Rabu, Mei 02, 2012

Hardiknas dan lahirnya Manusia Terjajah

Hari Pendidikan Nasional tentulah berbeda dengan May Day, Hari Buruh Internasional, atau Hari Chairil Anwar dan Hari Kartini. Juga tentu berbeda dengan hari-hari lainnya, misalnya hari Senin, Selasa, Rabu, dan seterusnya. Di mana perbedaannya? Lebih pada penekanan kepentingannya. Dan respons atas semua itu, menunjukkan bagaimana tingkat kepentingan masyakat suatu bangsa atas yang bernama peristiwa. Jika hari pendidikan nasional tidak segegap-gempita hari buruh, bukan berarti pendidikan tidak penting bagi bangsa Indonesia. Jika cara membaca masalahnya adalah; Ketika kesejahteraan rakyat, ketercukupan, itu tersedia, dari sisi upah kerja dalam memenuhi hajat hidup, maka itu artinya pendidikan adalah sangat penting, sebagaimana tak sedikit para buruh akan berpendapat, bahwa anaknya harus sekolah lebih tinggi daripada dirinya, agar mendapatkan nasib yang lebih baik pula dari dirinya.
Namun, kita sering salah meletakkan sekolah, sebagai tempat pendidikan formal (scholl), dengan keterdidikan (educated). Karena sering kita dapati, betapa tidak paralel (sejalan) antara sekolah dan keterdidikan seseorang. Menempuh pendidikan formal yang tinggi, ternyata belum tentu membuat seseorang menjadi individu terpelajar, terdidik, sebagaimana pengertian umum mengenai gelar-gelar akademik yang banyak ragam dan namanya itu. Bahkan dengan munculnya gelar-gelar spesialis, membuat para akademisi kita terkotak-kotak dalam disiplinnya, namun celakanya tidak bisa saling support, karena perbedaan metodologi dan pendekatan. Seorang dokter medis dengan psikolog, bisa memberikan advis yang bertentangan pada seorang ibu menyusui pada anak balitanya yang sedang sakit.
Sistem pendidikan kita, yang lebih mengacu pada tolok-tolok ukur yang bersifat permanen, membuat kurikulum pendidikan kita lebih pada mengasah "ketrampilan" otak, daripada "keterdidikan" otak. Dari SD hingga SMA, bahkan juga kemudian di tingkatan perguruan tinggi, lebih banyak muncul bentuk-bentuk pengujian pada sisi keterampilan otak, daripada keterdidikan otak. Keterampilan lebih konsentrasi pada kemampuan menjawab soal, tetap bukan pada memecahkan soal. Menjadi soal kemudian, ketika soal-soal di sekolah, ternyata berbeda dengan soal-soal di dalam kehidupan keseharian.
Dengan dibatasi oleh waktu akademik, sistem pendidikan nasional kita kemudian lebih pada management by product, dan bukan management by process. Karena itu, sampai soal UAN pun, bisa terjadi manipulasi, karena sekolah malu jika banyak muridnya tidak lulus karena tidak memenuhi standar penilaian (seperti di Lombok Timur, ada seorang guru yang mengundurkan diri, karena menyesali perbuatannya mendongkrak nilai murid). Tidak ada ruang yang cukup untuk melatih "think by logic", apalagi dijalankan dengan konsep-konsep moralitas sebagaimana dicanangkan Ki Hajar Dewantara dengan konsep trilogi pendidikannya, "Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani" (di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, dan di belakang memberi restu dan doa), yang kemudian banyak diplesetkan karena tidak mempunyai wibawa sama sekali. SD Mangunan Rama Mangun di Yogyakarta, pun pada akhirnya ditinggalkan masyarakatnya, karena keterdidikan seseorang tidak dianggap sebagai jaminan penting dibandingkan selembar sertifikasi formal.
Pendidikan kita akhirnya, bukan suatu sistem untuk pemerdekaan kemanusiaan kita. Justru dalam sistem pendidikan yang formalistik itu, yang terjadi adalah menciptakan ketergantungan. Yang lahir kemudian anak-anak yang alim, pendiam, dan tidak mempunyai keberanian inisiatif. Para lulusannya menjadi dependend, tergantung, tidak merdeka dari sistem-sistem yang mengikatnya kemudian, sampai pun ketika ia lulus dari sekolah formal. Karena di tingkat masyarakat pun, kehidupan keseharian kita diikat dengan cara berfikir yang formal, dengan azas hidup pragmatis, sebagaimana anak kandung dari sistem politik yang kapitalistik. Sekolah tidak memerdekakan, tapi justru menjajah dan melahirkan zombie-zombie baru, yang membutuhkan lapangan kerja.
Pada akhirnya, terjadi struktualisme keterdidikan masyarakat, karena masyarakat yang mampu secara ekonomi, akan mampu mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Karena dengan uangnya, ia bisa punya banyak pilihan, agar anaknya mendapatkan berbagai fasilitas plus, karena pendidikan formal tidak menyediakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...