Sabtu, Desember 31, 2011

Deklarasi Sunardian Wirodono 2012

Oleh Sunardian Wirodono

PEMANDANGAN UMUM. Pada dasarnya, facebook adalah penemuan Mark Zuckerbergh yang menarik pada abad teknologi informasi ini. Dan sebagaimana ditekadkan oleh si anak muda terkaya di dunia itu, ini adalah jejaring sosial yang akan menemani perjalanan anak bangsa di seluruh dunia, sekali pun ada banyak ketidakkonsistenan dalam perkembangan aturan-aturannya yang aneh dan tidak boleh diganggu-gugat.
Dulu pertama kali, fb memakai slogan menganjurkan dengan media ini kita bisa memperbanyak hubungan antar individu dengan siapa saja dan sebanyak-banyaknya manusia, pada perkembangannya kemudian membatasi kita hanya boleh meng-add yang sudah kita kenal. Masalahnya, kita kenal di mana dan kenal siapa? Lagi pula, jika itu bahasa teknis, "ngapain" kalau sudah kenal (terkoneksi di fb) kita masih pula meng-add-nya? Apakah mesin program bisa menguraikan dan mengidentifikasi kita "sudah" dan "belum" kenal? Sementara itu pula, di fb yang kemudian bisa diakses dengan handphone, pada akhirnya "turun derajad" bukan lagi sebagai media sosial, melainkan lebih merupakan "media komunitas" dalam bentuk yang lebih eksklusif.
Senyampang dengan itu, fb juga memberi keleluasaan untuk munculnya identitas "palsu", apalagi dengan kemudahan mendaftarnya yang bisa dengan sembarang (atau semudah) membuat email baru, membuat facebook tidak memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi, menyeleksi atau memverifikasi, sehingga nilai bias media ini menjadi sangat tinggi. Sebagai media sosial, kredibilitas fb masuk dalam kategori rendah, setingkat lebih tinggi dari nomor hape (di Indonesia), karena tingkat akuntabilitas dan kredibilitasnya sangat sulit diverifikasi (dan mungkin juga dikonfirmasikan), apalagi dengan nama-nama "tak beridentitas". Yang muncul kemudian pernyataan-pernyataan pribadi, persoalan-persoalan privat yang dipublikasikan tanpa filter, sesuai karakter masing-masing yang beragam. Di dalam masyarakat lisan (tutur), yang menyatakan pendapat pribadi pun belumlah merupakan kebiasaan, maka berkomunikasi "tulis" melalui fb, semakin mempertinggi terjadinya kekacauan berkomunikasi. Ia hanya "memperbaiki" teknis berkomunikasi dalam bentuk "cara" mendelivery atau mendistribusi, tetapi bukan pada content.
Ia menjadi tak lebih sebagaimana orang berkirim "sms" atau "mms" melalui handphone, hanya dengan kelebihan bisa serentak kepada banyak pihak yang terkoneksi dan hanya sekali klik (tidak perlu memforward satu-persatu). Demikian pula, dengan tidak terjadinya akselerasi sosial pada para facebooker, maka akhirnya terjadi "seleksi alamiah". Tersedianya ruang interaktif, yang serentak dan terbuka itu, membuat beberapa facebooker pada akhirnya membatasi diri, dengan jalan menyeleksi, meremove atau mendelete "sahabat" menjadi "bukan lagi sahabat", dan seterusnya.
Hal itu bisa jadi bersebab karena karakter medianya. Sebagai media yang interaktif, namun bersifat indirect, dengan keragaman facebooker, juga bisa menimbulkan bias, friksi, dan berbagai gesekan yang menimbulkan akibat-akibat berbeda. Itu akan sangat tergantung pada sensitivitas dan sensibilitas para pelakunya. Betapa mudah orang "menjalin" persahabatan namun juga begitu gampang kita "melenyapkan" persahabatan dengan satu kali click. Apalagi jika fb dipakai sebagai medan pertempuran pribadi, area maki-maki namun tidak dalam tempat yang adil. Ada begitu banyak salah paham dan sakit hati, yang tidak terselesaikan secara proporsional, baik dari soal politik, agama, dan persoalan cinta-mencinta.
Atau bisa jadi itu semua karena sekali pun bersahabat di dunia maya, yang mudah itu, ternyata tidak atau belum tentu diimbangi dengan proses persahabatan yang memadai, sebagaimana proses persahabatan di dunia nyata. Di dunia maya, persahabatan tidak difasilitasi dan tidak akseleratif dengan kemampuan teknologi komunikasi yang progresif dan bebas nilai. Yang tumbuh pada fb kemudian adalah suburnya grup-grup kepentingan atau komunitas minat (terbuka, tertutup, maupun rahasia) yang jauh lebih berkembang. Pada sisi inilah, media jejaring sosial menemukan formatnya yang lebih pas. Sementara akun-akun pribadi, yang pada awalnya seolah berlomba mendapat teman sebanyak-banyak, hingga batas maksimalnya mencapai 5000 nama, pada akhirnya juga tidak lagi menjadi daya tarik, karena toh sebenar-benarnya dari capaian 5000 nama itu, toh interaksi yang terjadi bisa jadi tak lebih dari 50%, bahkan mungkin hanya 25%, atau bahkan sesungguh-sungguhnya tak pernah lebih dari 1% belaka.
Empat tahun sudah saya bermain-main facebook, dengan lima akun (dua akun dengan nama pribadi, kini terkoneksi dengan 8.000-an nama), dan tiga akun berdasar minat dan kepentingan, menghimpun 7.000-an nama), membuat saya mempunyai kesimpulan, bahwa media sosial seperti fb ini, mengajarkan saya pada soal sensitivitas dan sensibilitas. Dari sana saya bisa memahami dengan nyata, bagaimana keberagaman manusia Indonesia (setidaknya yang terkoneksi dengan saya tentu).
Namun secara umum, saya meyakini, bahwa sebagian besar manusia Indonesia, masih menjunjung tinggi nilai-nilai kemuliaan, sekali pun kadang itu pengetahuan normatif, yang tak jarang cara mengekspresikannya bisa berlawanan dengan nilai materi yang diekspresikan. Misalnya menuding pihak lain sebagai buruk, namun dengan cara yang jauh lebih buruk. Maunya mengajarkan cinta kasih dan kebenaran, namun tidak dengan cara yang mencerminkan sikap itu. Dan sejenisnya. Itu lebih karena tidak atau belum terjadinya proses internalisasi antara yang meresap masuk dalam pikirannya, untuk kemudian ditransformasikan dalam media tulis. Dan itu persoalan benar.
KESIMPULAN. Media komunikasi tertulis, seperti fb, twitter, dan lain sejenisnya, tumbuh subur. Sayangnya tidak diimbangi dengan akselerasi modernisasi dalam bentuk tingkatan kesadaran untuk belajar, tentu saja dengan media membaca. Kita tanpa proses, langsung berkomunikasi dengan bahasa tulisan. Sementara, bacaan masyarakat kita hari-hari ini adalah bacaan yang sudah tereduksi oleh karakter medianya, seperti membaca monitor hp, membaca monitor ipad, notebook dengan google atau video bokep, televisi, yang semuanya medium (= mediocre), eksploitatif, dan bukannya eksploratif sebagaimana karakter media seperti buku (yang tingkat penetrasinya paling bontot, 5% atas kesadaran komunikasi dan informasi manusia). Dan itulah potret yang bisa dilihat dari mayoritas wall pada akun-akun fb kita.
PERNYATAAN. Dengan pemandangan seperti itu, rasanya cukup alasan bagi saya untuk menutup ruang interaksi saya di fb, karena berkomunikasi tertulis (tepatnya lagi ngobrol dengan tulisan), tentu membutuhkan energi bagi saya yang berprofesi sebagai penulis. Adalah dua hal berbeda secara prinsip, dari apa yang dimaksud "ngobrol melalui tulisan" pada persepsi dan perspektif kita. Tentu, saya tidak akan menutup akun fb saya, dan semoga saya tetap memproduksi kata untuk mengisi wall saya, tetapi saya menon-aktifkan reaksi atau respons para sahabat untuk ber-like this atau berkomen. Dengan sepenuh mohon maaf atas hal itu. Terima kasih atas pertemanan selama ini, juga berbagai bentuk partisipasinya. Semoga kita semua senantiasa sudi berjuang untuk menjadi lebih baik dari yang sudah. Selamat tahun baru 2012, selamat menempuh hidup baru. | Sunardian Wirodono, Penulis. Yogyakarta, 31 Desember 2011

