Minggu, Juni 03, 2012

Perang Melawan Tembakau; Korban Pertama adalah Kebenaran

PENGANTAR | Selama ini, gencar disuarakan soal anti-temakau, anti-merokok dengan alasan klasik, kesehatan, kematian, dan perilaku tak sehat lainnya. Kaum perokok Indonesia, selama ini terlihat diam, tanpa perlawanan, meski pemerintah dari tingkat bawah hingga atas, tak pernah bisa menjelaskan dengan logis soal ini. Tulisan ini, hanyalah untuk keadilan dan keseimbangan, untuk informasi major yang selama ini mendominasi masyarakat kita.

Oleh Gabriel Mahal, Majalah B&B, Jakarta 2009

Robert A. Levy dan Rosalind B. Marimont (1998) mengungkapkan hal itu dengan tegas dalam artikel berjudul “Lies, Damned Lies & 400.000 Smoking-Relating Deaths.” Perang terhadap tembakau, kata Levi dan Marimont, telah berkembang jadi monster kebohongan dan kerakusan. Ilmu pengetahuan sampah (junk science) telah menggantikan ilmu pengetahuan yang jujur (honest science). Propaganda tampil sebagai fakta-fakta. Yang jadi korban pertama dalam perang melawan tembakau adalah kebenaran.
Hal senada diungkapkan pula oleh Judith Hatton, co-author buku “Murder a Cigarette”. Pernyataan WHO tentang bahaya merokok tidak lain daripada propaganda yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Data, angka, statistik, estimasi, tidak lebih dari “Lies, Damned Lies.”

