Senin, Februari 22, 2010

Kisah-kisah Kebijakan dari Timur


Kompas Minggu, 21 Februari 2010 | NGABDULLOH AKROM


Kisah-kisah kearifan masa lalu, terutama kisah kearifan Timur, semakin luas digunakan sebagai rujukan dalam setiap persoalan yang muncul. Sejauh mana relevansi filosofi kehidupan itu mampu memaknai kekinian hidup?
Berkat kemajuan teknologi informasi, kejadian di satu tempat bisa disebarluaskan ke seluruh dunia pada saat yang sama. Hal itu dapat dilihat dari reaksi yang muncul di sejumlah tempat. Fenomena inilah yang disebut Jusuf Sutanto sebagai Tarian Perubahan atau The Dance of Change.
Gambaran gajah raksasa liar yang sedang menari diberikan terhadap The Dance of Change yang, menurutnya, tidak dapat diprediksi ke mana arah gerak tariannya. Pun tidak ada yang dapat membendung geraknya. Ketika mencoba menjinakkan gajah melalui kakinya, maka disepaknya. Ketika menjinakkan dengan memegang ekor, akan diseretnya. Ketika menjinakkan melalui belalai, akan diempaskannya. Ketika menjinakkan melalui kepala atau perutnya, tangan tidak bisa menggapai untuk merengkuhnya. Apakah mungkin menjinakkan melalui lututnya?
Jawabnya tidak (hal xvi). Menurut Jusuf, yang dibutuhkan adalah pemimpin yang turut menari bersama. Ia menyebutnya The Dancing Leader. Itulah kearifan yang dibutuhkan.

Kearifan Timur
Melalui cerita-cerita pendek yang sarat hikmah, Jusuf mengajak kita memahami filosofi hidup, here and now. Ia mengajarkan gagasan kemanunggalan antara konsep dan perbuatan. Juga mencoba meracik kearifan-kearifan masa lalu dan mencari relevansinya terhadap masa kini serta ke depannya.
Dalam penulisannya, ia menggunakan simbol-simbol yang sarat makna. Sekejap dari sampul buku, mungkin hanya melihat sekadar huruf Kanji belaka. Akan tetapi, jika ditelisik lebih jauh, huruf Kanji pada sampul adalah gambaran mengenai keharmonisasian yang terjadi pada alam. Secara umum buku ini mencoba mengangkat kembali kearifan Timur, terutama Tai Chi, yaitu mengenai keharmonisan antara unsur feminin (Yin) dan unsur maskulin (Yang). Huruf atas pada sampul depan melambangkan ketegasan karakter unsur maskulin, sedangkan huruf bawah merupakan simbol kemengaliran unsur feminin.
Melalui filosofi seni kaligrafi, Jusuf mencoba mendobrak pola tulis manusia modern yang hanya terpaku pada tetikus dan keyboard. Dalam sebuah perkuliahan, dengan logatnya yang kental khas Jawa, ia berkata: ”Anak-anak zaman sekarang mulai dikungkung daya kreativitasnya dengan mouse dan keyboard yang kaku dan monoton. Mereka tidak lagi diajarkan bagaimana tangan menari di udara ketika menulis kaligrafi. Mereka tidak diajarkan bagaimana tangan menyatu dengan kuas membentuk guratan tulisan yang indah.... The Creator melukis alam.”
Layaknya kearifan Timur lainnya—Yahudi, Kristen, Islam, Kejawen, Zoroaster, dan lain-lain—melalui Tai Chi, Jusuf menekankan adanya hubungan harmonis antara manusia dan alam. Juga bagaimana alam mengajarkan manusia untuk mengenal Tuhan-nya. Jusuf mengutarakan kritik halus terhadap modernisme yang melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap alam. Misalnya, kritik atas paradigma scientism yang memandang bahwa segala sesuatu dikatakan ilmiah jika dapat diukur melalui indera, yang berujung pada nihilisme. Tampaknya, Jusuf menapaki jejak pemikiran Fritjof Capra yang banyak melakukan kritik terhadap ketimpangan yang terjadi dalam pola hidup manusia modern dan tradisi. Dalam hal ini, tentu saja Tai Chi adalah solusi yang ia tawarkan.

Pemahaman filosofis
The Dance of Change tergolong buku yang memberikan pencerahan. Hampir semua cerita yang disampaikan diberi catatan penjelas walau sebagian tidak. Jusuf masih memberikan ruang bebas kepada pembaca untuk melakukan kontemplasi demi memperoleh kesadaran dengan sendirinya. Ini dilakukan agar cerita yang disajikan tidak hanya bersifat informatif belaka, tetapi mampu mendarah-daging dalam diri pembaca.
Jangan pernah mengaku sebagai pencinta alam dan jangan pernah bicara bagaimana mengatasi krisis ekologi jika belum pernah membaca buku ini. Menjadi pencinta alam bukanlah sebuah tren atau gaya hidup yang harus diikuti. Jika menjadi pencinta alam hanya karena tren, akan luluh-lantak digilas tren yang datang dari efek The Dance of Change.
Seperti banyak dikisahkan, cinta terhadap alam adalah buah dari kesadaran mengenai Tuhan, diri, dan alam. Wuwei adalah istilah yang memiliki banyak makna, yang digunakan dalam ajaran Tao mengenai hubungan antara manusia dan alam. (Xiaogan Liu. ”Non-Action and the Environment Today: A Conceptual and Applied Study of Laozi’s Philosophy’)
Di luar persoalan itu, ada beberapa kesalahan kecil berkenaan dengan teknik penulisan. Penempatan tanda baca yang kurang tepat serta kalimat-kalimat panjang memiliki dampak terhadap pemahaman si pembaca. Alih-alih hanya satu-dua kalimat saja, hampir setiap cerita kerap kali kita temukan.
Selain itu, ketika menjelaskan istilah dalam kaligrafi, baiknya diikuti dengan simbolnya. Seperti pada bagian pengantar, sewaktu menjelaskan bagaimana terbentuknya kata sabar. Jusuf tidak memberikan simbol untuk kata pisau, hati, dan kata sabar itu sendiri sehingga pembaca yang tidak mengenal huruf tersebut akan kesulitan memahami sisi filosofis dari huruf dalam sampul depan.
Buku ini sungguh tepat diapresiasi sebagai referensi untuk mengenal filosofi kehidupan dari kearifan Timur. Jusuf cukup luas mengurai betapa pentingnya menguak kembali kearifan Timur dan mencari relevansinya untuk kehidupan kekinian. Meski demikian, kita boleh juga menyampaikan catatan kritis tentang sejauh mana dan atas dasar apa kearifan Timur layak untuk dikaji ulang.

Ngabdulloh Akrom, Mahasiswa Program Studi Islamic Studies di Islamic College for Advanced Studies (ICAS), Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...