Pasukan Allahu Akbar Gaya Asmuni

Oleh Sunardian Wirodono

Pada suatu siang, serombongan orang Jombang yang lagi pertemuan di Jakarta, mampir di warung Rujak Cingur Asmuni di Slipi. Bertemu dengan Asmuni (mantan pelawak Srimulat), akhirnya jadilah reriungan itu semacam reunian dan muncullah cerita-cerita nostalgia, sampai ke cerita jaman perang. Kebetulan, Asmuni waktu di Jombang adalah juga anggota tentara rakyat, yang turut serta dalam perjuangan perang kemerdekaan.
Dalam cerita itu, muncul rasa kejengkelan mereka dengan pasukan Hisbul Wathon. Pasukan ini, sangat lekat dengan kyai. Sebelum maju perang, tradisi mereka menyorongkan bambu runcing untuk diberi isim, doa, oleh kyai mereka. Demikian juga mereka diberi mantra agar sakti, tak tembus peluru.
Lho kenapa Asmuni cs., tak menyukai pasukan yang religius ini? Konon kabarnya, setiap operasi militer yang bersifat rahasia, lebih sering gagal jika diikuti oleh pasukan HW itu. Kenapa? Karena yang mestinya operasi berjalan diam-diam, eh, begitu hendak tiba ke sasaran, anggota pasukan HW itu biasanya lantas teriak-teriak, bertakbir, "Allahu Akbar, Allahu Akbaaaarrrr,..."
Tentu saja, pihak musuh (yakni tentara Belanda) memberikan serangan balik, memberondong para pasukan HW dengan peluru timah panas. Dan gagallah operasi rahasia itu.
Eh, setelah mendapat isim dari sang kyai dan mantra kesaktian itu, apakah mereka benar sakti, tidak tembus peluru dan menang perang dengan bambu runcingnya?
"Ya, tidak, tetap saja mereka moik (mati)," sungut Asmuni, "dan kocar-kacirlah kami dikejar Belanda,...."