Untuk membuktikan propaganda anti merokok yang juga menurut Lauren A. Colby, litigation lawyer dari Maryland, tidak berdasarkan kebenaran, tidak bertanggung jawab dan liar, Colby menulis buku “In Defense of Smokers.” (2003)
Kebenaran apa yang dikorbankan? Levy, Marimont, Hatton, Colby, dan orang-orang yang kritis dengan propaganda anti merokok ini bukan penyebab dari risiko segala macam penyakit yang disebutkan WHO. Merekapun menunjukkan beberapa hasil penelitian dan kajian ilmiah, di antaranya seperti yang dimuat dalam British Journal of Cancer (2002) yang membuktikan tidak adanya hubungan antara merokok dengan risiko kanker payudara. Hasil studi lain yang dikenal dengan sebutan “Roll Royce of Studies”, menjelaskan tidak adanya hubungan antara merokok dengan sakit jantung (Journal of Critical Epidemiology 42, no.8, 1989).
Aisling Irwin dalam artikelnya berjudul "Study casts doubt on heart 'risk factors'" (International News, 25/8/1998), mengungkapkan bahwa studi cardiology paling besar yang pernah dilakukan telah gagal menemukan hubungan antara serangan jantung dengan faktor-faktor risiko klasik, seperti merokok dan tingkat kolesterol yang tinggi. Monica study, demikian nama studi tersebut yang melakukan kajian di 21 negara selama 10 tahun, menimbulkan timbul penyakit jantung menurun sepanjang benua Eropa, Australia, dan Amerika Utara. Tetapi para ilmuwan tidak dapat menemukan koneksi statistik antara reduksi dengan perubahan-perubahan dalam obesitas, merokok, tingkat tekanan darah atau kolesterol. Perubahan tingkat penyakit jantung koroner dalam populasi yang berbeda-bedai tidak menunjukkan hubungan dengan perubahan faktor-faktor risiko standard. "Ini merupakan kejutan besar bagi banyak orang," ungkap Dr. Caroline Morrison seperti dikutip Irwin. Hasil studi ini diumumkan dalam "the European Congress of Cardiology in Vienna" pada bulan Agustus 1998 itu. Studi yang paling besar dan paling lama di dunia itu menghimpun informasi dari 150.000 serangan jantung, terutama di Eropa Barat, dan di Rusia, Iceland, Canada, Cina, dan Australia. Penurunan penyakit jantung paling besar terjadi di Swedia. Yang meningkat terjadi di Lithuania, Polandia, Cina, dan Rusia. Hasil studi juga mengungkapkan, bahwa kegelisahan, kemiskinan, dan perubahan ekonomi dan sosial mempunyai hubungan dengan penyakit jantung. Fakta ini nampak sejak studi ini mulai dilakukan pada awal tahun 1980-an. Seseorang yang berhenti merokok namun kehilangan rumah tempat tinggal secara umum berada pada risiko terkena penyakit jantung karena faktor stres.
Sekalipun hasil studi Monica yang didanai WHO mengungkapkan tidak adanya hubungan antara penyakit jantung dengan faktor risiko klasik, WHO tetap saja mengatakan bahwa faktor-faktor risiko klasik merupakan kontribusi utama bagi risiko individual.
Terkait dengan angka-angka perkiraan kematian dan rendahnya harapan hidup akibat kematian pre-matur yang disampaikan WHO, menurut Levy, Marimont, Hatton, Colby, dan orang-orang yang kritis dengan propaganda anti merokok, adalah tidak benar dan semata-mata berdasarkan pada junk science yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Salah satu contoh yang bertentangan dengan perkiraan kematian prematur akibat mero¬kok adalah Negara Jepang, Yunani dan Siprus. Negara-negara ini memiliki tingkat merokok yang tinggi di dunia. Tetapi mereka justru memiliki tingkat terkena penyakit kanker paru-paru tergolong rendah dan harapan hidup jauh lebih lama.
Kritik dan fakta-fakta ini tidak menyurutkan kampanye anti merokok. WHO tetap melakukan propaganda anti merokok yang oleh Colby disebut tidak berdasarkan kebenaran, tidak bertanggung jawab dan liar.
Dalam paper “Tobacco & Health in the Devoloping World” yang dipresentasikan dalam “High Level Round Table” di Brussels, 3-4 Februari 2003, WHO memperkirakan 4.9 juta kematian pertahun disebabkan oleh tembakau. Tanpa tindakan lebih lanjut, diperkirakan tahun 2020 angka kematian itu jadi dua kali lipat. Rata-rata 70% kematian terjadi di negara-negara berkembang. Bersama dengan HIV/AIDS, penggunaan tembakau merupakan penyebab kematian yang paling cepat dan jadi penyebab utama dari kematian prematur di tahun 2020-an. Tembakau disebut sebagai kontributor utama dari perkembangan begitu besar penyakit-penyakit yang dihadapi negara berkembang. Hal ini meningkatkan ancaman penghacuran pembangunan sosial dan ekonomi negara-negara tersebut. Masalah tembakau merupakan bukan hanya tantangan kesehatan, tetapi juga pembangunan ekonomi dan sosial serta kelestarian lingkungan (environmental sustainability). Karena itu perlu kontrol lebih luas dan harus jadi prioritas pembangunan.
Pernyataan WHO di atas sangat berbau propaganda dan meragukan, bukan? Apa benar besaran angka-angka perkiraan kematian yang oleh Levy & Marimont disebut “lies, damned lies” itu? Apa benar ancaman bahaya kematian akibat tembakau itu sama dengan HIV/AIDS? Apa benar jadi kontributor utama berbagai penyakit di negara-negara berkembang? Bukankah gizi buruk, kualitas hidup yang rendah akibat kemiskinan? Apa benar tembakau itu jadi ancaman kehancuran pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan hidup?
Kita telah mengalami kehancuran itu dan bukan karena tembakau atau karena banyaknya perokok, tetapi karena salah satunya, korupsi. Kalau pernyataan WHO itu benar, ini artinya para petani tembakau, perusahaan-perusahaan rokok, besar dan kecil, dengan berjuta karyawannya, tentu bertanggung jawab atas ancaman rusaknya pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Kenyataannya, bukankah sebaliknya? Apakah kita di negara-negara berkembang dianggap terlalu bodoh sehingga mudah dibohongi dan menerima propaganda WHO ini sebagai kebenaran fakta? Kenapa pula terkesan WHO sangat concern dengan bahaya risiko merokok/tembakau itu daripada bahaya penyakit yang nyata-nyata dihadapi negara-negara berkembang seperti malaria, HIV/AIDS, busung lapar, dll?!
Penjelasan Pierre Lemieux (2001) mungkin dapat menjelaskan pertanyaan terakhir tersebut. Lemieux mengutip kata-kata pencetus ide dan pendiri WHO, Dr. Szeming Sze, “my part in the founding of WHO was 90% diplomatic and only 10% medical. It was politics all the time.” Jadi, jelas. Urusannya selalu politik. Politik apa? Bisa macam-macam. Dagang, ekonomi, marketing, dll. Jika omong politik, artinya omong kepentingan. Pertanyaannya, adakah kepentingan atau kepentingan apa dan siapa di balik gencarnya propanda anti merokok alias perang melawan tembakau ini?!
Menarik untuk mencermati hasil riset investigatif Wanda Hamilton (2002) berjudul “Big Drug’s Nicotine War.” Hamilton menyebut “koneksi yang tidak terbantahkan antara propaganda anti merokok dengan industri farmasi.” Menurut Hamilton propaganda anti merokok dibiayai oleh para konglomerat farmasi. Banyak yang tidak percaya dengan hal ini. Kata Hamilton. Bukankah semakin banyak perokok semakin banyak yang kena kanker atau penyakit lain. Mereka perlu banyak obat dari industri farmasi. Ini menguntungkan. Jadi, industri farmasi mestinya “loves smokers.” Persoalannya tidak dapat dibuktikan secara ilmiah hubungan antara merokok dengan penyakit-penyakit tersebut.
Menurut Hamilton, industri farmasi mencintai perokok karena “they are its new business horizon” yang didukung oleh kekuatan hukum (the force of laws) dan badan medikal nasional dan internasional yang kuat. Gencarnya propaganda anti merokok merupakan bagian strategi marketing industri farmasi. Targetnya, orang berhenti merokok. Untuk berhenti merokok diperlukan terapi atau obat-obat yang dapat membantu atau alternatif lain yang disebut “smoking cessation and treatment services”, produk industri farmasi, seperti: Nicorette, Nicotinell, Zyban (antismoking pill), Nicotine Replacement Therapy (NRT) gum and patch, GlaxoSmithKline, Nicorette Orange Gum, Clear NicoDerm Patch.
Dalam Annual Report 2001, seperti dikutip Hamilton, penjualan produk-produk ini meningkat secara signifikan. Jangan lupa, produk-produk juga mengandung unsur nikotin! Jadi, ini perang dagang nikotin antara industri farmasi lawan industri rokok.
Yang menarik, sebagaimana diungkapkan Al Martonovic, WHO mendesak pemerintah-pemerintah untuk memasukkan “smoking cessation” dan “treatment services” ini sebagai bagian program pengontrolan tembakau yang komprehensif. Terkesan WHO aktif pula mempromosikan produk dan jasa yang ditawarkan industri farmasi.
Tanya, masihkah kita berpikir bahwa propaganda anti merokok untuk kepentingan kesehatan masyarakat (public health)?! Masihkah kita rela korbankan para petani tembakau, perusahan-perusahan tembakau, mulai perusahaan ru¬mah tangga hingga perusahaan besar, dengan begitu banyak tenaga kerjanya, yang jelas-jelas memberikan kontribusi bagi pembangunan dan kemajuan bangsa ini, untuk kepentingan yang mengatasnamakan kesehatan masyarakat?! Saya dan Anda tentu akan mendukung kampanye anti merokok dan kebijakan kesehatan publik jika didasarkan pada kebenaran dan kejujuran. Jika mengorbankan kebenaran dan di atas kebohongan argumentasi, katakan: Tidak!

