Senin, Mei 28, 2012

Memulai Cinta dari Diri Sendiri

There is only one happiness in life; to love and be loved, demikian pada pagi-pagi dingin, George Sands menyapaku dari rimbun rumpun bambu depan rumah. Hanya ada satu kebahagiaan dalam hidup; mencintai dan dicintai.
Hm, tak ada pekerjaan lainkah? Selalu saja demikian reaksi negatif kita yang muncul, untuk selalu melakukan penyangkalan, negasi, terhadap apapun. Karena kita tidak dididik mengapresiasi, melainkan berkompetisi. Dan kita kemudian menerjemahkan berkompetisi ialah tidak dengan mengapresiasi, melainkan bagaimana memunculkan diri-sendiri.
Maka ketika melihat pelawak naik panggung, selalu muncul celotehan yang menimpalinya bahwa pelawak di panggung itu tiada, dan kita ingin merebut pesona panggung itu untuk diri kita.
Membaca status teman di fesbuk, reaksi yang muncul bukanlah sekedar bersefaham, melainkan mencoba mencari celah, untuk bisa memberi celetukan yang aneh, yang berbeda, hanya karena ingin mementahkannya dan menjadikan itu semua sebagai pengalih pesona pada dirinya.
Betapa tersiksanya pribadi demikian. Maka pembenaran atas ujaran George Sands di atas, tak bisa disangkal. Jika hanya ada satu kebahagiaan hidup itu diraih dari mencintai dan dicintai, maka ketersiksaan hidup pun lebih dikarenakan tiadanya daya mencintai dan pesona untuk dicintai. Tiadanya rasa cinta, telah menghilangkan bakat dasar kita untuk mengerti, baik pada diri-sendiri maupun pada lain orang.
Bahkan, ketika derita hinggap, bisa jadi Tuhan pun dipersalahkan, bencana dan semua kejadian (yang menderitakan itu) selalu disebut sebagai kutukan, kemarahan Tuhan. Tanpa peduli bahwa Tuhan sendiri telah menciptakan hukum alam, hukum kausalitas, hukum sebab-akibat, hukum siapa menanam dia memanen.
Ketidakmampuan memahami hukum sebab-akibat itu, yang membuat kita juga tak bisa belajar dari masa-lalu, tak pernah kuasa menjadikan hal-hal buruk yang terjadi sebagai sejarah sekaligus pelajaran, yang menjadi pijakan untuk berjalan terus mencari keseimbangan diri.
Ketika John Lennon ditanya wartawan, apakah dia dendam terhadap pihak-pihak yang dulu berkonspirasi mengusirnya? Jawabnya, “Tidak, saya percaya waktu menyembuhkan semua luka”.
Sebagaimana Martin Luther King, Jr.,menyemangati kita, bahwa; "Love is the only force capable of transforming an enemy into a friend." Cinta adalah satu-satunya kekuatan yang mampu mengubah seorang musuh menjadi teman.
Let us always meet each other with smile, demikian ajakan Bunda Teresa, karena senyum adalah awal dari cinta.
Kuncinya? Berdamai dengan diri-sendiri. Karena pengertian pada orang lain, untuk bisa menyunggingkan bibir kita, tidak mungkin terjadi ketika kita sendiri sedang berperang, dalam batin kita, sibuk menilai-nilai kau ini siapa dan aku siapa. Bukannya mencoba mengerti 'engkau bagaimana dan mengapa', sebagaimana Tuhan selalu mengajarkan itu.
Menyedihkan. Karena dari sejak presiden, politikus, agamawan, guru, motivator, lebih sibuk mengajari kita menjadi pemenang. Dan lupa mengatakan bahwa kemuliaan hidup bukan hanya kemenangan, melainkan bagaimana menjadikan kemenangan itu sebagai cara untuk memuliakan kehidupan. Bukan sebagai tujuan akhir.
"Kebahagiaan adalah getaran yang baik untuk perdamaian. Damai di pikiran Anda, damai di bumi, damai dalam pekerjaan, damai di rumah, damai di dunia," demikian John Lennon.
“Happiness is a good vibes for peace. Peace on your mind, peace on earth, peace at work, peace at home, peace in the world.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...