Asmuni Mampu Kalahkan Gus Dur

Oleh : Sunardian Wirodono

Ini cerita Asmuni (almarhum, pelawak Srimulat) pada saya, sewaktu saya tinggal di Slipi (Jakarta). Rumah kami berdampingan, di jalan Anggrek Cendrawasih.
Suatu ketika, dalam kaitan dengan PKB, Gus Dur (belum menjadi Presiden) ke Jombang. Alun-alun Jombang, yang hendak dipakai deklarasi partai, tumplek-bleg manusia. Mobil yang membawa Gus Dur sudah sampai di tepi alun-alun, pintu mobil dibuka, tapi Gus Dur tak mau turun. Dia bilang, dia hanya mau turun jika dijemput Asmuni (tokoh ini, meski belum punya KTA PKB, dia ternyata adalah Ketua Departemen Seni Budaya DPP PKB).
Panitia pun ribut, mencari Asmuni, yang kebetulan waktu itu sudah lebih banyak tinggal di Mojokerto.
Mereka kalang-kabut menjemput Asmuni terlebih dulu. Panas menyengat tak mengusir antusiasme massa yang menyemut menunggu Gus Dur. Hingga akhirnya Asmuni pun datang.
Setelah meyakini bahwa Asmuni sudah dipanggil dan berada di dekatnya, Gus Dur pun turun. Massa merangsek ingin mendekat Gus Dur. Para Banser NU pun kerepotan hendak mengantar Gus Dur ke panggung.
"Gus, sampeyan di belakang saya,..." tiba-tiba Asmuni berinisiatif.
Gus Dur pun segera berdiri di belakang Asmuni, dan meletakkan dua tangan di bahu Asmuni.
Massa yang merubung, disibak oleh Banser NU, bak Nabi Musa mengacungkan tongkatnya di Lautan Merah, hingga membentuk lorong manusia menuju ke panggung. Orang-orang yang berdiri di pinggiran lorong, mencoba menggapai Gus Dur, tentu saja agar bisa salaman. Mereka saling dorong berdesakan maju. Tapi, Gus Dur tetap saja meletakkan dua tangannya di pundak Asmuni. Penglihatan Gus Dur waktu itu memang sudah bermasalah, hingga jika berjalan harus dituntun. Akibatnya, Asmuni justeru yang jadi sibuk menyalami kiri-kanan ribuan tangan ummat yang menggapai-gapai Gus Dur,...
Di panggung, Asmuni berbisik pada Gus Dur, "Gus, hari ini sampeyan kalah sama saya, ribuan tangan nyalami saya,...!"
Gus Dur membalas, "Tapi 'kan nggak ada amplopnya,...!"
Asmuni dan beberapa yang ada di dekatnya ngakak. Dalam tradisi NU, dapat berjabat tangan dengan kyai yang dihormati, itu berkah. Sementara bagi panitia yang mengundang kyai, untuk menjaga kehormatan, cara memberikan honor pada kyai adalah ketika bersalaman pada akhir acara. Dari situlah akan terjadi adegan berpindahnya amplop (berisi uang tentu) dari tangan panitia ke tangan kyai. Salam tempel istilah Polisi Indonesia. Jadi, maksud lelucon Gus Dur, meski salaman dengan ribuan orang, tapi nihil.
Beberapa waktu kemudian, Asmuni mengaku pada saya, dia merasa dikibuli Gus Dur. Karena Gus Dur waktu itu sangat capek dari bersafari PKB. Dan satu-satunya yang bisa meredam massa, karena tak bisa salaman dengan Gus Dur, hanyalah popularitas Asmuni. Emha Ainun Nadjib pernah menyebut, Tujuh Keajaiban Jombang antara lain adalah Asmuni (disamping Gus Dur, Nurcholish Madjid, Gombloh, dan tiga lagi entah saya lupa). Setidaknya Gus Dur punya alasan, tak bisa salaman karena dua tangannya harus bertumpu di pundak Asmuni,... | Ditulis oleh Sunardian Wirodono

Selamat Datang 2012, 2013, 2014, dan Seterusnya,...

Oleh : Sunardian Wirodono

Satu tahun sama dengan 8.760 jam, atau 525.600 menit, atau 31.536.000 detik. Dan kita tahu akan hal itu.
Ketika awal tahun lalu kita menjalani resolusi baru, rasanya berat, bisakah tahun ini kulalui, dengan capaian target tertentu? Betapa sangat beratnya. Tapi;
Satu tahun sama dengan 8.760 jam, atau 525.600 menit, atau 31.536.000 detik. Dan kita tahu akan hal itu.
Dan ketika kita memandang 2009, 2010, 2011, 2012, 2013, 2014, kita hanya ingat pada capaian-capaian besar, namun melupakan detail. Sehingga ketika capaian besar itu luput, kita sakit setengah mampus.
Dalam Hindu, seperti termaktub dalam Mahabharata, kita mengenal kalla sebagai kekuatan paradoks yang misterius. Menurut Giddens, tradisi terkait dengan kontrol atas waktu yang berorientasi ke masa lalu dan dibuat memiliki pengaruh besar ke masa sekarang dan masa depan. Sementara masyarakat modern memperlakukan waktu secara linear. Dalam Islam, seperti kisah Ibrahim a.s., waktu menyimpan pesan dan gagasan.
Jika tradisi pesta tahun baru dipahami sebagai waktu sakral masyarakat modern perkotaan, kita tidak tahu, pesan dan gagasan apakah yang tersimpan di dalam detik-detik menjelang pergantian tahun itu.
Sementara kita tahu, sesungguhnya waktu tak bisa dikonsepsikan. Waktu yang hanya bisa dimaknai dari persepsi atas pengalaman sehingga ia hadir dalam berbagai penanda ukuran. Itu semua erat hubungannya dengan kefisikan manusia, seperti ketika Aristoteles merumuskan waktu dari gerak dan perubahan. Kalau saja kita tidak bertubuh dalam dunia ini, maka waktu itu tidak akan pernah ada
Satu tahun sama dengan 8.760 jam, atau 525.600 menit, atau 31.536.000 detik. Dan kita tahu akan hal itu.
So, apakah rahasia hidup ini? Apakah rahasia Allah itu? Hanyalah terletak pada penghayatan kita, bahwa;
Satu tahun sama dengan 8.760 jam, atau 525.600 menit, atau 31.536.000 detik. Dan kita, sering abaikan bahwa kita mengetahuinya. Karena satu tahun tidaklah mungkin jika tak 8.760 jam. Dan satu jam tidaklah mungkin jika tidak dari 60 menit. Dan kita juga tahu, tidaklah mungkin satu menit jika bukan dari 60 detik.
Selamat membuat resolusi baru 2012, 2013, 2014. Namun Anda tahu, akhir tahun 2011 esok, ialah perjalanan dari detik ke detik, hingga detik ke 31.536.000 ketika nanti malam kita mulai menapakinya. Selalu ingatlah pesan Engkoh dan Mbah Titiek Puspa; Cintailah floduk-floduk dalam dirimu, tiap detiknya!
Tahukah Anda soal misteri waktu? Ada sesuatu yang selalu disangka datang, dan memang selalu datang. Tapi, begitu ia datang, ia sudah bukan dirinya lagi. Ia bernama "besok". Ketika Anda sangka besok tanggal 1 Januari 2012, maka pada pada saat tanggal 1 Januari 2012 itu, ia menjadi "hari ini", karena besok sudah berpindah ke 2 Januari 2012. Sampek modir, "besok" itu tak pernah mengujud. Dan seterusnya!
Satu tahun sama dengan 8.760 jam, atau 525.600 menit, atau 31.536.000 detik. Dan kita barangkali pura-pura tak tahu akan hal itu. | Ditulis oleh Sunardian Wirodono