Asal! Bahaya Merokok vs Bahaya Pengangguran

Setiap 10% kenaikan penganggur menyebabkan kematian naik jadi 1,2%, serangan jantung 1,7% dan harapan hidup berkurang 7 tahun. Begitu menurut Harvey Brenner sebagaimana dikutip Rhenald Kasali (Kompas, 1/12/08). Jika demikian mestinya juga dicantumkan peringatan yang berbunyi: “PENGANGGURAN MENYEBABKAN KEMATIAN, SERANGAN JANTUNG, DAN HARAPAN HIDUP BERKURANG 7 TAHUN.” Dengan peringatan itu kita mengetahui bahaya pengangguran itu seperti kita mengetahui bahaya merokok sebagai ditulis pada bungkus-bungkus rokok, iklan rokok, dan kampanye-kampanye anti rokok. Dengan pemberitahuan ini kebebasan pilihan (freedom of choice) kita diarahkan untuk tidak menganggur dan tidak merokok, karena keduanya sama-sama menyebabkan kematian, serangan jantung dan harapan hidup berkurang.
Badan Kesehatan Dunia (WHO), Pemerintah, dan sejumlah komponen masyarakat anti rokok sudah gencar memberikan peringatan ini kepada masyarakat. Sejumlah regulasi dan aksi kampanye dilakukan untuk mencegah masyarakat dari bahaya merokok ini. Bagaimana dengan bahaya pengangguran?! Jelas ini bukan urusan dan tanggung jawabnya WHO. Dalam masalah rokok ini kepentingan WHO hanya satu, masyarakat dunia, termasuk Indonesia bebas dari rokok.
Bagaimana membuat masyarakat bebas dari rokok? Jawabannya mudah. Musnahkan semua tanaman tembakau. Tutup semua pabrik-pabrik rokok. Apa yang terjadi ketika semua tanaman tembakau dimusnahkan dan semua pabrik tembakau ditutup? Petani tembakau kehilangan sumber nafkah kehidupannya, para pekerja di pabrik-pabrik rokok dan industri-industri terkait kehilangan pekerjaan. Terjadilah pengangguran yang besar. Belum lagi negara yang kehilangan sumber pendapatan dari cukai rokok. Kita keluar dari mulut singa, masuk ke mulut harimau. Pengangguran yang masif itu menyebabkan kematian yang masif, serangan jantung yang masih, dan berkurangnya harapan hidup 7 tahun yang masif pula. Pendapatan negara untuk kesejahteraan rakyat juga turun secara signifikan.
Mungkin itulah saat yang tepat kita mengeluarkan peringatan bahaya pengangguran: “PENGANGGURAN MENYEBABKAN KEMATIAN, SERANGAN JANTUNG, DAN HARAPAN HIDUP BERKURANG 7 TAHUN.” Peringatan ini tentu saja perlu dilengkapi deret panjang bahaya lain pengangguran itu, di antaranya: kelaparan, kemiskinan, kualitas hidup yang buruk, gizi rendah (jika masih ada makan), timbulnya berbagai penyakit, meningkatnya kejahatan dalam masyarakat, semakin banyaknya pengemis, berbagai masalah sosial, dan lain-lain.
Saya tidak tahu apakah kita memiliki dana cukup untuk mengkampanyekan bahaya penggangguran ini; apakah WHO dapat membantu kita dalam pendanaan kampanye bahaya pengangguran ini dan melakukan aksi penghentian pengangguran. Jikapun WHO mau membantu kita, hal ini tentu tidak lepas dari persoalan kepentingan diplomatik dan politik sebagaimana pernah diungkapkan salah seorang penggagas dan pendiri WHO, “my part in the founding of WHO was 90% diplomatic dan only 10% medical. It was politics all the time.” (Lemieux, Financial Post, 2/8/2001). Tetapi saya ragu WHO tertarik membantu pendanaan masalah pengangguran ini. Sebab masalah pengangguran ini bukan bidang garapan WHO. Ini berada di bawah kompetensi International Labour Organization (ILO).
Mungkin saja WHO mau membantu jika kita melakukan manipulasi data dan statistik angka penyebab kematian, serangan jantung, dan berkurangnya harapan hidup akibat pengangguran itu. Umpamanya, kita sebutkan saja bahwa orang-orang yang mati akibat penggangguran itu adalah perokok dan mereka mati karena merokok, bukan karena pengangguran. Persoalannya pada saat melakukan manipulasi data dan statistik itu, kita sudah bebas tembakau dan rokok. Tembakau dan rokok tidak bisa kita kambing-hitamkan lagi. Manipulasi seperti ini hanya bisa kita lakukan ketika masih ada tembakau dan kita masih merokok. Pada saat ada tembakau dan rokok jika yang mati karena serangan jantung akibat menganggur dan kebetulan orang tersebut merokok atau orang tersebut perokok pasif, kita mudah mengatakan bahwa penyebab kematian orang itu adalah rokok. Kita mudah memanipulasi data dan statitistik angka penyebab kematian. Ini tidak bisa kita lakukan lagi ketika kita sudah bebas tembakau dan rokok.

