi satu juga, dalam hal ini satu tujuan yakni kekuasaan.

II.
SEMUANYA itu, tentulah bukan sesuatu yang tanpa sebab. Proses perjalanan bangsa dan negara Indonesia, tidak berada dalam satu titik garis yang linier. Dari awal sejarah pertumbuhannya, Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang tidak sangat sederhana. Indonesia bukanlah negara yang homogen. Ia terdiri dari ribuan kepulauan, ribuan bahasa, ratusan suku dengan berbagai adat dan kebudayaannya. Hingga pada akhirnya, juga begitu beragam tingkat dan daya ekonominya, tingkat dan daya nalarnya, sebagaimana Indonesia merdeka sejak Sukarno, hingga sekarang, belum bisa membuktikan Indonesia yang satu karena berbagai perbedaan-perbedaannya.
Dalam pertumbuhan ekonomi, yang juga berakibat pada tersedianya bangunan infrastruktur, tidak terjadi sebagaimana bunyi butir akhir Pancasila; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ketidakmampuan menerjemahkan sila itu, juga sila-sila lain dalam Pancasila, bisa menjadi pendorong penting bagi terciptanya pergerakan politik yang bersifat elitis. Di luar persoalan konflik elite-politik, pergerakan politik kemudian memposisikan subyek-obyek dengan jelas. Meski yang berada dalam aras politik modern, namun praksis politik dan perilakunya masih bersifat patron-client. Dikotomi pemimpin dan yang dipimpin, menjadi semakin jelas bedanya. Politik partisipatif, perlahan mulai menghilang. Politik perwakilan hanya wacana.
Pada tingkat ini, kita bisa memahami ketidaksabaran Sukarno dengan doktrin-doktrin politiknya, hingga kemudian sampai pada pembubaran Parlemen (atas Pemilu 1955 yang konon bersih dan demokratis itu), munculnya Demokrasi Terpimpin, hingga kemudian janji pembaharuan Soeharto, pengganti Sukarno, yang menunda Pemilu hingga tahun 1971.
Perjalanan politik Indonesia sejak 1957-1966 di era Sukarno, dan 1967-1998 di era Soeharto, sama sekali tidak mengajak serta rakyat. Karena pengertian rakyat adalah client, yang harus mengikuti pemimpin sebagai sang patron. Untuk memenuhi prasyarat-prasyarat demokrasi (agar masuk dalam kriteria negara beradab di dunia), politik adalah sebuah panggung teater. Ia hanyalah sebuah selebrasi, dan tak punya makna substansial sama sekali, kecuali legalitas dalam mempertahankan dan menggapai kekuasaan.

III.
SAMPAI hari ini pun, praktik politik yang terjadi di negeri ini, adalah praktik politik yang hanya menyertakan rakyat sebagai alat legalitas. Pendorong mobil mogok, yang akan ditinggalkan setelah mesin mobil hidup.
Pemilu Legislatif dan Presiden yang langsung dilakukan oleh rakyat pun, dikooptasi oleh perilaku elite. Berbagai upaya mereka lakukan, sampai muncul istilah-istilah yang secara teoritik membuat kita linglung. Adakah yang salah dalam buku-buku teks yang kita pelajari selama ini? Ataukah diperlukan pengertian politik tersendiri, dan lupakan apa itu Montesque, Plato, Marx, dan lain sebagainya?
Jika politik hanyalah permainan segelintir orang, dan tidak mengajak serta yang mereka namakan rakyat dalam proses bersama, tidak ada gunanya mengikuti pemimpin. Mereka mempercayai politik sebagai panglima, tetapi dapat dipastikan itu adalah panglima yang korup. Karena politik partisipasi, dengan memberikan ruang dan mekanisme pengawasan, tidak pernah dipikirkan.

Sunardian Wirodono,
Disampaikan untuk diskusi novel “Anonim, My Hero!”, di Universitas Brawijaya, Malang
Jumat, 1 Oktober 2004.

1 komentar:

  1. SAYA SEKELUARGA INGIN MENGUCAPKAN BANYAK TERIMAH KASIH KEPADA AKI NAWE BERKAT BANTUANNNYA SEMUA HUTANG HUTANG SAYA SUDAH PADA LUNAS SEMUA BAHKAN SEKARAN SAYA SUDAH BISA BUKA TOKO SENDIRI,ITU SEMUA ATAS BANTUAN AKI YG TELAH MEMBERIKAN ANKA JITUNYA KEPADA SAYA DAN ALHAMDULILLAH ITU BENER2 TERBUKTI TEMBUS..BAGI ANDA YG INGIN SEPERTI SAYA DAN YANG SANGAT MEMERLUKAN ANGKA RITUAL 2D 3D 4D YANG DIJAMIN 100% TEMBUS SILAHKAN HUBUNGI AKI NAWE DI 085-218-379-259

    BalasHapus

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...