Kamis, Desember 29, 2011

Indonesia dan Kenihilan Kepemimpinan

DALAM kepemimpinan Jawa (kenapa Jawa? Ya, agar kita bisa dapatkan juga dari nilai kebijaksanaan lokal lainnya), negara yang gemah ripah loh-jinawi, mensyaratkan pada tiga hal. Adanya pemimpin yang berani menegakkan hukum atau aturan berdasar keadilan, alim-ulama yang menyatakan kebenaran berdasar keadilan, dan rakyat yang mau mendengar, sabar, dan bekerja keras.
Tentu, konsep yang tidak senjlimet Montesquieu tentang trias politika, dengan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Meski pun kenyataannya, yang bernama legislatif dan yudikatif, pada akhirnya adalah juga eksekutif juga. Dan celakanya, teori Montesquieu ternyata juga tak mampu memecahkan soal "pengawasan" dan memberi jawaban memuaskan atas yang bernama "keadilan" itu. Orang Jawa, meringkes ketiganya berada dalam satu tempat, yakni integrated pada satu manusia yang disebut pemimpin itu. Artinya, dalam elaborasi konteks kekinian, dalam pribadi pemimpin harus terpenuhi syarat mutlak ia sebagai "manusia pilihan".
Pemimpin yang menegakkan hukum atau aturan berdasar keadilan, ialah dia menjaga segala sesuatu dalam keseimbangan. Dalam teori modern ia memoderasi antara kepentingan capital (modal, pengusaha, pasar) dan civil society (rakyat). Namun jika ia berkelindan, dan berselingkuh, dengan pemodal atau pengusaha semata, maka ia telah berlaku tidak adil, apalagi sampai tidak bisa bersikap, dan berdalih tidak mau intervensi pada kepolisian yang merupakan instrumen kekuasaannya, atau membiarkan munculnya Pam-Swakarsa).
Pemimpin yang seperti itu, jika pun tahu mengenai teori keadilan, semuanya hanyalah omong kosong. Sementara kita tahu, seorang pemimpin dinilai dari omong isi-nya, bukan omong kosong-nya. Pemimpin memang harus ngomong, tetapi jika yang diomongkan kosong belaka, ia juga nihil, alias tidak bernilai. Apapun kata mantan menlu AS, Condoleeza Rice (yang dikagumi Moammar Kadafy itu) tentang kepemimpinan yang kuat.
Alim ulama yang menyatakan kebenaran berdasar keadilan. Yang dimaksudkan di sini, alim-ulama tentulah bukan hanya para petinggi dan elite Islam (aneh, Islam kok mengenal konsep "elite"), melainkan mereka yang bekerja di ranah rohani. Para pendeta, pastor, bedande, para budayawan, yang merenungi nilai-nilai kehidupan. Banyak yang menyatakan kebenaran, namun kebenaran tanpa keadilan adalah kebenaran formal, kebenaran teks, yang ia bisa jadi tidak bernilai ketika kehilangan konteksnya.
Berdasar keadilan itu artinya kebenarannya bukan demi kekuasaan, bukan pada kelompok tertentu, bahkan bukan kebenaran demi kebenaran akademis, karena ia bisa jadi kegenitan yang elitis belaka. Namun kebenaran yang dimaksud, mampu menumbuhkan peradaban, nilai-nilai kehidupan, demi citra budi Tuhan, bukan citra budi penguasa, dan apalagi kelompok mayoritas. Karena justeru pada kaum minoritaslah, Kanjeng Nabi Muhammad sendiri perlu memasukkannya dalam Piagam Madinah, sebagai konsep kekuasaan yang Islami (bukan negara Islam).
Barangkali, faktor terpenting, ialah pada rakyat. Dan kita tahu, ada yang mengatakan rakyat yang kuat melahirkan pemimpin kuat, rakyat bodoh melahirkan pemimpin bodoh. Jika pemimpin beraport merah, siapa dulu gurunya,... Biarkan saja istilah itu, sebagai bagian dari kegenitan akademis, untuk mendapatkan cum-laude. Kita seyogyanya tidak lagi berdebat soal mana lebih dulu antara telor dan ayam, kecuali hanya sekedar untuk mendapatkan selembar honorarium alias amplop, dalam sebuah talk-show televisi.
Bisa jadi, rakyat kita bodoh, tak sabaran, suka amuk massa, tidak mau mendengar, pemalas, konsumtif, dan sebagainya dan seterusnya. Namun, jika dua unsur di luarnya (pemimpin dan alim-ulama) terpenuhi, rakyat akan menjadi pondasi terkuat bagi tegaknya kedaulatan negara.
Secara teoritis tampaknya mudah. Memang mudah. Tapi karena keserakahan akan kekuasaan (baik pada para pemimpin, alim-ulama, budayawan, dan cerdik-pandai) itu, semuanya menjadi sulit. Dan bangsa Indonesia yang konon ramah-tamah, mempunyai konsep gotong-royong, sesungguhnya sama sekali pandangan yang tidak meyakinkan. Ialah ketika politik modern hanya bersandar pada angka-angka, citra dan polling, namun bukan nilai-nilai.
Angka-angka yang disodorkan pada kita itu, tidak bernilai sama sekali. Hanya teks, bukan konteks. Tidak mampu menyodorkan kepemimpinan dan keteladanan, karena tidak mempunyai roh dan kekuatan untuk menginspirasi, apalagi memotivasi bagi berdirinya negara yang gemah-ripah repeh rapih, negara yang baldatun thoyibatun wa robbun ghofur!