---

Sedikit saya ingin ceritakan pengalaman pribadi saya di tahun 2008. Pada tanggal 27 November 2008, saya terpaksa masuk dan dirawat di sebuah rumas sakit swasta di Jakarta. Badan saya panas dan trombosit turun. Ada gejala kena demam berdarah.
Karena setelah sekian tahun baru dirawat di rumah sakit lagi, maka saya sedikit memanjakan diri dengan memilih ruang perawatan kelas VVIP. Di kelas ini saya tidak hanya dapat menikmati fasilitas yang jauh lebih bagus, tetapi mendapatkan perhatian khusus para perawat dan dokter. Saya benar-benar di bawah monitoring mereka.
Pada saat dilakukan pemeriksaan rutin oleh perawat, ketika mereka memeriksa denyut jantung saya, nampak ada hal yang tidak beres. Setelah denyut jantung saya diperiksa, perawat yang memeriksanya mulai bertanya, “apakah bapak sering olah raga?” Saya jawab, “dulu sekali. Sudah lama tidak olah raga. Kenapa?” Perawat itu menjelaskan bahwa denyut jantung orang yang suka olahraga sedikit melemah ketika sedang menjalani bed rest. Itu hal yang normal. Dari pernyataan perawat saya menarik kesimpulan bahwa denyut jantung saya melemah. Tidak seperti biasanya. Hal itu pasti bukan karena seperti yang dikatakan perawat itu. Dengan bercanda saya katakan bahwa jika denyut jantung saya melemah, kemungkinan besar karena sudah beberapa hari ini saya tidak minum kopi dan tidak merokok. Mereka tidak menanggapi candaan saya itu. Tetapi mereka minta agar dilakukan rekaman jantung.
Hari berikutnya saya mulai menjalani general check up. Setelah selesai, sore harinya, dua orang perawat ke ruang saya dengan membawa alat rekaman jantung. Setelah dilakukan rekaman jantung, saya penasaran dan menanyakan hasilnya. “Besok dokter sendiri akan menyampaikan hasilnya,” kata seorang perawat. Keesokan paginya dokter yang menangani saya datang menyampaikan kabar baik dan buruk. Kabar baiknya adalah trombosit saya sudah naik. “Tetapi bapak punya masalah kesehatan yang lebih serius. Kemungkinan besar bapak kena jantung koroner,” kata dokter itu dengan wajah serius. Mendengar kabar buruk itu saya agak terkejut dan down. “Bapak merokok?” tanya dokter itu. “Ya, dokter,” jawab saya. “Ya, sudah jelas penyebabnya. Bapak harus berhenti merokok. Sudah punya dokter ahli jantung?” tanya dokter itu dengan ekspresi yang masih serius. “Tidak punya, dokter,” jawab saya. “Mau saya carikan?” Saya tentu tidak dapat menolak tawaran dokter itu. “Mau, dokter. Terimakasih,” kata saya. “OK. Kalau dokternya ada, dia akan langsung datang memeriksa bapak. Bapak harus berhenti merokok,” kata dokter itu mengingatkan saya sekali lagi sebelum pergi.
Setelah dokter itu pergi, istri yang menemani saya saat itu sedikit ngomel, “bandel sih. Sudah berkali-kali dibilang berhenti merokok, masih aja,” katanya. Sore harinya dokter ahli jantung itu muncul di ruang saya. Dokter yang berpostur kecil itu nampak sederhana dan ramah. Dia langsung menanyakan kabar saya dan minta ijin untuk memeriksa saya. “Gimana dokter?” tanya saya penasaran setelah dia melakukan pemeriksaan, “dari hasil rekaman itu katanya saya coroner,” lanjut saya. “Ya, ada indikasi itu. Tetapi untuk kepastiannya dapat diketahui lewat scanning jantung.” Dokter itu kemudian mengatakan bahwa rumah sakit tidak punya alat scanning jantung. Saya harus ke rumah sakit tempat praktek dokter itu. Rumah sakit swasta itu memiliki alat scanning.
Keesokannya saya diantar mobil ambulance ke rumah sakit dokter ahli jantung itu. Di sana saya menjalani scanning jantung. Setelah scanning, seorang perawat yang saya kenal yang melihat hasil scanning di komputer, mengatakan kepada saya bahwa jantung saya dalam kondisi yang baik. Tidak ada penyempitan. Saya penasaran dan ingin melihat sendiri. Saya dipersilahkan melihat hasilnya di komputer. Orang yang menangani gambar jantung saya hasil scanning itu menunjukkan dan menjelaskan kondisi jantung saya berdasarkan gambar itu. “Normal, pak,” katanya. “Bagaimana rupa gambar jantung coroner itu?” tanya saya. Orang itu menunjukkan gambar jantung orang yang kena coroner.
Melihat hasil scanning jantung saya yang normal itu, saya bersyukur kepada Tuhan. Setelah kembali ke rumah sakit tempat saya dirawat, saya minta untuk pulang sore hari itu juga, tanggal 29 November 2008. Trombosit saya sudah normal. Dari hasil general check up, semua organ tubuh saya yang vital juga dalam keadaan normal.
Setelah keluar dari rumah sakit, saya tetap harus mengambil hasil scanning jantung dan berkonsultasi dengan dokter ahli jantung yang sudah memeriksa saya. Pada hari Senin, tanggal 1 Desember 2008, saya mendapatkan Medical Report hasil scanning jantung saya.
Medical Report itu terdiri dari tiga halaman. Halaman pertama menjelaskan kondisi jantung saya yang normal. Halaman kedua berisi informasi penting tentang scan jantung saya itu dan calcium score. Total calcium score saya adalah 0 (nol) yang berarti dalam jantung saya “no identifiable plaque” dan “very low cardiovascular disease risk”. Score 0 ini menempatkan saya pada ranking 10 persen. Artinya, 90 persen dari laki-laki dalam rentang usia 40 – 45 tahun memiliki score calcium yang lebih tinggi daripada score saya. Yang menarik dari laporan pada halaman ini adalah informasi/data mengenai diri saya yang tercantum pada bagian atas. Di situ tertulis Patient ID, Name, Exam Date, Age, Sex, Diabetes, Smoking, Scored by. Semuanya ditulis dengan benar, kecuali satu yaitu pada poin Smoking. Pada poin tertulis “No”. Artinya, saya pasien yang tidak merokok.
Ketika saya bertemu lagi dengan dokter ahli jantung untuk konsultasi lanjutan pada hari Rabu, 3 Desember 2008, saya menyampaikan kesalahan ini kepada dokter yang bersangkutan. “Dokter saya ini perokok sejak SMA kelas satu sampai saat ini. Jadi, jawaban “No” pada Medical Report ini salah,” kata saya. “Oh, kalau begitu jawaban “No” itu diperbaiki saja,” kata dokter sambil mencoret kata “No” itu dan menulis kata “Yes”. Tentu yang diperbaiki itu hanya pada dokumen hasil laporan scanning yang saya pegang. Saya ragukan jika perbaikan itu juga dilakukan pada data yang ada di rumah sakit.
Ini tentu saja kesalahan kecil. Kesalahan administratif yang nampaknya tidak penting. Tetapi bagaimanapun kesalahan pencatatan dapat menunjukkan beberapa hal. Pertama, petugas rumah sakit mengasumsikan bahwa karena hasil scanning jantung saya baik dan normal, berarti saya bukan perokok. Asumsi ini mungkin terjadi karena sebelum di-scanning, saya tidak ditanyai terlebih dahulu apakah merokok atau tidak. Kedua, cara kerja berdasarkan asumsi ini juga dapat terjadi ketika, umpamanya, hasil scanning jantung saya menunjukan penyakit jantung coroner. Petugas mungkin saja akan menulis kata “No” pada poin Smoking itu, walaupun, misalnya, saya sebenarnya tidak merokok. Ketiga, dengan menyatakan bahwa saya tidak merokok, maka hal ini akan menambah satu data yang menjustifikasi kebenaran bahwa orang yang tidak merokok itu bebas dari penyakit jantung. Walaupun fakta yang sebenarnya adalah saya perokok sejak SMA kelas satu sampai dengan saat ini dan menurut hasil scanning jantung dalam keadaan normal. Sebaliknya bisa terjadi. Orang yang tidak merokok, tetapi mengidap penyakit jantung, didata sebagai perokok atau setidak-tidaknya perokok pasif. Keempat, saya tidak tahu apakah kesalahan record seperti ini karena kurang teliti atau disengaja. Tetapi jika kesalahan seperti ini banyak terjadi, maka akan menimbulkan keraguan pada data-data dan statistik akibat buruknya merokok.
Menghadapi pengalaman pribadi di atas saya teringat kisah surat Mary Ellen Haley yang ditulis Lauren A. Colby (2003). Seseorang yang dicintai Haley meninggal dunia karena kanker. Haley mendapat sertifikat kematian. Dalam sertifikat tersebut terdapat baris yang harus diisi dokter mengenai penyebab kematian. Dokter mengisi penyebab kematian “cigarrete smoking” (menghisap rokok). Haley menanyakan kepada dokter yang bersangkutan apakah dokter itu yakin bahwa tumor itu disebabkan oleh menghisap rokok. Dokter itu menjawab bahwa dia tidak yakin mengenai hal itu, tetapi petunjuk-petunjuk (guidlines) yang dikeluarkan oleh American Cancer Society yang menetapkan ketika seseorang meninggal karena kondisi-kondisi tertentu dan orang tersebut merokok, dokter diinstruksikan untuk menulis penyebab kematiannya adalah merokok. Haley meminta dokter itu menghilangkan tulisannya pada sertifikat itu yang menyatakan menghisap rokok sebagai sebab kematian.

