Minggu, Maret 01, 2009

Sapto Rahardjo : Berlalunya Sebuah Era?


Kompas Minggu,
1 Maret 2009


Franki Raden

Sewaktu remaja saya pernah membaca sebuah artikel di majalah Aktuil tahun 1970-an tentang grup musik yang bernama Yogiharmonik (?) di Yogyakarta. Gambar yang terpampang pada artikel tersebut adalah alat musik yang terdiri dari kaleng-kaleng bekas beserta wajah penciptanya. Saat itu sulit saya bayangkan bagaimana bunyi musik yang keluar dari ”instrumen” seperti itu. Tidak beberapa lama kemudian ingatan saya tentang artikel dan grup musik ini pun memudar.

Beberapa tahun setelah itu saya mulai kuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Pada saat itu perhatian saya terhadap perkembangan musik kontemporer di negeri ini semakin menguat. Sebagai mahasiswa sekolah musik yang berkiblat ke Barat, pada awalnya perhatian saya tentu saja terpusat pada perkembangan musik kontemporer di sana. Kebetulan kehidupan musik kontemporer di dalam negeri sendiri pada tahun 1970-an sangat lengang. Di samping itu, Jakarta pada masa itu masih menjadi pusat perkembangan seni kontemporer di Indonesia sehingga apa yang terjadi di luar Jakarta sering kali lepas dari perhatian saya.

Pada awal hingga akhir tahun 1970-an, percaturan musik kontemporer di negeri ini memang masih berputar pada kertas notasi (partitur) yang menjadi tumpuan dari lomba komposisi musik Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang diprakarsai almarhum Frans Haryadi. Oleh sebab itu, yang tampil di atas panggung ”resmi” musik kontemporer umumnya hanyalah mereka yang (pernah) belajar komposisi di IKJ atau Akademi Musik Indonesia (sekarang ISI Yogyakarta). Pada tahun 1979, DKJ membuat program baru yang berjudul Pekan Komponis Muda. Dalam acara ini DKJ memperluas ruang lingkup gagasan musik kontemporer dengan menyertakan mereka yang berlatar belakang musik tradisional dan berkarya tanpa menggunakan partitur. Thus, karya mereka adalah pementasan mereka.

Pada saat itulah perkembangan musik kontemporer Indonesia mulai memasuki babakan baru yang sangat penting: katakanlah babakan postmodern jika Anda peduli. Sejak saat itu pergumulan musik kontemporer di luar Jakarta yang tidak bertumpu pada wacana estetika Barat tiba-tiba menjadi transparan. Pada awal tahun 1990-an, ketika saya melakukan penelitian lapangan tentang musik kontemporer Indonesia untuk menulis disertasi, di Yogyakarta muncul seorang tokoh musik ”baru” yang berada di luar pagar akademik AMI. Tokoh ini menyajikan pementasan musik yang jauh di luar jangkauan imajinasi para akademikus Yogyakarta sehingga ia menjadi tokoh yang sangat kontroversial. Komponis tersebut tidak lain adalah pencipta alat musik Yogiharmonik yang dahulu pernah saya baca di majalah Aktuil, yaitu Sapto Rahardjo, yang pada pagi kemarin baru saja dipanggil oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.


Pementasan Sapto yang beberapa kali saya tonton di Purna Budaya, Yogyakarta, ternyata sangat memukau. Pada waktu itu karya-karyanya selalu muncul dengan menyertakan perlengkapan canggih teknologi multimedia. Tetapi, di tangan Sapto, pementasan yang memanfaatkan teknologi canggih ini dapat menjelma menjadi sebuah bentuk ritual dan sangat membumi pada realitas sosial di sekitarnya. Salah satu karyanya dipentaskan selama 24 jam nonstop tanpa membosankan sedikit pun. Karyanya yang lain dipentaskan di atas sebuah pick up kecil yang berkeliling di sekitar kota Yogyakarta.

Sapto Rahardjo, komponis yang baru saja berpulang, pada tahun 1990-an bukan saja mampu membuat kota Yogyakarta menjadi penting dalam peta musik kontemporer Indonesia, tetapi juga mampu membuat dunia musik kontemporer Indonesia itu sendiri menjadi sangat dinamis pada dekade 1990. Dinamika inilah yang memungkinkan saya untuk dapat menulis sebuah disertasi. Periode itu banyak melahirkan para komponis eksperimental yang dipelopori antara lain oleh Sapto Rahardjo. Di samping itu, dukungan terhadap dunia musik kontemporer datang dari mana-mana, terutama dari media massa (cetak dan elektronik), taman rekreasi (Ancol dan PRJ), asosiasi profesional (PII), pemerintah (Depdikbud dan DKI), para mahasiswa, seniman di bidang lain, dan juga para konglomerat. Pertumbuhan jenis musik ini juga terjadi di kota-kota di Jawa, Bali, dan Sumatera. Bahkan, sebuah desa seperti Desa Mungkid di Jawa Tengah pun memiliki pusat kegiatan musik eksperimental yang digalang oleh seorang komponis bernama Sutanto. Pada akhirnya dunia musik kontemporer Indonesia mampu menciptakan paradigmanya sendiri. Dalam hal ini jasa Sapto Rahardjo tidak kecil.

Sayangnya para komponis yang menjadi motor perkembangan musik kontemporer pada dekade 1990-an adalah para komponis yang kesehatannya sangat rentan. Di samping Sapto Rahardjo, kita telah kehilangan figur-figur muda lainnya yang juga sangat penting, yaitu Harry Roesli, Yazeed Djamin, dan Saut Sitompul yang meninggal dunia pada awal usia 50-an. Keempat komponis ini masing-masing memiliki posisi tersendiri di dalam dunia musik kontemporer Indonesia.

Setelah lebih dari sepuluh tahun tidak berada di Indonesia, saya baru menyadari betapa penting dan dinamisnya periode tahun 1990-an di mana Sapto Rahardjo memantapkan kariernya sebagai komponis. Mungkin Sapto sendiri tidak terlalu peduli dengan istilah ”musik kontemporer” atau ”musik eksperimental” yang kerap saya gunakan dalam tulisan. Gaya musiknya memang selalu tidak dapat diduga ke mana arahnya. Ia selalu bisa muncul dengan sesuatu yang membuat kita terperangah, entah karena kreativitasnya, kenakalannya, ataupun kenekatannya. Yang jelas etos kerja Sapto Rahardjo sebagai komponis dan pemusik memang sangat luar biasa. Inilah yang membuat ia mampu menggalang sebuah festival gamelan internasional di Yogyakarta hanya dengan bekal sebuah tekad.

Dunia musik Indonesia saat ini jelas telah kehilangan seorang figur komponis, pelopor, dan penggagas yang sangat penting. Tapi, yang sekarang saya pertanyakan kepada diri saya sendiri adalah: apakah era musik eksperimental Indonesia dewasa ini juga telah berlalu dengan perginya orang-orang seperti Sapto Rahardjo, Harry Roesli, dan Saut Sitompul? Jika ini benar terjadi, sungguh patut disayangkan karena mungkin kita tidak akan pernah lagi menyaksikan sebuah dinamika kehidupan musik di Indonesia yang sangat penuh dengan kejujuran, kenekatan, vitalitas, kreativitas, dan orisinalitas bak Sapto Rahardjo. Selamat jalan, sobat!

Franki Raden Etnomusikolog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...