Dongeng Pagi pada Suatu Bokis

Oleh Sunardian Wirodono

Pada suatu pagi yang entah dan bokis, Einstein, Santayana, George Bernard Shaw, Socrates, Plato, Thomas A. Edison, Voltaire, Gandhi, Khalil Gibran, Sukarno, dan entah siapa lagi, pokoknya begitu banyak nama-nama yang sering beredar pada status facebook, berkumpul. Ada juga motivator, kolumnis, perakit kata, jurnalis yang tak pernah nulis jurnal. Mereka mengadakan Musyawarah Besar Sekali (disingkat Mubesek).
"Coba, kalau kita hidup di jaman Ring Back Tone kayak Ahmad Dhani,..." Einstein membuka percakapan.
"Siapa Ahmad Dhani?" Sukarno bertanya.
"Hloh, lha itu 'kan bangsamu, Su!" Plato menukas cepat, "Itu lho, suami Mulan Jameela,..."
"Mulan Jameela? Nama yang cantik, apakah secantik wajahnya?" Sukarno mulai antusias.
"Halah si Bung ini, kalau sudah soal perempuan,..." Socrates memprotes, "Kembali ke Thukul, eh, fokus!"
"Kalau kita hidup di jaman RBT, maka kita akan kaya, karena banyak manusia mengutip renungan-renungan kita. Bayangkan, dalam satu detik ada ratusan status fb ditulis, dan banyak di antaranya hanya berisi kutipan kata-kata kita itu!" Einstein mencoba menjelaskan kegelisahannya, "dan semuanya itu gratisan! Coba hitung, berapa royalti yang bakal kita terima, andai kita berada di jaman itu,..."
"Halah," Plato menukas, "tidak semua yang bisa dihitung itu bisa dihitung,...!"
"Hei, hei, hei, kamu nyontek pendapatku ya?" Einstein sewot, "Tidak semua yang dapat menghitung dapat dihitung, dan tidak semua yang dapat dihitung dapat menghitung,... jangan dicomot seenaknya!"
"Uh, logikamu ribet!" Socrates menyela, "kembali ke fokus. Masalahnya bukan soal kita dapat royalti tidak, tapi ada gunanya nggak sih kutipan kita itu? Apa segala macam wise-word itu bisa mengubah hidup manusia? Menyelamatkan dunia ini? Nyatanya, perang masih ada, pertengkaran masih subur. Bahkan, di negaranya Sukarno itu, yang pakai Pancasila, kini berkembang perang suku, perang tarkam (antar kampung, antar kampus), antarmahasiswa,... peradaban makin ruksak! Rusak mah biasa, ruksak itu biangnya rusak!"
"Outside of a dog, a book is man's best friend. Inside of a dog it's too dark to read," tiba-tiba nongol Groucho Marx, komedian dan film star Amerika.
"Maksudnya?" George Santayana bertanya.
"Kata-kata motivasi berguna sekali dalam perjalanan hidup. Sekiranya mereka sering mengucapkan kata-kata motivasi ke orang-orang, itu bisa menjadi penambah motivasi,..."
"Ah, kamu terlalu textbook thinking!" Thomas A. Edison memotong, "hidup itu kumpulan pengalaman. Mau ini mau itu, pengalaman merekalah yang penting, dengan atau tidak dengan kata-kata bijak!"
"Hmmm,... Kata-kata itu sebenarnya tidak mempunyai makna untuk menjelaskan perasaan," tiba-tiba berujar seseorang, entah siapa tak jelas, karena hari sudah malam, dan listrik giliran padam, "Manusia boleh membentuk seribu kata-kata, seribu bahasa. Tapi kata-kata bukan bukti unggulnya perasaan. Sebelum memberi nasihat kepada manusia dengan ucapanmu, berilah mereka nasihat dengan perbuatanmu. Memang, bukti ilmu seseorang pada ucapannya, tapi bukti akal fikiran seseorang ialah perbuatannya,..."
Dan seterusnya. Obrolan itu panjang tiada habisnya. Hasilnya? Belum dirumuskan. Tapi, menurut laporan wartawan, para filsuf dan para cendekia-aulia itu lagi pada manyun, menunggu esok pagi tiba, atau tepatnya menunggu bakul bubur ayam nyelonong dalam area Mubesek.