---

Kembali ke persoalan “PENGANGGURAN MENYEBABKAN KEMATIAN, SERANGAN JANTUNG, DAN HARAPAN HIDUP BERKURANG 7 TAHUN”. Kita tidak perlu memanipulasi atau merekayasa data dan statistik kematian, serangan jantung, dan harapan hidup yang berkurang akibat pengangguran. Karena kita semua tahu bahwa pengangguran itu sejak dulu sudah jadi masalah di negeri ini. Akibat-akibat buruknya pun sudah kita pahami bersama.
Beda dengan tembakau dan rokok yang sejak kita merdeka, bahkan sebelum merdeka, belum jadi masalah seperti yang gencar dikampanyekan saat ini. Bahkan, nenek moyang kita, yang belum kenal fast food dan segala macam penyakit yang disebabkan oleh rokok itu, sudah biasa merokok.
Pertanyaannya, bagaimana kita dapat mengatasi pengangguran yang menyebabkan kematian, serangan jantung, dan harapan hidup berkurang 7 tahun ketika kampanye dan aksi anti tembakau dan rokok berhasil membebaskan bangsa ini dari tembakau dan rokok?
Menurut Ketua HKTI, Siswono Yodo Husodo, seperti dikutip mediaindonesia.com (20/1/2009) jumlah tenaga kerja yang terlibat langsung dan tidak langsung dalam industri mencapai 30,5 juta orang. Artinya, angka pengangguran mencapai 30,5 juta orang ketika bangsa ini bebas dari tembakau dan rokok.
Jika benar dan jujur ancaman bahaya rokok itu dan jika membebaskan tembakau dan rokok jauh lebih penting daripada masalah kemiskinan dan pengangguran di negeri ini, maka perang terhadap tembakau dan rokok itu mestinya disertai dengan persiapan yang matang dan mantap mengatasi masalah pengangguran yang timbul akibat perang terhadap tembakau dan rokok. Termasuk di dalam alternatif solusi atas defisit sumber pemasukan APBN dari sektor cukai tembakau yang pada tahun 2009 ini ditargetkan mencapai Rp.48,2 trilium.
Apabila kita hanya ingin memenangkan perang terhadap tembakau dan rokok karena ketakutan kita pada propoganda bahaya merokok itu, tanpa peduli dengan akibat perang terhadap tembakau dan rokok itu jika tujuan perang itu tercapai, maka sejatinya kita hanya menjerumuskan masyarakat dan bangsa ini ke dalam bahaya pengangguran yang juga menyebabkan kematian, serangan jantung, dan harapan hidup berkurang 7 tahun. Suatu bahaya lebih nyata daripada bahaya merokok.