Jumat, Desember 16, 2011

"Belajar dari Seratus Puisi dari Seratus Penyair"

Oleh Sunardian Wirodono

Selama ini, buku mengenai puisi Indonesia, lebih merupakan buku yang penuh teori dan kajian akademik mengenai sastra. Ia lebih banyak dinikmati oleh kritikus sastra dan penulis puisi itu sendiri. Terlalu eksklusif.
Padahal, puisi tentu tidak ditulis melulu untuk penyair. Karena di dalamnya, ia sebagaimana karya kesenian lainnya, mampu memberi makna pada kehidupan keseharian kita.
Membacai dan menelusuri makna 100 penyair Indonesia (dari RA Kartini, dari Pujangga Baru, Angkatan '45, '66, hingga dekade terakhir dan generasi fesbuk masa kini), bukan sebuah buku teori tentang sastra, melainkan membumikan teks sastra dalam memaknai kehidupan sehari-hari.
Ukuran buku 11x18 cm, tebal 320 halaman, kertas hvs 70 gram. Ditulis oleh Sunardian Wirodono, harga Rp 50.000 sudah termasuk ongkos kirim untuk seluruh Indonesia. Buku ini dedikasikan untuk pendirian (pada tanggal 30 Desember 2011) sebuah lembaga nirlaba Pelita Jaya Anggada Foundation, yang bergerak di bidang pendampingan anak-anak down-syndrome. Buku ini akan beredar tanggal 26 Desember. Pemesanan dilayani mulai sekarang dengan cara menulis nama dan alamat di inbox akun ini.

"Belajar dari Seratus Puisi Seratus Penyair", membacai puisi-puisi: Abdul Hadi WM, Abidah El-Khaliqie, Acep Zamzam Noer, Adri Darmadji Woko, Afrizal Malna, Ahmad Fatoni, Ahmadun Y. Herfanda, Ajip Rosidi, Alex R. Nainggolan, Amir Hamzah, A. Mustofa Bisri, Arifin C. Noer, Ari Pahala Hutabarat, Beni Setia, Chairil Anwar, Cok Sawitri, Cunong Nunuk Suraja, Darmanto Jatman, Dhenok Kristianti, Diah Hadaning, Dimas Arika Mihardja, Dina Oktaviani, Dorothea Rosa Herliany, D. Zawawi Imron, Eka Budianta.
Eko Tunas, Emha Ainun Nadjib, Esha Tegar Putra, Evi Idawati, Fitrah Anugerah, F. Rahardi, Goenawan Mohammad, Gunawan Maryanto, Gunoto Saparie, Hamid Jabbar, Hartoyo Andangjaya, Hasan Aspahani, Hendro Siswanggono, Hendry Ch Bangun, Heru Emka, Ilham Q Moehiddin, Inggit Putria Marga, I Nyoman Wiratha, Isbedy Stiawan Zs, Jamal D. Rahman, JE Tatengkeng, Joko Pinurbo, Kirdjomuljo, Kurnia Effendi, Kurniawan Junaedhie.
Landung Simatupang, Leon Agusta, Linus Suryadi AG, Lupita Lukman, Mardi Luhung, Marhalim Zaini, Medy Loekito, M. Fajroel Rachman, Mustofa W. Hasyim, Nana Ernawati, Nanang Anna Noor, Nanang Riskhi Susanti, Nenden Lilis A, Nia Samsihono, Ni Made Purnamasari, Nirwan Dewanto, Noorca M. Massardi, Oka Rusmini, Ook Nugroho, Radhar Panca Dahana, RA Kartini, Ramadhan KH, Raudal Tanjung Banua, Remy Sylado, Rendra.
Rini Intama, Roni Zarman, Sapardi Djoko Damono, Shinta Miranda, Sihar Ramses Simatupang, Sindu Putra, Sitok Srengenge, Sitor Situmorang, Slamet Riyadi Sabrawi, Sobron Aidit, Soe Hok Gie, Soni Farid Maulana, Subagio Sastrowardojo, Susy Ayu, Sutardji Calzoum Bachrie, Taufiq Ismail, Timur Sinar Suprabana, Toeti Heraty, Toto Sudarto Bachtiar, Ulfatin Ch., Umbu Landu Paranggi, Wahyu Wibowo, Wiji Thukul, Yudhistira ANM Massardi, Yvone de Fretes.

Buku ini tidak dijual di toko buku umum, agar didapat harga yang murah. Syarat Pembelian Buku "Belajar dari Seratus Puisi dari Seratus Penyair":
1. Tulis nama dan alamat lengkap yang bisa dijangkau oleh paket pos, ke email sunardianwirodono@yahoo.com, sertakan no. hp untuk konfirmasi.
2. Kirim uang pembelian via transfer bank ke nomor yang akan kami kirimkan ke email Anda atau sms ke no hp Anda.
3. Harga buku Rp 50.000 per-eks (termasuk ongkos kirim, untuk seluruh Indonesia, agar terjadi subsidi silang).
4. Sekedar tambahan, sebesar 10% dari harga buku ini, akan didonasikan kepada Pelita Jaya Anggada Foundation, sebuah lembaga nirlaba untuk anak-anak penyandang down syndrome di Indonesia.

Keterangan Tambahan:
1. Data buku, ukuran 11x18 cm., tebal 320 halaman, kertas hvs 70 gram, harga Rp 50.000 (termasuk ongkir).
2. Ditulis oleh: Sunardian Wirodono. Penerbit: Chitchat Publisher Yogyakarta, d.a Jl. KRT Pringgodiningrat 40, Pangukan, Tridadi, Sleman, Yogyakarta 55511.
3. Untuk wilayah Yogyakarta (dan sebagian daerah kabupaten Sleman dan Bantul yang berdekatan dengan Kodya Yogyakarta, bisa dengan cara delivery order, pemesanan melalui sms/phone dengan menyebut nama dan lokasi sejelasnya. Culdit culrang (buku akan diantar dan pembayaran cash di tempat). Hubungi no hp: 0878.38125757, 0857.2624.0385, 0811278426
4. Masih tersedia buku kumpulan humor Sunardian Wirodono; "Dialog Dogol Susilo & Mbambang", dengan harga yang sama.

Kamis, Desember 08, 2011

KPK Bersama Samad Menggali Kuburnya Sendiri

Sumber Tempo yang dekat dengan Komisi Hukum DPR mengatakan Kamis malam (1/12) pekan lalu telah digelar dua pertemuan rahasia yang dihadiri perwakilan enam fraksi di Komisi Hukum. Mereka berasal dari Partai Golkar, PDI Perjuangan, PPP, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Gerindra, dan Partai Hanura. Mereka ini pemilik 33 suara di Komisi Hukum.
Pertemuan khusus ini berlangsung di sebuah restoran di kawasan Sudirman Business District Center (SCBD) Jakarta Pusat dan Tee Box Kafe Kemang, Jakarta Selatan. Menurut sumber tadi, dalam pertemuan ini Abraham Samad, satu-satunya capim KPK yang hadir dan mendengarkan langsung komitmen enam fraksi, untuk mengantarkan dia jadi Ketua KPK. ”Jadi, sehari sebelum pemilihan sudah diketahui siapa yang akan terpilih jadi ketua,” katanya.
Di Makassar, Abraham dikenal sebagai pengacara sekaligus aktivis antikorupsi. Tapi jejaknya juga tercium di belantara politik. Tim investigasi panitia seleksi pernah menduga Abraham berafiliasi dengan partai politik. Namun dia membantah. Lelaki 45 tahun itu juga dekat dengan kelompok Islam garis keras, seperti Laskar Jundullah, Abu Bakar Ba'asyir, Hisbut Tahrir Indonesia, dan Komite Perjuangan Penegakan Syariat Islam Sulawesi Selatan. Untuk yang satu ini, Abraham mengakui (Tempo.Interaktif, 3 Desember 2011).
Berdasar pada pandangan Abraham dalam fit and proper test di Dewan Perwakilan Rakyat. Abraham memiliki pandangan bahwa penyadapan dan larangan SP3 di UU KPK perlu direvisi. Padahal dua hal itu adalah 'senjata' KPK yang tidak dimiliki polisi dan jaksa. Itu beda prinsipal antara AS dengan Bambang Widjojanto dan Busyro Muqodas.
Janji setahun tak bisa membereskan korupsi besar, bagi Samad, adalah blunder KPK yang pertama (blunder = kesalahan yang bodoh). Kenapa? Megakorupsi, tentu kompleksitasnya juga mega, karena persoalannya bukan melulu hukum, melainkan belibet dengan persoalan politik. Dan kita tahu, ketika dua hal itu berselingkuh, KPK sendiri di bawah Samad, telah menyediakan diri untuk berada "di bawah" DPR. Apalagi, jika kasus-kasus korupsi "kecil" menjadi urusan Polisi dan Kejaksaan, maka koruptor recehan macam politikus Senayan, tentu akan lebih diuntungkan lagi (karena itu, DPR ngotot memasukkan "unsur" kepolisian dan kejaksaan dalam KPK).
KPK akan kuat di bawah AS? Itu lebih merupakan omong kosong dan kamuflase yang ingin diciptakan para koruptor itu sendiri. Slogan pastinya, "koruptor bersatu, tak bisa dikalahkan" Jika kita memakai teori sudut pandang Pramoedya Ananta Toer, kalau mereka ngomong ke kanan (KPK di bawah Samad lebih menjanjikan), lihatlah kemungkinan sebaliknya (yakni, lebih menjanjikan untuk disetir DPR), dan itulah maksud sebenarnya,...!