Kampanye Anti Rokok: Just Stand Against For

Di tengah semakin gencarnya kampanye partai-partai politik dan para caleg, kampanye anti rokokpun tak kalah serunya. Ini berlangsung di tengah dampak krisis keuangan global yang mulai terasa di Indonesia. Dampak krisis ini terhadap perekonomian Indonesia diperkirakan berlangsung dalam dua hingga empat tahun (Antara, 15/10/2008). Krisis ini menyebabkan penerimaan negara turun hingga 20%. Ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi terkoreksi dari target APBN 2009, dari 6% menjadi sekitar 4,5%. Penerimaan pajak 2009 diperkirakan turun lebih dari 1,5% dari yang telah ditetapkan dalam APBN 2009 (Bisnis Indonesia, 9/1/2009).
Turunnya pertumbuhan ekonomi ini berdampak pada peningkatan angka pengagguran di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) sebagaimana dikutip Kompas (22/8/2008), pada tahun 2008 setiap 1% pertumbuhan ekonomi akan menambah 702.000 lapangan kerja baru. Jika terjadi penurunan dari 6% menjadi 4,5%, maka tenaga kerja yang tidak terserap dapat mencapai 1.053.000 orang. Sementara jumlah pengangguran terbuka yang masih menunggu pekerjaan saat ini berjumlah 9.427.000 orang. Akibat krisis keuangan global ini total angka penggaguran diperkirakan mencapai 10.480.000 orang.
Di tengah situasi krisis inilah kampanye anti rokok ini gencar dilakukan. Tidak hanya sebatas industri rokok, tetapi juga industri pendukungnya seperti iklan rokok. Terkait dengan iklan rokok ini, Komnas Perlindungan Anak mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 46 ayat (3) huruf c UU No. 33/2002 tentang Penyiaran. Target yang hendak dicapai dari permohonan uji materi ini adalah larangan bagi siaran iklan niaga melakukan promosi rokok. Tidak ketinggalan juga Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang telah mengeluarkan fatwa haram merokok di kalangan anak-anak dan perempuan hamil. Sekalipun fatwa haram ini tidak ditujukan untuk seluruh perokok dan tidak mengikat para petani tembakau (BBCIndonesia.com,25/1/2009).
Kampanye anti rokok dan berbagai upaya mengurangi, bahkan menghilangkan, kebiasaan merokok ini tentu saja sejalan dengan upaya Badan Kesehatan Dunia, WHO, yang punya perhatian besar terhadap bahaya merokok. WHO telah menetapkan rokok sebagai epidemi global yang telah membunuh tidak kurang dari 1 orang setiap 6 detik dan merupakan penyebab 7 dari 8 kematian terbesar di dunia (Kompas, 30/1/2009). Menurut data WHO, seperti dikutip BBCIndonesia.com (25/1/2009), Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok terbesar ketiga di Asia dengan jumlah perokok lebih dari 146 juta orang.
Mengacu pada data-data yang dikemukakan WHO ini berarti dalam setiap 6 detik tidak kurang dari 1 orang dari 146 juta perokok di Indonesia itu mati karena merokok. Artinya dalam setiap 1 menit ada 10 perokok yang mati. Dalam 1 jam ada 600 perokok yang mati. Dalam 1 hari ada 14.400 perokok yang mati. Dan dalam 1 tahun (365 hari) ada 5.256.000 perokok Indonesia yang mati. Dari angka-angka ini mestinya tidak terjadi laju pertumbuhan penduduk Indonesia seperti sekarang ini. Apakah angka-angka ini sesuai dengan kebenaran fakta kematian akibat rokok?
Robert A. Levy dan Rosalind B. Marimont dalam artikel bertajuk “Lies, Damned Lies & 400.000 Smoking Related Deaths” (Regulation, Vol. 21 No. 4, 1998) mengkritik angka dan data-data yang dikemukakan WHO dalam perang melawan tembakau. Levy dan Marimont mengemukakan bahwa kebenaran adalah korban pertama dalam perang melawan tembakau. Menyatakan bahwa 400.000 kematian prematur setiap tahun di Amerika akibat merokok itu merupakan kebohongan besar. Levy dan Marimont menyebut data yang dikemukakan WHO sebagai mantra yang digunakan WHO menjustifikasi semua tindakan regulasi dan legislasi tembakau, termasuk tuntutan hukum dan class action. Perang terhadap rokok, demikian Levy dan Marimont, dimulai dari setitik kebenaran bahwa rokok itu memiliki suatu faktor risiko bagi kanker paru-paru. Setitik kebenaran ini kemudian dikembangkan sedemikian rupa sehingga menjadi suatu monster kebohongan dan ketamakan, serta mengikis kredibilitas pemerintah dan mensubversi rule of law. Ilmu sampah (junk science) menggantikan ilmu pengetahuan yang jujur (honest science). Propoganda diparadekan sebagai fakta. Levy dan Marimont juga mengkritik headline siaran pers WHO di bulan Maret 1998, berbunyi “Passive Smoking Does Cause Lung Cancer, Do Not Let Them Fool You”. Rilis itu “failed to scientifically prove that there is an association between passive smoking.... and a number of deseases, lung cancer in particular.”
Pandangan dan sikap kritis Levy dan Marimont tentu perlu kita cermati dalam menanggapi gencarnya kampanye dan tuntutan anti rokok. Apalagi Levy dan Marimont bukanlah orang biasa. Robert A. Levy adalah Ketua Dewan Direksi Cato Institute, “a senior fellow” dalam studi-studi konstitusional, anggota dewan Institute for Justice, Federalist Society, dan George Mason University School of Law. Dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2004, Levy adalah seorang “adjunt professor of law” di Georgetown University. Sedangkan Rosalind B. Marimont adalah ilmuwan dan pakar matematika yang selama 37 tahun telah menjalankan karier di National Institute of Standards and Technology di Amerika.
Kita patut juga bersikap kritis terhadap kampanye anti rokok WHO. Tidaklah elok jika isu kepentingan kesehatan masyarakat itu hanyalah topeng dari agenda kepentingan yang lain. Pierre Lemieux, politisi Kanada yang pada bulan Oktober 2007 ditunjuk sebagai sekretaris Parlemen, pernah menulis artikel berjudul “WHO’s Social Agenda” (Financial Post, 2/8/2001). Dalam artikelnya Lemieux mengutip kata-kata yang diucapkan Dr. Szeming Sze, delegasi Cina dalam Konferensi PBB pada tahun 1945 di San Francisco dan sebagai salah satu penggagas dan pendiri WHO, “my part in the founding of WHO was 90% diplomatic and only 10% medical. It was politics all the time.” Dari sudut pandang Dr. Szeming Sze ini kiranya dapat kita cermati agenda politik apakah di balik gencarnya kampanye anti rokok ini dan untuk kepentingan siapakah.
Seandainya saja pada saat ini kita menerima WHO sebagai pemegang otoritas kebenaran tentang bahaya merokok ini dan kita sepakat bahwa negeri ini bersih dari rokok, apa yang terjadi? Pertama, target APBN 2009 harus dikoreksi karena hilangnya penerimaan dari cukai tembakau yang pada tahun 2009 ditargetkan sebesar Rp.48,2 triliun. Kedua, bertambahnya angka pengangguran berasal industri rokok dan yang terkait dengan industri rokok yang menurut Siswono Yodo Husono, Ketua HKTI, mencapai jumlah 30,5 juta orang (mediaindonesia.com, 20/1/2009). Harvey Brenner, seperti dikutip Rhenald Kasali (Kompas, 1/12/08), mengatakan bahwa setiap 10% kenaikan pengangguran, menyebabkan kematian naik jadi 1,2%, serangan jantung 1,7%, dan harapan hidup berkurang 7 tahun.
Jika terjadi demikian di tengah dampak krisis global yang kita hadapi sekarang ini, apakah WHO siap membantu kita mengatasi masalah ini? Bukankah kemudian kita dapat terjebak jadi korban dari apa yang disebut sebagai “World Health Oppression”?
Seperti dikatakan Levy dan Marimont, ada setitik kebenaran bahwa merokok itu memiliki faktor risiko kanker paru-paru. Sama mungkin dengan faktor risiko yang ditimbulkan polusi udara atau faktor risiko penyakit jantung dari kebiasaan menyantap fast food. Hal ini tidak cukup menjadi alasan bagi untuk “just stand against for” tanpa sikap kritis dan melihat prioritas mana yang harus kita utamakan, apalagi ketika kita sedang menghadapi dampak krisis keuangan global saat ini. Pengangguran, ketiadaan lapangan pekerjaan, kelaparan, dan kemiskinan, merupakan ancamanan nyata yang kita hadapi saat ini dan mengakibat berbagai macam penyakit yang menyebabkan kematian.