Selasa, Desember 06, 2011

Melalui Abraham Samad, Barisan Koruptor Menyandera KPK

Selama ini, pemberitaan media masih juga menyodorkan pandangannya yang a-politis, mereka tak mengerti dan terkejut dengan tepilihnya Abraham Samad sebagai Ketua KPK 2011-2015.
Pandangan itu bukan hanya a-politis, melainkan bentuk dari kemalasan (atau ketidakpekaan) dalam membaca arah politik. Padahal, semua orang juga tahu, entitas DPR adalah lembaga politik. Tidak pernah terbukti lembaga ini sebagai perwujudan dari kepentingan rakyat, karena oligarki parpol hanya memakai rakyat sebagai atas nama.
Dari sejak penolakan DPR soal pemeringkatan Pansel Capim KPK, disitu DPR telah bermain politik, hingga mereka mempersoalkan kesalahan (yang memang kecerobohan fatal) soal administratif yang kebetulan menimpa Abraham Samad.
Dukungan pada Bambang Widjojanto, untuk masuk empat besar versi DPR, hanyalah sebuah taktik, dari strategi besar mereka dalam menjatuhkan tokoh ini dengan selisik telak 43 suara untuk AS dan 4 untuk BW dalam pemilihan Ketua KPK. Mayoritas anggota Komisi III DPR hanya ingin mengirimkan sinyal, bahwa BW bukanlah nama yang dipilih, namun DPR juga tak ingin dituding mendepak BW secara terang-terangan. Sebagaimana DPR juga tak ingin dituding mendepak Busyro Muqodas, ketika secara tendensius mereka meminta ketegasan BM, apakah masih bersedia menjadi pimpinan KPK (padahal, semua orang juga mengetahui, bahwa keputusan MK mengenai posisi BM jelas, ia adalah orang yang terpilih untuk menggantikan Ketua KPK Antasari Azhar, dan itu berlaku hingga 2014), artinya, semestinya yang dicari adalah unsur pimpinan KPK lainnya yang memang sudah harus berakhir jabatannya Desember 2011. Namun, jangankan Pansel Capim KPK, MK pun bukan lembaga yang ditakuti oleh DPR, karena mereka mengatakan tak ada kewajiban mengikuti keputusan MK, sebagaimana dikuatkan Ketua DPR Marzuki Ali, kewenangan MK itu melampaui Tuhan!
Hasil Pansel Capim KPK, yang diketuai Patrialis Akbar, S.H., M.H. (Menkunham waktu itu), dengan wakil ketua; 1. Irjen Pol (Purn) Drs. M.H. Ritonga; 2. Dr. H. Soeharto, S.H., M.H.; sekretaris (merangkap anggota) : Dr. H. Ahmad Ubbe, S.H., M.H., APU; dengan anggota: Prof. Rhenald Kasali, Ph.D; Prof. Dr. Ichlasul Amal, MA; Prof. Dr. Tb. Ronny R. Nitibaskara; Prof. Dr. Saldi Isra, S.H.; Erry Riyana Hardjapamekas; Akhiar Salmi, S.H., M.H.; Amir Hasan Ketaren, S.H.; Dr. Imam Prasodjo, MA; Deliana Sajuti Ismudjoko, S.H., sama sekali tidak ada harganya, karena dari pemeringkatan itu, justru DPR memilih tiga orang yang menempati rangking di luar empat besar (kecuali dengan taktik DPR tetap memakai Bambang Widjojanto yang menempati peringkat pertama dari Pansel, tapi kemudian "dijatuhkan" dalam pemilihan ketua oleh DPR). Semestinya, pemilihan KPK ke depan, tidak dilakukan oleh DPR, melainkan jika mau membuat terobosan, dilakukan oleh MPR, atau lembaga independen sehingga bisa dilepaskan dari kepentingan politik.
Orang banyak juga berpendapat, tampaknya KPK akan dijadikan alat mayoritas anggota DPR, untuk menggulingkan SBY-Boediono lewat desakan kasus Bank Century. Apalagi, dengan inosennya, Samad menyatakan akan mundur jika dalam satu tahun tak ada kasus yang bisa diselesaikan. Kasus besar itu, antara lain tentu, kasus Century.
Benarkah demikian? Penuntasan kasus Bank Century, tidaklah semudah keyakinan Misbakhun dan para pengincar SBY melalui kasus ini. Justeru karena itulah, sekali lagi sebagai entitas politik, mayoritas DPR sebagai pewakilan parpol, akan memakai kasus Century sebagai sandera politik bagi SBY. Tujuannya, lebih pada keuntungan masing-masing parpol (khususnya Golkar) dalam skenario penyuksesan pemenangan mereka dalam Pemilu 2014.
KPK sendiri, tetap tak akan bisa berbuat banyak, karena di sektor internal mereka, konfigurasi kepemimpinan collective & collegial mereka, sudah diadudomba sedemikian rupa oleh kepentingan politik DPR. BW dan BM, tidak akan mempunyai arti apa-apa dalam kondisi psikologis seperti itu.
Dari hasil pemeringkatan Pansel Capim KPK semula kita berharap (Busyro tetap sebagai Ketua, didampingi BW, Yunus Husein, Abdullah Hehamahua, dan Handoyo Sudrajat), akan mendapatkan KPK yang independen. Namun dengan hasil godogan DPR ini, KPK akan menjadi lebih buruk.
Mahkamah Konstitusi, Senin 20 Juni 2011, memutuskan bahwa jabatan Busyro Muqoddas sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Konipsi (KPK) berlaku selama empat tahun. "Menyatakan mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata ketua majelis hakim konstitusi, Moh Mahfud MD, saat membacakan amar putusan di Jakarta.
Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 34 Undang Undang KPK bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa pemimpin KPK, baik pemimpin yang diangkat secara bersamaan maupun pemimpin pengganti yang diangkat untuk menggantikan pemimpin yang berhenti dalam masa jabatannya memegang jabatan selama empat tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.
Menurut Mahfud yang didampingi delapan haldm konstitusi, permohonan uji materi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang dimohonkan oleh ICW dan beberapa aktivis terkait jabatan Busyro memiliki kedudukari hukum (legal standing).
Namun seperti ditengarai sebelumnya, Peneliti Divisi Korupsi ICW Abdullah Dahlan mengimbau DPR taat terhadap putusan hukum Mahkamah Konstitusi (MK) soal masa jabatan Ketua KPK Busyro Muqoddas. Sesuai keputusan MK, masa jabatan Busyro ditetapkan empat tahun.
Sehingga jumlah calon pimpinan (capim) yang diserahkan pemerintah sebanyak delapan orang untuk mengisi empat jabatan pimpinan KPK. "Ini DPR memaksakan pembelajaran etika buruk kepada publik, untuk tidak konsisten mematuhi putusan MK," kata Abdullah di Rumah Perubahan, Jakarta, Selasa (11/10/11).

BM mungkin saja dianggap lemah dan lamban. Tapi BM memiliki integritas yang terukur, tegas dan berani. Hanya ia bukanlah pemimpin yang flamboyan, sebagaimana tampaknya justeru itulah yang akan muncul dari Samad. Samad yang mengritik pimpinan KPK jangan seperti artis sinetron, tapi ia tidak konsisten, dengan tidak memberlakukan hal itu untuk dirinya. Kemunculannya di media selama ini, tidak substansial, dan ia ternyata menikmati euforia media itu. Ia tidak menolaknya.
Berbagai pernyataannya, justeru menciptakan blunder dalam internal KPK itu sendiri. Lagi pula, sekali pun ia Ketua, bukan berarti KPK adalah miliknya. Itu yang membuat di bawah BM, KPK lebih kelihatan tangguh, meski tentu Samad juga harus ditunggu untuk membuktikan kata-katanya. Meski pun itu meragukan. Karena bisa diduga, Samad tidak akan mundur, meski ia sama sekali tak bisa membuktikan ucapannya. Samad diperlukan, agar justeru barisan koruptor leluasa menyandera KPK.
Dan itu artinya, DPR akan lebih diuntungkan, karena rakyat mempunyai sasaran tembak yang lain. Hingga bola reborn untuk melakukan korupsi, bisa dilakukan dengan tenang oleh Senayan, sembari juga menyodorkan kasbon politik 2014 pada SBY!

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...