World Health Oppression

Dalam paper “Tobacco & Health in the Developing World” yang dipresentasikan dalam acara “High Level Round Table” di Brussels 3 – 4 Februari 2003 Badan Kesehatan Dunia, WHO, memperkirakan 4.9 juta kematian pertahun disebabkan oleh tembakau. Tanpa tindakan lebih lanjut, diperkirakan tahun 2020 angka kematian itu jadi dua kali lipat. Rata-rata 70% kematian terjadi di negara-negara berkembang. Bersama dengan HIV/AIDS, penggunaan tembakau merupakan penyebab kematian paling cepat dan jadi penyebab utama dari kematian prematur di tahun 2020-an. Tembakau disebut sebagai kontributor utama dari perkembangan begitu besar penyakit-penyakit yang dihadapi negara berkembang. Hal ini meningkatkan ancaman penghancuran pembangunan sosial dan ekonomi negara tersebut. Masalah tembakau bukan hanya merupakan tantangan kesehatan, tetapi juga tantangan pembangunan ekonomi dan sosial serta kelestarian lingkungan (environmental sustainability). Karena itu, perlu kontrol lebih luas dan harus jadi prioritas pembangunan.
Dengan membaca perkiraan-perkiraan ini kita bisa bayangkan betapa dasyat dan mengerikan bahaya yang ditimbulkan oleh tembakau itu. Mungkin saja kita bertanya mengapa Tuhan menciptakan tanaman yang sangat berbahaya bagi kemanusiaan dan peradabannya ini? Mengapa pula sejak nenek moyang kita dulu hingga saat ini tanaman yang berbahaya ini dibudidayakan? Mengapa juga kita membiarkan petani-petani tembakau dan para pekerja di pabrik tembakau dan industri-industri yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan tembakau ini menggantungkan hidupnya dari tembakau yang sangat berbahaya bagi kemanusiaan dan peradabannya ini? Mengapa Pemerintah membiarkan perusahaan-perusahaan rokok melakukan bisnis rokok dan menetapkan target perolehan dana dari cukai rokok sebesar Rp.48,2 triliun untuk tahun 2009 ini? Bukankah tembakau itu merupakan ancaman penghancuran pembangunan sosial dan ekonomi negara serta kelestarian lingkungan?
Agaknya kita tidak terlalu peduli dengan hal-hal yang kontradiktif dan ironis ini. Kita mengamini saja perkiraan-perkiraan WHO itu dan ngotot agar tembakau dan rokok harus lenyap dari bumi nusantara ini. Kitapun enggan berpikir dan bersikap kritis untuk menanyakan apa menjadi dasar perkiraan-perkiraan WHO itu. Kita seperti tunduk saja kepada sang pemegang otoritas kebenaran.
Kembali kepada perkiraan-perkiraan yang dikemukakan di atas. Perkiraannya untuk kisah kehidupan di tahun 2020. Kemungkinan besar yang membuat perkiraan itu sudah mati di tahun 2020, sehingga sulit untuk meminta pertanggungjawaban atas perkiraan yang dibuatnya itu. Apakah benar terjadi perkiraan itu di tahun 2020? Tidak seorangpun tahu dengan pasti. Tidak juga WHO. Tetapi ketakutan dan kecemasan bahaya ancaman di tahun 2020 itu sudah ditarik ke kekinian. Perkiraan itu kita hadirkan di masa sekarang sebagai fakta. Dalam ungkapan lain Robert A. Levy dan Rosalind B. Marimont (1998) menyebutnya dengan “propoganda diparadekan sebagai fakta”.
Kebenaran perkiraan yang diungkapkan dalam paper di atas mestinya dapat diuji pada saat sekarang. Tidak perlu menunggu tahun 2020 itu. Mengapa? Jawaban sederhana. Bangsa ini sudah berurusan dengan tembakau sejak merdeka, bahkan jauh sebelum kita merdeka. Tapi, untuk menguji kebenaran perkiraan itu kita cukup melihat dari tahun kita merdeka, tahun 1945.
Perkiraan itu dikemukakan tahun 2003. Lima puluh delapan (58) tahun terhitung sejak tahun 1945, tujuh belas (17) tahun ke tahun 2020. Selama 58 tahun kita sudah berurusan dengan tembakau. Selama 58 tahun sudah ada itu petani-petani tembakau, sudah ada itu rokok, dan orang-orang Indonesia sudah merokok.
Pertanyaannya; apakah selama 58 tahun itu penggunaan tembakau merupakan penyebab kematian paling cepat dan jadi penyebab utama dari kematian prematur? Apakah selama 58 tahun itu tembakau merupakan kontributor utama dari perkembangan begitu besar penyakit yang kita hadapi? Apakah hal itu dalam jangka waktu 58 tahun meningkatkan ancaman penghancuran pembangunan sosial dan ekonomi negara? Apakah selama 58 tahun itu tembakau telah menjadi persoalan pembangunan ekonomi dan sosial serta kelestarian lingkungan hidup (sustainable development)?
Jika perkiraan itu benar, tidak perlu menunggu 17 tahun (tahun 2020) untuk terjadi apa yang diperkirakan itu. Dalam jangka waktu 58 tahun perkiraan seharusnya sudah terjadi. Sebab tembakau itu bukan hal yang baru dikenal pada tahun 2003. Ada sejarah yang panjang. Dan dalam sejarah yang panjang itu penggunaan tembakau tetap sama. Juga akan tetap sama hingga tahun 2020. Sehingga apa yang terjadinya hal-hal yang diperkirakan itu mesti sama juga dalam kurun waktu 58 tahun.
Historia docet. Sejarah mengajar. Jika dalam sejarah tembakau selama kurun waktu 58 itu terjadi hal-hal yang diperkirakan tersebut, maka berdasarkan kejadian-kejadian itulah kita dapat memprediksi apa yang mungkin terjadi 17 tahun ke depan, yakni pada tahun 2020.
Jika perkiraan-perkiraan itu bukan hanya propoganda, tetapi didasarkan pada fakta-fakta sejarah yang terjadi, maka mestinya dalam kurun waktu 58 tahun itu bangsa ini telah mengalami kehancuran karena tembakau. Dalam kurun waktu 58 tahun mestinya pembangunan sosial dan ekonomi telah lama mengalami kehancuran gara-gara tembakau. Dalam kurun waktu 58 tahun mestinya lingkungan hidup mengalami kehancuran karena tembakau. Mestinya juga kita mengalami kematian-kematian cepat dan kematian prematur dalam jangka waktu 58 tahun karena daya bunuh penggunaan tembakau yang setara dengan HIV/AIDS.
Dalam kurun waktu 58 tahun itu tembakau tidak menyebabkan kehancuran bangsa ini, tidak menyebabkan kehancuran pembangunan sosial dan ekonomi, tidak menyebabkan kehancuran kelestarian lingkungan hidup, dan tidak menyebabkan kematian cepat dan prematur. Lalu apa yang menjadi dasar perkiraan di tahun 2020 itu? Saya tidak tahu.
Saya hanya teringat artikel yang ditulis Robert A. Levy dan Rosalind B. Marimont bertajuk “Lies, Damned Lies & 400.000 Smoking Related Deaths” (Regulation, Vol.21 No.4, 1998). Levy dan Marimont mengungkapkan bahwa kebenaran adalah korban pertama dalam perang melawan tembakau. Pernyataan 400.000 kematian prematur setiap tahun di Amerika akibat merokok merupakan kebohongan besar. Hal ini hanya merupakan mantra untuk menjustifikasi semua tindakan regulasi dan legislasi tembakau. Levy dan Marimont mengungkap pula bahwa perang terhadap rokok dimulai dari setitik kebenaran bahwa rokok itu memiliki suatu faktor risiko kanker paru-paru. Setitik kebenaran ini kemudian dikembangkan sedemikian rupa sehingga menjadi suatu monster kebohongan dan ketamakan, serta mengikis kredibilitas pemerintah dan mensubversi rule of law. Ilmu sampah (junk science) menggantikan ilmu pengetahuan yang jujur (honest science). Propaganda diparadekan sebagai fakta.
Hal senada diungkapkan oleh Lauren A. Colby, seorang lawyer di Maryland, dalam bukunya berjudul “In Defense of Smokers” (2003). Pada Kata Pengantarnya Colby menulis, “I wrote this book to refute the wild, irresponsible and untruthful anti-smoking propaganda which obscures the truth.”
Mengacu pada pandangan Levy (Ketua Dewan Direksi Cato Institute, “a senior fellow” dalam studi-studi konstitusional, anggota dewan Institute for Justice, Federalist Society, dan George Mason University School of Law. Dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2004, Levy adalah seorang “adjunt professor of law” di Georgetown University) dan Marimont (ilmuwan dan pakar matematika yang selama 37 tahun telah menjalankan karier di National Institute of Standards and Technology di Amerika) serta Colby, maka kita dapat memahami perkiraan-perkiraan tersebut merupakan bagian dari propaganda perang melawan tembakau. Korbannya adalah kebenaran dan masyakat Indonesia yang sadar atau tidak berada di bawah tirani world health oppression. Kapan kita merdeka?!

2 komentar:

  1. Good Article. Like it!!

    BalasHapus
  2. saya PAK SLEMET posisi sekarang di malaysia
    bekerja sebagai BURU BANGUNAN gaji tidak seberapa
    setiap gajian selalu mengirimkan orang tua
    sebenarnya pengen pulang tapi gak punya uang
    sempat saya putus asah dan secara kebetulan
    saya buka FB ada seseorng berkomentar
    tentang AKI NAWE katanya perna di bantu
    melalui jalan togel saya coba2 menghubungi
    karna di malaysia ada pemasangan
    jadi saya memberanikan diri karna sudah bingun
    saya minta angka sama AKI NAWE
    angka yang di berikan 6D TOTO tembus 100%
    terima kasih banyak AKI
    kemarin saya bingun syukur sekarang sudah senang
    rencana bulan depan mau pulang untuk buka usaha
    bagi penggemar togel ingin merasakan kemenangan
    terutama yang punya masalah hutang lama belum lunas
    jangan putus asah HUBUNGI AKI NAWE 085-218-379-259
    tak ada salahnya anda coba
    karna prediksi AKI tidak perna meleset
    saya jamin AKI NAWE tidak akan mengecewakan









    saya PAK SLEMET posisi sekarang di malaysia
    bekerja sebagai BURU BANGUNAN gaji tidak seberapa
    setiap gajian selalu mengirimkan orang tua
    sebenarnya pengen pulang tapi gak punya uang
    sempat saya putus asah dan secara kebetulan
    saya buka FB ada seseorng berkomentar
    tentang AKI NAWE katanya perna di bantu
    melalui jalan togel saya coba2 menghubungi
    karna di malaysia ada pemasangan
    jadi saya memberanikan diri karna sudah bingun
    saya minta angka sama AKI NAWE
    angka yang di berikan 6D TOTO tembus 100%
    terima kasih banyak AKI
    kemarin saya bingun syukur sekarang sudah senang
    rencana bulan depan mau pulang untuk buka usaha
    bagi penggemar togel ingin merasakan kemenangan
    terutama yang punya masalah hutang lama belum lunas
    jangan putus asah HUBUNGI AKI NAWE 085-218-379-259
    tak ada salahnya anda coba
    karna prediksi AKI tidak perna meleset
    saya jamin AKI NAWE tidak akan mengecewakan

    BalasHapus

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...